Halaman

Jumat, 19 Oktober 2012

QUASIMODO || Kepingan Keenam




Fanfiction       : QUASIMODO / 6
Author                        : Yoon
Cast                 :
·         Lee Jin Ki
·         Han Yoon Hee
·         Cho Kyu Hyun
·         Han Neora
·         Park Hye Rim
·         Yg lain muncul bergantian:p
Genre              : apa aja boleeee[?]
Length                        : Chaptered
Disclaimer       : FF ini milik SAYA^^!!! Han Yoon Hee MILIK Lee Jin Ki xD Lee Jin Ki milik…. banyak orang ._. #ngenes #abaikan
Happy reading^^



PART 6: Is it A Way Back into Love?

Sepertinya Kyu Hyun masih belum berhasil menjadi pengganti Jin Ki, karena sepertinya Yoon Hee masih menaruh harapan pada Moon-nya. Oh well, si Jin Ki sendiri apa kabar ya?

+++

I've been living with a shadow overhead
I've been sleeping with a cloud above my bed
I've been lonely for so long
Trapped in the past, I just can't seem to move on

I've been hiding all my hopes and dreams away
Just in case I ever need em again someday
I've been setting aside time
To clear a little space in the corners of my mind

All I want to do is find a way back into love
I can't make it through without a way back into love
(Way Back into Love – Hugh Grant & Drew Barrymore)

+++

Halaman diktat kuliah yang ada di pangkuan Jin Ki tidak bergerak semenjak setengah jam yang lalu. Apa yang ada di hadapannya sepertinya lebih menarik. Tanpa sadar, Jin Ki nyaris tak berkedip menyaksikan Hye Rim menggoreskan pensil di halaman putih buku sketsanya.

“Bagus!” celetuk Jin Ki tiba-tiba.

Hye Rim terkesiap, menoleh ke arah Jin Ki sambil mendekap buku sketsa itu di dadanya.

“Ya! Oppaaaaa… Katanya mau belajar. Kenapa malah melihatku terus?” Hye Rim merajuk dengan nada sedikit manja. Meskipun diam-diam Hye Rim menyimpan sendiri rasa melambung yang tiba-tiba mengisi rongga dadanya.

“Mwo? Siapa yang melihatmu? Aku kan memperhatikan gambaranmu…” goda Jin Ki. Dan seperti yang sudah bisa ia duga, semburat merah berbayang makin jelas di pipi  itu. Menghiasi raut wajah yang sudah hampir empat minggu ini semakin akrab dengan hari-harinya. Seperti hari ini, ketika mereka duduk berdua di teras samping rumah Hye Rim setelah pulang dari rumah sakit.

Hye Rim mengerucutkan bibirnya, lalu kembali meneruskan sketsanya yang telah hampir jadi. Dalam hati, dia menelan sedikit kecewa, walaupun Hye Rim tahu, mungkin kata-kata Jin Ki tadi hanya sekedar bercanda.

“Hah, ada yang maraaaaaah…” Jin Ki malah terkekeh melihat perubahan ekspresi wajah Hye Rim. “Atau mungkin kau memang berharap, yang ku perhatikan itu wajahmu?” goda Jin Ki lagi. Membuat Hye Rim mendelik dan membelalakkan matanya dengan kesal ke arah Jin Ki.

“Kan? Kan? Semakin merah tuh wajahmuuuu…” tawa lepas Jin Ki terdengar kembali. Mendengar alunan tawa itu, Hye Rim tak tahan, lalu ikut tertawa. Tawa Jin Ki seperti selalu menggelitiknya untuk ikut tertawa. Meskipun saat ini, dia merasakan rasa hangat yang semakin membara di wajahnya.

Jin Ki lalu meraih cangkir berisi cappuccino yang ada di meja. Sudah tidak banyak yang tersisa dalam cangkir itu, Jin Ki menghabiskannya hanya dalam dua tegukan. Lalu dia seakan kembali tenggelam dalam diktatnya.

Sambil melanjutkan goresan pensilnya, Hye Rim sesekali mencuri pandang ke arah Jin Ki. Menelusuri jejak gerak gerik Jin Ki dan menyimpannya sebagai sebuah sketsa sendiri dalam hatinya.

“Kau memang suka menggambar dari dulu ya?” tanya Jin Ki. Sedikit terlalu tiba-tiba bagi Hye Rim yang tengah asyik menekuni garis-garis pelengkap terakhir dari gambarnya.

“Apa?”

Jin Ki tersenyum, menutup diktat di pangkuannya. “Suka menggambar dari dulu?” Jin Ki mengulangi pertanyaannya.

Hye Rim menatap Jin Ki sesaat, lalu kembali menambahkan arsiran di beberapa bagian di gambarnya. Tanpa memandang Jin Ki, ia mengangguk. “Iya, dari dulu…”

“Pantas saja. Gambarmu bagus-bagus…”

“Gomawo…” jawab Hye Rim dengan ringan.

“Kenapa?” tanya Jin Ki lagi.

Hye Rim mengangkat alis, lalu mengalihkan tatapannya pada Jin Ki. “Maksudnya? Apanya yang kenapa?”

“Kenapa suka menggambar?”

Hye Rim mengangkat bahu. “Mungkin… supaya aku punya jejak.”

“Jejak?”

Hye Rim mengangguk lagi, sudah kembali tenggelam dalam gambarnya. Ada beberapa garis yang harus ia perhalus.

“Lewat gambar, paling tidak ada sesuatu yang pernah ku rekam. Yah, syukur-syukur kalau akhirnya karena melihat gambaranku, orang bisa mengingatku…” kata Hye Rim.

Jin Ki diam. Tidak mengalihkan pandangan dari wajah Hye Rim yang masih nampak asyik dengan dunianya sendiri. Yang hanya diisi oleh Hye Rim, pensil dan buku sketsanya. Ada sinar berbeda yang selalu memancar dari wajah HyeRim saat ia tengah asyik dalam dunia HyeRim-dan-buku-sketsanya. Sinar yang belum dapat ditafsirkan oleh Jin Ki, tapi akhir-akhir ini membuatnya betah memandangi gadis berambut coklat panjang itu.

Hye Rim sendiri seakan benar-benar larut dalam dunianya. Seakan berbicara pada dirinya sendiri, Hye Rim melanjutkan kata-katanya.

“Ada saat-saat dimana kita hanya punya waktu sekian detik untuk menatap sesuatu. Lalu tiba-tiba, puff… hilang begitu saja. Kalau lewat gambar, setidaknya detik yang sedikit itu secara ajaib berhenti. Lalu, detik yang singkat itu, jadi abadi…”

Jin Ki terdiam. Tidak menyangka akan mendengar rangkaian kata semacam itu. Hye Rim pun tidak mengucapkan apa-apa lagi. Dia mematung, seakan menikmati sendiri sketsa yang ada di hadapannya. Hye Rim lalu mendesah. Akhirnya dia mengangkat wajah dan menatap Jin Ki.

“Oppa tahu Van Gogh kan? Da Vinci? Picasso?”

Jin Ki mengangguk. Dia sendiri tidak pernah mengaku sebagai penikmat seni. Tapi siapa yang tidak pernah mendengar nama-nama terkenal itu?

“Mereka semua sudah tidak ada. Tapi nama mereka abadi. Kenangan mereka abadi. Apa yang ingin mereka tunjukkan, abadi…” lanjut Hye Rim perlahan.

Untuk sesaat ada hening di antara mereka berdua. Tidak, tidak seperti hening yang menyesakkan. Lebih seperti hening dimana kau merasa ingin mencegah detik jam berlalu mengantarkan waktu.

“Aku… ingin seperti itu juga…” kata Hye Rim tiba-tiba. “Aku ingin, jika aku mati nanti, masih ada sesuatu yang bisa membuatku diingat oleh orang-orang yang menyayangiku. Juga oleh orang-orang yang kusayang.”

Hye Rim menunduk begitu menyelesaikan kata-katanya. Pandangannya menelusuri kotak-kotak putih keramik di lantai. Ada perasaan tak bernama yang dengan hangat menyelimut hatinya. Rasa menggelitik yang membuat Hye Rim tak mampu menatap langsung mata Jin Ki, tapi juga seakan tak ingin melepaskan pandangannya dari wajah yang menawarkan kedamaian itu.

Di sebelahnya, Jin Ki terpaku. Tak tahu harus mengatakan apa. Bahkan sejujurnya, Jin Ki semakin ragu, perasaan macam apakah yang seharusnya menyinggahi hatinya saat ini?

Jin Ki berdehem kecil. Lalu terkekeh dengan gugup. “Hye Rim-ah… Jangan bicarakan hal yang aneh-aneh. Jangan bicara soal kematian…” ujar Jin Ki, berusaha mencairkan suasana.

Hye Rim malah tersenyum tipis. Diangkatnya kembali wajahnya untuk balas menatap Jin Ki. “Kenapa? Kenapa tak boleh berbicara soal kematian?”

Jin Ki memutar otak sesaat, lalu dengan ragu-ragu menjawab. “Tidak baik kata orang-orang..” jawab Jin Ki sambil menggaruk belakang telinganya. Sebelah matanya agak terpicing, geli sendiri dengan jawabannya tadi.

Hye Rim tertawa pendek. “Bukannya kematian itu hal yang pasti?”

“Itu rahasia Tuhan.”

“Iya, aku tahu. Tapi pasti terjadi kan?” Hye Rim berkeras.

“Ah kau ini, mengajak berdebat dengan tema yang berat seperti ini…” Jin Ki masih berusaha mengelak. Dilambaikannya diktatnya ke arah Hye Rim, seakan berusaha mencegah Hye Rim melanjutkan argumennya.

Hye Rim diam, tapi tatapan matanya tak berpindah dari wajah Jin Ki.

“Oppa… takut mati?”

Jin Ki terkesiap. Tidak pernah menduga akan mendapatkan pertanyaan semacam itu, apalagi dari seorang Hye Rim. Untuk beberapa saat Jin Ki kembali dilanda kebingungan, memikirkan jawaban macam apa yang harus dia lontarkan.

“Takut mati? Itu….. yah, tergantung setiap individu…” jawab Jin Ki akhirnya, masih mengambang tanpa jawaban yang jelas.

“Oppa termasuk yang bagaimana?”

Jin Ki mengangkat bahu. Pertanyaan Hye Rim tadi membuatnya memikirkan hal yang selama ini jarang terbersit di benaknya. Takutkah dia akan kematian?

“Mungkin… mungkin, bukan takut akan kematian itu sendiri. Takut.. karena tidak siap…”

Hye Rim menunggu, Membiarkan Jin Ki melanjutkan kata-katanya.

“Mungkin, aku takut kalau bekal amalku belum siap. Atau, aku.. takut harus meninggalkan orang-orang yang ku sayang tanpa tahu siapa yang akan menjaga mereka…” jelas Jin Ki. Seiring kata-kata tadi ia ucapkan, wajah orang tuanya berlintasan di benak Jin Ki. Wajah Hyo Ki, kakak satu-satunya. Membuat Jin Ki nyaris tersenyum kecil mengingat betapa bahagianya dia memiliki orang-orang hebat itu sebagai keluarganya.

Dan tiba-tiba, tanpa bisa ia cegah, wajah Yoon Hee menyeruak begitu saja, memenuhi ruang fikirnya. Mengiringi rasa kerinduan, dan penyesalan yang bercampur rasa bersalah. Semua perasaan tadi seakan berlomba-lomba menghimpit rongga dadanya. Tanpa sadar, Jin Ki menggigit bibir sambil menghembuskan nafas, panjang dan perlahan. Menikmati sendiri betapa kerinduan bisa seperti sembilu yang menyayat tanpa ampun.

Hye Rim mengangguk, seakan memaklumi kata-kata Jin Ki tadi.

Lalu hening lagi. Keheningan yang membungkus mereka berdua dengan pikirannya masing-masing. Jin Ki mendesah panjang, lalu mengangkat wajah dan tersenyum tipis memandang Hye Rim.

“Sudahlah, jangan berbicara hal yang aneh…”

“Aku dulu takut mati…” kata Hye Rim. Seakan tidak peduli dengan kata-kata Jin Ki tadi. “Takut sekali.”

Jin Ki mengangkat alis, sempat ragu, apakah sebaiknya ia menghentikan Hye Rim untuk membicarakan hal itu, atau membiarkan Hye Rim menumpahkan semua uneg-unegnya.

“Anehnya, waktu itu aku juga sempat merasa kalau lebih cepat aku mati, malah lebih baik…” lanjut Hye Rim.

Jin Ki memiringkan sedikit kepalanya, alisnya sedikit berkerut mendengar ucapan Hye Rim tadi.

“Aneh ya?” Hye Rim tertawa. Tawa ironis yang terasa getir. “Dulu, tiap kali sakitku kambuh, sakit sekali rasanya. Aku merasa tidak kuat oppa. Sampai aku berpikir, kalau mati itu rasanya akan lebih sakit daripada ini, aku tidak ingin mati. Aku tidak ingin merasakan sakit yang lebih daripada yang pernah aku rasakan sebelumnya…” kata Hye Rim lagi. Pandangannya kini menerawang. Seperti menelusuri tapak masa lalu dimana dia seringkali merasa tidak berdaya dan berlutut kalah di depan penyakitnya.

“Tapi kadang aku juga berpikir… Untuk apa aku harus takut? Toh, aku tidak punya semangat apapun untuk hidup…” suara Hye Rim terdengar lagi. Dengan kepahitan yang terasa dalam setiap suku kata.

“Hye Rim-ah…” tegur Jin Ki perlahan.

Hye Rim seakan sedikit tersentak. Dia menggeleng perlahan, kini ada sebuah senyuman di bibirnya yang tidak lagi bernuansa getir.

“Sudahlah, toh… aku sudah jarang merasa seperti itu lagi…”

Tatapannya beralih, dari wajah Jin Ki ke buku sketsanya. Perlahan jemari lentiknya menyusuri gambar yang telah terlukis sempurna disana.

Jin Ki membiarkan Hye Rim dalam kediamannya. Ada keindahan yang tak terdefinisikan dalam pemandangan yang Jin Ki lihat itu. Saat Hye Rim menatap sketsanya dengan senyum tipis yang seakan menyimpan rahasia.

“Oppa liat gambar ini?” tiba-tiba Hye Rim bertanya.

“Iya…” jawab Jin Ki sambil mengangguk.

“Ini… seperti yang ku rasakan saat ini…” kata Hye Rim lagi.

Jin Ki memandangi buku sketsa yang ada di tangan Hye Rim. Sebuah perahu sederhana. Berlayar sendirian di tengah lautan yang nampak sepi. Ada sebentuk sisa matahari yang mulai tergelincir di cakrawala. Beberapa goresan sederhana menggambarkan kawanan burung yang tengah menyusuri langit. Sketsa yang cantik, meskipun hanya dalam bentuk goresan abu-abu pensil di atas kertas. Ada nuansa kedamaian yang ditawarkan sketsa itu.

“Perahu itu aku. Sendirian di tengah laut…” ujar Hye Rim pelan sambil menggerakkan telunjuknya pada perahu kecil itu.

“Kau tidak sendirian Hye Rim-ah..”

Hye Rim diam sesaat, tapi Jin Ki bisa mendengar helaan nafas panjang dari gadis itu. Hye Rim melirik sekilas, ada kerlipan cerah di matanya.

“Perahu itu bisa tetap berlayar, karena ia mengejar matahari ini…” kata Hye Rim, kali ini sambil menunjuk sepotong matahari yang tersisa di batas garis cakrawala dalam gambarnya itu.

“Walaupun saat malam matahari itu tidak terlihat, tapi perahu itu kini punya satu harapan. Bahwa setiap pagi ia akan bisa kembali melihat matahari itu, dan mengikutinya lagi…”

Jin Ki terdiam. Ada gelitik perasaan yang tidak ia kenali di dadanya.

Hye Rim mengangkat wajah dari buku sketsanya. Mengumpulkan setiap titik kepercayaan diri yang tersisa di dirinya untuk menatap wajah Jin Ki sambil mengukirkan sebuah senyum.  

“Dan aku, sekarang punya matahari untuk ku kejar…” suara Hye Rim terdengar sedikit gemetar, seperti debaran jantungnya yang kini berdentum saat dia menyuarakan isyarat isi hatinya.

Jin Ki membalas tatapan Hye Rim. Merasa gamang, bukan karena ia tidak bisa mengerti maksud kata-kata Hye Rim itu. Justru karena apa yang bisa ditafsirkan dari kalimat singkat itulah, ia kini justru merasa ada perasaan bersalah yang mengungkung hatinya. Memberatkan tarikan nafasnya.

Jin Ki menarik nafas perlahan, berusaha menyelaraskan kembali hati dengan logika. Bukankah ini adalah bagian dari rencana?

Akhirnya Jin Ki menyunggingkan sebuah senyum. Setengah mati berharap agar semua keraguan, semua pertentangan dalam kebisuan hatinya, tak sampai terpancar keluar dari senyum itu.

Hye Rim menunduk. Pipinya terasa panas, dan jantungnya masih belum mau berdetak ritmis.

“Aku tak lagi merasa takut mati seperti dulu…” kata Hye Rim, lebih perlahan dari sebelumnya. “Sekarang, mungkin yang ku takutkan hanya satu. Aku sudah harus pergi sebelum matahari itu sempat sadar bahwa aku menatapnya…”

Jin Ki merasakan terpaan rasa bersalah semakin kuat menghantamnya. Dia bisa memahami analogi matahari dan perahu itu. Dia tahu.

Salahkah jika sebenarnya ada perahu lain yang ditatap oleh sang matahari?

Hye Rim diam lagi, masih tertunduk. Ada beban yang telah dimerdekakan dari khayalannya selama ini, meskipun mungkin dalam kata-kata yang hanya sekedar perlambang. Sambil menarik nafas, Hye Rim mengangkat kepala, dan terdiam saat melihat wajah Jin Ki.

Pandangan Jin Ki nampak jauh menerawang. Di balik matanya, ada ekspresi yang samar-sama terbaca oleh Hye Rim. Ekspresi akan kerinduan. Dan, rasa sakitkah itu, yang terlintas disana?

“Oppa?”

Panggilan pelan Hye Rim tadi mengejutkan Jin Ki. Menariknya kembali pada kenyataan bahwa yang ada di sisinya saat ini bukan lagi gadis berwajah manis dengan tawa mengalun. Gadis yang dulu pernah menjadi rembulan bagi sang matahari.

Hye Rim sudah memiliki perasaan halus yang membuatnya lebih peka. Termasuk pada perubahan ekspresi yang tadi sekilas membayang di wajah Jin Ki.

“Oppa sedang memikirkan apa?”

Jin Ki menggeleng cepat. Agak terlalu cepat. Membuat jantung Hye Rim kini berdebam sedikit kencang, tapi kali ini, oleh rasa curiga.

“Tidak ada…” seakan berusaha menegaskan ucapannya, Jin Ki kembali tersenyum. Senyumnya sudah kembali seperti biasa. Senyum cerah yang seakan menggelitik orang lain dengan kehangatan. Toh, senyum itu tidak langsung menghapus ekspresi sebelumnya yang kini terekam di memori Hye Rim.

Jin Ki melirik jam di pergelangan tangan kirinya, lalu berdiri sambil meraih ransel hijau tua di sisi kursi rotan yang tadi didudukinya.

“Ehm, aku ke kampus sekarang ya…”

Hye Rim mengangguk. Memaksakan sebuah senyum, meskipun ada pertanyaan yang mulai terngiang di kepalanya sendiri. Hye Rim mengikuti langkah panjang Jin Ki menembus ruang tengah rumah megah itu, menuju ruang tamu hingga akhirnya sampai di pintu depan.

“Besok aku akan datang lagi…” kata Jin Ki, menepuk pelan pundak Hye Rim dengan diktat yang masih ada di tangannya. Hye Rim mengangguk, membalas senyum Jin Ki. Dipandanginya Jin Ki yang nampak tergesa melangkah masuk ke dalam Jazz birunya.

Biasanya Hye Rim akan menunggu hingga derum mobil itu tak lagi terdengar. Tapi kali ini, baru saja Jin Ki memundurkan mobilnya, Hye Rim sudah berbalik, dan menutup pintu.

Di balik pintu, Hye Rim bersandar, dangan tangan yang terlipat erat di balik punggungnya.

Hye Rim bukan si tokoh baik dalam sebuah drama yang selalu berbaik sangka, dan tak pernah bisa merasa bahwa si tokoh jahat hanya berpura-pura. Ada firasat di hatinya yang membisikkan, bahwa ada yang disembunyikan Jin Ki darinya. Ada rahasia yang masih kabur baginya.

Hye Rim memejamkan mata. Berusaha membunuh firasatnya sendiri. Namun, si firasat tetap menggeliat dengan keras kepala. Terus menerus menyodorkan pertanyaan yang ingin Hye Rim kubur dalam-dalam.

Apakah mataharinya sebenarnya adalah pagi dan senja bagi perahu lain?

Ah, terlalu berharapkah ia selama ini?

***

TBC 
makasih banyak kalo ada yang masih mau baca FF ala sinetron striping gagal tayang ini -_-.
Apalagi bagi yg mau komen, makasiiiiiiiiih banget :D *tebar bias


Tidak ada komentar:

Posting Komentar