Halaman

Senin, 03 September 2012

CERPEN || SEUNTAI CERITA || By : YOON





23 Mei 2010 pukul 09.45

Shogun orange itu perlahan berusaha menembus melewati celah-celah barisan mobil yang hampir berhimpitan satu sama lain. Terik matahari di atas kota Malang yang semakin hari semakin berkurang kesejukannya tak menyurutkan semangat lelaki muda itu untuk menyusuri jalanan yang diselingi lubang disana-sini dan aspalnya yang bergelombang.

Barisan mobil di kanan kirinya yang berusaha meringsek melalui jalan padat itu membuat jalanan sempit yang semula sudah dipenuhi dengan becak, andong, dan deretan tukang ojek itu semakin berjejal ditambah dengan lalu lalang orang yang menyeberang dengan leluasa.

Teriakan supir angkot Arjosari-Dinoyo yang memanggil penumpang dipadukan dengan nyanyian orkes keliling plus teriakan tukang sayur dan pedagang asongan membuat jalanan di depan pasar Tumpang itu semakin sumpek dan membuat setiap orang yang lewat di depannya ingin segera berlalu.

Shogun orange itu masih terhimpit di antara Avanza kuning gading di sebelah kirinya dan sebuah Katana hitam di samping kanannya. Ia menjalankan motornya pelan sekali sambil berharap kuda di depannya menarik andongnya lebih cepat.

Ayo sedikit lagi….”
Lelaki itu menggumam pelan sambil mencoba mendongakkan kepalanya lebih tinggi agar bisa melihat jalanan lapang di depan andong yang sepertinya sebentar lagi akan berbelok ke kiri.

Lelaki itu masih menunggu walaupun sebenarnya dia juga tak sabar ingin segera terbebas dari kepadatan kendaraan di sekelilingnya. Dia tak mau ikut-ikutan seperti mobil Kijang di belakangnya yang tak henti-hentinya membunyikan klakson dan pengemudinya yang berkali-kali mengumpat apabila ada tukang ojek menerobos celah sempit di samping mobilnya sampai-sampai hampir saja menyerempet cat mulus tunggangannya itu.

Yak…dan andong di depannya pun berbelok ke kiri menyisakan sebuah jalanan cukup lebar di depannya. Lelaki itu buru-buru memacu motornya lebih kencang sebelum ada tukang ojek yang menyerobot jalannya.

“Yes!!!”
Lelaki muda itu menggenggam stir dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya terkepal mewakili kelegaannya berhasil keluar dari kerumunan yang menyesakkan tadi.

Dia tak ingin terlambat kali ini. Hari yang sangat penting baginya. Masa depan dan mimpinya harus terwujud hari ini. Jika kali ini gagal, mentalnya belum tentu siap untuk memulai kembali dari awal.

Shogun orange itu memasuki jalanan teduh di daerah Tugu. Tepatnya di Jl. Gajah Mada. Satu komplek dengan kantor walikota Malang.

Ia memperlambat motornya saat melewati Rumah Makan Duta dan akhirnya berhenti tepat di samping kiri rumah makan itu. Sebuah bangunan berpagar besi cat hijau dengan gazebo di halaman depannya.
Sebuah kos putri milik seorang keturunan Tionghoa yang baru ke empat kalinya dia kunjungi selama 7 bulan ini.

Lelaki itu mematikan mesin motornya dan memarkirnya di bawah pohon mangga di depan rumah tersebut tanpa turun dari motornya. Ia mengeluarkan Nokia 6300 lawas nya dan mengetik sebuah pesan untuk seseorang di dalam sana.

Tak lama kemudian pintu rumah itu tampak terbuka. Seorang gadis mengenakan rok putih selutut dengan kaos sederhana berwarna merah muda polos keluar sambil menjinjing tas kulit kecilnya.

Lelaki itu melepas helmnya dan buru-buru berkaca di spion motornya memastikan di wajahnya tak ada secuil daun seledri yang mungkin terbang ke pipinya saat melintasi pasar sayur tadi. Sepertinya semuanya baik-baik saja. Polusi di sepanjang perjalanan yang dia lalui tak sampai meninggalkan noda di wajah bersihnya.

Gadis itu membuka gerbang dengan senyum mengembang.

“Selalu tepat waktu.” gadis itu tersenyum pada si pengendara motor. Ia berjalan ke arah Shogun Orange itu setelah mengunci kembali gerbang kosnya.

“Iya dong….”
Pemuda itu menyodorkan sebuah helm Takachi warna putih sementara dia sendiri mengenakan helm standart butut tanpa merk. Ia sengaja membeli helm putih itu agar orang yang diboncengnya tidak malu naik sepeda motor bersamanya. Sementara dia sendiri masih setia dengan helm kunonya walaupun sebenarnya penghasilannya cukup untuk membeli selusin helm bermerek. Tapi sifat ‘terlalu‘ sederhananya membuat ia tak mau mengahambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang tak benar-benar ia butuh. Dia memang terbiasa hidup sederhana, tapi kalau sudah berhubungan dengan orang-orang yang disayanginya, apapun rela dia berikan.

“Kita mau kemana sih Dim?” Gadis itu memakai helmnya dan langsung menaiki motor pacarnya itu dengan posisi miring.

“Ada deh…..tenang aja Git….ga bakal macem-macem kok aku…”

Gita adalah teman seprofesinya sebagai dosen di Universitas Negeri Malang. Dimas sebagai dosen Bahasa Jepang, sementara Gita sebagai dosen Seni sastra. Gita kelahiran Jakarta. Jadi disini dia ngekos. Sementara Dimas memilih pulang-pergi dari rumahnya di Wonosari walaupun jaraknya tak bisa dibilang dekat.

Dimas mulai menjalankan motornya. Ia memutar balik dan kembali menyusuri jalan yang ia lalui tadi. Kali ini dia tak menjalankannya dengan kecepatan tinggi karena sedang membonceng seorang gadis yang seratus persen wajib dia jaga keselamatannya.

Beberapa menit Dimas memacu motornya dalam diam….

“Ngobrol dong Dim…jangan diem aja!!!”
Gita berbicara dengan setengah berteriak dari jok belakang agar Dimas bisa mendengarnya. Dia merasa bosan karena biasanya Dimas tak pernah sediam ini kalau memboncengnya.

“Hehe…,“ Dimas menjawab sekenanya saja. “Eh Git, aku lewat Tumpang gapapa ya?”

“Gapapa lah. Emang kita mau kemana sih?”

“Ntar juga tau. Beneran nih gapapa? Pasti agak macet di pasarnya..”

“Iya beneran gapapa….”

Akhirnya Gita memutuskan untuk tak lagi bertanya dan menunggu saja sampai mereka tiba di tempat tujuan. Dimas tetap tak bicara di sepanjang perjalanan. Sesekali dia menjawab obrolan Gita yang sudah susah payah mengajaknya bicara dengan sedikit berteriak agar suaranya tak kalah dengan deru angin bercampur gemuruh mesin motor dan keramaian jalan raya.

Semakin dekat dengan tempat tujuan, Gita semakin penasaran.

“Kok kesini sih Dim? Ini kan jalan ke rumah kamu?”

Gita menatap deretan pohon pisang di antara rumah-rumah sederhana khas jawa di daerah lereng gunung itu. Gita memang baru sekali ke rumah Dimas, tapi dia masih hapal betul ciri-ciri daerah itu.

“Emang…”

Udara beranjak semakin dingin seiring dengan bertambahnya ketinggian tempat mereka berada. Hampir satu jam perjalanan. Dan Gita semakin heran karena memang tak salah lagi ini jalan menuju rumah Dimas.

Tapi Gita semakin berkerut saat tinggal beberapa meter lagi sampai di rumah Dimas, pemuda itu justru berbelok ke arah yang berbeda dengan arah ke rumahnya. Harusnya arah ke rumah Dimas itu lurus, tapi Dimas justru memacu motornya berbelok entah kemana.

Motor Dimas mendaki melewati jalanan bergelombang yang aspalnya hampir-hampir tak bersisa. Tinggal batu dan kerikil bercampur tanah yang membuat jalan itu masih bisa dilalui kendaraan. Goncangan sepeda motor Dimas membuat Gita mengencangkan pegangannya di pinggang kekasihnya itu.

Rumah-rumah mulai tampak jarang. Hanya terlihat hamparan hijau pepohonan lebat dan…..

Dimas menghentikan motornya di tepi jalan yang sepi dan mematikan mesinnya.
Gita belum juga turun seakan belum sadar kalau inilah tempat tujuan mereka.

“Sampai….”
Dimas menengok pada Gita yang masih duduk manis di jok belakang.

“Hah??”
Gita tersadar dan turun perlahan dari Shogun Orange itu sambil menatap tempat di depannya dengan perasaan heran dan bingung bukan main. Gita menatap tempat di depannya dengan dahi berkerut.

“Sini helm nya.”
Dimas menyadarkan Gita dari lamunan keheranannya.

“Kok kesini sih Dim?”

Gita melepas helmnya sambil terus menatap tempat di depannya dengan wajah bingung. Ia menyerahkan helmnya dengan tangan kiri sementara pandangannya tak beralih dari area di hadapannya. Bukan kafe seperti tempat yang biasa mereka kunjungi berdua. Bukan Mall dimana Dimas dan Gita biasa nonton. Bukan taman yang dipenuhi bunga seperti yang pernah Dimas tunjukkan tempo hari. Bukan juga tempat yang indah maupun romantis yang biasanya menjadi tempat favorit orang-orang kasmaran.

“Yuk…”
Dimas mendahului melangkah di depan Gita yang masih terbengong-bengong. Gita mengerjapkan pandangannya dan segera menyusul langkah Dimas.

“Awas hati-hati. Perhatikan langkahmu.”
Dimas berhenti sejenak dan menengok ke arah Gita yang berjalan agak berjingkat dan sedikit tertinggal di belakangnya.

“Tungguin Dim…”
Gita berusaha mensejajari langkah Dimas sambil terus melihat jalanan berumput lebat di bawahnya.

Dimas menunggu Gita yang hampir sampai di sisinya. Dimas menyodorkan tangannya yang langsung disambut oleh Gita yang memang agak kesulitan berjalan di atas tanah berumput dan berkerikil yang tak terawat itu.

Setelah beberapa langkah Gita mencoba melewati rumput-rumput dan terkadang kulit kakinya terserempet duri putri malu dengan masih terus menggenggam tangan Dimas yang sedikit-sedikit menoleh padanya, akhirnya Dimas yang berjalan di depannya menghentikan langkah.

“Kita sampai….”

Dimas melepas genggaman tangannya dari Gita. Gita memutar pandangan mengamati sekeliling. Berusaha menangkap maksud Dimas membawanya kesini. Dia masih heran dengan tempat tujuannya itu.

Dimas tak bereaksi apapun. Dia masih berdiri menatap Gita yang masih kebingungan melihat keadaan sekelilingnya yang benar-benar sepi tanpa ada orang lain selain mereka. Gita mengamati setiap detail tempat itu. Berusaha mencari sesuatu yang dia yakin pasti ada alasan Dimas mengajaknya kesini. Dimas masih menunggu.

Pandangan Gita terhenti. Matanya tertuju pada titik fokus tak jauh dari kakinya berpijak. Gita mengamatinya sejenak dan…..

“Dim…”

Gita mengalihkan pandangannya pada Dimas yang masih menatapnya.
Dimas hanya tersenyum.



***

[Flashback]


Wonosari, Malang, 18 Juni 2006 pukul 08.00


Sesosok pemuda dengan koper besar di sampingnya tampak mencium tangan seorang wanita paruh baya di teras rumahnya yang masih beralaskan semen.

Disekelilingnya tampak seorang gadis berusia 10 tahun dan seorang wanita berusia sekitar 60 tahun.

“Hati-hati Nak kamu disana. Jangan lupa telfon Ibu ya kalau sudah sampai. Sering-sering kasih kabar…..”

“Iya Bu….Dimas akan terus kasih kabar sama Ibu. Dimas akan kangen sekali sama Ibu kalau nanti 4 tahun ngga ketemu.”

Wanita yang rupanya adalah Ibu Dimas itu tersenyum menatap wajah putranya yang mirip dengannya. Ia tak bisa menyembunyikan gurat kesedihan dan kekhawatiran lewat air mata yang menggenang di pelupuk matanya.

“Empat tahun ngga akan lama Dimas. Belajar yang rajin ya…. Ibu percaya kamu ga akan mengecewakan kami semua.” Wanita itu mengelus pipi putranya dengan penuh kasih.

“Dimas, ada angkot!!!!!”
Rio, tetangga sekaligus sahabatnya berteriak dari seberang jalan sambil melambaikan tangannya pada Dimas. Sedari tadi dia menunggu angkot untuk Dimas di pinggir jalan.

Dimas mengangguk pada Rio. Buru-buru Dimas mencium lagi tangan Ibunya.

“Bu, Dimas berangkat ya….”

Setelah mencium tangan ibunya, Dimas mendekat pada Oma nya dan mencium tangan wanita dengan gurat kerutan usia di punggung tangannya itu.

“Oma, Dimas berangkat.”

“Iya…ati-ati Dim.” Oma Dimas menyeka air matanya menatap cucu kesayangannya itu.

Alvin mendekap adik perempuannya yang sudah sedari tadi menangis sambil memeluk ibunya.
“Jagain Ibu sama Oma ya, Ke. Kak Dimas pergi dulu. Berarti nanti kalau Kakak pulang kamu sudah SMP nih.” Dimas mengusap pipi adiknya yag basah. Keke–adiknya–tak menjawab. Dia masih terisak di pelukan kakaknya.

“Dim buruan angkotnya nungguin!!!!”

Rio yang mengenakan kaos oblong dengan lengan buntung plus celana pendek selutut kembali berteriak dari pinggir jalan.

“Iya iya!!!”
Dimas melepas pelukan adiknya dan mencium keningnya perlahan lalu mulai menggenggam pegangan kopernya dan bersiap menyeretnya.

“Dimas pergi dulu ya…”

“Ati-ati Dimas….” Hanya Oma yang menjawab. Ibunya hanya menatap kepergian putra kebanggaannya dengan air mata yang akhirnya tak kuasa menahan pegangannya di pelupuk mata dan akhirnya jatuh membasahi pipi wanita dengan muka teduh itu. Tangannya memeluk anak perempuannya yang menangis terisak di dekapannya.

Dimas bersalaman dengan Rio yang sudah membantunya menaikkan koper ke dalam angkot.

“Sorry Dim ga bisa nganter.”

“Gapapa Yo. Nitip keluargaku ya…”

Rio mengangguk pasti pada sahabatnya. Dimas memasuki angkot yang akan membawanya ke stasiun Kota Baru Malang. Supir angkot mulai menjalankan tunggangannya perlahan. Dimas melambaikan tangannya pada Ibu, Oma dan adiknya di teras rumah. Tak lupa juga pada Rio yang masih berdiri di tepi jalan.

Mulai hari ini akan menjadi perjalanan yang panjang. Dari rumahnya di Wonosari, kemudian dengan angkot ini yang akan membawanya ke stasiun Kota Baru. Disana dia akan menaiki kereta menuju terminal Bungurasih Surabaya dan kemudian ia akan menuju Jakarta dimana dia akan berkumpul dengan orang-orang yang selama 4 tahun kedepan akan menemaninya meraih impian.

Sebuah cita-cita yang tak pernah terbayangkan akan dapat diraih oleh seorang anak yatim dari sebuah kabupaten di kota Malang.

Jepang…..satu tempat yang sampai 2 bulan yang lalu hanya menjadi angan dan impian bodoh bagi seorang Dimas. Tapi tepat 2 bulan yang lalu jam setengah 7 pagi, impiannya itu menjadi kenyataan. Sepucuk surat panggilan yang menyatakan ia lulus ujian beasiswa Sampoerna Foundation S1 ke Jepang membuat hidup Dimas terasa seperti mimpi.

Tak ada lagi yang akan mengatainya anak yatim. Tak akan ada lagi yang mengejeknya anak miskin. Dia membuktikannya. Dia bisa dan dia mampu. Dia akan tunjukkan pada dunia dan semua orang yang mengenalnya bahwa dia bisa membahagiakan orang-orang yang disayanginya dengan bermodalkan OTAK.

Dimas memilih kereta ekonomi. Perjalanannya menuju Jakarta memang dengan biaya sendiri. Setelah sampai disana nantilah, semuanya akan menjadi tanggungan penyelenggara.

Dua jam perjalanan menuju Surabaya dilanjutkan perjalanan selama 19 jam dengan bis menuju Jakarta membuat Dimas semakin jauh dari orang-orang yang disayanginya. Dimas menatap Hp nya dengan wallpaper foto keluarganya yang sedang mencabut ketela pohon di kebun belakang rumah dengan tersenyum haru.

“Tunggu aku 4 tahun lagi….Akan kuubah semua tangisanmu dengan senyuman, Bu….”

***


Shinjuku,Tokyo, 12 Februari 2009


Brukk!!!!

“Hei!!!!”

Moshiwake arimasen. Watashi wa ayamatte…(maaf…saya tidak sengaja)”

Dimas buru-buru menundukkan wajahnya meminta maaf kepada seorang lelaki yang tergesa-gesa memunguti buku-bukunya yang jatuh berserakan. Dimas tanpa sengaja menubruknya di trotoar saat dia sedang tergesa-gesa menengok layar Hp nya yang tiba-tiba bergetar.

“Aa..” Orang itu hanya menatap Dimas dengan wajah kesal sambil berlalu menjauh.

Dimas kembali menatap layar Hp nya. Telefon yang tadi membuat dia menubruk orang sekarang sudah diputus oleh penelfonnya. Satu panggilan tak terjawab. Dimas mengecek nomor penelfonnya. Nomor yang setiap sebulan sekali selalu menghubunginya. Dari rumah.

Dimas mengernyitkan dahi. Biasanya orang rumah akan menelfon setiap sebulan sekali. Tapi ini baru 2 minggu sejak terakhir kali mereka telfon.
Dimas hendak menghubungi balik, namun baru saja dia hendak memencet tombol panggil, Hp nya kembali bergetar. Dari rumah…

“Halo…”

“Kak Dimas!!!!” Terdengar suara adiknya setengah berteriak tapi sedikit serak di seberang sana.

“Keke??”
Dimas mengerutkan kening mendengar suara adiknya yang terdengar aneh.
Tak ada jawaban dari seberang.

“Ke?” Dimas menatap layar Hp nya mengecek apakah mereka masih tersambung. Timernya masih berjalan menandakan orang di seberang sana belum memutuskan sambungan.

“Halo Ke???” Dimas kembali mendekatkan ponsel ke telinganya mencoba lebih teliti mendengar suara di seberang sana.
Tetap tak ada jawaban. Hanya suara gemerisik yang terdengar di telinga Dimas.

“Hal…” Kalimat Dimas terpotong.

“Dim…” Suara di seberang sana berubah.

“Oma? Keke mana?”
Dimas semakin bingung kenapa sekarang justru Omanya yang bicara.

“Kamu sehat Dim? Oma kangeeeennnn banget sama kamu Dim…” Oma bicara dengan nada kerinduan yang tak bisa disembunyikan. Dimas pun tersenyum.

“Sehat Oma….kok tumben baru dua minggu udah telfon lagi? Biasanya kan satu bulan?”

Terdengar desah suara Oma seperti sedang tersenyum di seberang sana.

“Adikmu itu lho Dim….dia senang sekali barusan menang lomba bikin puisi di kelurahan. Saking senengnya sampai pengen banget telfon kamu itu Dim….”

“Wah…Keke hebat. Lha terus sekarang Kekenya mana? Kok tadi langsung ngilang gitu aja?”

“Dia dipanggil sama Pak RT diajak ngambil hadiah di kantor desa. Ibu kamu juga ikut kesana tuh…”

“Owh….mmmm…..dasar anak itu….Terus ga jadi ngomong sama Dimas dong dia? Apa ntar Dimas telfon balik aja ya?”

“Ga usah Dim….kamu belajar aja yang rajin. Nanti biar Oma yang nyampein ke Keke.”

“Salam juga buat Ibu ya Oma…”

Kembali terdengar suara Oma seperti tersenyum.
“Iya….yaudah Oma tutup ya…baik-baik kamu disana Nak.”

“Iya Oma…”

Sambungan terputus. Dimas kembali menatap layar ponselnya. Bibirnya menyunggingkan senyum.

“Keke…Keke…”

***


Bandara Internasinal Juanda
Juanda, Surabaya, 21 Agustus 2009 pukul 13.50


Dimas berdiri di dekat pintu keluar bandara. Matanya sedari tadi terpaku ke jalanan di depannya mengamati mobil-mobil yang lalu lalang di depannya.

Sesekali Dimas menengok jam tangan di pergelangan tangan kanannya atau sesekali mengintip layar Hp nya kalau-kalau ada pesan masuk.

Dimas masih tetap mengawasi mobil-mobil yang lalu lalang maupun yang berjejeran di area parkir menunggu si empunya keluar dari bandara. Dimas berusaha meneliti kalau-kalau dia menemukan Panther biru bertuliskan FREEDOM di kaca belakangnya seperti yang di sms kan Rio barusan.

Dimas masih bersabar menunggu .

“Dim!!!!”

Dimas menoleh ke sumber suara tak jauh di sebelah kirinya.
Tampak kepala Rio muncul dari balik kaca jendela mobil Panther birunya sambil melambaikan tangan pada Dimas.

“Hei Yo!!!” Dimas balas melambai dan bergegas menarik kopernya ke arah Rio. Rio turun dari mobilnya dan bergegas menghampiri Dimas yang berjalan mendekat.

“Dimas….” Rio merangkul sahabatnya begitu pula dengan Dimas. Mereka berpelukan sebentar layaknya dua sahabat yang saling merindukan setelah bertahun-tahun tak bertemu.

“Apa kabar Yo?” Dimas menepuk pundak sahabatnya dan menatap wajah sahabatnya yang sekarang tampak lebih bersih.

“Liat dong…tambah ganteng kan guweh?”

Dimas tertawa mendengar perkataan sahabatnya yang terdengar asing di telinga.

“Rio, Rio…Ga pantes kamu ngomong pake gue gue…..” Dimas masih terus tertawa. Rio manyun mendengar ledekan Dimas.

“Iya iya…..ah….tapi gimana?? Aku tambah ganteng kan? Si Dhita aja yang dulu sok nolak-nolak aku sekarang malah nempel mulu sama aku.” Rio memegang kerah kemejanya dengan wajah bangga. Dan itu berhasil membuat Dimas semakin ngakak.

“Iya deh percaya….” Dimas belum bisa menghentikan rasa geli di perutnya melihat Rio dengan tingkahnya yang masih belum berubah sejak dulu.

“Eh…ayo masuk cepetan….biar kita nyampe Malang ga kesorean. Jadi kan ngasih surprise ke keluargamu? Dasar….apa ngga kaget tuh mereka ntar liat kamu tiba2 nongol di depan pintu?” Rio terus mengoceh sambil menarik koper Dimas ke arah mobilnya.

Lagi-lagi Dimas tertawa.

“Ya namanya juga surprise. Harus bikin kaget dong…”

“Yaudah ayok kalo gitu kita langsung capcus aja….” Rio membantu menaikkan koper Dimas ke bagasi. Tanpa menunggu lagi mereka berdua bergegas menaiki mobil dan menuju kota Malang tercinta.

Di perjalanan Rio benar-benar berbeda. Ia tak seperti saat di bandara tadi. Kali ini dia menyetir dalam diam. Pandangannya fokus ke jalan di depannya. Tak ada banyolan dan tak ada gurauan yang bisa membuat Dimas tertawa.

Dimas lama-lama bosan juga dengan suasana mistis mobil Rio yang hening tanpa suara itu.
“Yo….ngomong apa kek gitu. Sepi amat rasanya….”

Rio tak menyahut. Matanya masih fokus ke jalanan di depannya.

“Woiii!!!!” Dimas menepuk pundak Rio sampai-sampai Rio sedikit terlonjak kaget.

“Wah…parah!!!! Kamu ngelamun Yo??? Gila!!! Kalau nabrak gimana Yo??? Sembarangan kamu ini!!!” Dimas melotot ke arah Rio yang masih gelagepan diomelin sama Dimas.

“Eh…anu…itu….aku konsentrasi kok Dim… Gila aja aku nyetir sambil ngelamun. Aku tuh butuh konsentrasi lebih Dim. Aku kan baru 3 bulan pegang SIM A….masih agak ‘ndredeg’ (gemeteran).”

Kali ini Dimas bener-bener ngakak liat muka sahabatnya yang gelagepan ketakutan gimana gitu. Dimas tertawa sambil memegangi perutnya.

“Ada-ada aja sih Yo….yaudah kamu konsen lagi sana…awas kalau nabrak!!!” Dimas melotot ke arah Rio. Rio hanya nyengir pada sahabatnya itu.

Dimas membiarkan Rio berkonsentrasi dengan jalan. Dia agak kaget juga Rio berani menjemputnya sampai Surabaya dengan hanya bermodalkan 3 bulan pegang mobil. Agak takut juga dia. Akhirnya Dimas ikut memperhatikan jalan dan sesekali memperingatkan Rio kalau di depannya ada becak maupun orang yang hendak menyeberang.

Tapi rasa lelah akhirnya membuat Dimas tertidur. Tinggallah Rio sendiri berkonsentrasi menatap jalanan Surabaya-Malang.


***


“Dim bangun Dim….” Rio menggoyangkan tubuh Dimas yang masih terlelap di jok sampingnya.

Dimas membuka mata perlahan dan langsung menegakkan duduknya begitu tahu bahwa mereka sudah sampai.

“Wah…nyampe….” Dimas mengucek matanya dan bergegas merapikan rambutnya lalu perlahan membuka pintu mobil dan turun. Rio ikut turun dan segera menurunkan koper Dimas dari bagasi. Dimas menyambut kopernya dan bergegas berjalan ke halaman rumah.

Beberapa langkah dari mobil, Dimas menengok ke belakang dan sontak menghentikan langkahnya saat melihat Rio masih berdiri terpaku sambil menatap dirinya dari samping mobil.

“Lah Yo? Ngapain disitu? Ayo masuk!!!”

“Mmmm….aku….Aku mau langsung pulang Dim…” Rio tak beranjak dari tempatnya.

“Lah kok gitu? Kamu ga kangen apa sama sahabatmu yang udah ga ketemu 4 tahun ini? Ayolah kita ngobrol lagi di dalem.” Dimas melambaikan tangannya mengajak Rio masuk.
“Cepetan Yo….keburu Ibu keluar ntar ga jadi surprise malahan kalau dia ngliat kita kayak orang bego disini.”

Rio tersenyum.
“Aku mau pulang aja Dim.”

Piye to Yo (gimana sih Yo)?” Dimas menatap sahabatnya dengan dahi berkerut.

“Itu….Di rumahku ada selamatan Dim….mmmm….aku mesti bantuin bapak….eee….ntar sore aku kesini lagi aja Dim…sekalian bawa tumpeng sisa selamatannya buat kamu sama Keke.”

Dimas memanyunkan bibirnya mendengar penolakan dari Rio.
“Yaudah…jangan lupa ya ntar sore.”

Rio mengangguk.
“Aku pulang dulu ya Dim…” Rio memasuki mobilnya dan menyalakan mesin.

“Makasih ya Yo!!!” Dimas berteriak dari halaman rumahnya sambil melambaikan tangan.
Rio balas melambaikan tangannya dari balik jendela lalu mulai memacu mobilnya meninggalkan rumah Dimas.

Dimas menarik kopernya menyusuri jalanan di halaman rumahnya yang masih belum berubah. Hanya saja sekarang disana mulai banyak bunga-bunga yang sepertinya rajin dirawat oleh pemiliknya. Mawar, Melati, daun pandan….paduan warnanya membuat Dimas tak sabar untuk segera bertemu dengan orang-orang yang merawat bunga-bunga itu.

Dimas meletakkan kopernya di depan pintu. Dia menarik napas dalam-dalam. Perlahan dia mulai mengetuk pintu rumahnya.

Tok tok tok….

“Ibu…..Oma……”

Tok tok tok…

“Keke….”

Terdengar suara langkah kaki dari dalam. Sesaat kemudian daun pintu mulai bergerak dan perlahan pintu itu mulai terbuka.

Orang di balik pintu tersentak menatap Dimas yang berdiri tegak di hadapannya.

“Kak Dimas!!!!!!!!!” Keke sontak memeluk kakaknya yang sudah bertahun-tahun dirindukannya. Dia menangis sambil memeluk erat kakaknya. Dimas balas memeluk Keke yang makin terisak.

“Oma!!!!!! Kak Dimas pulaaangg!!!!” Keke melepaskan pelukannya dan berteriak ke dalam.

Terdengar langkah kaki terburu-buru dari arah dapur. Tampak Oma dengan celemek birunya yang dulu berjalan terburu-buru sambil mengelap tangannya dengan kain serbet.

“Dimas!!” Oma setengah berlari dari dapur menghampiri cucu kesayangannya. Kain serbetnya ia lemparkan begitu saja ke meja di ruang tengah. Dimas mencium tangan Omanya dan Omanya pun mengecup kening cucunya yang sekarang tampak lebih tampan.

“Dimas cucuku….Ya Tuhan….kamu ganteng sekali Nak….” Oma menatap Dimas dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan air mata menggenang di pelupuk matanya.

“Kok kakak pulang ngga bilang-bilang sih?” Keke masih bersusah payah mengusap air matanya yang tak mau berhenti. Dimas mengusap rambut adiknya itu.

“Kan kakak mau ngasih surprise….kakak bawa banyak hadiah lho buat kamu, Oma sama Ibu…” Keke hanya tersenyum dan sekali lagi memeluk kakaknya. Dia benar-benar rindu pada saudaranya yang satu itu.

“Ayo masuk masuk….Ke…bantuin bawa tasnya ya…” Oma merangkul pundak cucu laki-lakinya dan mengajaknya ke dalam. Dimas mengamati rumah tercintanya. Tak banyak berubah. Hanya sekarang di bawah almari TV ada sebuah DVD player yang sengaja Dimas minta agar dibeli dari uang kirimannya. Dia tau adiknya suka numpang nonton di rumah Rio yang jaraknya cukup jauh dari rumah.

Tatanan kursi ruang tamunya juga berubah. Ada tiga tambahan kursi kayu berukiran di pojok ruangan. Jadi sekarang jumlah kursi di ruang tamunya pas ada 6. Tidak seperti dulu yang hanya 3. Suka kesulitan kalau ada tamu rombongan.

Masih ada beberapa perubahan kecil lain disana. Foto dirinya bersama seorang pengusaha Jepang terpampang gagah di tembok ruang tamu. Sebuah foto yang sengaja dia ambil saat sedang study tour ke sebuah perusahaan internasional di Tokyo.

 Dimas kembali mengamati tiap sudut rumahnya. Ia tersenyum melihat stiker bertuliskan Japan dengan huruf kanji tertempel di almari ruang tengah. Stiker murahan yang dibelinya saat pertama kali tiba di Jepang. Dulu saat dia baru tiba disana, segala sesuatu tentang Jepang rasanya ingin dia bagi dengan keluarganya. Oleh karena itu pernak-pernik sederhana dan murah dia kumpulkan untuk kemudian dia kirim ke Malang.

“Ibu mana Oma?”
Oma yang sedang membuatkannya minuman di dapur sepertinya tak mendengar pertanyaan Dimas. Akhirnya Dimas pun menyusul Oma dan Keke ke dapur.

“Ibu mana Oma?”

“Kamu aduk ini ya Ke…” Oma menyerahkan sendok kepada Keke yang langsung melanjutkan mengaduk teh hangat untuk kakaknya.

“Jam segini ini Ibu kamu ya belum pulang to Dim. Biasanya kan kamu tau sendiri Ibu kamu itu kalau belum gelap belum mau pulang.” Oma berjalan menghampiri almari di dekat kompor gas.

“Loh…Ibu masih jualan di pasar?”

Oma kembali tersenyum.

“Ibu kamu itu mana mau disuruh berhenti kerja walaupun kamu kirim uang tiap bulan? Kamu itu kaya ga tau Ibumu aja Vin….” Oma berbicara sambil menata kue bolu ke dalam piring yang akan dia sajikan bersama teh hangat untuk cucunya.

“Owh….aduh…padahal Dimas sudah kangen sekali sama Ibu nih….”

“Sabar….sekarang sudah jam 5. Sebentar lagi Ibumu pasti pulang. Mendingan kamu minum dulu ini tehnya sama dimakan ini kuenya. Habis itu kamu langsung mandi terus dandan yang ganteng. Ibu kamu pasti langsung nangis tuh liat kamu nanti….” Oma bicara sambil terus tersenyum pada cucu kesayangannya itu.

“Ini Kak tehnya. Diminum ya Kak…dijamin manis kayak yang bikin…” Keke tersenyum manja pada Dimas sambil meletakkan baki berisi teh dan kue bolu.

“Kayak Oma dong…” Dimas menyeruput teh hangat yang disodorkan adiknya.

“Ih…kakak…ya kayak Keke lah…” Keke sedikit memanyunkan bibir pada kakaknya itu.

“Yeee…apaan…orang kamu cuma bantuin ngaduk doang…”

“Ihhh…” Keke meninju pelan lengan kakaknya itu.

Dimas berusaha menghindar sambil mencomot kue bolu buatan Omanya.

Oma Dimas hanya tersenyum melihat tingkah kedua cucunya itu. Tak sabar rasanya mendengar cerita cucunya yang baru pulang dari Jepang.

Tak sabar untuk malam ini…..


***


Pukul 18.10

Dimas duduk bersila di lantai kamarnya sambil memandangi barang warna-warni yang berjajar di hadapannya. Semua itu adalah oleh-oleh yang dibawanya dari Jepang. Tadi dia sudah memberikan bagian Keke dan Oma. Sekarang giliran oleh-oleh untuk Ibunya.

“Satu….dua….tiga.. pas…” Dimas tersenyum saat telunjuknya mengarah ke hadiah ke empat yang akan diberikannya pada Ibunya.

Tok tok tok…

“Dim….”

Dimas sontak menoleh ke arah pintu saat namanya dipanggil.

“Iya Oma…”

“Cepet keluar. Ditunggu di depan TV ya….”

“Iya Oma….” Dimas segera membereskan tasnya yang agak berantakan lalu segera meraih semua kado-kado yang sudah dia susun rapi. Dimas setengah terburu-buru membuka pintu kamarnya dan bergegas ke ruang tamu. Ia tak sabar ingin segera memberikan semua itu pada Ibunya.

Sudah ada Oma dan Keke yang duduk di sampingnya.

“Mana Ibu?”

“Iya bentar….duduk sini dulu…” Oma menepuk kursi di sebelahnya.

Dimas duduk di samping Oma dengan masih memeluk kado-kadonya.

“Banyak amat kadonya Dim?”

“Hehe…..” Dimas hanya nyengir. Dipeluknya kado-kado itu erat-erat. Dia masih terus tersenyum membayangkan Ibunya ke pasar dengan memakai sendal ala Jepang yang dia belikan. Lalu semua orang akan berkata, “wah…bagusnya…asli dari jepang ya Bu?” Kemudian Dimas membayangkan ada yang menyahut, “Iya dong….putranya kan baru saja pulang dari Jepang.” Lalu orang-orang akan berdecak kagum, “wah hebaaattt…”

Hag hag hag…. Dimas senyum-senyum sendiri membayangkan fantasi bodohnya yang agak sedikit sombong itu.

“Ibu kamu meninggal Dim….”

Senyum Dimas surut. Seperti ada sesuatu yang meremas jantungnya saat dia mendengar kata-kata tak jelas itu terlontar dari mulut Omanya.

“Apa?”

Ditatapnya mata Omanya yang tak sedikitpun menyiratkan kebohongan.

“Ibu kamu meninggal Dimas….”

Oma tak berani menatap mata cucunya. Ia tertunduk menatap kado-kado yang sedang dipeluk erat oleh Dimas. Sebulir air mata menetes dari sudut mata wanita dengan wajah keibuan itu. Oma menggigit bibirnya seolah menahan perih yang sekian lama dipendam.

Dimas menatap Keke yang sekarang sudah bebas tanpa harus bersandiwara. Keke sekarang bebas menumpahkan air matanya.

Dimas kembali menatap wajah Omanya berharap ada penjelasan lebih dibalik kata-kata menjijikkan yang barusan dia dengar.

Tiba-tiba Keke beranjak dari duduknya dan tanpa diduga dia jatuh berlutut di hadapan Dimas.

“Maafin Keke Kak….Keke ngga jagain Ibu…..” Keke menangis terisak sambil memeluk kaki kakaknya.

Dimas menjatuhkan kado2nya begitu saja ke lantai. Tangannya mengepal kuat di pahanya.

“Maafin Keke Kak… Ibu kecelakaan….“ Keke masih terus menangis sambil memegangi kaki Dimas. Sementara Oma tak bicara apapun.

Dimas menatap kado-kado yang berserakan di lantai tepat di bawahnya.
Dimas menatapnya dalam.
Kosong…
Wajahnya yang putih mulai memerah.

Setitik air mata jatuh membasahi bungkusan kado berwarna ungu yang berisi sebuah syal bulu hangat. Dimas tak bergerak. Tak bicara. Dia masih menatap kado-kado itu. Hanya air mata yang mewakili perasaannya.

Keke yang memeluk kaki Dimas tiba-tiba ambruk. Dia pingsan. Rio yang sedari tadi hanya menatap adegan itu dari balik pintu tanpa berani masuk sontak berlari dan meraih tubuh adik Dimas yang terkulai lemas di lantai.  Dimas tak bergerak sedikitpun. Tak ada reaksi walaupun adiknya terkulai tepat di samping kakinya. Dia masih menatap kado-kado itu.

Oma yang hendak menolong Keke mengurungkan niatnya begitu melihat Rio yang sudah buru-buru menggendong Keke dan membawanya  ke ruang tengah. Rio mengurus Keke. Sedangkan Oma kembali duduk dan masih menangis di samping Dimas.

“Maafin Oma Dimas….Oma…..”

“Kapan?”

Dimas mencoba bicara….. Pelan…. dia tak mampu menyembunyikan getar dalam suaranya.

“Maafin Oma….”

“KAPAN??!!” Dimas membentak Omanya tanpa mengalihkan sedikitpun pandangannya dari kado di bawahnya yang basah karena tetesan air matanya sendiri.

Oma mengepalkan tangannya. Rasa bersalah karena telah membohongi cucunya selama ini terasa begitu kuat menghantam ketika menatap cucu lelakinya menangis tertunduk di hadapannya. “Setengah tahun yang lalu…..”

Dimas memejamkan matanya yang terasa panas dan perih. Bayangan Ibunya, saat terakhir kali dia mencium tangannya, percakapan terakhir mereka di telfon, Jepang, semuanya…..

“Oma ngga mau sekolah kamu terganggu Dim….Maafin Oma….”

Dimas menjambak-jambak rambutnya sendiri. Bulir-bulir air mata masih mencoba menerobos kelopak matanya yang terpejam. Oma mengelus punggung cucunya yang semakin terisak menatapi kado-kado yang berserakan di lantai.

“IBUUUUU!!!!”

Di ruang tengah, Rio yang sedang duduk di samping Keke, memejamkan matanya menahan sakit hati mendengar teriakan pilu dari sahabatnya di ruang depan.

“Maaf Dim… maaf tadi aku bohong.. ngga ada selamatan… aku hanya tak tega melihatmu… maafkan sahabatmu ini Dim… maaf…..’


***


Malang, 12 Februari 2009.


Keke tak pernah membayangkan bahwa pagi itu akan menjadi pagi terakhirnya melihat Ibunya. Baru 3 jam yang lalu Ibunya berangkat ke pasar dan dia sendiri melangkah santai menuju SMP nya tercinta dengan penuh semangat.

Baru 2 mata pelajaran dia lalui, tiba-tiba wali kelasnya memanggilnya dan memintanya keluar kelas dengan membawa tas. Wali kelasnya mengantarkan Keke sampai di rumah tanpa mengatakan apapun. Keke baru menyadari apa yang terjadi saat dia melihat bendera kuning di halaman rumahnya. Dan rasa takutnya terbukti saat melihat jasad ibunya terbaring di tengah-tengah ruang tamunya dengan sudah terbungkus rapi.

Tadi di sekolah sebuah telefon mengabarkan bahwa Ibunya meninggal di rumah sakit karena kecelakaan.

Keke benar-benar shock dengan apa yang menimpanya. Keke terus berteriak meronta-ronta saat jenazah ibunya dimasukkan ke liang lahat.
Tak ada seorangpun yang berani mengabari Dimas tentang hal ini.

Setelah pemakaman selesai, Keke yang tak kuat lagi menahan perasaannya, dengan penuh emosi tanpa sadar sontak meraih telefon dan memencet nomor kakaknya.

Dimas tak juga mengangkat telefonnya tapi Keke tetap bersikeras menghubunginya. Namun, baru sebentar kakaknya berhasil menyahut, Keke tak kuasa menahan badannya yang sudah lemas. Ia jatuh pingsan. Untung ada Oma yang segera tau perbuatan Keke. Dan beruntung Keke belum sempat mengucapkan apapun pada Dimas. Oma tak mau mengganggu kuliah Dimas. Akhirnya Oma memutuskan untuk berbohong dan tidak memberitahu Dimas.

[Flashback End]

***



“Ini makam Ibuku Git…..”
Gita menatap salah satu nisan di sampingnya. Nisan yang paling dekat dengan kakinya di antara nisan-nisan yang lain di sekelilingnya. Gita mencoba membaca apa yang tertulis disana.

Allena.

Ya… nama itu… Gita ingat Dimas pernah menceritakannya. Itu nama Ibu Dimas.

Dimas duduk di samping makam Ibunya. Gita juga melakukan hal yang sama. Gita menatap Dimas yang tak bisa menyembunyikan kesedihan dari sorot matanya saat ia mengelus nisan ibunya perlahan.

Dimas memejamkan matanya. Dia berdoa sejenak untuk orang yang paling disayanginya itu. Gita pun menuruti apa yang dilakukan Dimas. Dia ikut memejamkan mata dan berdoa.

Sejenak kemudian, hening mendominasi keadaan. Tiupan semilir angin menerpa dan meniupkan aroma bunga kamboja pada sekitarnya.

Masing-masing sudah selesai berdoa dan membuka mata. Dimas menatap makam Ibunya. Tangannya menggenggam kuat sesuatu di dalam saku celananya. Dimas menarik napas dalam-dalam. Perlahan dia mengeluarkan benda itu dan menyodorkannya pada Gita.

Gita yang sedari tadi masih tertegun menatap nisan di depannya berhasil dibuat kaget karena sesuatu yang disodorkan Dimas. Sebuah kotak merah terbuka berisi cincin emas.

“Git… di depan makam ibuku… aku ingin memintamu menjadi istriku… bersediakah kamu?”

Gita menatap kotak itu. Gita tak kuasa menahan air matanya. Ditatapnya wajah orang yang sangat disayanginya itu. Orang yang selama ini selalu menjaganya. Yang selalu menerima dia apa adanya. Yang tak pernah sedikitpun membuatnya sakit hati. Yang selalu mewarnai hidupnya dengan segala sikap rendah hati, bijaksana, penyayang dan perhatian yang dimilikinya. Latar belakang hidup Dimas membuat dirinya begitu tampak bersahaja di mata Gita.

Gita mengusap lelehan air mata di pipinya. Perlahan ia mengangguk. Seulas senyum tersungging di antara butiran bening yang jatuh menelusuri lekuk pipinya.

Dimas tersenyum lega. Ia meraih tangan kiri Gita perlahan dan meyematkan cincin emas itu di jari manisnya. Digenggamnya tangan Gita erat-erat. Dimas kembali menatap nisan ibunya.

“Ibu… semoga kau bahagia… lihatlah dia Ibu… aku menyayanginya…”

Suara gesekan daun-daun kamboja di atas mereka terasa menggema di tengah tanah sepi itu. Tiupan angin menjatuhkan bunga kamboja kuning tepat di hadapan mereka. Gita membelai pundak Dimas. Dimas balik merangkul bahu gadis itu.

“Ibu…..”


*THE END*

***


Muahahahahaha *tawa stress*
Akhirnya nih cerpen tantangan dari Nazzie Mimie Eonnie selesai juga!!! >.< *sujud syukur*
Anyway, honestly, nulis nih cerpen tiap kali ngetik kata ‘Dimas’ pasti nyeleweng jadi ‘Jin Ki’ >< soalnya udah kebiasaan pake tokoh Jin Ki sih aduuuuh >< #gapentingwoy
Semoga tidak aneh dan tidak mengecewakan *amin*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar