Izinkan aku bercerita. Tentang perasaan ini. Ah, tapi bagaimana
mungkin? Betapa sukarnya menguraikan rasa ini lewat kata-kata.
Sabtu, 27 Oktober 2012
Jumat, 19 Oktober 2012
Memang Benar
Kau adalah purnama atas malam yang pekat.
Kau bersinar. Dan aku mengagumimu, dalam diam yang
wajar.
LANGIT
Menyaksikan Tuhan memoles langit dengan warna-warni
indah seperti itu, rasanya tak cukup kalau aku
katakan bahwa aku takjub. Aku tidak habis-habisnya
mensyukuri hidup yang indah meski terkadang membuat
aku takut.
Untukmu, Pangeran Buruk Rupa
Hai kamu,
Pangeran Buruk Rupa yang sangat kukagumi senyumnya.
Biar kuselesaikan saat ini juga.
Bait-Bait yang Kutulis untuk Kau Baca Esok
Dahulu ia bernama engkau, sedang kini kusebut ia
rindu yang risau.
TAK SEPERTI DONGENG
Kau tak akan melihat gadis jelita mengejarmu dengan sepatu kaca.
Sepatuku bertali, sehingga tak akan lepas saat
mengejarmu yang kian berlari.
QUASIMODO || Kepingan Ketujuh
PART 7: Feelings Left Unseen,
Things Left Untold
Di Part 6 kemaren, ada Jin Ki
dan Hye Rim. Tapi kalo masih pada inget, di Part 5 yang kemarennya lagi, Kyu
Hyun mau jemput seseorang. Siapa? Siapa? Siapaaaa?
Find out the answer here, in
this part.
***
Beggin, beggin you…
Put your love in hand out
baby
Beggin, beggin you…
Put your love in hand out
darling
(Madcon – Beggin’)
***
Kyu Hyun mematikan mesin
mobilnya. Dia menimbang-nimbang sejenak, perlu atau tidakkah ia turun dari
mobil. Setengah hatinya ingin turun dan menyapa gadis itu. Tapi setengah
hatinya lagi merasa segan, melihat betapa gadis itu nampak tengah akrab
bercanda dengan seorang lelaki berpostur sedang.
Tanpa sadar, Kyu Hyun
mengetuk-ngetukkan telunjuknya di dagu. Sedikit merasa kesal, bukankah gadis
itu tahu bahwa dia akan datang untuk menjemputnya?
Hei, kenapa ia harus merasa
kesal?
Kyu Hyun menggeleng sendiri,
lalu meraih ponsel dari balik saku celananya. Dengan cepat dia menekan sejumlah
tombol yang menghubungkannya dengan gadis itu. Sambil mendengarkan nada
panggil, Kyu Hyun mengamati gerak-gerik gadis itu dari balik jendela mobil di
hadapannya.
Benar saja, gadis itu nampak
menghentikan obrolannya dengan si pria-tinggi-berjambul-aneh itu dan merogoh ke
dalam tasnya. Memandangi layar ponsel, lalu mengangkat kepala. Dia melambai ke
arah Kyu Hyun, sementara nada panggil di telinga Kyu Hyun berganti menjadi
nada-nada pendek, menandakan panggilan Kyu Hyun tadi diakhiri sepihak. Kyu Hyun
memasukkan kembali ponsel ke dalam saku celananya. Matanya tak lepas mengiringi
gerak-gerik si gadis yang tengah berjalan dengan langkah ringan menuju
mobilnya.
Pintu mobil terbuka. Si gadis
masuk, menghempaskan tubuhnya di kursi penumpang sambil membenahi ikatan
rambutnya.
“Siapa?” tanya Kyu Hyun
langsung tanpa menutupi rasa tidak suka dalam nada bicaranya.
“Kenapa kau lama sekali huh?”
bukannya menjawab pertanyaan Kyu Hyun tadi, gadis itu malah mengeluh.
“Jawab pertanyaanku dulu.”
kata Kyu Hyun, masih sedikit kesal.
“Pertanyaan yang mana?”
“Siapa? Yang tadi mengobrol
dengamu?”
“Oh. Itu? Yang memakai kemeja
putih itu?”
“Iya. Yang jambulnya aneh.”
Sahut Kyu Hyun datar sambil memutar kunci mobil.
“Hey, rambutmu juga aneh
tahu…” gadis tadi menjawab dengan santai.
“Siapa?”
“Eh, memangnya belum ku jawab
ya?”
“Belum, babo.”
“Hmm… maraaaaaaaaaaaah.. Kau
tahu tidak, kalau marah itu bisa menyebabkan munculnya jerawat, keriput dan
semacamnya. Terus, kalau kau..”
“Neoraaaaaaa….”
“Yak! Hadir!”
“Siapa?” Kyu Hyun mengulangi
pertanyaannya sambil memutar arah mobilnya untuk keluar dari pelataran parkir
kampus itu.
“Oh, yang tadi? Temanku. Kim
Jong Hyun.”
“Oh.”
“Tampan ya?” tanya Neora,
dengan nada sedikit menggoda.
Kyu Hyun menoleh, lalu
tersenyum jahil ke arah Neora. “Kenapa? Kau menyukainya?” tanya Kyu Hyun tanpa
ampun.
“Mwo? Kenapa kau bertanya
seperti itu?”
Kyu Hyun tidak menjawab.
Perhatiannya kembali terfokus pada jalanan di depannya. Setelah keluar dari
kompleks kampus tempat Neora kuliah, jalanan kembali berciri khas ala Seoul.
Padat.
Neora mengangkat bahu. Merasa
malas untuk menyinggung hal tadi kembali.
“Sepertinya, namja itu
menyukaimu…” kata Kyu Hyun tiba-tiba.
Kedua lengkungan tebal di
atas mata Neora terangkat. “Siapa?”
“Dia. Si jambul aneh tadi…”
“Jong Hyun-ie?”
“Iya. Jong ding jong ding
ding dung….”, kata Kyu Hyun dengan nada datar. Kedua tangannya masih erat
melekat di roda kemudi.
“Daripada kau? Kyu kyu
kukuruyuk ” balas Neora.
“Kau juga menyukainya?” Kyu
Hyun tidak mengacuhkan kata-kata Neora tadi.
“Apa urusannya denganmu….”
Jawaban Neora kini terdengar sedikit ketus.
Kyu Hyun menyeringai, lalu
melirik sekilas ke arah Neora. “Kau pernah menyukai seorang namja tidak sih?”
Neora melirik ke arah Kyu
Hyun, lalu memilih untuk memandangi arus lalu lintas lewat jendela di sisi
kirinya.
“Pertanyaan yang tidak
penting.”
“Mwo? Tidak penting??”
“Kenapa kau harus repot-repot
memikirkan siapa namja yang kusukai?” kali ini Neora balik bertanya. Ada ironi
dalam pertanyaannya, meskipun, tentu saja, pemuda itu takkan pernah tahu.
Kyu Hyun terkekeh. “Yaaa…
siapa tahu. Lagipula sebagai saudara iparmu, aku kan juga ingin melihatmu
bahagia..”
Neora menoleh ke arah Kyu
Hyun sambil mengerutkan kening. “Mwo? saudara ipar? Masih calon tahuuuu…” tukas
Neora.
“Ya, terserah. Mau dibilang
calon juga tak apa. Tapi aku adalah calon yang paling berprospek…” sahut Kyu
Hyun dengan santai. Kakinya bergerak untuk menginjak pedal rem, mengikuti
isyarat lampu lalu lintas yang sudah berganti menjadi merah.
“Terserah kau sajalah…”
“Eh, tapi kau sungguh belum
pernah menyukai seorang namja?” nada suara Kyu Hyun terdengar penasaran. Dia
kali ini menoleh ke arah Neora, ada ekpresi ingin tahu di raut tampannya.
“Cerewet. Yang penting aku
tidak pernah menyukai sesama yeoja, puas?” sahut Neora, memain-mainkan jarinya
di tombol audio player di mobil itu.
“Ah, aku serius…”
“I refuse to give any comment
on that…” sahut Neora datar.
“Ya sudah, pertanyaannya ku
ganti. Memangnya tipemu seperti apa?”
Neora melirik ke arah Kyu
Hyun, yang tengah menatapnya dengan penasaran. Dalam hati Neora sendiri
membatin, betapa dia sebenarnya juga tidak mengerti, apa yang membuatnya
menyukai pemuda di sebelahnya ini.
“Molla…” akhirnya Neora
menjawab sambil mengangkat bahu.
Kyu Hyun tertawa, panjang.
Membuat pipi Neora merona tanpa bisa dia cegah.
“Lapipula, kau itu terlalu
galak sebagai seorang yeoja.. Yang ada nanti namja yang kau sukai tidak
menyadari dan kabur setelah mendekatimu…” kata Kyu Hyun dengan santai, sedikit
menggoda.
“Iya. Sepertinya ia tidak
pernah menyadarinya.” cetus Neora begitu saja. Dan begitu huruf terakhir
terucap dari bibirnya, Neora langsung menyadari kebodohannya. Sial. Kenapa ia
tidak bisa mengerem kata-katanya?
Kyu Hyun menoleh cepat. “Hah?
Siapa? Siapa yang kau sukai?” suara Kyu Hyun terdengar penuh minat.
Neora mendengus pelan. Kesal,
pada dirinya sendiri. Pada Kyu Hyun, yang tidak pernah sadar bahwa ada benih
kekaguman yang saat ini telah tumbuh menjadi sekuntum cinta, tanpa pernah
berbalas.
“Yang pasti bukan kau…” tukas
Neora. Sekali lagi menambah daftar kebohongannya. Diam-diam menikmati perih
yang diciptakan oleh kebohongan yang diucapkannya sendiri.
“Hah? Kenapa? Aku tidak
keberatan kalau kau menyukaiku…” Kyu Hyun menggoda. Masih dengan senyum itu.
Senyum yang sejujurnya adalah goresan abadi dalam salah satu sudut hati Neora
yang terdalam.
Neora menjulurkan lidah ke
arah Kyu Hyun. “Tidak akan. Lagipula… Kau kan menyukai adikku…” kata Neora.
Dalam kegetiran yang hanya bisa dirasakannya sendiri.
Kyu Hyun tertawa kecil.
Pandangannya tertuju lurus ke depan. Sama sekali tidak menyadari betapa dialog
ini membuat hati Neora seakan retak, siap untuk berai, berhamburan.
“Iya juga ya… Kalau kau
menyukaiku, kau yang kasihan, karena aku menyukai adikmu sendiri… benar juga..”
Kyu Hyun terkekeh. Merasa geli sendiri, membayangkan seandainya hal itu
benar-benar terjadi.
Di sebelahnya, Neora menutup
mata. Menggigit bibirnya kuat-kuat. Jemarinya mengepal semakin kuat. Neora bisa
merasakan kuku-kukunya yang menancap dalam di telapak tangannya. Sakit. Tapi
apalah artinya sakit itu dibandingkan apa yang harus dihadapi perasaannya saat
ini?
Neora tersenyum. Pahit. Dalam
hati, dia mentertawakan sendiri betapa ironisnya semua ini. Betapa semua yang
dianggap Kyu Hyun hanya sekedar pengandaian adalah kenyataan yang tersembunyi.
Neora meneguk kecewanya.
“Kau menjemputku di kampus
karena ada yang ingin kau bicarakan, soal apa?”
Ekspresi Kyu Hyun yang tadi
masih diliputi senyum sontak berubah. Sekilas, seperti ada kabut yang
menggelayut di wajah itu.
Kyu Hyun memutar kemudi ke
kiri, mengikuti alur jalan. Ia menarik nafas panjang, lalu mendesah keras.
Berharap helaan nafas panjang itu bisa sedikit mengurangi sekilas rasa putus
asa yang mulai timbul.
“Soal Yoon Hee…” kata Kyu
Hyun. Pendek.
“Oh.” Jawab Neora, tak kalah
pendek. Lewat lirikan cepat di sudut matanya, Neora dapat menatap sekilas
bayangan putus asa di wajah Kyu Hyun. Tulang rahang pemuda itu nampak tegang,
seperti berusaha berpikir keras.
Diam-diam, Neora mempererat
cengkeramannya pada jok mobil.
“Kenapa dengan Yoon Hee?’
tanya Neora dengan tenang. Dalam hati Neora tertawa sendiri. Pahit. Mengagumi
betapa dirinya bisa berujar setenang itu pada saat degupan jantungnya tidak
berdenyut teratur.
Kyu Hyun memiringkan sedikit
kepalanya ke kanan. Matanya menatap lurus ke depan, tapi di benaknya, raut
wajah Yoon Hee masih tetap terbayang. Kyu Hyun bukan orang bodoh yang tidak
bisa memahami isyarat penolakan halus dari Yoon Hee. Tapi toh, itu tidak mencegahnya
untuk tetap berusaha menawarkan dirinya sebagai bagian dari kepingan hari-hari
gadis itu.
“Dia…” Kyu Hyun terdiam
sejenak. Menimbang-nimbang pilihan kata untuk menanyakan hal yang selama ini
terus mengganggunya.
Neora menoleh sekilas.
Membiarkan dirinya menikmati sesaat lekukan wajah Kyu Hyun, sementara Kyu Hyun
sendiri masih terlalu tenggelam dalam monolog pertanyaan tak berjawab di
otaknya.
Neora menarik nafas, lalu
berpaling ke kiri. Mencari luas langit biru yang mungkin bisa membantunya menenangkan
diri.
“Yoon Hee kenapa?”
Dengan bibir sedikit
mengerucut, Kyu Hyun mengetuk-ngetukkan jari pada kemudi. “Dia… masih
menyayangi Lee Jin Ki?” akhirnya pertanyaan itu terlontar juga.
Neora menggigit bibir.
Mengingat kembali betapa wajah adiknya itu kini kehilangan pancaran semangat.
Sudah berapa kali Neora memergoki Yoon Hee duduk sendirian, menatap kosong ke
arah langit senja? Beberapa percakapan mereka terkadang terasa kering, karena
Yoon Hee seperti menjawab sambil bermimpi.
Yoon Hee seakan semakin
menjauh. Semakin mengerut dalam dunianya sendiri. Dunianya sendiri yang terisi
oleh kekosongan akan kenangan.
Neora memejamkan mata. Ada
kesedihan membuncah di hatinya.
“Masih kah?” suara Kyu Hyun
terdengar kembali.
Neora menoleh sambil mengangkat
bahu.
“Kau tidak pernah menyinggung
hal ini padanya?” Kyu Hyun mengejar kembali dengan pertanyaan.
Neora tercenung, sedikit
tertunduk. Dia lalu mendesah perlahan. “Aku.. pernah bicara padanya, kalau
sudah saatnya untuk move on…”
“Lalu, dia bilang apa?”
Neora kembali mengangkat
bahu. “Dia hanya tersenyum. Lalu bilang ‘gwaenchana…’. Jawaban paling klise
untuk menunjukan kalau dia tidak mau membahas hal itu.”
Kyu Hyun mendecak kesal.
“Sampai kapan dia akan seperti itu?”
Neora menoleh, lalu tertawa.
Sinis. “Maksudmu, sampai kapan kau harus menunggu hingga dia mau menerimamu,
begitu?”
Kyu Hyun mengerutkan kening.
“Aniya…” elaknya.
“Don’t push her, Kyu
Hyun-ah…”
“Maksud mu?”
“Jangan paksa dia untuk
menerimamu, sebagai pengganti Jin Ki..”
Kyu Hyun kembali mendecak
kesal. Seakan itu bisa mengurangi kekesalannya, Kyu Hyun menginjak pedal gas
sedikit lebih dalam untuk menyalip mobil di depannya.
“Apa kekuranganku dibanding
Lee Jin Ki?”
“Kekuranganmu? Hanya satu,
Kyu. Kau bukan Lee Jin Ki…” sahut
Neora dengan tenang. “Kau bisa saja menjadi namja paling ROMANTIS sedunia. Kau
bisa saja menjadi namja TERTAMPAN sedunia. Kau bisa saja menjanjikan Yoon Hee
untuk memberinya APAPUN yang dia mau. Tapi, satu hal, kau tidak bisa menjadi
seorang Lee Jin Ki, yang Yoon Hee sayangi...”
Kyu Hyun menggeretakkan gigi.
“Dari dulu aku tak pernah suka dengan namja itu…” kata Kyu Hyun tanpa sedikit
pun menyembunyikan nada kesal dalam kata-katanya tadi.
Neora tertawa kecil. “Kau
tidak menyukainya karena hal sepele. Hanya karena Lee Jin Ki, dan bukannya
dirimu, yang bisa membuat Yoon Hee jatuh cinta.”
Kyu Hyun memencet tombol
klakson dengan tidak sabar. Siapa yang suka diingatkan akan suatu kekalahan
yang menyakitkan?
“Kau pikir aku tak tahu kalau
kau dulu suka melihat mereka berdua dari kelas? Kau pikir aku tak tahu kalau
bermain futsal dengan Jin Ki, kau cenderung lebih kasar padanya daripada ke
orang lain? Kau pikir aku tak tahu kalau di organisasi dulu, kau paling kritis
pada Divisi Pendidikan, hanya karena Jin Ki yang jadi ketuanya?”
Kyu Hyun melirik sekilas ke
arah Neora. Nafasnya terasa sedikit terbebani oleh kemarahan yang semakin
menjadi-jadi.
“Aku tak pernah tahu kalau
kau memperhatikanku hingga sedetail itu…” balas Kyu Hyun, tidak kalah sinis.
Neora mengangkat bahu dengan
santai sambil tersenyum kecil. “I’m good in observing people…”
Kyu Hyun tidak menanggapi.
Tiba-tiba Neora terkekeh pelan.
“Mwoya?” tanya Kyu Hyun
ketus.
“Kau tahu tidak hal yang
menurutku paling kronis? Dengan semua kelakuanmu itu, Jin Ki sama sekali tak
pernah merasa bahwa kau sebenarnya tak menyukainya. Dia tetap saja menganggap
mu sebagai kakak kelas yang patut dihormati. Tiap kali dia bertemu denganmu,
dia yang selalu membungkuk dan menyapa duluan, sementara kau hanya akan
mengangkat alis. Saat kau ke rumah dan Jin Ki sedang bersama Yoon juga, dia tak
pernah segan mengajakmu mengobrol, walaupun tanggapanmu tak acuh padanya..”
Kyu Hyun mengencangkan
genggamannya di setir kemudi. Ada amarah masa lalu yang dibangkitkan kembali
dan menyesakkan dadanya. Sementara di sebelahnya, Neora menggeleng pelan, masih
ada senyuman kecil di bibirnya.
“Masalahmu adalah, kau
sebenernya masih tidak bisa menerima kalau Yoon Hee LEBIH MEMILIH Jin Ki daripada dirimu. Sementara, masalah
Jin Ki adalah, dia terlalu polos dan terlalu baik hati untuk bisa curiga pada
sikap orang lain padanya.”
Kata-kata terakhir Neora tadi
memantik sebuah senyum di bibir Kyu Hyun.
“Iya… Kau benar…”
Neora tersentak, dengan cepat
dia menoleh ke arah Kyu Hyun. Melihat wajah Kyu Hyun, Neora mengangkat alis.
Kyu Hyun masih memandang lurus ke depan. Tapi ada seulas senyum yang tiba-tiba
muncul disana. Senyum tipis yang menyiratkan kepuasan.
“Benar? Yang mana?”
Kyu Hyun menyahut dengan
santai. “Jin Ki itu terlalu polos. Terlalu baik hati.”
Neora mengerutkan kening. Ada
sesuatu yang tidak bisa dimengertinya. Dan hal itu menggelitik rasa ingin tahu
Neora.
“Tumben, kau mengakui kalau
Jin Ki baik hati…” pancing Neora.
Kyu Hyun terkekeh pelan. Aura
kemarahan yang tadi menguar darinya menguap begitu saja. “Karena terlalu baik
hati, ia mau melakukan apa saja untuk menolong orang lain…”
“Iya, dari dulu Jin Ki memang
seperti itu…” ujar Neora dengan hati-hati, berusaha menebak arah percakapan
itu. Dengan heran Neora menatap senyum aneh itu muncul kembali di bibir Kyu
Hyun.
“Itu persamaan Jin Ki
denganku.” Kata Kyu Hyun lagi. “Sekaligus, itu juga yang membedakanku
dengannya…”
Kerutan di kening Neora
semakin dalam. “What are you actually trying to say?”
Kyu Hyun mengangkat bahunya.
“Aku dan Jin Ki sama-sama mau melakukan apapun. Tapi kalau Jin Ki, ia mau
melakukan apapun karena ia dengan polosnya selalu ingin berbuat baik pada semua
orang. Sementara aku, aku ingin melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang ku
inginkan…”
Neora menatap Kyu Hyun dengan
penuh tanda tanya yang berdesakan di pikirannya. Merasa diperhatikan, Kyu Hyun
menoleh untuk memandang Neora.
“Kenapa kau terlihat sekaget
itu? Wajar kan, kalau seseorang melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang ia
inginkan?”
Neora tidak mengalihkan
pandangannya dari Kyu Hyun, yang kini telah kembali berkonsentrasi pada jalanan
di depannya.
Entahlah, tiba-tiba saja
Neora merasa berhadapan dengan sisi lain dari Kyu Hyun yang sebelumnya tidak
pernah dikenalnya.
“Dan sepertinya, kau sudah
tahu kan apa yang ku inginkan saat ini?” tanya Kyu Hyun.
“Saat ini, dan semenjak
dulu?”
Kyu Hyun tertawa mendengar
sahutan Neora. “Saat ini, dan semenjak dulu.” Kyu Hyun membenarkan. Ada
keyakinan dalam kata-katanya.
“Aku adalah tipe orang yang
akan melakukan segala hal untuk mendapatkan apapun yang semenjak dulu dan
sampai saat ini masih ku inginkan…”
Tiba-tiba Neora merasa
kilatan firasat menerobos di hatinya. Neora menatap Kyu Hyun, berusaha mencari
pembenaran bahwa ia tidak perlu percaya atas apa yang diam-diam dibisikkan
firasatnya itu.
Kyu Hyun mematikan mesin,
lalu memutar tubuhnya untuk memandang Neora. Ekspresi ketegasan yang sedikit
menakutkan itu tak bersisa. Hanya sebuah senyuman miring di wajah tampannya.
“Singgah disini dulu ya? Aku
lapar. Temani aku makan siang dulu..”
***
TBC
—Yoon—
QUASIMODO || Kepingan Keenam
Author :
Yoon
Cast :
·
Lee Jin Ki
·
Han Yoon Hee
·
Cho Kyu Hyun
·
Han Neora
·
Park Hye Rim
·
Yg lain
muncul bergantian:p
Genre : apa aja boleeee[?]
Length :
Chaptered
Disclaimer : FF ini milik SAYA^^!!! Han Yoon Hee
MILIK Lee Jin Ki xD Lee Jin Ki milik…. banyak orang ._. #ngenes #abaikan
Happy reading^^
PART 6: Is it A Way Back into Love?
Sepertinya Kyu Hyun masih belum berhasil menjadi pengganti Jin
Ki, karena sepertinya Yoon Hee masih menaruh harapan pada Moon-nya. Oh well, si
Jin Ki sendiri apa kabar ya?
+++
I've been living with a shadow overhead
I've been sleeping with a cloud above my bed
I've been lonely for so long
Trapped in the past, I just can't seem to move on
I've been hiding all my hopes and dreams away
Just in case I ever need em again someday
I've been setting aside time
To clear a little space in the corners of my mind
All I want to do is find a way back into love
I can't make it through without a way back into love
(Way Back into Love – Hugh Grant & Drew Barrymore)
+++
Halaman diktat kuliah yang ada di pangkuan Jin Ki tidak
bergerak semenjak setengah jam yang lalu. Apa yang ada di hadapannya sepertinya
lebih menarik. Tanpa sadar, Jin Ki nyaris tak berkedip menyaksikan Hye Rim
menggoreskan pensil di halaman putih buku sketsanya.
“Bagus!” celetuk Jin Ki tiba-tiba.
Hye Rim terkesiap, menoleh ke arah Jin Ki sambil mendekap
buku sketsa itu di dadanya.
“Ya! Oppaaaaa… Katanya mau belajar. Kenapa malah melihatku
terus?” Hye Rim merajuk dengan nada sedikit manja. Meskipun diam-diam Hye Rim
menyimpan sendiri rasa melambung yang tiba-tiba mengisi rongga dadanya.
“Mwo? Siapa yang melihatmu? Aku kan memperhatikan gambaranmu…”
goda Jin Ki. Dan seperti yang sudah bisa ia duga, semburat merah berbayang
makin jelas di pipi itu. Menghiasi raut wajah yang sudah hampir empat
minggu ini semakin akrab dengan hari-harinya. Seperti hari ini, ketika mereka
duduk berdua di teras samping rumah Hye Rim setelah pulang dari rumah sakit.
Hye Rim mengerucutkan bibirnya, lalu kembali meneruskan
sketsanya yang telah hampir jadi. Dalam hati, dia menelan sedikit kecewa,
walaupun Hye Rim tahu, mungkin kata-kata Jin Ki tadi hanya sekedar bercanda.
“Hah, ada yang maraaaaaah…” Jin Ki malah terkekeh melihat
perubahan ekspresi wajah Hye Rim. “Atau mungkin kau memang berharap, yang ku
perhatikan itu wajahmu?” goda Jin Ki lagi. Membuat Hye Rim mendelik dan
membelalakkan matanya dengan kesal ke arah Jin Ki.
“Kan? Kan? Semakin merah tuh wajahmuuuu…” tawa lepas Jin Ki
terdengar kembali. Mendengar alunan tawa itu, Hye Rim tak tahan, lalu ikut
tertawa. Tawa Jin Ki seperti selalu menggelitiknya untuk ikut tertawa. Meskipun
saat ini, dia merasakan rasa hangat yang semakin membara di wajahnya.
Jin Ki lalu meraih cangkir berisi cappuccino yang ada di
meja. Sudah tidak banyak yang tersisa dalam cangkir itu, Jin Ki menghabiskannya
hanya dalam dua tegukan. Lalu dia seakan kembali tenggelam dalam diktatnya.
Sambil melanjutkan goresan pensilnya, Hye Rim sesekali
mencuri pandang ke arah Jin Ki. Menelusuri jejak gerak gerik Jin Ki dan
menyimpannya sebagai sebuah sketsa sendiri dalam hatinya.
“Kau memang suka menggambar dari dulu ya?” tanya Jin Ki.
Sedikit terlalu tiba-tiba bagi Hye Rim yang tengah asyik menekuni garis-garis
pelengkap terakhir dari gambarnya.
“Apa?”
Jin Ki tersenyum, menutup diktat di pangkuannya. “Suka menggambar
dari dulu?” Jin Ki mengulangi pertanyaannya.
Hye Rim menatap Jin Ki sesaat, lalu kembali menambahkan
arsiran di beberapa bagian di gambarnya. Tanpa memandang Jin Ki, ia mengangguk.
“Iya, dari dulu…”
“Pantas saja. Gambarmu bagus-bagus…”
“Gomawo…” jawab Hye Rim dengan ringan.
“Kenapa?” tanya Jin Ki lagi.
Hye Rim mengangkat alis, lalu mengalihkan tatapannya pada Jin
Ki. “Maksudnya? Apanya yang kenapa?”
“Kenapa suka menggambar?”
Hye Rim mengangkat bahu. “Mungkin… supaya aku punya jejak.”
“Jejak?”
Hye Rim mengangguk lagi, sudah kembali tenggelam dalam
gambarnya. Ada beberapa garis yang harus ia perhalus.
“Lewat gambar, paling tidak ada sesuatu yang pernah ku
rekam. Yah, syukur-syukur kalau akhirnya karena melihat gambaranku, orang bisa
mengingatku…” kata Hye Rim.
Jin Ki diam. Tidak mengalihkan pandangan dari wajah Hye Rim
yang masih nampak asyik dengan dunianya sendiri. Yang hanya diisi oleh Hye Rim,
pensil dan buku sketsanya. Ada sinar berbeda yang selalu memancar dari wajah HyeRim
saat ia tengah asyik dalam dunia HyeRim-dan-buku-sketsanya. Sinar yang belum
dapat ditafsirkan oleh Jin Ki, tapi akhir-akhir ini membuatnya betah memandangi
gadis berambut coklat panjang itu.
Hye Rim sendiri seakan benar-benar larut dalam dunianya.
Seakan berbicara pada dirinya sendiri, Hye Rim melanjutkan kata-katanya.
“Ada saat-saat dimana kita hanya punya waktu sekian detik
untuk menatap sesuatu. Lalu tiba-tiba, puff… hilang begitu saja. Kalau lewat
gambar, setidaknya detik yang sedikit itu secara ajaib berhenti. Lalu, detik
yang singkat itu, jadi abadi…”
Jin Ki terdiam. Tidak menyangka akan mendengar rangkaian
kata semacam itu. Hye Rim pun tidak mengucapkan apa-apa lagi. Dia mematung,
seakan menikmati sendiri sketsa yang ada di hadapannya. Hye Rim lalu mendesah.
Akhirnya dia mengangkat wajah dan menatap Jin Ki.
“Oppa tahu Van Gogh kan? Da Vinci? Picasso?”
Jin Ki mengangguk. Dia sendiri tidak pernah mengaku sebagai
penikmat seni. Tapi siapa yang tidak pernah mendengar nama-nama terkenal itu?
“Mereka semua sudah tidak ada. Tapi nama mereka abadi.
Kenangan mereka abadi. Apa yang ingin mereka tunjukkan, abadi…” lanjut Hye Rim
perlahan.
Untuk sesaat ada hening di antara mereka berdua. Tidak,
tidak seperti hening yang menyesakkan. Lebih seperti hening dimana kau merasa
ingin mencegah detik jam berlalu mengantarkan waktu.
“Aku… ingin seperti itu juga…” kata Hye Rim tiba-tiba. “Aku
ingin, jika aku mati nanti, masih ada sesuatu yang bisa membuatku diingat oleh
orang-orang yang menyayangiku. Juga oleh orang-orang yang kusayang.”
Hye Rim menunduk begitu menyelesaikan kata-katanya.
Pandangannya menelusuri kotak-kotak putih keramik di lantai. Ada perasaan tak
bernama yang dengan hangat menyelimut hatinya. Rasa menggelitik yang membuat Hye
Rim tak mampu menatap langsung mata Jin Ki, tapi juga seakan tak ingin
melepaskan pandangannya dari wajah yang menawarkan kedamaian itu.
Di sebelahnya, Jin Ki terpaku. Tak tahu harus mengatakan
apa. Bahkan sejujurnya, Jin Ki semakin ragu, perasaan macam apakah yang
seharusnya menyinggahi hatinya saat ini?
Jin Ki berdehem kecil. Lalu terkekeh dengan gugup. “Hye
Rim-ah… Jangan bicarakan hal yang aneh-aneh. Jangan bicara soal kematian…” ujar
Jin Ki, berusaha mencairkan suasana.
Hye Rim malah tersenyum tipis. Diangkatnya kembali wajahnya
untuk balas menatap Jin Ki. “Kenapa? Kenapa tak boleh berbicara soal kematian?”
Jin Ki memutar otak sesaat, lalu dengan ragu-ragu menjawab.
“Tidak baik kata orang-orang..” jawab Jin Ki sambil menggaruk belakang
telinganya. Sebelah matanya agak terpicing, geli sendiri dengan jawabannya
tadi.
Hye Rim tertawa pendek. “Bukannya kematian itu hal yang
pasti?”
“Itu rahasia Tuhan.”
“Iya, aku tahu. Tapi pasti terjadi kan?” Hye Rim berkeras.
“Ah kau ini, mengajak berdebat dengan tema yang berat seperti
ini…” Jin Ki masih berusaha mengelak. Dilambaikannya diktatnya ke arah Hye Rim,
seakan berusaha mencegah Hye Rim melanjutkan argumennya.
Hye Rim diam, tapi tatapan matanya tak berpindah dari wajah Jin
Ki.
“Oppa… takut mati?”
Jin Ki terkesiap. Tidak pernah menduga akan mendapatkan
pertanyaan semacam itu, apalagi dari seorang Hye Rim. Untuk beberapa saat Jin
Ki kembali dilanda kebingungan, memikirkan jawaban macam apa yang harus dia
lontarkan.
“Takut mati? Itu….. yah, tergantung setiap individu…” jawab Jin
Ki akhirnya, masih mengambang tanpa jawaban yang jelas.
“Oppa termasuk yang bagaimana?”
Jin Ki mengangkat bahu. Pertanyaan Hye Rim tadi membuatnya
memikirkan hal yang selama ini jarang terbersit di benaknya. Takutkah dia akan
kematian?
“Mungkin… mungkin, bukan takut akan kematian itu sendiri.
Takut.. karena tidak siap…”
Hye Rim menunggu, Membiarkan Jin Ki melanjutkan
kata-katanya.
“Mungkin, aku takut kalau bekal amalku belum siap. Atau,
aku.. takut harus meninggalkan orang-orang yang ku sayang tanpa tahu siapa yang
akan menjaga mereka…” jelas Jin Ki. Seiring kata-kata tadi ia ucapkan, wajah
orang tuanya berlintasan di benak Jin Ki. Wajah Hyo Ki, kakak satu-satunya.
Membuat Jin Ki nyaris tersenyum kecil mengingat betapa bahagianya dia memiliki
orang-orang hebat itu sebagai keluarganya.
Dan tiba-tiba, tanpa bisa ia cegah, wajah Yoon Hee menyeruak
begitu saja, memenuhi ruang fikirnya. Mengiringi rasa kerinduan, dan penyesalan
yang bercampur rasa bersalah. Semua perasaan tadi seakan berlomba-lomba
menghimpit rongga dadanya. Tanpa sadar, Jin Ki menggigit bibir sambil
menghembuskan nafas, panjang dan perlahan. Menikmati sendiri betapa kerinduan
bisa seperti sembilu yang menyayat tanpa ampun.
Hye Rim mengangguk, seakan memaklumi kata-kata Jin Ki tadi.
Lalu hening lagi. Keheningan yang membungkus mereka berdua
dengan pikirannya masing-masing. Jin Ki mendesah panjang, lalu mengangkat wajah
dan tersenyum tipis memandang Hye Rim.
“Sudahlah, jangan berbicara hal yang aneh…”
“Aku dulu takut mati…” kata Hye Rim. Seakan tidak peduli
dengan kata-kata Jin Ki tadi. “Takut sekali.”
Jin Ki mengangkat alis, sempat ragu, apakah sebaiknya ia
menghentikan Hye Rim untuk membicarakan hal itu, atau membiarkan Hye Rim
menumpahkan semua uneg-unegnya.
“Anehnya, waktu itu aku juga sempat merasa kalau lebih cepat
aku mati, malah lebih baik…” lanjut Hye Rim.
Jin Ki memiringkan sedikit kepalanya, alisnya sedikit berkerut
mendengar ucapan Hye Rim tadi.
“Aneh ya?” Hye Rim tertawa. Tawa ironis yang terasa getir.
“Dulu, tiap kali sakitku kambuh, sakit sekali rasanya. Aku merasa tidak kuat
oppa. Sampai aku berpikir, kalau mati itu rasanya akan lebih sakit daripada
ini, aku tidak ingin mati. Aku tidak ingin merasakan sakit yang lebih daripada
yang pernah aku rasakan sebelumnya…” kata Hye Rim lagi. Pandangannya kini
menerawang. Seperti menelusuri tapak masa lalu dimana dia seringkali merasa
tidak berdaya dan berlutut kalah di depan penyakitnya.
“Tapi kadang aku juga berpikir… Untuk apa aku harus takut?
Toh, aku tidak punya semangat apapun untuk hidup…” suara Hye Rim terdengar
lagi. Dengan kepahitan yang terasa dalam setiap suku kata.
“Hye Rim-ah…” tegur Jin Ki perlahan.
Hye Rim seakan sedikit tersentak. Dia menggeleng perlahan,
kini ada sebuah senyuman di bibirnya yang tidak lagi bernuansa getir.
“Sudahlah, toh… aku sudah jarang merasa seperti itu lagi…”
Tatapannya beralih, dari wajah Jin Ki ke buku sketsanya.
Perlahan jemari lentiknya menyusuri gambar yang telah terlukis sempurna disana.
Jin Ki membiarkan Hye Rim dalam kediamannya. Ada keindahan
yang tak terdefinisikan dalam pemandangan yang Jin Ki lihat itu. Saat Hye Rim
menatap sketsanya dengan senyum tipis yang seakan menyimpan rahasia.
“Oppa liat gambar ini?” tiba-tiba Hye Rim bertanya.
“Iya…” jawab Jin Ki sambil mengangguk.
“Ini… seperti yang ku rasakan saat ini…” kata Hye Rim lagi.
Jin Ki memandangi buku sketsa yang ada di tangan Hye Rim.
Sebuah perahu sederhana. Berlayar sendirian di tengah lautan yang nampak sepi.
Ada sebentuk sisa matahari yang mulai tergelincir di cakrawala. Beberapa
goresan sederhana menggambarkan kawanan burung yang tengah menyusuri langit.
Sketsa yang cantik, meskipun hanya dalam bentuk goresan abu-abu pensil di atas
kertas. Ada nuansa kedamaian yang ditawarkan sketsa itu.
“Perahu itu aku. Sendirian di tengah laut…” ujar Hye Rim
pelan sambil menggerakkan telunjuknya pada perahu kecil itu.
“Kau tidak sendirian Hye Rim-ah..”
Hye Rim diam sesaat, tapi Jin Ki bisa mendengar helaan nafas
panjang dari gadis itu. Hye Rim melirik sekilas, ada kerlipan cerah di matanya.
“Perahu itu bisa tetap berlayar, karena ia mengejar matahari
ini…” kata Hye Rim, kali ini sambil menunjuk sepotong matahari yang tersisa di
batas garis cakrawala dalam gambarnya itu.
“Walaupun saat malam matahari itu tidak terlihat, tapi perahu
itu kini punya satu harapan. Bahwa setiap pagi ia akan bisa kembali melihat
matahari itu, dan mengikutinya lagi…”
Jin Ki terdiam. Ada gelitik perasaan yang tidak ia kenali di
dadanya.
Hye Rim mengangkat wajah dari buku sketsanya. Mengumpulkan
setiap titik kepercayaan diri yang tersisa di dirinya untuk menatap wajah Jin
Ki sambil mengukirkan sebuah senyum.
“Dan aku, sekarang punya matahari untuk ku kejar…” suara Hye
Rim terdengar sedikit gemetar, seperti debaran jantungnya yang kini berdentum
saat dia menyuarakan isyarat isi hatinya.
Jin Ki membalas tatapan Hye Rim. Merasa gamang, bukan karena
ia tidak bisa mengerti maksud kata-kata Hye Rim itu. Justru karena apa yang
bisa ditafsirkan dari kalimat singkat itulah, ia kini justru merasa ada
perasaan bersalah yang mengungkung hatinya. Memberatkan tarikan nafasnya.
Jin Ki menarik nafas perlahan, berusaha menyelaraskan
kembali hati dengan logika. Bukankah ini adalah bagian dari rencana?
Akhirnya Jin Ki menyunggingkan sebuah senyum. Setengah mati
berharap agar semua keraguan, semua pertentangan dalam kebisuan hatinya, tak
sampai terpancar keluar dari senyum itu.
Hye Rim menunduk. Pipinya terasa panas, dan jantungnya masih
belum mau berdetak ritmis.
“Aku tak lagi merasa takut mati seperti dulu…” kata Hye Rim,
lebih perlahan dari sebelumnya. “Sekarang, mungkin yang ku takutkan hanya satu.
Aku sudah harus pergi sebelum matahari itu sempat sadar bahwa aku menatapnya…”
Jin Ki merasakan terpaan rasa bersalah semakin kuat
menghantamnya. Dia bisa memahami analogi
matahari dan perahu itu. Dia tahu.
Salahkah jika sebenarnya ada perahu lain yang ditatap oleh sang
matahari?
Hye Rim diam lagi, masih tertunduk. Ada beban yang telah
dimerdekakan dari khayalannya selama ini, meskipun mungkin dalam kata-kata yang
hanya sekedar perlambang. Sambil menarik nafas, Hye Rim mengangkat kepala, dan
terdiam saat melihat wajah Jin Ki.
Pandangan Jin Ki nampak jauh menerawang. Di balik matanya,
ada ekspresi yang samar-sama terbaca oleh Hye Rim. Ekspresi akan kerinduan.
Dan, rasa sakitkah itu, yang terlintas disana?
“Oppa?”
Panggilan pelan Hye Rim tadi mengejutkan Jin Ki. Menariknya
kembali pada kenyataan bahwa yang ada di sisinya saat ini bukan lagi gadis
berwajah manis dengan tawa mengalun. Gadis yang dulu pernah menjadi rembulan
bagi sang matahari.
Hye Rim sudah memiliki perasaan halus yang membuatnya lebih
peka. Termasuk pada perubahan ekspresi yang tadi sekilas membayang di wajah Jin
Ki.
“Oppa sedang memikirkan apa?”
Jin Ki menggeleng cepat. Agak terlalu cepat. Membuat jantung
Hye Rim kini berdebam sedikit kencang, tapi kali ini, oleh rasa curiga.
“Tidak ada…” seakan berusaha menegaskan ucapannya, Jin Ki
kembali tersenyum. Senyumnya sudah kembali seperti biasa. Senyum cerah yang
seakan menggelitik orang lain dengan kehangatan. Toh, senyum itu tidak langsung
menghapus ekspresi sebelumnya yang kini terekam di memori Hye Rim.
Jin Ki melirik jam di pergelangan tangan kirinya, lalu
berdiri sambil meraih ransel hijau tua di sisi kursi rotan yang tadi
didudukinya.
“Ehm, aku ke kampus sekarang ya…”
Hye Rim mengangguk. Memaksakan sebuah senyum, meskipun ada
pertanyaan yang mulai terngiang di kepalanya sendiri. Hye Rim mengikuti langkah
panjang Jin Ki menembus ruang tengah rumah megah itu, menuju ruang tamu hingga
akhirnya sampai di pintu depan.
“Besok aku akan datang lagi…” kata Jin Ki, menepuk pelan
pundak Hye Rim dengan diktat yang masih ada di tangannya. Hye Rim mengangguk,
membalas senyum Jin Ki. Dipandanginya Jin Ki yang nampak tergesa melangkah
masuk ke dalam Jazz birunya.
Biasanya Hye Rim akan menunggu hingga derum mobil itu tak
lagi terdengar. Tapi kali ini, baru saja Jin Ki memundurkan mobilnya, Hye Rim
sudah berbalik, dan menutup pintu.
Di balik pintu, Hye Rim bersandar, dangan tangan yang
terlipat erat di balik punggungnya.
Hye Rim bukan si tokoh baik dalam sebuah drama yang selalu
berbaik sangka, dan tak pernah bisa merasa bahwa si tokoh jahat hanya
berpura-pura. Ada firasat di hatinya yang membisikkan, bahwa ada yang
disembunyikan Jin Ki darinya. Ada rahasia yang masih kabur baginya.
Hye Rim memejamkan mata. Berusaha membunuh firasatnya
sendiri. Namun, si firasat tetap menggeliat dengan keras kepala. Terus menerus
menyodorkan pertanyaan yang ingin Hye Rim kubur dalam-dalam.
Apakah mataharinya sebenarnya adalah pagi dan senja bagi
perahu lain?
Ah, terlalu berharapkah ia selama ini?
***
TBC
makasih banyak kalo ada yang masih mau baca FF ala sinetron
striping gagal tayang ini -_-.
Apalagi bagi yg mau komen, makasiiiiiiiiih banget :D *tebar
bias
Rabu, 17 Oktober 2012
QUASIMODO || Kepingan Kelima
Author :
Yoon
Cast :
·
Lee Jin Ki
·
Han Yoon Hee
·
Cho Kyu Hyun
·
Han Neora
·
Park Hye Rim
·
Yg lain
muncul bergantian:p
Genre : apa aja boleeee[?]
Length :
Chaptered
Disclaimer : FF ini milik SAYA^^!!! Han Yoon Hee
MILIK Lee Jin Ki xD Lee Jin Ki milik…. banyak orang ._. #ngenes #abaikan
Happy reading^^
PART 5: Aliran Rasa yang Tak Bermuara
Selama aku masih bisa bernafas,
masih sanggup berjalan
Ku kan slalu memujamu
Meski ku tak tahu lagi engkau ada dimana
Dengarkan aku…
Ku merindukanmu
(Merindukanmu – D’Massiv)
+++
Yoon Hee menempelkan telapak tangannya di kaca jendela
mobil, merasakan dingin yang terbias dari hujan di luar sana. Di sebelahnya, Kyu
Hyun mengetuk-ngetukkan jemarinya dengan tidak sabar di roda kemudi, menanti
antrian kendaraan yang seakan bersaing dengan siput.
“Macet sekali…” cetus Kyu Hyun kesal. Yoon Hee menoleh,
mengangkat alis dan tersenyum kecil melihat kerutan di dahi Kyu Hyun.
“Hujan, oppa… Memang sudah biasa kan jika cuacanya seperti
ini…”
“Tapi sekarang kan bukan sedang musim hujan… Haish, aku
benci sekali jika jalanan sudah seperti ini!” Kyu Hyun masih terdengar kesal.
“Efek global warming…” sahut Yoon Hee santai, lalu tiba-tiba
kembali terpekur. Global warming. Climate change. Dulu Moon suka sekali
membahas topik-topik itu. Meskipun bagi Yoon Hee kadang-kadang hal-hal seperti itu
terlalu membosankan dan rumit untuk dimengerti, toh Moon tetap seringkali
menyebut-nyebut hal itu dalam topik obrolannya.
Yoon Hee semakin terpekur saat nama panggilan itu ia rapal
kembali dalam hati… Moon.
“Hais,
panggilan macam apa itu?”
“Bukankah
bagus? Moon itu bagus tahuuu..”
“Tidak.
Panggil saja aku oppa, bukankah kau satu tahun lebih muda dariku…”
Sekelebat percakapan yang memperdebatkan panggilan
masing-masing dari mereka itu bergaung di pikiran Yoon Hee, menambah tusukan
baru di hatinya. Yoon Hee yang tidak mau dipanggil ‘chagi’ mengusulkan agar
mereka saling memanggil dengan nama unik. Yoon Hee masih ingat, perdebatan itu
menghasilkan sebuah nama panggilan Yoon untuk Yoon Hee, dan Moon untuk Jin Ki.
“Karena
namamu sudah bagus, aku hanya perlu memanggilmu… Yoon.”
“…. Yoon
berarti membiarkan. Bagus kan? Seperti aku, yang membiarkanmu melakukan apapun
hal yang kau suka. Membiarkan rasa ini tulus dan tumbuh dengan sendirinya.
Karena membiarkan, tidak selalu berarti tak peduli.”
Ingatan lain mulai kembali berdesakan dalam pikirannya.
Menambah kesesakannya.
“Baiklah,
ku rasa Moon tidak buruk. Apa artinya?”
“Moon
bermakna ‘kata-kata’. Kau sumber semua kata yang tak bisa kusuarakan, yang tak
kumengerti bagaimana membahasakan dirimu. Karena hanya dalam hati aku bisa
menjabarkanmu. Dan kau, adalah kata itu sendiri, Moon-ku. “
Yoon Hee menghela napas berat. Hah, bukankah panggilan itu
sudah tidak boleh ia ingat lagi?
Seakan-akan menyadari perubahan sikap Yoon Hee yang
mendadak, Kyu Hyun menoleh. Ditelusurinya wajah manis yang tengah tercenung
menatap deretan panjang kendaraan dari balik jendela.
“Memikirkan apa?”
Yoon Hee hanya menggeleng, pandangannya masih menerawang
jauh ke balik kaca yang berhiaskan deraian aliran hujan.
“Kenapa diam saja?”
Yoon Hee menarik nafas panjang, lalu menoleh untuk menatap Kyu
Hyun dengan sebuah senyuman tipis di bibirnya. “Aniyo, gwaenchana…”
Kyu Hyun diam. Mencari kepastian akan perkiraannya dari
balik bening mata Yoon Hee.
“Memikirkan Lee Jin Ki?” tebak Kyu Hyun.
Tepat pada sasaran. Kyu Hyun bisa meraba perubahan ekspresi
yang terbayang di raut wajah Yoon Hee begitu nama itu disebut-sebut.
Yoon Hee membuang wajah. Ditelusurinya kaca jendela itu
dengan telunjuknya. Di sebelahnya, Kyu Hyun menghela nafas panjang.
“Sudahlah Yoon Hee-ya… Lupakan dia..”
Yoon Hee tidak menjawab.
“Sudah 3 minggu lebih kan? Dan tiba-tiba dia menghilang
begitu saja. Jadi seperti itukah orang yang pernah menjadi kekasihmu? Beginikah
caranya memperlakukanmu huh?!”
Yoon Hee menggigit bibir. Tanpa harus disinggung Kyu Hyun
seperti itupun Yoon Hee sudah cukup merasa tersakiti oleh keadaan seperti ini. Yoon
Hee tidak pernah berniat menghitung sudah berapa lama semenjak Jin Ki tiba-tiba
saja hilang dari hari-harinya.
Tapi seperti sistem otomatis, setiap kali Yoon Hee membuka
matanya di pagi hari, hal pertama yang terlintas di benaknya adalah telah
berapa hari berlalu semenjak Jin Ki tiba-tiba meminta Yoon Hee untuk melupakan
dirinya.
“Dia sama sekali tak pernah menghubungimu lagi kan? Tak ada
penjelasan apapun kan?” kata-kata Kyu Hyun terdengar dingin. Yoon Hee melirik
sekilas. Kyu Hyun nampak menatap lurus ke depan, jari jemarinya menggenggam
kemudi kuat-kuat.
“Lupakan dia Yoon Hee-ya…”
Yoon Hee menyandarkan punggungnya ke kursi berjok kulit itu.
Lalu, dengan gerakan yang sangat perlahan, dia menggeleng. “I can’t… Not now,
at least…”
“Kenapa begitu?” tukas Kyu Hyun, lebih terdengar seperti
sebuah protes.
Yoon Hee memejamkan matanya. Bukannya dia tidak pernah
berusaha mencari penjelasan atas apa yang telah terjadi. Tapi semua seperti
berujung pada jalan buntu. Bahkan Lee Hyo Ki –kakak Jin Ki—pun nampak enggan
saat Yoon Hee meneleponnya.
Hyo Ki hanya mengatakan bahwa Jin Ki berpesan, pemuda itu
tidak ingin berbicara dengan Yoon Hee. Itu saja, sesingkat itu. Pernyataan
singkat yang seakan menerbangkan semua harapan.
Yoon Hee kembali menggeleng. Sama perlahannya dengan
sebelumnya. “Aku yakin Oppa… pasti ada penjelasan… pasti ada alasan…”
“Alasan apa?” nada suara Kyu Hyun terdengar lebih tajam dari
sebelumnya.
Yoon Hee menoleh, sedikit mengangkat alis. Entah kenapa, Yoon
Hee merasa sedikit janggal dengan sikap Kyu Hyun.
“Mian… Aku… terkesan terlalu ikut campur..” kata Kyu Hyun
menyesal.
Yoon Hee tersenyum. Kyu Hyun sempat menangkap senyuman itu
saat dia melirik sekilas ke arah Yoo Hee.
“Gwaenchana…” sahut Yoon Hee halus.
“Aku hanya tidak bisa terima, dia memperlakukanmu seperti
ini,” tambah Kyu Hyun, berusaha memberikan alasan bagi sikapnya. “Apalagi,”
Kyu Hyun menggantungkan kalimatnya. Kyu Hyun menarik nafas sekali sebelum
menyambung lagi.
“Apalagi… sebenarnya masih banyak yang mau dan bisa
memperlakukanmu lebih baik daripada ini Yoon Hee-ya…”
Yoon Hee menunduk. Ia bukannya tidak bisa menebak maksud
lain yang tersembunyi di balik kata-kata Kyu Hyun tadi. Dan Yoon Hee tidak bisa
memungkiri kenyataan, bahwa sudah hampir 4 minggu ini Kyu Hyun lah yang selalu
setia mengiringinya. Yoon Hee berkali-kali berusaha menolak dengan halus. Tapi
toh, setiap pagi, Kyu Hyun akan tetap muncul di depan rumahnya.
Belum lagi setangkai lili putih yang seakan tak pernah absen
ikut hadir bersama kedatangan Kyu Hyun. Dan SMS rutin yang hanya sekedar
mengingatkan Yoon Hee untuk makan, atau ucapan selamat malam. Semuanya sudah menjadi
pertanda bahwa Kyu Hyun siap menawarkan diri untuk menjadi pendamping Yoon Hee.
Untuk sejenak, suasana canggung merebak begitu saja.
Diam-diam Kyu Hyun melirik dari sudut matanya. Yoon Hee masih nampak termangu.
Seuntai rambut jatuh keluar dari ikatan rambut Yoon Hee, menggantung cantik di
balik telinganya. Sekilas ada rasa nyeri mengiris di hati Kyu Hyun.
Sesulit itukah untuk sekedar mengaburkan bayangan Lee Jin Ki
dari hati gadis manis itu? Seberkas rasa putus asa menyeruak di pikiran Kyu
Hyun.
Kyu Hyun berdeham kecil, berusaha memecah suasana tanpa kata
di antara mereka. “Yoon Hee-ya?”
Yoon Hee mengangkat wajah. Seulas senyum terukir di
wajahnya. Tapi Kyu Hyun bisa merasakan betapa senyum itu hanya sekedar lekukan
di bibir untuk menutupi luka yang disembunyikan Yoon Hee dalam hatinya.
“Aku… aku masih yakin oppa, pasti ada alasan di balik semua
ini. Aku percaya itu..”
Kyu Hyun diam. Berusaha mencerna kata-kata Yoon Hee tadi.
Meskipun pandangannya lurus ke depan, terus mengamati jalan yang mulai lancar,
pikirannya tak bersinggungan dengan arus lalu lintas.
“Kenapa? Kenapa kau masih bisa percaya padanya?”
Yoon Hee mengangkat bahunya tanpa menoleh ke arah Kyu Hyun.
Matanya masih lekat menatap ke luar jendela di sisi kirinya.
“Molla… Mungkin… karena aku percaya padanya, seperti halnya aku
yang percaya pada diriku sendiri kalau aku masih menyayanginya.”
Kyu Hyun mempererat genggamannya di roda kemudi. Berusaha
menelan gelegak kecewa yang tiba-tiba mengaduk emosinya. Sedalam itukah
bayangan Jin Ki tertanam di hati Yoon Hee, sehingga begitu sukar bagi Kyu Hyun
untuk menjadi pengganti?
“Yoon Hee-ya…?”
“Hmmm?”
“Kalau…” Kyu Hyun diam sesaat. Menimbang-nimbang apakah
kalimat selanjutnya layak terucap.
“Kalau apa?”
“Kalau… seandainya… alasan itu adalah… gadis lain?”
Yoon Hee tersentak. Jujur, beberapa kali pikiran itu sempat
terlintas. Tapi berkali-kali pula Yoon Hee berusaha menulikan diri dari bisikan
kecurigaannya sendiri.
Yoon Hee menggigit bibir, lalu menoleh perlahan. Kyu Hyun
balik menatap gadis itu. Seakan menantang Yoon Hee untuk berani menerima
kenyataan yang paling pahit sekalipun.
“Kalau alasannya adalah gadis lain, kau masih akan percaya
padanya?” Kyu Hyun kembali mengulangi pertanyaannya.
Hening sesaat, sebelum kata-kata Kyu Hyun kembali memecah
keheningan itu.
“Kau… masih akan tetap menyayanginya?”
Yoon Hee menatap Kyu Hyun dalam-dalam. Lalu mendesah
perlahan.
“aku… tidak tahu…” bisik Yoon Hee perlahan. Dia lalu
menunduk, lalu menggeleng pelan.
“Aku tidak tahu..” bisiknya lagi.
Kyu Hyun menggigit bibir melihat betapa gadis itu nampak
begitu merapuh. Perlahan tangannya bergerak untuk mengenggam jemari Yoon Hee.
Berusaha mengurangi rasa berdosa yang tanpa ampun menyelinap dan mencengkeram
hatinya.
“Masih ada aku Yoon Hee-ya…” bisik Kyu Hyun. Berusaha
menyadarkan Yoon Hee akan keberadaan dirinya.
Dengan halus, Yoon Hee menarik perlahan tangannya dari
genggaman Kyu Hyun, dipaksakannya sebuah senyuman, meskipun kegetiran terasa
begitu pahit dalam senyum itu.
“Kau… bukan dia oppa…”
Meskipun terucap begitu perlahan, begitu lirih, toh
kata-kata itu tak ubahnya sebuah belati. Belati yang dengan dingin mengiris
tajam, meninggalkan jejak kepedihan di atas harapan yang diam-diam dibangun Kyu
Hyun.
Diam lagi. Lebih sunyi. Lebih sepi. Jejak hujan yang menari,
menerpa kaca jendela, seakan menaburkan dingin untuk hening di antara mereka
berdua.
Yoon Hee menyandarkan punggungnya di jok mobil. Telunjuknya
kembali bergerak acak di permukaan jendela mobil. Berusaha menafsirkan
kata-kata yang terucap dalam hatinya sendiri. Meskipun penantian yang seakan
sia-sia itu membuat hati Yoon Hee semakin lelah.
Terkadang, hati yang lelah tak mampu memahami logika apapun.
Tak mampu membaca isyarat apapun. Tak mampu, atau tak ingin?
Tapi kenapa hati yang lelah seakan tak pernah jera untuk
bergantung pada harapan yang mungkin sekedar impian belaka?
***
Hujan sudah sekedar titik-titik gerimis ketika Picanto hitam
yang membawa mereka berdua merapat di depan gerbang rumah bercat hijau terang
itu. Kyu Hyun mematikan mesin mobil.
“Gomawo oppa…” kata Yoon Hee sambil melepaskan seat beltnya.
“Aku turun dulu ya…” lanjutnya lagi agak tergesa. Dia masih merasa canggung
untuk berdua saja dengan Kyu Hyun setelah percakapan mereka tadi.
Tidak hanya canggung, Yoon Hee merasa tak sepantasnya ia
terus membiarkan ada benih harapan, sehalus apapun, tumbuh dan berkembang di
hati Kyu Hyun. Tidak. Tidak selama masih ada sosok lain yang menjadi hal
pertama yang muncul di benaknya setiap pagi, dan hal terakhir yang ada di
pikirannya sebelum lelap mengantarnya ke alam mimpi. Jin Ki.
Kyu Hyun tidak menjawab. Hanya tersenyum kecil sambil
mengangguk. Yoon Hee pun tidak berlama-lama, dia langsung membuka pintu, untuk
turun dan setengah berlari memasuki gerbang rumahnya. Kyu Hyun melipat kedua
tangannya pada roda kemudi dan bersandar di sana, mengamati gerai rambut Yoon
Hee yang bergerak-gerak mengikuti gerakan gadis itu.
Sesaat Kyu Hyun sempat melihat Jazz kuning cerah yang
biasanya dikemudikan Neora terparkir rapi di depan garasi. Begitu gerbang itu
merapat kembali, teras depan dan taman yang tertata apik itu pun hilang dari
pandangan. Hanya pagar tinggi dan gerbang yang tertutup rapat yang terlihat.
Untuk beberapa saat, Kyu Hyun masih terdiam dalam posisi
yang sama. Akhirnya ia menarik nafas, menegakkan tubuh, dan menarik keluar
ponsel dari saku celananya. Sambil sedikit mengerutkan kening, dicarinya sebuah
nama di phonebook dalam ponsel itu. Sambil menempelkan ponsel itu di
telinganya dan menunggu panggilannya dijawab, Kyu Hyun kembali melayangkan
pandangan ke arah gerbang yang tertutup rapat itu.
“Yeobosseyo?”
sebuah suara memutuskan nada sambung di telinga Kyu Hyun.
“Yeobosseyo. Kuliahmu sudah selesai?”
“Sudah.”
“Sudah pulang?”
“Kau bilang mau menjemputku?
Mau berbicara sesuatu? Jadi, tidak?”
Kyu Hyun tertawa. “Haissh. Galak sekali.”
“You know me..”
sahut gadis di ujung sana.
“So well?”
“Kyu Hyun-ah. Tidak
lucu, tahu.”
Kyu Hyun kembali tertawa. “Okay. Aku kesana sekarang. Mungkin
setengah jam lagi sampai, itupun kalau beruntung…”
“You’d better be lucky
then..”
“Kalau tidak?”
“I’ll cut you into
pieces…” suara tadi menjawab dengan nada datar.
“Kau menyeramkan..”
“Memang.”
“Tidak bosan menjadi gadis menyeramkan?”
“Tidak. Tapi aku bosan
menunggumu yang berjanji menjemputku disini dalam waktu setengah jam lagi..”
“Napasmu panjang sekali, bicara seperti itu dalam satu
tarikan napas…” Kyu Hyun masih setengah terkekeh.
“Pick me up now!”
Klik.
Begitu saja. Gadis tadi memutuskan sambungan tanpa
basa-basi. Kyu Hyun tersenyum kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya,
masih menatap layar ponsel di genggamannya.
Kyu Hyun menyelipkan kembali ponselnya ke dalam saku celana,
dan memutar kunci mobil. Ada orang lain yang tengah menunggunya.
***
Yoon Hee melongok dari balik pintu, dan mendapati ibunya
tengah tekun di hadapan layar komputer. Jemarinya lincah bergerak di atats tuts
keyboard, terkadang berpindah untuk menulis sesuatu, entah apa, di sebuah notes
di sebelah keyboard itu.
“Eomma…” panggil Yoon Hee sambil melangkah mendekati meja
kerja ibunya.
Ibunya mengangkat wajah, lalu tersenyum sambil mendorong
kacamatanya ke atas kepala. “Eoh? Sudah pulang?”
Yoon Hee mencium sekilas pipi ibunya sebelum menjawab. “Hm.
Eomma sih serius sekali di depan komputer.” Yoon Hee setengah mengomel,
meskipun sebetulnya bisa memaklumi. Tidak seperti sang ayah dengan posisinya
sebagai seorang CEO perusahaan multi nasional yang menyebabkan Tuan Han harus
berada di berbagai kota, bahkan negara, untuk urusan bisnisnya, ibunya lebih
banyak ada di rumah. Beliau menjalankan sebuah toko online yang cukup sukses,
sehingga sebagian besar waktunya bisa dihabiskan di rumah. Dalam seminggu,
hanya tiga kali ibunya memantau proses produksi di pusat kerajinan yang
produknya dipasarkan.
“Neora eonnie tidak kuliah? Atau sudah pulang?”
Eomma menggeleng. “Kuliah, tapi tadi berangkat dengan temannya.
…”
Bibir Yoon Hee membulat membentuk huruf O.
“Ganti baju sana. Setelah itu makan ya…” kata Nyonya Han lagi
sebelum memusatkan kembali perhatiannya pada layar komputer.
“Arraseooooo….” Jawab Yoon Hee, berbalik sambil membenahi
tali tas di pundaknya. Dia melangkah menuju pintu ruang kerja.
“Yoon?” panggil Nyonya Han lagi sebelum Yoon Hee sempat
melangkah keluar. “Eomma hampir saja lupa lagi..”
“Ada apa eomma?” Yoon Hee berbalik, mengangkat alis.
“Tadi IALF menelpon. Katanya hasil tes sudah bisa diambil…”
“Ohya? Berapa skor ku, eomma?” spontan Yoon Hee bertanya.
Dia sendiri sudah hampir lupa tentang tes IELTS itu.
Nyonya Han menggeleng sambil tersenyum. “Eomma tidak
menanyakannya. Lagipula mungkin mereka tak akan memberitahu kalau tidak
langsung ke orangnya sayang…”
“Oh.”
Yoon Hee terdiam sesaat. Setengah menunggu, karena dia
hampir bisa memastikan, bahwa kabar tadi akan diikuti pertanyaan Nyonya Han
tentang sesuatu hal.
“Yoon…”
See? Betul kan? Pasti eomma akan menanyakan kembali hal itu. Yoon
Hee diam-diam membatin.
“Soal tawaran eomma dan appa saat itu…”
Nyonya Han menghentikan kalimatnya, seakan-akan mencari kata
yang tepat.
“Sudah Yoon pikirin lagi eomma…” Yoon Hee menukas sebelum ibunya
itu sempat melanjutkan pertanyaannya. Nyonya Han mengangkat alis, agak
terkejut.
Yoon Hee menarik nafas perlahan. Kali ini ia tidak punya
alasan lain untuk menunda keputusan itu. Yoon Hee mengangguk dua kali. Lalu
diam. Nyonya Han menatap Yoon Hee, ada sedikit kerutan di kening beliau.
“Kau… mau?”
Yoon Hee kembali mengangguk, kali ini lebih mantap dari
sebelumnya.
“Yoon… eomma tahu ini… tidak mudah untukmu…”
Yoon Hee tersenyum, berharap yang nampak di mata ibunya adalah
senyuman yang wajar, dan kegetiran yang diam-diam dia rasakan tersembunyi
dengan rapat.
“Yoon mau mencobanya eomma…”
Nyonya Han melepaskan kacamata dan meletakkannya di meja.
Beliau lalu berdiri dan melangkah mendekati Yoon Hee. Tanpa kata-kata, beliau
memeluk Yoon Hee.
Dan entah kenapa, tiba-tiba saja Yoon Hee merasakan sesak di
dadanya yang ingin lepas dalam bentuk tangis.
“Eomma tahu Yoon Hee-ya… eomma tahu…” bisik Nyonya Han
perlahan sambil mempererat pelukannya. Yoon Hee sempat ragu sesaat, tapi lalu
membalas pelukan ibunya. Wanita pertama yang mengajarinya kasih sayang.
“Kau pasti bisa melewati semua ini.. Pasti. You’ll be over
it, sooner or later…” bisikan lembut Nyonya Han terdengar kembali, seiring
dengan belaian jemarinya di rambut Yoon Hee.
Masih dalam pelukan ibunya, Yoon Hee mengangguk.
Bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah keputusan ini akan menjadi titik
baliknya?
Yoon Hee lalu melepaskan diri dari pelukan eomma-nya,
mencoba tersenyum, untuk meyakinkan beliau.
“Aku…ke kamar dulu eomma…” kata Yoon Hee, lalu berbalik.
Meninggalkan ruang kerja Nyonya Han untuk masuk ke kamarnya.
Dalam kamar bernuansa putih dan biru muda itu, Yoon Hee
membanting diri untuk berbaring tengkurap di atas tempat tidurnya. Asal saja,
dia meraih remote untuk menyalakan stereo set di pojokan kamarnya, sekedar
untuk mengisi kesunyian.
Ah, sialan… decak Yoon Hee dalam hati. Seakan berkonspirasi
dengan suasana hatinya, lagu yang tengah diputar di radio pun bernuansa
melankolis. Tapi entah kenapa, Yoon Hee pun tidak ingin memindah
gelombang radio untuk mencari lagu lain yang mungkin tidak terlalu
bernada kegalauan semacam ini.
Yoon Hee menghela nafas, memutar sedikit kepalanya untuk
memandangi pigura di meja kecil di samping tempat tidurnya. Wajah Lee Jin Ki
yang tengah tertawa lebar balik menatapnya dari foto dalam pigura itu. Yoon
Hee menggigit bibir. Saat wajah di foto itu seakan mengajaknya untuk berbagi
senyuman, justru lirik lagu dari stereo set itu membawanya kembali ke hari itu.
Hari ketika Jin Ki dengan wajah terluka meminta mereka untuk berjalan tanpa
berdampingan lagi.
(Lee JinKi – The Named I Loved)
Both hands trembles...
As i remembered the cold memories of love
Now it is getting weirder
I don't wish to reject you, but I just know that...
No matter how close we are
I know that I can't love you anymore
I can't miss you... Waiting for you makes me tired
I can't endure anymore, and I can't realize it
Ada segumpal kekecewaan yang terus mengusik Yoon Hee.
Seandainya bisa, betapa inginnya Yoon Hee untuk melepaskan semua ini.
Mengumpulkan kebenciannya pada Jin Ki, sehingga Yoon Hee bisa dengan mudah
berdiri tegak untuk melangkah kembali.
The name I loved once in this life
Has becoming further and further away from me
I am writing your name on a paper, and forever kept it in my
heart
From that day I only realized that I will only loved you
forever
Love that can't be together can also be known as love
Tapi kenapa, setiap kali dia berusaha meneguhkan diri untuk
melupakan, selalu muncul bisikan bahwa dia masih punya harapan?
I cant handle the love memories and feelings alone
I can't start this, I can only miss you secretly in my heart
My heart only left your body fragrance that I missed and
always loved
The name i loved once in this life
has becoming further and further away from me
i am writing your name on a paper, and forever kept it in my
heart
from that day i only realized that i will only loved you
forever
love that can't be together can also be known as love
Thousands of times remembering the first time our eyes met
and stolen an edge of my heart without noticing
Toh, setidaknya masih ada setitik keraguan yang menolak
untuk dikubur rapat. Lantas sudah saatnya kah melepaskan semua harapan sebagai
sekedar angan belaka?
***
TBC
Emm.. engg.. Iya.. saya tahu,
Part yang ini juga garing jaya ya? Hiks.
Aku post part 4, sama 5 ini. Maaf
kalo kesannya maruk ya, posting dua berturut-turut. Ya sudahlah, untuk
menebusnya, Part 6 akan aku posting satu bulan lagi. #plak. Ihik. Enggak ding.
Semoga gak lebih dari satu minggu deh.
Minta komeeeeeen utk ff lama ini :D gomawo<3 ^^
—Yoon—
Langganan:
Postingan (Atom)