Halaman

Jumat, 12 Oktober 2012

QUASIMODO || Kepingan Pertama



Karena ketika aku harus pergi, akan lebih mudah jika kau berjanji untuk melupakanku…

“Tolong, lupakan aku…”
“… Jadi seperti itukah orang yang pernah menjadi kekasihmu? Beginikah caranya memperlakukanmu huh?!”

Karena sepi tak selalu berarti sendirian.

“… Ingin menangis? Silahkan. Kalaupun kau hanya ingin diam saja di sepanjang jalan, aku tak akan protes. Yang penting, kau tidak sendirian…”

Karena hidup tak selalu hitam dan putih.

“Moon bermakna ‘kata-kata’. Kau sumber semua kata yang tak bisa kusuarakan, yang tak kumengerti bagaimana membahasakan dirimu. Karena hanya dalam hati aku bisa menjabarkanmu. Dan kau, adalah kata itu sendiri, Moon-ku. “
“Karena… hidup terkadang tidak berjalan seperti apa yang kita inginkan saengie…”

Karena kata-kata yang dirangkai sebagai alasan seringkali tak cukup menjelaskan mengapa semua harus terjadi.

“Aku yakin Oppa… pasti ada penjelasan… pasti ada alasan…”
 “Kalau seandainya… alasan itu adalah… “

“Lalu, apa CUKUP hal klise seperti ‘aku mencintaimu’ menjadi ALASAN untuk menghancurkan harapan orang lain? Tidak kan?!”

Terkadang, kita ingin bertahan hanya demi sebuah kenangan.

“Aku ingin, jika aku mati nanti, masih ada sesuatu yang bisa membuatku diingat oleh orang-orang yang menyayangiku. Juga oleh orang-orang yang kusayang.”

“…karena aku percaya padanya, seperti halnya aku yang percaya pada diriku sendiri kalau aku masih menyayanginya.”

Menunggu.

“Aku tidak pernah memintamu untuk menunggu.”
“Aku bukannya menunggu. Aku hanya mencari takdirku. Dan itu dirimu.”

Cinta tak hanya datang sebagai terangnya putih. Cinta terkadang menyerang dalam gelapnya kepiluan.
Kadang cinta datang dalam bahagia. Namun tak jarang juga cinta justru menorehkan luka. Dan hari ini, cinta sedang tak ingin membuai mereka dalam bahagia.Cinta memilih untuk mengukir pedih. Di hati mereka.

Presenting a fanfiction story: QUASIMODO 
Main Cast: JinYoon Couple, Cho Kyu Hyun
Other cast: muncul bergantian[?] :p
*jgn tanya knpa judulnya QUASIMODO, suka aja sama lagunya SHINEE yg entu wkwk*



***



Part 1

I remember the day you say goodbye
Something was calling you
I could read it in your eyes
You told me that someday we'd meet again
But deep inside i always knew
This was the end
 (Time - Tommy)

***

“Tolong, lupakan aku…”

Yoon Hee ternganga. Ia bahkan hampir tersedak lemon tea-nya. Ada nyeri yang menelusup tanpa peringatan di dadanya. Tiba-tiba saja dunianya yang selama ini nyaris sempurna terasa retak, dan hancur berkeping-keping. Tiga kata yang membentuk sebuah kalimat sederhana itu menghantamnya begitu hebat.
Untuk beberapa saat Yoon Hee mematung. Mencoba mencerna kata-kata tadi. Bolak-balik berusaha memahami artinya.

“Yoon?”

Yoon Hee mengerjapkan matanya, menatap pemuda yang duduk di hadapannya. “Moon… kau bercanda kan?”

Bukannya menjawab, pemuda yang dipanggil Moon tadi malah menunduk, menekuri cangkir kopi di hadapannya.

“Moon.. ucapanmu tidak lucu, tahu. Berhentilah melakukan sangtae dan habiskan makan siangmu itu.” tunjuk Yoon Hee pada semangkuk sup tahu asam pedas di hadapan Jin Ki, yang baru gadis itu sadari belum disentuh sama sekali oleh pemiliknya.

“Aku tidak bercanda, apalagi sedang ber-sangtae… Yoon.”

Yoon Hee menghentikan aktivitas menyumpit kimchi pedasnya. Ia menatap Moon dengan pandangan bingung. Ada getar aneh yang terdengar dari suara baritone pemuda itu.

“Kau sungguh ingin berpisah denganku? Tidak kan?”

Hening.

Yoon Hee tahu, harapannya semu. Ia tahu betul ekspresi wajah Moon saat ini. Tidak hanya ekspresi macam ini yang ia hafal, Yoon Hee bahkan paham semua lekuk wajah Moon, semua perubahan yang akan terjadi di wajah itu. Mereka sudah bersama selama hampir dua tahun, semenjak bulan-bulan terakhir Yoon Hee di kelas 1 SMA. Hingga… hanya sampai hari ini kah?

Moon meneguk ludah. Dengan jari-jari yang sedikit gemetar, ia mengangkat cangkir kopinya dan meneguk isinya. Latte itu terasa lebih pahit dari biasanya. Jauh lebih pahit.

“Moon…”

Ah, kenapa suara itu terdengar gemetar? Moon memejamkan matanya. Merapalkan doa tanpa suara agar dia dapat bertahan, dan tidak secara mendadak mengubah keputusannya. Keputusan yang sudah ia pikirkan berjuta-juta kali sebelumnya. Meninggalkan Yoon-nya.

“Aku…serius…” sahut Moon, lalu meletakkan kembali cangkir itu di tatakannya. Suara percakapan orang-orang di café itu terasa kabur. Bahkan untuk mengangkat wajah dan menatap Yoon Hee pun Moon tidak mampu. Dengan gugup ia menyusuri tepian cangkir dengan telunjuknya. Masih terasa hangat. Berbeda jauh dengan kedua kakinya yang terasa dingin.

“Kenapa?”

Inilah.
Dari sekian pertanyaan, hanya inilah yang paling menghantam dada Moon.

Moon sudah menyiapkan jawaban atas pertanyaan itu. Beribu macam jawaban pernah ia pikirkan. Ia sudah berlatih secara diam-diam tentang bagaimana ia akan menjawab pertanyaan semacam ini. Tapi begitu ia mengangkat wajah dan mendapati Yoon Hee yang tengah memandangnya dengan ekspresi campur aduk, antara bertanya dan terluka, semua jawaban yang pernah ia pikirkan hilang tak berbekas.

“Moon… Kenapa?”

Yoon Hee berusaha sekuat tenaga menahan titik bening yang mulai menyeruak di sudut matanya. Nafasnya tercekat. Dia menatap pemuda di hadapannya, yang selama ini menemaninya menyusun balok-balok mimpi di atas harapan mereka berdua. Pemuda yang kini tengah balik menatapnya dengan ekspresi putus asa. Pemuda yang amat ia cintai.

“Mianhae…”

“Aku tidak menyuruhmu berkata maaf kan? Kau tuli? Aku bertanya ‘KENAPA’ padamu…” Yoon Hee tidak bisa mencegah nada tinggi yang tiba-tiba muncul dalam suaranya.

“Yoon…”

Moon tidak pernah menyangka, bahwa melihat kedua bola mata bening itu mulai berkabut oleh air mata bisa membuatnya kehilangan kata-kata.

“Jawab saja Moon!” Yoon Hee berdiri, memegangi ujung meja dengan kedua tangannya, tapi merasa semakin gamang.

Melihat wajah Yoon Hee yang pucat pasi, refleks Moon berdiri, secepat kilat melangkah ke arah Yoon Hee dan meraih gadis itu ke dalam rengkuhannya. Isak tangis Yoon Hee pun meledak tanpa bisa ditahan.

“Yoon, tolong lupakan aku, itu satu-satunya cara agar aku bisa meninggalkanmu…”

Dengan kasar Yoon Hee mendorong Moon untuk melepaskan diri dari pelukannya.

“Jadi, kau mau meninggalkanku?” bisik Yoon Hee dengan susah payah, bercampur dengan isakan.

“Bukannya mau, tapi aku terpaksa… Aku.. harus meninggalkanmu…”

Yoon Hee menggigit bibir bawahnya kuat-kuat hingga terasa perih. Hancur. Semua kepingan mimpi yang sebelumnya mereka rangkai bersama-sama kini berserakan.

“Dan… Jangan lagi memanggilku ‘Moon’…”

“Kau…” Yoon Hee tidak sanggup lagi berkata-kata. Sambil menangis, ia melangkah menjauhi meja yang tadi mereka tempati bersama. Lalu entah dengan kekuatan dari mana, Yoon Hee berlari. Hanya satu hal yang ingin dia lakukan saat ini, pergi. Pergi dari semua ini. Dari semua percakapan yang terasa seperti mimpi buruk tanpa akhir baginya.

Moon hanya dapat memandangi sosok itu berlari menjauh. Rambut Yoon Hee yang tergerai halus melewati bahunya nampak ikut berkibar seiring dengan gerakan kakinya yang membawa gadis itu semakin jauh tak terjangkau. Setengah mati Moon menahan keinginannya untuk berlari, dan meraih kembali gadis itu dalam pelukannya. Membelai lembut rambut yang selalu menguarkan aroma apel, membiarkan tangis gadis itu tumpah di dadanya, membisikkan ribuan kata-kata penghiburan, bahwa semuanya akan baik-baik saja, karena mereka akan tetap bersama.

Tapi tidak bisa, setapak mereka kini mulai berbeda.

Moon terduduk lemas di kursi café itu. Memijit kedua pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut kencang dan menyakitkan. Ia tahu, ada banyak mata yang kini tengah menatap ke arahnya. Entah dengan rasa kasihan, atau mencela. Tanpa mempedulikan bisik-bisik pengunjung café yang sempat menyaksikan drama satu babak gratisan tadi, Moon tercenung memandangi cangkir teh yang belum sempat dihabiskan Yoon Hee. Cairan kecoklatan itu tidak lagi menguarkan asap, tapi masih ada aroma lemon yang tersisa dari sana. Tanpa sadar, telunjuk Moon bergerak menyusuri bibir cangkir. Ada bayangan wajah manis gadis itu, seakan tersenyum menatapnya dari pantulan cahaya yang terbias dalam sisa teh di dalam cangkir itu.

Moon mendesah, meskipun helaan nafas yang terasa berat itu tidak sedikitpun mengangkat beban yang menyesakkan dan menghimpit dadanya. Dia lalu merogoh saku celana, mengeluarkan ponselnya. Masih ada yang harus dia lakukan. Moon memainkan jari di layar ponselnya, dan menemukan nomor yang ia cari. Moon menempelkan ponsel itu di telinganya, menanti, hingga akhirnya nada sambung itu berganti dengan sebuah sapaan.

Yeobosseyo?

Moon mendesah lagi sebelum menyahut. “Sudah selesai. Aku sudah ‘menyelesaikan’ semuanya. Dia sudah pergi.”

Hening sesaat. Lalu suara di seberang menyahut “Baguslah. Lebih cepat memang lebih baik.

Moon menutup mata, lalu menyandarkan punggungnya. “Tepati janjimu…”

Tidak perlu kau minta pun, aku akan melakukannya…”

Moon mengangguk, tanpa menyadari bahwa toh lawan bicaranya itu tidak akan melihat gerakannya tadi. Dia hanya menekan tombol untuk mengakhiri panggilan. Untuk beberapa lama Moon terpekur. Rentetan kejadian tadi seakan berputar-putar terus menerus dalam gerak lambat di benaknya. Moon membuang nafas keras-keras, lalu berdiri.

Hidup harus tetap berjalan. Meskipun semuanya tak akan pernah sama lagi tanpa gadis itu.

Moon melangkah dengan gontai menuju kasir. Tak lama kemudian, dengan langkah yang terasa semakin berat, Moon meninggalkan café. Meninggalkan cerita yang pernah singgah di café itu, tentang kisah yang sebenarnya sama sekali tak ingin ia akhiri seperti ini.

***

Yoon Hee tidak peduli kalau orang-orang yang berpapasan dengannya menatapnya dengan penuh tanda tanya. Aliran air mata ini seakan terus turun tanpa bisa dia cegah. Selama ini dia memiliki bahu untuk tempatnya bersandar setiap kali dia ingin meluruhkan tangisannya. Tapi kali ini, justru pemilik bahu tempatnya bersandar itulah yang meruntuhkan dunia kecil miliknya. Milik mereka berdua. Dulu.

Dengan kasar Yoon Hee menyeka pipinya yang terasa basah oleh air mata.

“Yoon Hee-ya?”

Yoon Hee terdiam sesaat, menghentikan langkah dan menajamkan telinganya. Sebuah harapan muncul ke permukaan.

“Yoon Hee-ya!” panggilan tadi terdengar semakin dekat, seiring dengan suara derap langkah kaki di belakangnya.

***
 --TBC—
Pendek ya? Masih pemanasan aja:p
No feel? Iya, maklum ini ff lama ^^v
PS: TIDAK ADA YANG AKAN MENINGGAL DALAM FF INI (tidak seperti FF yg selalu kubuat sebelumnya:p) jadi tenang saja okeeeeeeeeey ekekkeke XD
*tebar bias KECUALI Jinki* ^^v

-Yoon-



Tidak ada komentar:

Posting Komentar