Pelangi
di Ujung Payung
Awal bulan November ini, terasa menyiksa
bagiku. Hujan kerap kali datang pada sore hari. Seperti saat ini, aku terpaksa
harus menunggu di halte begitu bus yang ku naiki ini berhenti pada porosnya.
Hal kedua yang kusesali adalah, aku tak membawa payung lipat yang biasa kubawa,
juga tak mengenakan jaket seperti biasanya.
Kendaraan besar berwarna biru dan oranye ini berhenti, menurunkan setidaknya
tiga puluh lima orang yang sebelumnya berjejal penuh sesak didalamnya. Aku tak
mau ambil resiko dengan ikut berjejal keluar melewati pintu bus yang sempit.
Menunggu mereka keluar terlebih dahulu, kurasa lebih baik.
Kakiku berhasil menginjak trotoar jalan, lalu sedikit berlari menuju dudukan
halte. Begitupun dengan orang-orang. Kulihat mereka mengeluarkan benda kecil
dari tas yang mereka bawa. Payung lipat. Ah, sepertinya aku harus menunggu
sampai hujan mengalah, lalu membiarkanku pulang.
Aku berdiri menyandar pada tiang penyangga, yang berada di sudut. Begitu mereka
(para penumpang yang lain) pergi dengan payung, dan sebagian nekat menerobos
hujan, tersisa banyak bangku kosong. Tanpa a-b-c-d aku mendudukan pantatku
diatasnya.
Angin berhembus menerobos dinding dadaku, menyentuh ulu hati yang kini
terasa geli. Disini sudah tak ada orang, kecuali laki-laki yang sedari tadi
duduk menyandar pada sandaran bangku. Aku melihat ke arahnya, ia nampak tengah
melamun. Ada luka lebam di beberapa sudut wajahnya. Entah kenapa, bulu kudukku
berdiri menegang melihatnya. Ia memang tengah melamun, namun air mukanya
membentuk kemarahan yang tengah ia pendam.
Jangan-jangan dia salah satu anggota
gengster yang baru saja ikut tawuran, dan kini ia tengah menyusun rencana untuk
..
“Hei, nona!”
Aku terlonjak mendengar suara renyah yang terlontar dari orang di..
dihadapanku? Sejak kapan laki-laki ini duduk di sampingku?!
“Kau melihatku dari tadi? Apa kau berniat membunuhku?” serunya angkuh
“Tidak. M-mianhamnida..” ucapku terbata. Yang benar saja? Dari tadi aku fokus
memperhatikannya?
Ia kembali bersandar, tatapan kosong memenuhi sebagian dari dirinya. Apa yang
ia pikirkan? Oh.. mungkin ia sedang berpikir bagaimana mendapatkan uang untuk
membayar ojek payung.. atau ia sedang berpikir bagaiman cara untuk mencopetku!
Astaga!
Aku menoleh ke arahnya, masih sama.
Ah sudahlah jangan berpikir sejauh itu terhadap orang yang belum kita kenal.
Aku ikut bersandar. Berusaha membuat benteng tebal, untuk melindungiku dari
dinginnya cuaca hari ini. Dan kurasa ini tak berhasil, aku tetap kedinginan.
“hatccihm..” oh ternyata benar.. aku telah cukup kediginan.
“Hidungmu sudah mulai merah. Persis badut, kukira” celetuk laki-laki
disampingku ini.
“Oya?” aku meraba hidung, mencoba melihat melalui sudut mata, yang terarah pada
objek yang ingin kulihat. Ahh tentu saja tidak akan terlihat! “Cuaca hari ini
memang sangat dingin” lanjutku.
“Bodoh. Kenapa tidak memakai jaket?” ucapnya. Kini kutahu matanya terarah
padaku, dan aku rasa luang dudukku menyempit.
“Aku lupa.” Jawabku pendek. Tiba-tiba saja, aku teringat kalimat Yoon Hee
eonnie—kakakku—untuk tidak bicara terlalu banyak pada orang asing.
Ia berdiri, lalu melakukan gerakan peregang otot. Kudengar ia mendesah berat.
Apa-apaan orang ini.
“Baiklah. Pakai jaketku!” ucapnya, ia meletakkan jaketnya di pangkuannku. Lalu
pergi, berlari menerobos sekutu hujan yang turun.
Hah?
***
Tak terasa telah satu minggu, pasca
adegan Jaket Lelaki yang tak dikenal itu. Namun, aku belum bertemu lagi
dengannya. Aku sengaja menghabiskan sepuluh menit Les Tari Balet, satu hari
setelahnya, Lalu membolos dua puluh menit pada Pelajaran tambahan Matematika,
dan.. ah, kenapa laki-laki itu menyita waktuku?! Datanglah, aku berniat
memberikan jaket mu kembali!
Seperti biasa – selama satu mingu
ini – aku duduk di bangku Halte, Entah Tuhan mendengar doa ku, ataukah
laki-laki ini bisa mendengar teriakan hatiku tadi ? aku tidak tahu, yang jelas
adalah aku lega ia berada dihadapanku, sekarang.
Aku tatap Mata coklatnya, lalu
mendelik “Huh! Itu jaketmu” Hardikku seraya melempar jaket kepada si-empunya.
“Kau tahu? Kau telah menyita waktuku, seminggu ini?!”
“Hey, ternyata Jaketku ada padamu?
Pantas, aku mencarinya satu minggu ini.” ucapanya tenang, lalu mengenakan jaket
yang telah kucuci sebelumnya.
Aku memutar bola mata. Apa-apaan
ini? Bukankanh ia yang meminjamkan?
“Terima kasih telah mencucinya. Kau
pake sabun apa? Baunya tidak enak.” Ucapnya, setelah sebelumnya mengendus
bagian bawah kaetiaknya.
“Hah, jinjja… sudahlah aku harus
pergi. Terima Kasih” Ucapku lalu segera pergi dari hadapan si aneh ini.
Tak kusangka, kejadian ini seperti
adegan di dalam drama. Kini ia tengah memegang lenganku, membuatku berhenti
berjalan. Aku menoleh “Ada apa?” tanyaku acuh tak acuh
“Kau mau jadi kekasihku?”
Hah?
***
Seperti ada ribuan Peluru yang
menembus batok kepalaku, apa-apan lelaki ini? Meminta ku untuk jadi kekasihnya?
Lalu dengan tiba-tiba menarik lenganku, sehingga aku kembali terduduk di bangku
Halte.
Diam. Kurasa telah sepuluh menit
berlalu dari kejadian ‘aneh’ tadi tapi, ia tak kunjung bersua. Ia tetap diam
bersama tanganku yang tak kunjung lepas dari genggamannya. Apakah ia mempunyai
masalah? Benakku terus berkonfrontasi.
“Apa kau mempunyai masalah?” Tanyaku
mulai memberanikan diri.
Ia menengok kearahku, lalu sedikit
tersenyum. Dan baru kusadari pria ini tampan!
“Semua orang punya masalah, ya..
begitupun dengan aku.” jawabnya tenang.
“M-mungkin kau seorang psikopat ya?
Hingga kau menyandraku seperti ini?!” Aku kembali bertanya, namun kali ini
suaraku benar-benar tercekat.
“Kalau iya, mungkin kau telah habis
aku perkosa, lalu kubunuh, dan Mayatmu aku mutilasi.” guraunya. Heyy dia sedang
bergurau! Karena setelahnya ia terkekeh sendiri. Persis kakekku, kukira.
Aku merenggut sebal, kulirik jam
tangan mungil di lengan kiriku. Ah sudah terlalu sore, aku harus segera pulang.
“Hey!! Aku harus segera pulang!
Lepaskan tanganku!” Teriakku cempreng, hahaha dia saja sampai meringis
kesakitan di telinganya. Huh Rasakan itu!
“Bisakah pelankan suaramu, nona?”
Ujarnya sambil tersenyum miring. Ia berdiri, mau tak mau aku ikut berdiri “Aku
akan mengantarmu Pulang, Yoon Ra-ssi.”
***
Hah?
Siapa sebenarnya pria ini? Kenapa ia
mengetahui namaku, dan seolah-olah tahu tempat tinggalku. Dengan sekuat tenaga
aku melepaskan tangaku darinya. Berhasil. Dia lalu menatapku, menyengritkan
dahi. Namun sekejap, ia menggenggam tanganku, dan menuntunku berjalan.
“Kenapa kau bisa tahu namaku?”
Tanyaku, penasaran juga.
“Entahlah, aku lupa mengapa aku bisa
tahu namamu.” Ucapnya santai
PLETAKK
Dengan kekuatan penuh aku menjitak
kepalanya, ia terlihat meringis. Memangnya aku peduli? Ia menatapku geram. Aku
tidak akan takut padamu !! Batinku
“Ya! Yoon Ra-ssi, bisakah tangan
nakalmu itu diam? Sebentar lagi hujan akan turun, kalau kita tak segera pulang
ke rumah, kupastikan seluruh tubuhmu akan basah kuyup!” Ucapnya menahan geram.
Wajahnya jadi lucu.
Akhirnya aku menurut, aku ikut
sajalah apa mau orang gila ini. Sepanjang jalan kudengar dia malah ber-monolog
sendiri. Menceritakan bahwa namanya adalah Lee Taemin (itupun kalau aku tidak
salah dengar). Ia duduk di bangku kelas 3 sekolah menengah atas di.. ah aku
lupa nama sekolahnya. Lagi pula siapa yang ingin tahu tentangnya?
Tapi yang membuatku tercengang adalah
ketika dia menceritakan keluarganya, ia becerita seolah tanpa beban.
“...Aku anak Broken Home, Tapi tak
masalah lah.. aku sakit hanya ketika aku berada didalam Rumah. Diluar itu, aku
baik-baik saja bukan?”
***
Tak Terasa hampir satu jam aku berjalan dengannya, Bahkan Rumahku telah
terlihat. Kurasakan ia makin mengeratkan genggaman tengannya di tanganku. Tidak
ingin berpisahkah ia?
“Bukankah ini Rumahmu?”
Aku mengangguk Lemah, masih bingung dengan Segala keanehan Orang bernama Lee
Taemin ini.
“Baiklah, aku pulang. Istirahatlah yang banyak.” Ucapnya lalu pergi membalik
arah dariku. Tanpa kusadari tanganku menahan lenganku, ia menyengritkan dahi.
Aku bertanya
“Bolehkah aku bertanya?”
“Sebagai kekasihku, kau boleh bertanya apapun.” Jawabnya, lalu menyunggingkan
sudut bibirnya. Ahh lagi-lagi senyum mematikan itu! Tapi tak kuhiraukan itu,
aku ingin tetap bertanya, tentangnya, dan tentang diriku sendiri? Entahlah
“Bagaimana bisa kau tahu tentangku?”
“Kau ini kekasihku, wajar saja aku tahu tentangmu. Ada pertanyaan lagi?”
Aku pukul bahunya! Aku jitak kepalanya! Aku cubit hidung bangirnya! Aku cubit
perutnya! Bahkan kalau aku tidak mendengar rintihannya, mungkin aku telah
melemparkan sepatuku kewajahnya.
“Ahh-ahh jangan disitu! Itu sakiiiit..” Teriaknya pada saat aku mencubit bagian
perutnya. Rasakan itu! Aku melepaskan cubitanku di perutnya. Tapi, kulihat raut
wajahnya berubah pucat.
“Cubitanku benar-benar sakit, ya?”
Tanyaku polos
“Ah.. tidak-tidak! Sudah beristirahatlah, aku pulang!” katanya lalu berlalu
meninggalkanku dengan tangan masih memegangi perutnya.
***
‘..Aku seakan dapat meilhat bayangan
pelangi..’
Ucapan Lee Taemin (namja yang BARU KUSADARI serupa sebuah bintang, berkelip dan
membuaikan) kemarin sore terus berputar di otakku, seakan terekam jelas, lalu
dengan indah berputar.
Membuat gelombang tak kentara yang
mengoyak perut. Terhenyak seakan ada sentilan kecil di ulu hati.
‘Dimana?’ Tanyaku, seraya mengikuti arah pandangny.
Rupanya ia menyadari bahwa aku
mengikuti gerak pandangnya, ia menatapku. Lalu tersenyum kecil. Keningku
berkerut, lalu merenggut kesal.
‘Disana..!’ Ucapnya sambil menunjuk entah kemana. Yang kulihat ia menunjuk k earah
gumpalan awan yang mulai menghitam, mulai bersatu dengan beban hujan
masing-masing.
Yahh kemarin sore – sehari setelah adegan cubit-mencubit – Ia mengajakku
bertemu, tepatnya ia menjemputku di rumah. Awalnya aku menolak, coba bayangkan
menghabisakan waktu dengan orang yang kalian anggap psikopat. Tidak terima
kasih. Tapi.. ia mengajaku dengan caranya yang tak biasa, seperti halnya ia
memintaku untuk menjadi kekasihnya, ah aku hanya dapat temenung-ria kala itu.
Namja ‘bintang’ itu terasa aneh, berbeda dari biasanya.
Dan kini, telah kurang lebih dua puluh jam, aku tak bertemu dengannya. Merasa
ada yang kurang juga ternyata. Kemana Taemin? Mengapa tak tersenyum seperti biasanya?
Secerah biasanya?
***
November
Rain
Kubanting pintu kelas yang sudah tak berpenghuni. Merasa kesal dengan guru
olahraga ku, Jam pertama dan kedua jadwal pelajaran hari ini adalah Olahraga.
Pelajaran yang sangat aku benci. Namun, karena Dari tadi pagi hingga kini masih
tetap hujan, Olahraga menjadi sebuah pembelajaran materi tertulis didalam
kelas. Masalahnya adalah, Guru Mata pelajaran Penjaskes ku itu, terus menyidir
tentang murid-murid yang tidak suka ber-olahraga. Tentang SISWI yang ketika
meng-Serve bola saja meleset mengenai kaca lab IPA, dan tidak perlu ditunjuk
siapa orangnya aku akan segera mengaku..
Aku nekat menerobos hujan yang sebenarnya tidak terlalu deras, namun cukup
untuk membasahkuyupkan kepala hingga tubuh bagian bahuku. Ahh aku sudah tidak
peduli, aku ingin segera pulang hari ini!!
Kaki ku yang telah lemas ini menapaki trotoar basah yang bahkan sebagiannya
tergenang air. Sebuah payung lipat berwarna hijau sebenarnya, telah terlipat
rapi dalam tas. Namun, ada bagian pada otak dan hatiku yang mencegahnya,
berharap seseorang memayungiku. Aku Rindu Bintang, di bulan November. Aku
merindukan Lee Taemin.
Suara sepatu beradu dengan genangan air, hingga bunyi decakan timbul
dimana-mana. Nampaknya orang-orang juga lebih memilih bermandi hujan sepertiku.
Aku mempercepat langkah kakiku, ketika kurasa hujan semakin keras menusuk
bagian lenganku yang tak tertutup jaket.
Hingga Aku berhenti. Membentur sosok jangkung yang menghalangi jalanku. Aku
enggan melihatnya, siapapun ini pergilah! Batinku menjerit.
“Hey..! Kenapa kau diam?! Ini hujan, Yoon Ra-ssi!”
Ah.. Suara itu! Suara lembut Taemin yang aku rindukan. Aku yakin ini dia! Tapi
mengapa tangan dan kaki ku kaku?
“Payungi aku..” gumamku pelan, dan
seperti yang kukira ia tak mendegarnya.
“Hey.. peluk aku! Tidak kah kau rindu padaku?” Ucapnya.
Aku mendongak kearahnya, aku ingin sekali memeluk tubuh jangkungnya. Tapi, apa
yang terjadi dengan kaki dan tanganku? Tidak sakit, tapi sulit. Kulihat raut
wajahnya berubah cemas. Ia mengusap lenganku, lalu bertanya dengan suara yang
sedikit tercekat.
“Kau baik-baik saja kan?” Ucapnya pelan, namun terlihat sorot matanya begitu
tulus.
Aku ingin
menangis saat itu juga.
Aku menggeleng lemah, “Bisakah kau peluk aku, sekarang?”
Keningnya tampak berkerut, lalu dengan komando sang alam ia merengkuh tubuhku.
Mendekapku. Menghangatkanku, Hingga aku terlelap dalam dada bidangnya. Yang
kuingat adalah wangi Mint dari tubuhnya.
***
Hidungku mengendus wangi Moccacinno dan saat kubuka mata, secangkir moccacino
telah tersuguh didepan mataku, ditambah dengan kehadiran orang yang ku rindukan
ahir-ahir ini. Ia tersenyum kearahku, kenapa dia? Merasa menang karena telah
berhasil mengambil hatiku?
“Kau tahu? Aku Rindu padamu..” Kataku menghiraukan Moccacino yang baunya telah
menusuk hingga tulang hidungku, dan membangunkan para musisi dalam perut ini.
“Aku tahu,” Katanya Singkat. Lalu beringsut meletakkan Secangkir Moccacino itu diatas
meja kecil samping tempat tidur. Ia lalu membaringkan diri disampingku yang
telah terduduk. “maaf. Maaf telah membuatmu jatuh cinta padaku.”
Apa katanya?!! Menyebalkan! Kupukul bahunya berulang kali, lalu mendelik
kearahnya. “Kau menyebalkan! Aku tidak jatuh cinta padamu!”
“Baiklah. Baiklah, maaf telah membuatmu rindu padaku…”
Aku mengedarkan pandangan kesekeliling. Dimana ini? Rumah siapa tepatnya? “Kita
berada dimana, sekarang?” Gumamku membuat Taemin terduduk lalu merangkul dan
tersenyum ke arahku.
“Kau, coba lihatlah foto besar disana!”
***
Akhir minggu ini, ayah dan ibuku memutuskan untuk berkunjung kerumah nenek di Busan,
kalian tahulah aku pasti akan menolak tinggal sendiri di rumah, sehingga
aku putuskan untuk ikut dengan mereka.
Kini aku tengah ber-packing ria, memasukan semua keperluanku yang akan kubawa
ke Busan, hingga aku mendengar bunyi ponsel yang bergetar heboh diatas tempat
tidurku. Kuambil lalu kubuka Flip-nya tanpa melihat siapa yang menghubungiku.
“Yeobosseyo?” Ucapku atcuh tak acuh.
“Hallo, Nona Han Yoon Ra!”
Teriakan cempreng di sebrang sana membuatku meringis, lalu menjauhkan ponselku
dari telinga. Aku tahu siapa ini! Anak ini benar-benaar tidak ada
kerjaan, bisakah ia tak menggangguku sehari saja?! Aku tahu aku tengah munafik
sekarang, mencoba membantah apa yang sedang kurasakan, mencoba menampik bahwa
hatiku ternyata telah terpikat oleh sosok lain, yang bahkan tak kuharapkan sebelumnya.
“Hey, Yoon Ra-ssi! Kenapa kau diam saja? Sebegitu terpesonnya kah kau dengan suaraku?”
“Hahaha, jinjja… Ada apa?”
“Aku tahu kau tengah sibuk sekarang. Membereskan keperluanmu, untuk pergi ke Busan,
kan? Tapi, bolehkah aku mengganggumu sekali ini saja? Aku janji akan
membiarkanmu tenang setelahnya…”
Apa-apaan Pria ini? Tapi biarlah, bukankah ia telah berjanji tak akan
mengganguku lagi?
“Baiklah…
Cepat katakan ada apa, Taemin-ssi?”
“Aku
mencintaimu. Sungguh… ini….” Sejenak hening, terdengar suara helaan napas di
seberang sana. Ada apa dengan Taemin sebenarnya?
“Maaf
aku harus mengatakan ini… Aku menyayangimu, Yoon Ra-ssi. Jeongmal…”
Terputus. Tanpa terpikir. Sebuah firasat menelusup lewat udara hingga masuk ke
dalam rongga dada. Hey, what’s going on with him?
Kuharap
langit tak akan mengingkari janjinya terhadap awan hujan. Dan kuharap semua
akan tetap berjalan seperti air yang mengalir dari celah botol.
***
Lee Taemin menjemputku. Hari ini ia tampak segar dan tampan, walau ada sedikit
luka lebam baru di pelipis kirinya. Anak ini hobi bertengkar? Entahlah. Ia
tersenyum lebar ke arahku, aku hanya memasang wajah sedatar-datarnya. Anak ini
benar-benar mengganggu, dia tahukan bahwa aku harus pergi esok hari?
Ia meraih lenganku, lalu digenggamnya, bergerak pergi, berjalan mejauh dari
rumahku. Entahlah akan dibawa kemana aku ini.
Setelah tempo hari melihat sebuah foto Taemin, bersama kedua orangtuanya,
benar-benar membuatku tak percaya bahwa laki-laki dihadapanku ini seorang
broken home. Ia terlihat sangat senang di usianya yang kukira 14 tahun, saat
itu.
“Kau pakai bedak apa? Wajahmu terlihat pucat.”
Perkataanya membuatku mau tidak mau menoleh padanya, merenggut kesal, lalu
memukul bahunya. “Aku tidak suka berdandan, dan bedak terutama.” bantahku.
“Hanya memulaskan sedikit bedak tidak termasuk berdandan. Kau sakit?” ia berhenti,
lalu menatapku dengan alis terangkat.
“Tidak. Kita mau kemana?”
Ia terlihat menimbang, wajahnya seolah berfikir keras. Lama sekali anak ini.
“Bagaimana kalau kita ke rumahku?” Tanyanya riang gembira.
“Rumahmu? Aku tidak mau!” jelas saja aku menolak, walau aku yakin pria ini
orang baik, tapi bukan berarti seratus persen percaya padanya.
“Baiklah, kalau begitu kita punya dua tempat tujuan…”
***
“...Meraih bintang itu tidak mudah,
jadi bersyukurlah kau dapat meraihku dengan mudah...”
Ucapannya beberapa saat yang lalu
membuatku geli. Pria bernama Lee Taemin ini dapat berubah menjadi mengerikan,
juga menggelikan. Saat ini kami tengah memakan martabak dengan plastik. Tidak
memakai sendok, apalagi piring. Sebenarnya aku tidak suka makan dengan cara
seperti ini, seperti anak kecil. Tapi mungkin kalian tau, pria ini tidak suka
dibantah. Dan dia memang seperti anak kecil.
Ia mengucap syukur ketika martabak di dalam plastiknya telah tandas, lalu
menatapku sambil tersenyum. Aku menunduk. Tidak kuat ditatap seperti itu.
“Kau, malu?” katanya lalu kulihat ia menyeringai nakal.
“Ya! Aku malu pada diriku sendiri. Bisa-bisanya aku mau ikut denganmu.”
Ia tetap menyeringai, lalu menatap sekelilingnya. Kami memang sedang berada di
sebuah taman kota. Namun sepertinya tempat ini jarang terjamah, karena memang
hanya ada kami berdua disini. Orang-orang lebih banyak berada di atas – Karena
memang taman kota ini memiliki struktur tanah yang landai. Ada sebuah Rumah
pohon, yang beberapa saat yang lalu pula, Taemin sempat mengajakku. Aku mau.
Dan tidak menyesal. Bahkan aku ingin lebih lama
disana, hanya saja pemuda ini
memaksaku turun.
“Kau sudah kenyang?”
“Iya. Kita akan langsung pulang?”
“Kubilang, kita punya dua tempat tujuan, kan?”
Ada kehangatan seperti pelangi yang datang setelah hujan, ada gemercik tujuh
warna cahaya, ketika aku….
…menatap
bola matanya, ketika aku….
….mencium
wangi tubuhnya.
***
Kami turun dari taksi, setelah Taemin mengulurkan sejumlah uang sesuai dengan
angka yang tertera di argometer, dan mengucapkan terimakasih. Aku benar-benar
terkejut saat mendapati diriku tengah berdiri di depan sebuah gedung pencakar
langit, yang bahkan aku tak dapat mengira berapa lantai bangunan yang membangun
gedung ini. Aku tersadar saat jemari Taemin, menuntun langkahku mendekat, eh?
Masuk?! Masuk kedalam gedung berarsitektur mengagumkan ini?!
Begitu masuk, kami disuguhi Arsitektur Lobi bangunan yang, ahh kalian harus
melihatnya sendiri. Taemin menyuruhku duduk di sofa lobi. Menunggunya yang
tengah berbicara dengan seorang perempuan cantik di recepsionist.
Aku menarik napas panjang, tiba-tiba saja nafasku tercekat, entahlah, aku sudah
cukup mendapatkan kejutan-kejutan aneh dari Taemin. Sudah cukup. Aku takut
semakin jatuh cinta, pada sosok lembutnya. Eh? Jatuh cinta? Tidak. Tidak. Maksudku...
“Yoon Ra-ssi? Bisa kita tunggu sebentar? Aku ingin mengenalkanmu pada seseorang.”
Ucapan Taemin jelas saja membuyarkan lamunanku. Aku mendongak melihatnya. Lalu
mengangguk. Ia lalu duduk disampingku, menyadarkan punggungnya pada sandaran
sofa. Ia terlihat cemas, seperti beban di pungggungnya bertambah berat, meski
ia telah berbagi bersama sandaran sofa. Sang benda bisu. Mati. Bagaimana ia
bisa memberitahuku?
“Kita dimana sekarang?” tanyaku pelan.
“Di tempat ayahku bekerja. Aku ingin mengenalkanmu padanya. Kau masih punya
banyak waktu bukan?”
“APA??!” refleks aku menjerit. Siapa yang tidak akan kaget mendapat perlakuan
seperti ini? Demi tuhan! Bawalah pemuda ini hilang bersama hembusan angin, sekarang!
“Yoon Ra-ssi… Bisakah kau pelankan suaramu?” matanya melotot, memperingatkan.
Aku menutup mulut dengan kedua tangan, lalu dengan segera menganggukan kepala.
Ahh, bodohnya aku!
“Jadi?”
“Perkataanku yang mana, yang tidak kau mengerti?” ia menyeringai, tersenyum
miring, lalu mengacak pelan rambutku.
“Dasar gila!” Desisku.
Pelangi adalah bintang, namun bintang
tidak selalu berwujud pelangi, bukan? Pelangi selalu datang ketika hujan telah
memanggilnya, namun apa yang terjadi setelah pelangi datang?
***
Tidak kurang dari lima belas menit kami menunggu, seorang laki-laki paruh baya
muncul dari pintu lift yang telah tersingkap. Berjalan angkuh, memperlihatkan
kekuasaan, dan ketegasan jiwanya. Menggeser setiap debu yang seolah terpana
melihat cahaya yang datang.
Tiba-Tiba ku rasakan genggaman Taemin pada lenganku menguat, air mukanya
berubah tegang, dapat kulihat semburat garis merah tipis di pipi putihnya. Ia
menghembuskan nafas berat, begitu sang laki-laki paruh baya tiba di hadapan
kami. Mereka sama-sama tersenyum kaku. Taemin dengan kelembutannya, dan
Laki-Laki itu dengan Ketegasannya. Ada kerinduan dari sorot mata Taemin.
“Ada apa?” Laki-Laki paruh baya itu bertanya dengan nada tegas. Aku sampai
menciut dibuatnya.
“Yoon Ra-ssi… Ini Ayahku. Bisakah kau memperkenalkan diri?” Aku melongok.
Apa-apaan Taemin ini! Aku.. aku.. aku sama sekali tidak tahu apa yang harus
kuperbuat. Aku mengulurkan tangan, berharap segera disambut, namun...
“Sudahlah, jangan terlalu banyak intermezzo. Bukankah kau tahu betul ayahmu ini
sangat sibuk! Cepat katakan apa yang ingin kau bicarakan!” Salak sang
laki-laki paruh baya ini – yang kemudian kutahui sebagai ayah Taemin – dengan
nada mendesis menahan ... Emosi? Entahlah.
Taemin
menarik napas “Ini Han Yoon Ra, Ayah. Gadisku. Aku rasa ayah perlu mengenal
kekasih anaknya” Ucapnya Santai.
Aku melongok, benar-benar tidak menyangka Taemin akan berkata demikian. Darahku
serasa berdesir melewati kuku jari tangan, lalu terjun bebas kelantai. Jemari Taemin
masih setia bertaut dengan jariku, yang kini terasa dingin.
“Apa?” Ayah Taemin Berdesis seram “Mworago? (apa yang kau katakan?!)”
Aku terkejut, bahkan hingga terlonjak mundur, namun Taemin malah membawaku
mendekat ke arah ayahnya. Ia tersenyum miris, lalu menyeringai menyebalkan. Ia
mempererat genggamannya padaku.
“Adakah perkataanku yang kurang jelas?”
“Kau!!”
“Maaf, aku ini anakmu, bukan saudara apalagi tetanggamu. Salahkah jika aku
hanya ingin berbagi?” Mereka Diam. Aku masih bingung dengan duduk perkaranya.
Dan untuk apa aku disini? “Berbagi dengan seorang ayah yang sangat dicintai
anaknya. Salah?” lanjutnya lirih.
“Aku hanya ingin bicara pada ayah. Siapa tahu kalau ini adalah kesempatan
terakhirku bertemu denganmu. Aku hanya ingin bilang, terima kasih. Untuk waktu,
dan tenaga yang ayah berikan untuk menjaga den membesarkanku. Aku hanya ingin
berterimakasih atas segala ... kasih sayangmu… Ayah..” Taemin menunduk,
membungkukkan badannya beberapa detik, kurasakan genggamannya mengendur. Aku
menahan bahunya.
“Dan aku hanya ingin bilang, tolong sayangi Yoon Ra seperti ayah menyayangiku,
dulu..” Taemin memandangiku. Wajahnya pucat. “Kau tidak usah khawatir, ayahku
akan menjagamu, nanti,” Matanya kembali beralih pada batu karang besar dan
kokoh didepan kami. Ekspressinya tidak terbaca.
Mengapa pelangi selalu ingkar untuk
datang setelah hujan usai? Ia tidak sedih, hanya kecewa karena ternyata hujan
berbagi dengan warna pelangi yang lain.
***
Wajah Taemin semakin pucat, ketika kami sampai di teras rumahku. Tangannya
tetap tersangga di perut.
Apakah ia
lapar?
“Taemin?”
“Hm?”
Aku beralih berdiri di hadapannya. Seolah menghadang. Ia tersenyum kecil
melihatku berkacak pinggang.
“Ada apa?” tanyanya lembut. Aku menurunkan tolakan pinggangku. Lalu menuntun
dia masuk dan duduk di kursi teras. Kurasa ia tersenyum.
Kami duduk bersebelahan. Wajah Taemin masih terlihat pucat, ingin sekali aku
membelai pipi putih pemuda itu, tapi tanganku seolah kaku.
“Aku sudah di teras rumahmu. Bolehkah aku masuk kedalam? Aku ingin bertemu
dengan kedua orangtuamu.”
Aku langsung menggeleng kuat-kuat. Lalu cemberut super jelek. “Wajahmu pucat
sekali.”
Ia mendelik, lalu tersenyum miring. Tangannya menaut jari-jariku. Sedangkan
sebelah tangannya yang lain masih memegangi perut. “Seharusnya aku yang bilang,
kalau wajahmu sekarang sangat jelek. Bibirmu pias.”
“Aku tidak apa-apa. Pasti kau yang kenapa-napa?” Tuduhku. Aku memang tidak merasakan
nyeri dimanapun. Hanya saja cuaca yang dingin membuatku kedinginan.
Ia menghela napas, lalu memberiku secarik kertas. Kulihat isinya adalah sebuah
alamat rumah. Dan ketika kutanya, memang benar, itu alamat rumahnya sendiri.
“Begitu kau tiba lagi di rumah. Bisakah kau datang ke rumahku? Ada sesuatu yang
ingin aku berikan.”
“Kau harap aku akan mau?” Ucapanku dibuat seketus mungkin, ia hanya tersenyum
kecil.
“Tidak peduli. Aku akan menunggumu.”
Dia memberitahu seperti sebuah angin yang membawa udara. Selintas. Hingga kala
itu, aku tak tau apa yang dikatakannya.
***
Aku sering melihat bayanganmu
dibawah matahari.
Tapi aku tidak pernah melihatmu
ditengah hujan
Kau datang setelahnya
Setelah badai itu mereda,
Seolah berkata bahwa kau tak bisa
selalu ada disampingku
Ada kalanya kau harus pergi tanpa ku
ketahui,
Dan ada kalanya kau datang tanpa
kuminta.
Kau ajaib, dengan ketujuh warnamu.
Deretan tulisan yang baru saja selesai
kutulis pada sehelai tissue bersih, yang awalnya ku pegang kesal. Aku memang
suka menulis, hanya saja aku terlalu malas untuk memulai hobiku itu menjadi
sebuah profesi. Lagipula aku tidak ingin menjadi seorang penulis, Aku lebih
ingin menjadi seorang Pelukis. Pelukis yang melukis dengan hati dan
perasaannya, seperti dulu, ketika pertama kali aku menggoreskan kuas diatas
canvas dengan pelangi sebagai objeknnya. Aku rindu kala itu.
Aku memandang ke sekeliling, sudah mulai ramai. Oh ya, aku sedang berada di
sebuah cafe di Busan, bersama Han Yoon Hee, Kakak sepupuku. Berhubung Yoon Hee
sedang pamit ke toilet, Bisa kau lihat kalau sekarang aku tengah duduk sendiri
di sudut Cafe. Tiba-tiba saja aku teringat pada Taemin. Pemuda yang sangat
aneh, namun terlihat sangat baik. Bukan hanya terlihat, Aku malah telah
merasakan kebaikannya.
Dia selalu tersenyum, walau terkadang aku selalu melihat senyum palsu darinya.
Dia mungkin telah membohongiku, atau malah telah membohongi dirinya sendiri.
Tapi, Satu yang aku yakini, Dia tulus.
“Ah, apa aku terlalu lama ke toilet?”
Suara Yoon Eonnie menyentakan lamunanku. Aku tersenyum kearahnya, Lalu
menggeleng pelan.
“Sambil menunggu makanan datang,” ia tersenyum genit, sambil menaik turunkan
alisnya, persis seperti kami kecil dulu, “bagaimana kalau kau ceritakan
kehidupanmu di Seoul? Bukankah semalam aku sudah bercerita? Sekarang gantian,
aku ingin mendengar ceritamu.”
Aku menunduk mendengar permintaan Yoon Eonnie. Jujur saja yang terlintas di
otakku untuk diceritakan padanya saat ini hanyalah tentang Taemin, dan segala
keajaibannya.
“Beberapa hari yang lalu, Aku bertemu dengan seorang pemuda di halte. Saat itu
hujan, Dan dia memberikan sesuatu untuk melindungiku, ...”
Dan mulailah aku bercerita. Tentang sosok Lee Taemin yang ku kenal kurang dari lima
bulan ini.
Setelah aku selesai bercerita, kulihat Yoon Eonnie hanya mengeryitkan dahi.
Mungkin ia juga sama terkejutnya, mendengar ada manusia seaneh seajaib
Lee Taemin.
“Apakah kau tidak merasa kalau dia bukan orang baru untukmu?”
Mendengar pertanyaanya aku hanya menyengritkan dahi, sama sekali tidak mengerti
apa yang ia tanyakan. Yoon Hee meneggakan badannya, lalu merapatkan tubuh ke arahku
meski terhalang oleh meja.
“Maksudku, apakah kau pernah mengenal dia sebelumnya?”
“Kurasa tidak.”
“Tapi, kurasa kau harus mengingat kembali. Bisa saja kau tidak ingat dia, tapi
dia masih mengingatmu.”
“Jika begitu, mengapa dia tidak memberitahuku saja?”
“Entahlah.”
***
Seminggu berlalu, aku sudah berada kembali ke rumah. Sedikit kecewa karena
harus berpisah dengan Yoon Hee Eonnie. Gadis itu selalu membuatku senang dengan
caranya sendiri, apalagi aku adalah seorang anak tunggal, Ia telah kuanggap
sebagai kakakku sendiri.
Aku bergerak kearah Laci meja rias yang terletak disudut kamarku. Disana
tersimpan secarik kertas yang tempo hari diberikan Taemin padaku. Apakah aku
berniat memenuhi permintaannya? Entahlah. Yang ingin aku lakukan sekarang
adalah benar-benar meraba hatiku sendiri, apakah Taemin ikut teraba olehku?
Atau mungkin dia tak bisa teraba, karena ia hanya terasa dan memancarkan
sedikit cahayanya disana. Dihatiku. Tidak banyak, namun cukup untukku melihat
bayangan dirinya, seperti ketika pelangi berusaha menampakan diri setelah
hujan, ia bersaing dengan matahari. Meskipun ia ternyata nampak dimata, tapi
tak lama, Seakan waktu ikut kembali berkuasa.
Aku tersenyum melihat tulisan tangannya yang sedikit berantakan, persis seperti
tulisanku ketika masih duduk di bangku sd kelas 5. Kemudian aku mengamati
deretan kata yang ditulisnya, seolah kembali teringat bagaimana perkataannya,
tentang dirinya yang akan tetap menungguku. Jujur saja aku takut dipermainkan.
Dipermainkan oleh kebaikannya sendiri.
Tapi sekarang aku bisa apa? Melawan keinginanku sendiri untuk bertemu pemuda
itu? Sepertinya hampir tidak mungkin, karena sekarang aku mulai berusaha
mencarinya.
***
Dan, disinilah aku sekarang. Di depan sebuah rumah besar dan bergaya klasik.
Aku ingat rumah ini. Ini rumah Taemin. Dan aku yakin pemuda itu tengah
menungguku saat ini.
Jemariku menyentuh bel, di dekat pagar. Seorang satpam bertubuh jangkung
dan kekar menghampiriku. Kulayangkan senyum untuk bapak baik hati yang tidak
membiarkanku menuggu lama di depan pagar yang menjulang ini.
“Ada yang bisa saya bantu, Nona?”
“Apakah pemilik rumah ini bernama Lee Taemin?”
“Oh, Bukan. Tapi, Tuan Muda Lee adalah anak dari pemilik rumah ini.”
Yaaa, maksudku kan juga begitu. Segera kuanggukan kepala, mengamini apa yang
dikatakan si satpam.
“Apakah nama nona, Han Yoon Ra?”
Aku terlonjak, kenapa bisa satpam ini tahu namaku? Apakah Taemin memberitahunya?
Sejenak aku lupa, kalau aku tidak
cukup mengerti jalan pikiran pemuda itu.
Tanpa menunggu jawabanku, Satpam jangkung tadi membimbingku masuk ke dalam
rumah. Masih tidak mengerti, tapi aku mengikuti.
Aku sampai di depan sebuah pintu. Aku kira ini kamar. Apa Taemin ada disini?
“Silahkan masuk, Nona. Orang yang anda cari ada di dalam.”
Pria yang akhirnya ku ketahui berusia pertengahan 40 tahun itu pergi. Ia
menyuruhku menemui Taemin di sini. Di tempat ini.
Dengan segenap keraguan yang ada dalam diriku aku mulai meraih kenop pintu.
Tidak terkunci.
Kaki ku dengan lancangnya mulai merangsek masuk ke dalam, seakan tidak bisa
kompromi dengan keraguannku.
Baru beberapa langkah aku berjalan ke dalam ruangan –yang teryata adalah kamar
Bintang – itu. Dan tepat di langkah ke tujuh, aku melihatnya. Melihat laki-laki
yang tengah ku cari.
Taemin terbaring di atas tempat tidurnya. Aku ingat, akupun pernah terbaring di
sana. Matanya terpejam, napasnya teratur dan ada selang infus yang terhubung
dengan tubuhnya melalui punggung tangan.
Aku semakin tidak mengerti.
Kakiku dengan otomatis berjalan mendekat. Semakin dekat, aku semakin dapat
melihat wajahnya. Pucat dan tampak lelah. Pemuda itu selalu tampak pucat. Apakah
ia tidak apa-apa?
Entah bagaimana, langkahku ternyata membuatnya terbangun. Matanya perlahan
terbuka, ketika ia menangkap sosok ku di sana aku hanya bisa nyengir tak
berdosa. Lagi pula apa yang bisa aku lakukan?
Aku bertahan pada posisiku. Seketika diam. Tapi kemudia aku melihat gerakan
bibirnya. Ia sedang berusaha berbicara padaku?
Aku mendekatinya, mendekatkan telingaku pada bibirnya yang masih
menutup-terbuka. Aku mendengarnya. Suaranya lemah sekali, tapi aku tersenyum
juga akhirnya.
“Kau menepati janji.”
Aku tersenyum kearahnya, lalu kembali menegakan badan. Tubuhku terduduk di
bangku yang tepat berada di sisi tempat tidur. Melihat obat-obat di atas nakas
yang sama sekali tidak ku kenal.
“Sejak kapan kau sakit?”
Taemin berusaha menjawab, tapi sepertinya ia kesulitan sehingga aku
menghentikannya.
“Kalau ada yang ingin kau katakan, beri isyarat saja. Arrachi? Setelahnya aku
akan mendengarkanmu.”
Taemin berkedip satu kali.
Ternyata pemuda itu langsung menyentuh lenganku pelan. Ku jawab, “Apa?”
Kemudia ia menyuruhku mendekatkan kembali telinga ke bibirnya. Sama sekali
tidak ku perhitungkan sebelumnya, ia mengecup daun telingaku dengan lembut.
Rasanya geli dan aku harus marah saat ini.
Tunggu, marah?
Sebaiknya kutunggu sampai ia sembuh dulu.
“Kauuuuuu iniiiiiiiiiiii!” Akhirnya aku hanya menggeram kesal. Dan yang kulihat
saat ini adalah Taemin tengah menahan tawa.
***
Sialan.
Ternyata kondisi Taemin tidak seburuk yang kubayangkan ataupun seburuk yang ia
perlihatkan. Anak itu masih dapat tertawa setelah berhasil mengecup telingaku.
Dan kau tahu saat ini? kami tengah duduk berdua di balkon. Memandang halaman
rumahnya yang telah dirancang sedemikian indahnya.
Taemin bilang ia hanya sakit panas biasa, dan sempat pingsan kemarin malam,
apalagi Taemin tidak mau makan beberapa hari ini, ia bilang mual. Ada-ada saja
bukan?
Anak itu juga memberitahuku kalau ia memberitahu semua satpam dan pesuruh
rumahnya yang lain tentang gadis bernama Han Yoon Ra yang tengah ditunggunya.
Aku hanya bisa meringis mendengar hal itu.
“Aku pikir kau tidak akan pernah memenuhi permintaanku.”
“Aku pikir juga begitu.”
Kami duduk tanpa alas di lantai balkon. Tangan Taemin masih terhubung dengan
selang infusan. Aku memapahnya tadi.
“Jadi, apa yang ingin kau katakan padaku?”
Kurasakan tangan dingin Taemin menyentuh jemariku. Aku berniat menepis, tapi ku
urungkan.
“Sebenarnya, beberapa bulan terakhir aku merasakan hal yang aneh dengan
perutku. Waktu itu sore, dan aku pergi ke dokter sekedar untuk memecahkan
keanehanku sendiri. Ternyata usus buntu.” Ia tidak melihatku ketika ia
menceritakan hal yang masih tidak aku mengerti.
“Akhirnya aku dioperasi, tanpa sepengetahuan siapapun, termasuk ayahku sendiri.
Jahitan di perutku masih ada dan berbekas, bahkan bekasnya sekarang masih
terasa perih.”
Aku tahu mengapa dulu ia begitu kesakitan ketika aku mencubit perutnya.
Mendadak, ada segumpal perasaan bersalah yang menghantamku.
“Bisakah kau langsung ke inti pembicaraan?”
“Beberapa hari setelah operasiku selesai, aku pulang sendiri. Saat tengah
menunggu bis di halte, orang-orang berhamburan berebut masuk, sedangkan aku
terdorong kemana-mana saat itu. Dan di sanalah aku melihatmu untuk yang pertama
kalinya.”
“Kau salah! Kita bertemu saat hujan empat bulan yang lalu.”
Taemin memberenggut kesal, menggeretakan gigi, lalu berlaku seolah akan
menerkamku. “Kau mungkin tidak ingat padaku, tapi wajah culunmu saat itu masih
melekat di otakku!” geram Taemin. “Kau tidak ikut berjejal ke dalam bis, tapi
menunggunya sedikit lenggang, lalu mulai masuk, dan entah kau sadar atau tidak,
kau menuntunku masuk ke dalam. Kau tahu waktu itu aku tengah menahan sakit.”
Keningku berkerut merasa ini semua sangat aneh, seperti semua hal yang terjadi
satu bulan ini dengannya tidak cukup aneh untuk diuraikan.
“Sejak saat itu, aku selalu menunggumu di halte. Setiap pulang sekolah kau selalu
mengenakan baju hangat, atau kau selalu membawa payung lipat di dalam tasmu.
Tapi hari itu ada. Kau lupa, dan Tuhan menakdirkan kau untukku.”
Aku menelan ludah. Benar-benar tidak menyangka kalau Taemin bisa menjadi
stalker. Ini sedikit keren.
“Aku tetap tidak ingat!”
“Ya terserah, aku hanya mengingatkanmu. Toh sekarang kau sudah menjadi miliku.
Kau bisa apa memang?”
Tiba-tiba bayangan Yoon Hee Eonnie terlintas di pikiranku. Benar apa yang
dikatakannya tempo hari. Aku memang pernah bertemu anak ini sebelumnya.
Meskipun aku tidak ingat, tapi aku yakin Taemin tidak berbohong.
Kami banyak berbicara hari itu. Orang tua Taemin baru bercerai dua tahun yang
lalu. Ayahnya adalah workaholic. Setelah ibunya tidak lagi disampingnya, Taemin
terlantar. Taemin ingin kembali pada ibunya, tapi anak itu sama sekali tidak
tahu dimana beliau sekarang.
Aku terhenyak ketika anak itu berbicara, “Aku tetap sayang Ayahku, meskipun ia
menciumku dengan pisau.” Aku pikir itu tidak benar, tapi setelah Taemin
menunjukan bekas sayatan pisau di dekat lehernya, aku baru percaya. Aku memang
sudah mengira bahwa Taemin sakit. Luar-dalam. Tapi aku senang masih bisa
melihatnya tersenyum seperti ini.
Satu bulan mengenal pemuda ini, aku sadar kalau ia sedang berusaha menjadi
egois setelah sekian lama ia tidak mementingkan sakit yang ia rasakan sendiri.
Seperti tempo yang lalu, ketika kami menemui Ayahnya di kantor. Taemin terlihat
ingin membangkang. Tapi anak itu masih terjebak dalam kepatuhannya sendiri.
“Aku pikir sudah tidak ada lagi orang yang menyayangiku. Termasuk ayah dan
ibuku sendiri. Tapi...”
“Tapi?”
“Tapi aku ingin merubah semuanya. Akan ku ijinkan jika kau mau menyayangiku.”
“Hah?”
“Aku butuh kau, Han Yoon Ra. Dan aku harap kau juga membutuhkanku.”
“Baiklah.”
“Apanya yang baiklah?”
“Anggap saja aku langit malam. Aku akan membutuhkan bintang untuk membuatku
terlihat menawan. Aku akan membutuhkanmu untuk membuatku menawan dengan senyum
yang harus kau ciptakan.”
“Jangankan tersenyum. Akan ku buat kau tidak bisa berhenti tertawa mulai saat
ini!”
“APAAA?!”
***
Pelangi tetap terlihat setelah hujan
Ia terlihat seperti kecil dan hanya
berbayang
Tapi apakah kau tahu ujung pelangi?
Seperti kebahagian yang diberikan
tuhan untuk kita,
Kita tidak pernah tahu sampai kapan
kebahagian itu akan tetap bertahan
Seperti kau yang tak menemukan ujung
pelangi
Ujung adalah akhir
Akhir berarti selesai
Kita tidak pernah tahu kapan kau dan
aku akan berakhir.
-FIN-
Eaaaaa, ANEH SEPERTI BIASAAAAAAA
*teriak frustasi*
please leave comment. aku
butuh banget itu lhoooooooo. Kritik, saran, curhatan, sok eta mah tulis aja,
aku pasti baca kok :D
Yoon Ra-ya, Hope you like it.
Laaaaaaaaaaaaaaaf ya
_ YOON _
Tidak ada komentar:
Posting Komentar