Halaman

Selasa, 25 September 2012

PELANGI DI UJUNG PAYUNG






Pelangi di Ujung Payung


           Awal bulan November ini, terasa menyiksa bagiku. Hujan kerap kali datang pada sore hari. Seperti saat ini, aku terpaksa harus menunggu di halte begitu bus yang ku naiki ini berhenti pada porosnya. Hal kedua yang kusesali adalah, aku tak membawa payung lipat yang biasa kubawa, juga tak mengenakan jaket seperti biasanya.

          Kendaraan besar berwarna biru dan oranye ini berhenti, menurunkan setidaknya tiga puluh lima orang yang sebelumnya berjejal penuh sesak didalamnya. Aku tak mau ambil resiko dengan ikut berjejal keluar melewati pintu bus yang sempit. Menunggu mereka keluar terlebih dahulu, kurasa lebih baik.

         Kakiku berhasil menginjak trotoar jalan, lalu sedikit berlari menuju dudukan halte. Begitupun dengan orang-orang. Kulihat mereka mengeluarkan benda kecil dari tas yang mereka bawa. Payung lipat. Ah, sepertinya aku harus menunggu sampai hujan mengalah, lalu membiarkanku pulang.

        Aku berdiri menyandar pada tiang penyangga, yang berada di sudut. Begitu mereka (para penumpang yang lain) pergi dengan payung, dan sebagian nekat menerobos hujan, tersisa banyak bangku kosong. Tanpa a-b-c-d aku mendudukan pantatku diatasnya.

       Angin berhembus menerobos dinding dadaku, menyentuh ulu hati yang kini terasa geli. Disini sudah tak ada orang, kecuali laki-laki yang sedari tadi duduk menyandar pada sandaran bangku. Aku melihat ke arahnya, ia nampak tengah melamun. Ada luka lebam di beberapa sudut wajahnya. Entah kenapa, bulu kudukku berdiri menegang melihatnya. Ia memang tengah melamun, namun air mukanya membentuk kemarahan yang tengah ia pendam.

Jangan-jangan dia salah satu anggota gengster yang baru saja ikut tawuran, dan kini ia tengah menyusun rencana untuk ..

         “Hei, nona!”

          Aku terlonjak mendengar suara renyah yang terlontar dari orang di.. dihadapanku? Sejak kapan laki-laki ini duduk di sampingku?!

          “Kau melihatku dari tadi? Apa kau berniat membunuhku?” serunya angkuh

          “Tidak. M-mianhamnida..” ucapku terbata. Yang benar saja? Dari tadi aku fokus memperhatikannya?

           Ia kembali bersandar, tatapan kosong memenuhi sebagian dari dirinya. Apa yang ia pikirkan? Oh.. mungkin ia sedang berpikir bagaimana mendapatkan uang untuk membayar ojek payung.. atau ia sedang berpikir bagaiman cara untuk mencopetku! Astaga!

           Aku menoleh ke arahnya, masih sama.

           Ah sudahlah jangan berpikir sejauh itu terhadap orang yang belum kita kenal. Aku ikut bersandar. Berusaha membuat benteng tebal, untuk melindungiku dari dinginnya cuaca hari ini. Dan kurasa ini tak berhasil, aku tetap kedinginan.

          “hatccihm..” oh ternyata benar.. aku telah cukup kediginan.

          “Hidungmu sudah mulai merah. Persis badut, kukira” celetuk laki-laki disampingku ini.

          “Oya?” aku meraba hidung, mencoba melihat melalui sudut mata, yang terarah pada objek yang ingin kulihat. Ahh tentu saja tidak akan terlihat! “Cuaca hari ini memang sangat dingin” lanjutku.

         “Bodoh. Kenapa tidak memakai jaket?” ucapnya. Kini kutahu matanya terarah padaku, dan aku rasa luang dudukku menyempit.

         “Aku lupa.” Jawabku pendek. Tiba-tiba saja, aku teringat kalimat Yoon Hee eonnie—kakakku—untuk tidak bicara terlalu banyak pada orang asing.

          Ia berdiri, lalu melakukan gerakan peregang otot. Kudengar ia mendesah berat. Apa-apaan orang ini.

         “Baiklah. Pakai jaketku!” ucapnya, ia meletakkan jaketnya di pangkuannku. Lalu pergi, berlari menerobos sekutu hujan yang turun.

         Hah?

***

Tak terasa telah satu minggu, pasca adegan Jaket Lelaki yang tak dikenal itu. Namun, aku belum bertemu lagi dengannya. Aku sengaja menghabiskan sepuluh menit Les Tari Balet, satu hari setelahnya, Lalu membolos dua puluh menit pada Pelajaran tambahan Matematika, dan.. ah, kenapa laki-laki itu menyita waktuku?! Datanglah, aku berniat memberikan jaket mu kembali!

Seperti biasa – selama satu mingu ini – aku duduk di bangku Halte, Entah Tuhan mendengar doa ku, ataukah laki-laki ini bisa mendengar teriakan hatiku tadi ? aku tidak tahu, yang jelas adalah aku lega ia berada dihadapanku, sekarang.

Aku tatap Mata coklatnya, lalu mendelik “Huh! Itu jaketmu” Hardikku seraya melempar jaket kepada si-empunya. “Kau tahu? Kau telah menyita waktuku, seminggu ini?!”

“Hey, ternyata Jaketku ada padamu? Pantas, aku mencarinya satu minggu ini.” ucapanya tenang, lalu mengenakan jaket yang telah kucuci sebelumnya.

Aku memutar bola mata. Apa-apaan ini? Bukankanh ia yang meminjamkan?

“Terima kasih telah mencucinya. Kau pake sabun apa? Baunya tidak enak.” Ucapnya, setelah sebelumnya mengendus bagian bawah kaetiaknya.

“Hah, jinjja… sudahlah aku harus pergi. Terima Kasih” Ucapku lalu segera pergi dari hadapan si aneh ini.

Tak kusangka, kejadian ini seperti adegan di dalam drama. Kini ia tengah memegang lenganku, membuatku berhenti berjalan. Aku menoleh “Ada apa?” tanyaku acuh tak acuh

“Kau mau jadi kekasihku?”

Hah?

***

Seperti ada ribuan Peluru yang menembus batok kepalaku, apa-apan lelaki ini? Meminta ku untuk jadi kekasihnya? Lalu dengan tiba-tiba menarik lenganku, sehingga aku kembali terduduk di bangku Halte.

Diam. Kurasa telah sepuluh menit berlalu dari kejadian ‘aneh’ tadi tapi, ia tak kunjung bersua. Ia tetap diam bersama tanganku yang tak kunjung lepas dari genggamannya. Apakah ia mempunyai masalah? Benakku terus berkonfrontasi.

“Apa kau mempunyai masalah?” Tanyaku mulai memberanikan diri.

Ia menengok kearahku, lalu sedikit tersenyum. Dan baru kusadari pria ini tampan!

“Semua orang punya masalah, ya.. begitupun dengan aku.” jawabnya tenang.

“M-mungkin kau seorang psikopat ya? Hingga kau menyandraku seperti ini?!” Aku kembali bertanya, namun kali ini suaraku benar-benar tercekat.

“Kalau iya, mungkin kau telah habis aku perkosa, lalu kubunuh, dan Mayatmu aku mutilasi.” guraunya. Heyy dia sedang bergurau! Karena setelahnya ia terkekeh sendiri. Persis kakekku, kukira.

Aku merenggut sebal, kulirik jam tangan mungil di lengan kiriku. Ah sudah terlalu sore, aku harus segera pulang.

“Hey!! Aku harus segera pulang! Lepaskan tanganku!” Teriakku cempreng, hahaha dia saja sampai meringis kesakitan di telinganya. Huh Rasakan itu!

“Bisakah pelankan suaramu, nona?” Ujarnya sambil tersenyum miring. Ia berdiri, mau tak mau aku ikut berdiri “Aku akan mengantarmu Pulang, Yoon Ra-ssi.”

***

Hah?

Siapa sebenarnya pria ini? Kenapa ia mengetahui namaku, dan seolah-olah tahu tempat tinggalku. Dengan sekuat tenaga aku melepaskan tangaku darinya. Berhasil. Dia lalu menatapku, menyengritkan dahi. Namun sekejap, ia menggenggam tanganku, dan menuntunku berjalan.

“Kenapa kau bisa tahu namaku?” Tanyaku, penasaran juga.

“Entahlah, aku lupa mengapa aku bisa tahu namamu.” Ucapnya santai

PLETAKK

Dengan kekuatan penuh aku menjitak kepalanya, ia terlihat meringis. Memangnya aku peduli? Ia menatapku geram. Aku tidak akan takut padamu !! Batinku

“Ya! Yoon Ra-ssi, bisakah tangan nakalmu itu diam? Sebentar lagi hujan akan turun, kalau kita tak segera pulang ke rumah, kupastikan seluruh tubuhmu akan basah kuyup!” Ucapnya menahan geram. Wajahnya jadi lucu.

Akhirnya aku menurut, aku ikut sajalah apa mau orang gila ini. Sepanjang jalan kudengar dia malah ber-monolog sendiri. Menceritakan bahwa namanya adalah Lee Taemin (itupun kalau aku tidak salah dengar). Ia duduk di bangku kelas 3 sekolah menengah atas di.. ah aku lupa nama sekolahnya. Lagi pula siapa yang ingin tahu tentangnya?

Tapi yang membuatku tercengang adalah ketika dia menceritakan keluarganya, ia becerita seolah tanpa beban.

“...Aku anak Broken Home, Tapi tak masalah lah.. aku sakit hanya ketika aku berada didalam Rumah. Diluar itu, aku baik-baik saja bukan?”

***

           Tak Terasa hampir satu jam aku berjalan dengannya, Bahkan Rumahku telah terlihat. Kurasakan ia makin mengeratkan genggaman tengannya di tanganku. Tidak ingin berpisahkah ia?

           “Bukankah ini Rumahmu?”

            Aku mengangguk Lemah, masih bingung dengan Segala keanehan Orang bernama Lee Taemin ini.

           “Baiklah, aku pulang. Istirahatlah yang banyak.” Ucapnya lalu pergi membalik arah dariku. Tanpa kusadari tanganku menahan lenganku, ia menyengritkan dahi. Aku bertanya

           “Bolehkah aku bertanya?”

           “Sebagai kekasihku, kau boleh bertanya apapun.” Jawabnya, lalu menyunggingkan sudut bibirnya. Ahh lagi-lagi senyum mematikan itu! Tapi tak kuhiraukan itu, aku ingin tetap bertanya, tentangnya, dan tentang diriku sendiri? Entahlah

           “Bagaimana bisa kau tahu tentangku?”

           “Kau ini kekasihku, wajar saja aku tahu tentangmu. Ada pertanyaan lagi?”

           Aku pukul bahunya! Aku jitak kepalanya! Aku cubit hidung bangirnya! Aku cubit perutnya! Bahkan kalau aku tidak mendengar rintihannya, mungkin aku telah melemparkan sepatuku kewajahnya.

           “Ahh-ahh jangan disitu! Itu sakiiiit..” Teriaknya pada saat aku mencubit bagian perutnya. Rasakan itu! Aku melepaskan cubitanku di perutnya. Tapi, kulihat raut wajahnya berubah pucat.

“Cubitanku benar-benar sakit, ya?” Tanyaku polos

           “Ah.. tidak-tidak! Sudah beristirahatlah, aku pulang!” katanya lalu berlalu meninggalkanku dengan tangan masih memegangi perutnya.

***

            ‘..Aku seakan dapat meilhat bayangan pelangi..’

            Ucapan Lee Taemin (namja yang BARU KUSADARI serupa sebuah bintang, berkelip dan membuaikan) kemarin sore terus berputar di otakku, seakan terekam jelas, lalu dengan indah berputar.

Membuat gelombang tak kentara yang mengoyak perut. Terhenyak seakan ada sentilan kecil di ulu hati.

            ‘Dimana?’ Tanyaku, seraya mengikuti arah pandangny.

            Rupanya ia menyadari bahwa aku mengikuti gerak pandangnya, ia menatapku. Lalu tersenyum kecil. Keningku berkerut, lalu merenggut kesal.

           ‘Disana..!’ Ucapnya sambil menunjuk entah kemana. Yang kulihat ia menunjuk k earah gumpalan awan yang mulai menghitam, mulai bersatu dengan beban hujan masing-masing.

            ‘Aku tidak melihat apa-apa disana.’ gumamku masih memperhatikan arah telunjuknya.

            Yahh kemarin sore – sehari setelah adegan cubit-mencubit – Ia mengajakku bertemu, tepatnya ia menjemputku di rumah. Awalnya aku menolak, coba bayangkan menghabisakan waktu dengan orang yang kalian anggap psikopat. Tidak terima kasih. Tapi.. ia mengajaku dengan caranya yang tak biasa, seperti halnya ia memintaku untuk menjadi kekasihnya, ah aku hanya dapat temenung-ria kala itu. Namja ‘bintang’ itu terasa aneh, berbeda dari biasanya.

            Dan kini, telah kurang lebih dua puluh jam, aku tak bertemu dengannya. Merasa ada yang kurang juga ternyata. Kemana Taemin? Mengapa tak tersenyum seperti biasanya? Secerah biasanya?

***

            November Rain

            Kubanting pintu kelas yang sudah tak berpenghuni. Merasa kesal dengan guru olahraga ku, Jam pertama dan kedua jadwal pelajaran hari ini adalah Olahraga. Pelajaran yang sangat aku benci. Namun, karena Dari tadi pagi hingga kini masih tetap hujan, Olahraga menjadi sebuah pembelajaran materi tertulis didalam kelas. Masalahnya adalah, Guru Mata pelajaran Penjaskes ku itu, terus menyidir tentang murid-murid yang tidak suka ber-olahraga. Tentang SISWI yang ketika meng-Serve bola saja meleset mengenai kaca lab IPA, dan tidak perlu ditunjuk siapa orangnya aku akan segera mengaku..

            Aku nekat menerobos hujan yang sebenarnya tidak terlalu deras, namun cukup untuk membasahkuyupkan kepala hingga tubuh bagian bahuku. Ahh aku sudah tidak peduli, aku ingin segera pulang hari ini!!

            Kaki ku yang telah lemas ini menapaki trotoar basah yang bahkan sebagiannya tergenang air. Sebuah payung lipat berwarna hijau sebenarnya, telah terlipat rapi dalam tas. Namun, ada bagian pada otak dan hatiku yang mencegahnya, berharap seseorang memayungiku. Aku Rindu Bintang, di bulan November. Aku merindukan Lee Taemin.

            Suara sepatu beradu dengan genangan air, hingga bunyi decakan timbul dimana-mana. Nampaknya orang-orang juga lebih memilih bermandi hujan sepertiku. Aku mempercepat langkah kakiku, ketika kurasa hujan semakin keras menusuk bagian lenganku yang tak tertutup jaket.

            Hingga Aku berhenti. Membentur sosok jangkung yang menghalangi jalanku. Aku enggan melihatnya, siapapun ini pergilah! Batinku menjerit.

            “Hey..! Kenapa kau diam?! Ini hujan, Yoon Ra-ssi!”

            Ah.. Suara itu! Suara lembut Taemin yang aku rindukan. Aku yakin ini dia! Tapi mengapa tangan dan kaki ku kaku?

“Payungi aku..” gumamku pelan, dan seperti yang kukira ia tak mendegarnya.

            “Hey.. peluk aku! Tidak kah kau rindu padaku?” Ucapnya.

            Aku mendongak kearahnya, aku ingin sekali memeluk tubuh jangkungnya. Tapi, apa yang terjadi dengan kaki dan tanganku? Tidak sakit, tapi sulit. Kulihat raut wajahnya berubah cemas. Ia mengusap lenganku, lalu bertanya dengan suara yang sedikit tercekat.

            “Kau baik-baik saja kan?” Ucapnya pelan, namun terlihat sorot matanya begitu tulus.

Aku ingin menangis saat itu juga.

            Aku menggeleng lemah, “Bisakah kau peluk aku, sekarang?”

            Keningnya tampak berkerut, lalu dengan komando sang alam ia merengkuh tubuhku. Mendekapku. Menghangatkanku, Hingga aku terlelap dalam dada bidangnya. Yang kuingat adalah wangi Mint dari tubuhnya.

***

            Hidungku mengendus wangi Moccacinno dan saat kubuka mata, secangkir moccacino telah tersuguh didepan mataku, ditambah dengan kehadiran orang yang ku rindukan ahir-ahir ini. Ia tersenyum kearahku, kenapa dia? Merasa menang karena telah berhasil mengambil hatiku?

            “Kau tahu? Aku Rindu padamu..” Kataku menghiraukan Moccacino yang baunya telah menusuk hingga tulang hidungku, dan membangunkan para musisi dalam perut ini.

            “Aku tahu,” Katanya Singkat. Lalu beringsut meletakkan Secangkir Moccacino itu diatas meja kecil samping tempat tidur. Ia lalu membaringkan diri disampingku yang telah terduduk. “maaf. Maaf telah membuatmu jatuh cinta padaku.”

            Apa katanya?!! Menyebalkan! Kupukul bahunya berulang kali, lalu mendelik kearahnya. “Kau menyebalkan! Aku tidak jatuh cinta padamu!”

            “Baiklah. Baiklah, maaf telah membuatmu rindu padaku…”

            Aku mengedarkan pandangan kesekeliling. Dimana ini? Rumah siapa tepatnya? “Kita berada dimana, sekarang?” Gumamku membuat Taemin terduduk lalu merangkul dan tersenyum ke arahku.

            “Kau, coba lihatlah foto besar disana!”

***

            Akhir minggu ini, ayah dan ibuku memutuskan untuk berkunjung kerumah nenek di Busan, kalian tahulah aku pasti akan  menolak tinggal sendiri di rumah, sehingga aku putuskan untuk ikut dengan mereka.

            Kini aku tengah ber-packing ria, memasukan semua keperluanku yang akan kubawa ke Busan, hingga aku mendengar bunyi ponsel yang bergetar heboh diatas tempat tidurku. Kuambil lalu kubuka Flip-nya tanpa melihat siapa yang menghubungiku.

            “Yeobosseyo?” Ucapku atcuh tak acuh.

            “Hallo, Nona Han Yoon Ra!”

            Teriakan cempreng di sebrang sana membuatku meringis, lalu menjauhkan ponselku dari telinga. Aku tahu siapa ini! Anak ini benar-benaar  tidak ada kerjaan, bisakah ia tak menggangguku sehari saja?! Aku tahu aku tengah munafik sekarang, mencoba membantah apa yang sedang kurasakan, mencoba menampik bahwa hatiku ternyata telah terpikat oleh sosok lain, yang bahkan tak kuharapkan sebelumnya.

            “Hey, Yoon Ra-ssi! Kenapa kau diam saja? Sebegitu terpesonnya kah kau dengan suaraku?”

            “Hahaha, jinjja… Ada apa?”

            “Aku tahu kau tengah sibuk sekarang. Membereskan keperluanmu, untuk pergi ke Busan, kan? Tapi, bolehkah aku mengganggumu sekali ini saja? Aku janji akan membiarkanmu tenang setelahnya…”

            Apa-apaan Pria ini? Tapi biarlah, bukankah ia telah berjanji tak akan mengganguku lagi?

“Baiklah… Cepat katakan ada apa, Taemin-ssi?”

            “Aku mencintaimu. Sungguh… ini….” Sejenak hening, terdengar suara helaan napas di seberang sana. Ada apa dengan Taemin sebenarnya?

            “Maaf aku harus mengatakan ini… Aku menyayangimu, Yoon Ra-ssi. Jeongmal…”

            Terputus. Tanpa terpikir. Sebuah firasat menelusup lewat udara hingga masuk ke dalam rongga dada. Hey, what’s going on with him?

Kuharap langit tak akan mengingkari janjinya terhadap awan hujan. Dan kuharap semua akan tetap berjalan seperti air yang mengalir dari celah botol.

***

            Lee Taemin menjemputku. Hari ini ia tampak segar dan tampan, walau ada sedikit luka lebam baru di pelipis kirinya. Anak ini hobi bertengkar? Entahlah. Ia tersenyum lebar ke arahku, aku hanya memasang wajah sedatar-datarnya. Anak ini benar-benar mengganggu, dia tahukan bahwa aku harus pergi esok hari?

            Ia meraih lenganku, lalu digenggamnya, bergerak pergi, berjalan mejauh dari rumahku. Entahlah akan dibawa kemana aku ini.

            Setelah tempo hari melihat sebuah foto Taemin, bersama kedua orangtuanya, benar-benar membuatku tak percaya bahwa laki-laki dihadapanku ini seorang broken home. Ia terlihat sangat senang di usianya yang kukira 14 tahun, saat itu.

            “Kau pakai bedak apa? Wajahmu terlihat pucat.”

            Perkataanya membuatku mau tidak mau menoleh padanya, merenggut kesal, lalu memukul bahunya. “Aku tidak suka berdandan, dan bedak terutama.” bantahku.

            “Hanya memulaskan sedikit bedak tidak termasuk berdandan. Kau sakit?” ia berhenti, lalu menatapku dengan alis terangkat.

            “Tidak. Kita mau kemana?”

            Ia terlihat menimbang, wajahnya seolah berfikir keras. Lama sekali anak ini.

            “Bagaimana kalau kita ke rumahku?” Tanyanya riang gembira.

            “Rumahmu? Aku tidak mau!” jelas saja aku menolak, walau aku yakin pria ini orang baik, tapi bukan berarti seratus persen percaya padanya.

            “Baiklah, kalau begitu kita punya dua tempat tujuan…”

***

            “...Meraih bintang itu tidak mudah, jadi bersyukurlah kau dapat meraihku dengan mudah...”

            Ucapannya beberapa saat yang lalu membuatku geli. Pria bernama Lee Taemin ini dapat berubah menjadi mengerikan, juga menggelikan. Saat ini kami tengah memakan martabak dengan plastik. Tidak memakai sendok, apalagi piring. Sebenarnya aku tidak suka makan dengan cara seperti ini, seperti anak kecil. Tapi mungkin kalian tau, pria ini tidak suka dibantah. Dan dia memang seperti anak kecil.

            Ia mengucap syukur ketika martabak di dalam plastiknya telah tandas, lalu menatapku sambil tersenyum. Aku menunduk. Tidak kuat ditatap seperti itu.

            “Kau, malu?” katanya lalu kulihat ia menyeringai nakal.

            “Ya! Aku malu pada diriku sendiri. Bisa-bisanya aku mau ikut denganmu.”

            Ia tetap menyeringai, lalu menatap sekelilingnya. Kami memang sedang berada di sebuah taman kota. Namun sepertinya tempat ini jarang terjamah, karena memang hanya ada kami berdua disini. Orang-orang lebih banyak berada di atas – Karena memang taman kota ini memiliki struktur tanah yang landai. Ada sebuah Rumah pohon, yang beberapa saat yang lalu pula, Taemin sempat mengajakku. Aku mau. Dan tidak menyesal. Bahkan aku ingin lebih lama
disana, hanya saja pemuda ini memaksaku turun.

            “Kau sudah kenyang?”

            “Iya. Kita akan langsung pulang?”

            “Kubilang, kita punya dua tempat tujuan, kan?”

            Ada kehangatan seperti pelangi yang datang setelah hujan, ada gemercik tujuh warna cahaya, ketika aku….

…menatap bola matanya, ketika aku….

….mencium wangi tubuhnya.

***

            Kami turun dari taksi, setelah Taemin mengulurkan sejumlah uang sesuai dengan angka yang tertera di argometer, dan mengucapkan terimakasih. Aku benar-benar terkejut saat mendapati diriku tengah berdiri di depan sebuah gedung pencakar langit, yang bahkan aku tak dapat mengira berapa lantai bangunan yang membangun gedung ini. Aku tersadar saat jemari Taemin, menuntun langkahku mendekat, eh? Masuk?! Masuk kedalam gedung berarsitektur mengagumkan ini?!

            Begitu masuk, kami disuguhi Arsitektur Lobi bangunan yang, ahh kalian harus melihatnya sendiri. Taemin menyuruhku duduk di sofa lobi. Menunggunya yang tengah berbicara dengan seorang perempuan cantik di recepsionist.

            Aku menarik napas panjang, tiba-tiba saja nafasku tercekat, entahlah, aku sudah cukup mendapatkan kejutan-kejutan aneh dari Taemin. Sudah cukup. Aku takut semakin jatuh cinta, pada sosok lembutnya. Eh? Jatuh cinta? Tidak. Tidak. Maksudku...

            “Yoon Ra-ssi? Bisa kita tunggu sebentar? Aku ingin mengenalkanmu pada seseorang.” Ucapan Taemin jelas saja membuyarkan lamunanku. Aku mendongak melihatnya. Lalu mengangguk. Ia lalu duduk disampingku, menyadarkan punggungnya pada sandaran sofa. Ia terlihat cemas, seperti beban di pungggungnya bertambah berat, meski ia telah berbagi bersama sandaran sofa. Sang benda bisu. Mati. Bagaimana ia bisa memberitahuku?

            “Kita dimana sekarang?” tanyaku pelan.

            “Di tempat ayahku bekerja. Aku ingin mengenalkanmu padanya. Kau masih punya banyak waktu bukan?”

            “APA??!” refleks aku menjerit. Siapa yang tidak akan kaget mendapat perlakuan seperti ini? Demi tuhan! Bawalah pemuda ini hilang bersama hembusan angin, sekarang!

            “Yoon Ra-ssi… Bisakah kau pelankan suaramu?” matanya melotot, memperingatkan. Aku menutup mulut dengan kedua tangan, lalu dengan segera menganggukan kepala. Ahh, bodohnya aku!

            “Jadi?”

            “Perkataanku yang mana, yang tidak kau mengerti?” ia menyeringai, tersenyum miring, lalu mengacak pelan rambutku.

            “Dasar gila!” Desisku.

            Pelangi adalah bintang, namun bintang tidak selalu berwujud pelangi, bukan? Pelangi selalu datang ketika hujan telah memanggilnya, namun apa yang terjadi setelah pelangi datang?

***

            Tidak kurang dari lima belas menit kami menunggu, seorang laki-laki paruh baya muncul dari pintu lift yang telah tersingkap. Berjalan angkuh, memperlihatkan kekuasaan, dan ketegasan jiwanya. Menggeser setiap debu yang seolah terpana melihat cahaya yang datang.

            Tiba-Tiba ku rasakan genggaman Taemin pada lenganku menguat, air mukanya berubah tegang, dapat kulihat semburat garis merah tipis di pipi putihnya. Ia menghembuskan nafas berat, begitu sang laki-laki paruh baya tiba di hadapan kami. Mereka sama-sama tersenyum kaku. Taemin dengan kelembutannya, dan Laki-Laki itu dengan Ketegasannya. Ada kerinduan dari sorot mata Taemin.

            “Ada apa?” Laki-Laki paruh baya itu bertanya dengan nada tegas. Aku sampai menciut dibuatnya.

            “Yoon Ra-ssi… Ini Ayahku. Bisakah kau memperkenalkan diri?” Aku melongok. Apa-apaan Taemin ini! Aku.. aku.. aku sama sekali tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Aku mengulurkan tangan, berharap segera disambut, namun...

            “Sudahlah, jangan terlalu banyak intermezzo. Bukankah kau tahu betul ayahmu ini sangat sibuk! Cepat katakan apa yang ingin kau bicarakan!” Salak  sang laki-laki paruh baya ini – yang kemudian kutahui sebagai ayah Taemin – dengan nada mendesis menahan ... Emosi? Entahlah.

Taemin menarik napas “Ini Han Yoon Ra, Ayah. Gadisku. Aku rasa ayah perlu mengenal kekasih anaknya” Ucapnya Santai.

            Aku melongok, benar-benar tidak menyangka Taemin akan berkata demikian. Darahku serasa berdesir melewati kuku jari tangan, lalu terjun bebas kelantai. Jemari Taemin masih setia bertaut dengan jariku, yang kini terasa dingin.

            “Apa?” Ayah Taemin Berdesis seram “Mworago? (apa yang kau katakan?!)”

            Aku terkejut, bahkan hingga terlonjak mundur, namun Taemin malah membawaku mendekat ke arah ayahnya. Ia tersenyum miris, lalu menyeringai menyebalkan. Ia mempererat genggamannya padaku.

            “Adakah perkataanku yang kurang jelas?”

            “Kau!!”

            “Maaf, aku ini anakmu, bukan saudara apalagi tetanggamu. Salahkah jika aku hanya ingin berbagi?” Mereka Diam. Aku masih bingung dengan duduk perkaranya. Dan untuk apa aku disini? “Berbagi dengan seorang ayah yang sangat dicintai anaknya. Salah?” lanjutnya lirih.

            “Aku hanya ingin bicara pada ayah. Siapa tahu kalau ini adalah kesempatan terakhirku bertemu denganmu. Aku hanya ingin bilang, terima kasih. Untuk waktu, dan tenaga yang ayah berikan untuk menjaga den membesarkanku. Aku hanya ingin berterimakasih atas segala ... kasih sayangmu… Ayah..” Taemin menunduk, membungkukkan badannya beberapa detik, kurasakan genggamannya mengendur. Aku menahan bahunya.

            “Dan aku hanya ingin bilang, tolong sayangi Yoon Ra seperti ayah menyayangiku, dulu..” Taemin memandangiku. Wajahnya pucat. “Kau tidak usah khawatir, ayahku akan menjagamu, nanti,” Matanya kembali beralih pada batu karang besar dan kokoh didepan kami. Ekspressinya tidak terbaca.

            Mengapa pelangi selalu ingkar untuk datang setelah hujan usai? Ia tidak sedih, hanya kecewa karena ternyata hujan berbagi dengan warna pelangi yang lain.

***

            Wajah Taemin semakin pucat, ketika kami sampai di teras rumahku. Tangannya tetap tersangga di perut.

Apakah ia lapar?

            “Taemin?”

            “Hm?”

            Aku beralih berdiri di hadapannya. Seolah menghadang. Ia tersenyum kecil melihatku berkacak pinggang.

            “Ada apa?” tanyanya lembut. Aku menurunkan tolakan pinggangku. Lalu menuntun dia masuk dan duduk di kursi teras. Kurasa ia tersenyum.

            Kami duduk bersebelahan. Wajah Taemin masih terlihat pucat, ingin sekali aku membelai pipi putih pemuda itu, tapi tanganku seolah kaku.

            “Aku sudah di teras rumahmu. Bolehkah aku masuk kedalam? Aku ingin bertemu dengan kedua orangtuamu.”

            Aku langsung menggeleng kuat-kuat. Lalu cemberut super jelek. “Wajahmu pucat sekali.”

            Ia mendelik, lalu tersenyum miring. Tangannya menaut jari-jariku. Sedangkan sebelah tangannya yang lain masih memegangi perut. “Seharusnya aku yang bilang, kalau wajahmu sekarang sangat jelek. Bibirmu pias.”

            “Aku tidak apa-apa. Pasti kau yang kenapa-napa?” Tuduhku. Aku memang tidak merasakan nyeri dimanapun. Hanya saja cuaca yang dingin membuatku kedinginan.

            Ia menghela napas, lalu memberiku secarik kertas. Kulihat isinya adalah sebuah alamat rumah. Dan ketika kutanya, memang benar, itu alamat rumahnya sendiri.

            “Begitu kau tiba lagi di rumah. Bisakah kau datang ke rumahku? Ada sesuatu yang ingin aku berikan.”

            “Kau harap aku akan mau?” Ucapanku dibuat seketus mungkin, ia hanya tersenyum kecil.

            “Tidak peduli. Aku akan menunggumu.”

            Dia memberitahu seperti sebuah angin yang membawa udara. Selintas. Hingga kala itu, aku tak tau apa yang dikatakannya.

***

Aku sering melihat bayanganmu dibawah matahari.
Tapi aku tidak pernah melihatmu ditengah hujan
Kau datang setelahnya
Setelah badai itu mereda,
Seolah berkata bahwa kau tak bisa selalu ada disampingku
Ada kalanya kau harus pergi tanpa ku ketahui,
Dan ada kalanya kau datang tanpa kuminta.
Kau ajaib, dengan ketujuh warnamu.

            Deretan tulisan yang baru saja selesai kutulis pada sehelai tissue bersih, yang awalnya ku pegang kesal. Aku memang suka menulis, hanya saja aku terlalu malas untuk memulai hobiku itu menjadi sebuah profesi. Lagipula aku tidak ingin menjadi seorang penulis, Aku lebih ingin menjadi seorang Pelukis. Pelukis yang melukis dengan hati dan perasaannya, seperti dulu, ketika pertama kali aku menggoreskan kuas diatas canvas dengan pelangi sebagai objeknnya. Aku rindu kala itu.

            Aku memandang ke sekeliling, sudah mulai ramai. Oh ya, aku sedang berada di sebuah cafe di Busan, bersama Han Yoon Hee, Kakak sepupuku. Berhubung Yoon Hee sedang pamit ke toilet, Bisa kau lihat kalau sekarang aku tengah duduk sendiri di sudut Cafe. Tiba-tiba saja aku teringat pada Taemin. Pemuda yang sangat aneh, namun terlihat sangat baik. Bukan hanya terlihat, Aku malah telah merasakan kebaikannya.

            Dia selalu tersenyum, walau terkadang aku selalu melihat senyum palsu darinya. Dia mungkin telah membohongiku, atau malah telah membohongi dirinya sendiri. Tapi, Satu yang aku yakini, Dia tulus.

            “Ah, apa aku terlalu lama ke toilet?”

            Suara Yoon Eonnie menyentakan lamunanku. Aku tersenyum kearahnya, Lalu menggeleng pelan.

            “Sambil menunggu makanan datang,” ia tersenyum genit, sambil menaik turunkan alisnya, persis seperti kami kecil dulu, “bagaimana kalau kau ceritakan kehidupanmu di Seoul? Bukankah semalam aku sudah bercerita? Sekarang gantian, aku ingin mendengar ceritamu.”

            Aku menunduk mendengar permintaan Yoon Eonnie. Jujur saja yang terlintas di otakku untuk diceritakan padanya saat ini hanyalah tentang Taemin, dan segala keajaibannya.

            “Beberapa hari yang lalu, Aku bertemu dengan seorang pemuda di halte. Saat itu hujan, Dan dia memberikan sesuatu untuk melindungiku, ...”

            Dan mulailah aku bercerita. Tentang sosok Lee Taemin yang ku kenal kurang dari lima bulan ini.

            Setelah aku selesai bercerita, kulihat Yoon Eonnie hanya mengeryitkan dahi. Mungkin ia juga sama terkejutnya, mendengar ada manusia seaneh seajaib Lee Taemin.

            “Apakah kau tidak merasa kalau dia bukan orang baru untukmu?”

            Mendengar pertanyaanya aku hanya menyengritkan dahi, sama sekali tidak mengerti apa yang ia tanyakan. Yoon Hee meneggakan badannya, lalu merapatkan tubuh ke arahku meski terhalang oleh meja.

            “Maksudku, apakah kau pernah mengenal dia sebelumnya?”

            “Kurasa tidak.”

            “Tapi, kurasa kau harus mengingat kembali. Bisa saja kau tidak ingat dia, tapi dia masih mengingatmu.”

            “Jika begitu, mengapa dia tidak memberitahuku saja?”

            “Entahlah.”

***

            Seminggu berlalu, aku sudah berada kembali ke rumah. Sedikit kecewa karena harus berpisah dengan Yoon Hee Eonnie. Gadis itu selalu membuatku senang dengan caranya sendiri, apalagi aku adalah seorang anak tunggal, Ia telah kuanggap sebagai kakakku sendiri.

            Aku bergerak kearah Laci meja rias yang terletak disudut kamarku. Disana tersimpan secarik kertas yang tempo hari diberikan Taemin padaku. Apakah aku berniat memenuhi permintaannya? Entahlah. Yang ingin aku lakukan sekarang adalah benar-benar meraba hatiku sendiri, apakah Taemin ikut teraba olehku? Atau mungkin dia tak bisa teraba, karena ia hanya terasa dan memancarkan sedikit cahayanya disana. Dihatiku. Tidak banyak, namun cukup untukku melihat bayangan dirinya, seperti ketika pelangi berusaha menampakan diri setelah hujan, ia bersaing dengan matahari. Meskipun ia ternyata nampak dimata, tapi tak lama, Seakan waktu ikut kembali berkuasa.

            Aku tersenyum melihat tulisan tangannya yang sedikit berantakan, persis seperti tulisanku ketika masih duduk di bangku sd kelas 5. Kemudian aku mengamati deretan kata yang ditulisnya, seolah kembali teringat bagaimana perkataannya, tentang dirinya yang akan tetap menungguku. Jujur saja aku takut dipermainkan. Dipermainkan oleh kebaikannya sendiri.

            Tapi sekarang aku bisa apa? Melawan keinginanku sendiri untuk bertemu pemuda itu? Sepertinya hampir tidak mungkin, karena sekarang aku mulai berusaha mencarinya.

***

            Dan, disinilah aku sekarang. Di depan sebuah rumah besar dan bergaya klasik. Aku ingat rumah ini. Ini rumah Taemin. Dan aku yakin pemuda itu tengah menungguku saat ini.

            Jemariku menyentuh bel, di dekat pagar. Seorang satpam bertubuh  jangkung dan kekar menghampiriku. Kulayangkan senyum untuk bapak baik hati yang tidak membiarkanku menuggu lama di depan pagar yang menjulang ini.

            “Ada yang bisa saya bantu, Nona?”

            “Apakah pemilik rumah ini bernama Lee Taemin?”

            “Oh, Bukan. Tapi, Tuan Muda Lee adalah anak dari pemilik rumah ini.”

            Yaaa, maksudku kan juga begitu. Segera kuanggukan kepala, mengamini apa yang dikatakan si satpam.

            “Apakah nama nona, Han Yoon Ra?”

            Aku terlonjak, kenapa bisa satpam ini tahu namaku? Apakah Taemin memberitahunya?
Sejenak aku lupa, kalau aku tidak cukup mengerti jalan pikiran pemuda itu.

            Tanpa menunggu jawabanku, Satpam jangkung tadi membimbingku masuk ke dalam rumah. Masih tidak mengerti, tapi aku mengikuti.

            Aku sampai di depan sebuah pintu. Aku kira ini kamar. Apa Taemin ada disini?

            “Silahkan masuk, Nona. Orang yang anda cari ada di dalam.”

            Pria yang akhirnya ku ketahui berusia pertengahan 40 tahun itu pergi. Ia menyuruhku menemui Taemin di sini. Di tempat ini.

            Dengan segenap keraguan yang ada dalam diriku aku mulai meraih kenop pintu.

            Tidak terkunci.

            Kaki ku dengan lancangnya mulai merangsek masuk ke dalam, seakan tidak bisa kompromi dengan keraguannku.

            Baru beberapa langkah aku berjalan ke dalam ruangan –yang teryata adalah kamar Bintang – itu. Dan tepat di langkah ke tujuh, aku melihatnya. Melihat laki-laki yang tengah ku cari.

            Taemin terbaring di atas tempat tidurnya. Aku ingat, akupun pernah terbaring di sana. Matanya terpejam, napasnya teratur dan ada selang infus yang terhubung dengan tubuhnya melalui punggung tangan.

            Aku semakin tidak mengerti.

            Kakiku dengan otomatis berjalan mendekat. Semakin dekat, aku semakin dapat melihat wajahnya. Pucat dan tampak lelah. Pemuda itu selalu tampak pucat. Apakah ia tidak apa-apa?

            Entah bagaimana, langkahku ternyata membuatnya terbangun. Matanya perlahan terbuka, ketika ia menangkap sosok ku di sana aku hanya bisa nyengir tak berdosa. Lagi pula apa yang bisa aku lakukan?

            Aku bertahan pada posisiku. Seketika diam. Tapi kemudia aku melihat gerakan bibirnya. Ia sedang berusaha berbicara padaku?

            Aku mendekatinya, mendekatkan telingaku pada bibirnya yang masih menutup-terbuka. Aku mendengarnya. Suaranya lemah sekali, tapi aku tersenyum juga akhirnya.

            “Kau menepati janji.”

            Aku tersenyum kearahnya, lalu kembali menegakan badan. Tubuhku terduduk di bangku yang tepat berada di sisi tempat tidur. Melihat obat-obat di atas nakas yang sama sekali tidak ku  kenal.

            “Sejak kapan kau sakit?”

            Taemin berusaha menjawab, tapi sepertinya ia kesulitan sehingga aku menghentikannya.

            “Kalau ada yang ingin kau katakan, beri isyarat saja. Arrachi? Setelahnya aku akan mendengarkanmu.”

            Taemin berkedip satu kali.

            Ternyata pemuda itu langsung menyentuh lenganku pelan. Ku jawab, “Apa?”

            Kemudia ia menyuruhku mendekatkan kembali telinga ke bibirnya. Sama sekali tidak ku perhitungkan sebelumnya, ia mengecup daun telingaku dengan lembut. Rasanya geli dan aku harus marah saat ini.

            Tunggu, marah?

            Sebaiknya kutunggu sampai ia sembuh dulu.

            “Kauuuuuu iniiiiiiiiiiii!” Akhirnya aku hanya menggeram kesal. Dan yang kulihat saat ini adalah Taemin tengah menahan tawa.

***

            Sialan.

            Ternyata kondisi Taemin tidak seburuk yang kubayangkan ataupun seburuk yang ia perlihatkan. Anak itu masih dapat tertawa setelah berhasil mengecup telingaku. Dan kau tahu saat ini? kami tengah duduk berdua di balkon. Memandang halaman rumahnya yang telah dirancang sedemikian indahnya.

            Taemin bilang ia hanya sakit panas biasa, dan sempat pingsan kemarin malam, apalagi Taemin tidak mau makan beberapa hari ini, ia bilang mual. Ada-ada saja bukan?

            Anak itu juga memberitahuku kalau ia memberitahu semua satpam dan pesuruh rumahnya yang lain tentang gadis bernama Han Yoon Ra yang tengah ditunggunya.

            Aku hanya bisa meringis mendengar hal itu.

            “Aku pikir kau tidak akan pernah memenuhi permintaanku.”

            “Aku pikir juga begitu.”

            Kami duduk tanpa alas di lantai balkon. Tangan Taemin masih terhubung dengan selang infusan. Aku memapahnya tadi.

            “Jadi, apa yang ingin kau katakan padaku?”

            Kurasakan tangan dingin Taemin menyentuh jemariku. Aku berniat menepis, tapi ku urungkan.

            “Sebenarnya, beberapa bulan terakhir aku merasakan hal yang aneh dengan perutku. Waktu itu sore, dan aku pergi ke dokter  sekedar untuk memecahkan keanehanku sendiri. Ternyata usus buntu.” Ia tidak melihatku ketika ia menceritakan hal yang masih tidak aku mengerti.

            “Akhirnya aku dioperasi, tanpa sepengetahuan siapapun, termasuk ayahku sendiri. Jahitan di perutku masih ada dan berbekas, bahkan bekasnya sekarang masih terasa perih.”

            Aku tahu mengapa dulu ia begitu kesakitan ketika aku mencubit perutnya. Mendadak, ada segumpal perasaan bersalah yang menghantamku.

            “Bisakah kau langsung ke inti pembicaraan?”

            “Beberapa hari setelah operasiku selesai, aku pulang sendiri. Saat tengah menunggu bis di halte, orang-orang berhamburan berebut masuk, sedangkan aku terdorong kemana-mana saat itu. Dan di sanalah aku melihatmu untuk yang pertama kalinya.”

            “Kau salah! Kita bertemu saat hujan empat bulan yang lalu.”

            Taemin memberenggut kesal, menggeretakan gigi, lalu berlaku seolah akan menerkamku. “Kau mungkin tidak ingat padaku, tapi wajah culunmu saat itu masih melekat di otakku!” geram Taemin. “Kau tidak ikut berjejal ke dalam bis, tapi menunggunya sedikit lenggang, lalu mulai masuk, dan entah kau sadar atau tidak, kau menuntunku masuk ke dalam. Kau tahu waktu itu aku tengah menahan sakit.”

            Keningku berkerut merasa ini semua sangat aneh, seperti semua hal yang terjadi satu bulan ini dengannya tidak cukup aneh untuk diuraikan.

            “Sejak saat itu, aku selalu menunggumu di halte. Setiap pulang sekolah kau selalu mengenakan baju hangat, atau kau selalu membawa payung lipat di dalam tasmu. Tapi hari itu ada. Kau lupa, dan Tuhan menakdirkan kau untukku.”

            Aku menelan ludah. Benar-benar tidak menyangka kalau Taemin bisa menjadi stalker. Ini sedikit keren.

            “Aku tetap tidak ingat!”

            “Ya terserah, aku hanya mengingatkanmu. Toh sekarang kau sudah menjadi miliku. Kau bisa apa memang?”

            Tiba-tiba bayangan Yoon Hee Eonnie terlintas di pikiranku. Benar apa yang dikatakannya tempo hari. Aku memang pernah bertemu anak ini sebelumnya. Meskipun aku tidak ingat, tapi aku yakin Taemin tidak berbohong.

            Kami banyak berbicara hari itu. Orang tua Taemin baru bercerai dua tahun yang lalu. Ayahnya adalah workaholic. Setelah ibunya tidak lagi disampingnya, Taemin terlantar. Taemin ingin kembali pada ibunya, tapi anak itu sama sekali tidak tahu dimana beliau sekarang.

            Aku terhenyak ketika anak itu berbicara, “Aku tetap sayang Ayahku, meskipun ia menciumku dengan pisau.” Aku pikir itu tidak benar, tapi setelah Taemin menunjukan bekas sayatan pisau di dekat lehernya, aku baru percaya. Aku memang sudah mengira bahwa Taemin sakit. Luar-dalam. Tapi aku senang masih bisa melihatnya tersenyum seperti ini.

            Satu bulan mengenal pemuda ini, aku sadar kalau ia sedang berusaha menjadi egois setelah sekian lama ia tidak mementingkan sakit yang ia rasakan sendiri. Seperti tempo yang lalu, ketika kami menemui Ayahnya di kantor. Taemin terlihat ingin membangkang. Tapi anak itu masih terjebak dalam kepatuhannya sendiri.

            “Aku pikir sudah tidak ada lagi orang yang menyayangiku. Termasuk ayah dan ibuku sendiri. Tapi...”

            “Tapi?”

            “Tapi aku ingin merubah semuanya. Akan ku ijinkan jika kau mau menyayangiku.”

            “Hah?”

            “Aku butuh kau, Han Yoon Ra. Dan aku harap kau juga membutuhkanku.”

            “Baiklah.”

            “Apanya yang baiklah?”

            “Anggap saja aku langit malam. Aku akan membutuhkan bintang untuk membuatku terlihat menawan. Aku akan membutuhkanmu untuk membuatku menawan dengan senyum yang harus kau ciptakan.”

            “Jangankan tersenyum. Akan ku buat kau tidak bisa berhenti tertawa mulai saat ini!”

            “APAAA?!”

***
Pelangi tetap terlihat setelah hujan
Ia terlihat seperti kecil dan hanya berbayang
Tapi apakah kau tahu ujung pelangi?

Seperti kebahagian yang diberikan tuhan untuk kita,
Kita tidak pernah tahu sampai kapan kebahagian itu akan tetap bertahan

Seperti kau yang tak menemukan ujung pelangi
Ujung adalah akhir
Akhir berarti selesai

Kita tidak pernah tahu kapan kau dan aku akan berakhir.




-FIN-

Eaaaaa, ANEH SEPERTI BIASAAAAAAA *teriak frustasi*

please leave comment. aku butuh banget itu lhoooooooo. Kritik, saran, curhatan, sok eta mah tulis aja, aku pasti baca kok :D

Yoon Ra-ya, Hope you like it.

Laaaaaaaaaaaaaaaf ya

_ YOON _

Tidak ada komentar:

Posting Komentar