Author :
Yoon
Cast :
·
Lee Jin Ki
·
Han Yoon Hee
·
Cho Kyu Hyun
·
Han Neora
·
Park Hye Rim
·
Yg lain
muncul bergantian:p
Genre : apa aja boleeee[?]
Length :
Chaptered
Disclaimer : FF ini milik SAYA^^!!! Han Yoon Hee
MILIK Lee Jin Ki xD Lee Jin Ki milik…. banyak orang ._. #ngenes #abaikan
Happy reading^^
Bergerak cepat, Kyu Hyun mulai melandarkan aksi pendekatan
pada Yoon Hee. Seakan berusaha menyadarkan bahwa akhir bagi Yoon Hee mungkin
saja bisa menjadi suatu permulaan dari kisah yang baru. Tapi..bagaimana dengan
yang telah berlalu dari Yoon Hee? Apakah Jin Ki juga sudah memulai awal yang
baru? Dengan siapa??
***
...
But trying to be genuine was harder than it seemed
And somehow I got caught up in between
Let me apologize to begin with
Let me apologize for what I'm about to say
But trying to be someone else was harder than it seemed
And somehow I got caught up in between
Between my pride and my promise
Between my lies and how the truth gets in the way
And things I want to say to you get lost before they come
The only thing that's worse than one is none
(In Between – Linkin Park)
***
Jin Ki mengangkat alis sesaat, tidak menyangka akan dikenali
semudah itu. Tapi toh dia menurut, melangkah masuk setelah gerbang tadi dibuka
oleh si tukang kebun. Sementara itu, wanita yang bekerja sebagai pembantu di rumah
besar itu, berjalan sedikit di depan Jin Ki, masih terus berceloteh.
“Tuan Muda, kenapa lama sekali baru datang lagi? Padahal
Nona sering menanyakan lho…” ujarnya bersemangat dengan logat daerah yang
kental.
“Ah, benarkah?” tanya Jin Ki sambil menggaruk telinganya
sedikit gugup. Dia tidak tahu harus berkomentar apa. Bahkan sesungguhnya ada
sedikit rasa tidak enak mulai menyelusup di hatinya. Sungguh dia tidak
menyangka kalau…
“Bibi Shin? Ada tamu? Siapa?” sebuah suara terdengar dari
arah pintu. Jin Ki dan Bibi Shin sama-sama mengangkat kepala, mendapati sosok
jangkung yang berdiri di pintu, sebelah tangannya masih memegang koran hari
itu.
“Ah… Kau.. Lee Jin Ki kan?”
Sama seperti tadi, ekspresi si pemilik suara langsung
berubah begitu mengenali Jin Ki.
“Ne, Paman Park..”
“Kajja, masuklah… Kenapa jarang kemari akhir-akhir ini?
Bukankah ku bilang, mampirlah kemari jika kau sedang ada waktu luang…”
“Emh, jadwal kuliah sedang padat Paman…” kata Jin Ki,
sedikit salah tingkah.
“Bibi Shin, tolong buatkan minuman…” ujar Tuan Park, lantas
beralih kembali menatap Jin Ki. “Jin Ki-ya, kau mau minum apa? Teh? Atau apa?”
“Ehm… Tidak perlu repot-repot, Paman…” cegah Jin Ki.
“Ah, tidak. Kalau begitu teh saja ya? Bibi Shin, bawakan teh
untuk Jin Ki, sekalian bawakan kue atau makanan apapun yang ada di dapur..”
“Baik Tuan…” kata Bibi Shin, membungkukkan badannya sebelum
berlalu masuk ke dapur.
“Kemana saja kau? Lumayan lama tidak mampir kemari…” Tuan
Park kembali mengulangi pertanyaannya sambil mempersilahkan Jin Ki untuk duduk.
Jin Ki menuruti ajakan si pemilik rumah untuk duduk, lalu
tersenyum sedikit gugup.
“Ya begitulah, Paman… Urusan kuliah…”
Tuan Park manggut-manggut, “Ya..ya.. aku mengerti.. Apalagi
kau Teknik Kimia ya? Memang ya, anak Teknik sepertinya banyak mendapat
tugaslah, praktikum lah…” sambil berbicara, ekor mata Tuan Park menangkap
sesuatu yang masih ada di genggaman tangan Jin Ki, dan senyumnya pun
mengembang semakin lebar.
“Oh ya, mau bertemu Hye Rim ya?”
Jin Ki terbatuk kecil, tapi kemudian mengangguk. “Ehm, iya Paman.
Kalau boleh, saya mau..bertemu… Hye Rim. Boleh Paman?”
Tuan Park tertawa. “Kau ini, kenapa begitu sungkan? Tentu
saja boleh… Sebentar ya, ku panggilkan dulu Hye Rim di kamarnya.”
Bertepatan dengan itu, Bibi Shin masuk sambil membawa
sebuah baki. Ada secangkir teh yang masih mengepul, ditemani sepiring brownies
yang sudah dipotong-potong.
“Silahkan Tuan Muda…” kata si pembantu tadi, mengangguk
memberi hormat pada Jin Ki. Jin Ki balas mengangguk kecil, seraya menggumamkan
ucapan terima kasih.
“Ne, gamshamnida…” sahut Jin Ki, menguntaikan sebuah
senyuman ramah. Tangannya bergerak meraih cangkir teh di depannya, mungkin
beberapa teguk cairan kecoklatan yang beraroma khas itu bisa meredakan
kegugupannya saat ini.
Eh? Gugup? Untuk apa dia harus gugup? Sambil tercenung,
pandangan Jin Ki nanar menatap kepulan teh dari cangkir dalam genggamannya. Minuman
ini, ‘gadis itu’ juga sangat menyukainya, terutama aroma teh ini, juga teh
lemon yang biasa ‘gadis itu’ pesan ketika mereka berdua sedang makan bersama.
Kembali, seraut wajah yang tengah tertawa menyeruak,
berbayang dalam kepulan tipis itu. Jin Ki merasakan helaan nafasnya memberat.
Digelengkannya kepala. Tidak. Jangan sekarang. Seharusnya bayangan itu tidak
boleh ia biarkan muncul saat ada hal lain yang harus ia jalani.
Tapi hati kecil Jin Ki tak mampu mengabaikan satu pertanyaan
sederhana: sedang apa ‘gadis itu’ sekarang?
***
Seorang gadis manis mengangkat wajah dari buku sketsa di
hadapannya saat bunyi ketukan di pintu itu mengusiknya.
“Hye Rim-ah?”
“Ne appa? Masuk saja…”
Detik selanjutnya, pintu sudah terbuka lebar, dan wajah
ayahnya muncul. Tak hanya berdiri di pintu, ayahnya melangkah masuk, dan duduk
di tepi tempat tidur. Gadis yang dipanggil Hye Rim tadi mengangkat alis. Ada
yang sedikit berbeda dengan ayahnya pagi ini. Hye Rim sedikit memiringkan
kepalanya, berusaha mengenali jejak yang tak biasa itu. Ah, ya… Senyum ayahnya
itu terlihat lebih cerah daripada biasanya.
“Hm, ada kabar apa hari ini? Wajah appa terlihat lebih cerah
dari biasanya…”
“Kau sudah mandi ya? Bagus lah anak appa pagi-pagi begini
sudah cantik…”
Hye Rim memutar bola matanya, “Tentu saja sudah, appa… Kalau
Senin begini kan jadwal terapinya pagi… Kalau nanti-nanti, yang ada eomma jadi
cerewet..” jawab Hye Rim, kembali memusatkan perhatiannya pada buku sketsa yang
ada di depannya.
Hye Rim berusaha menambahkan beberapa garis yang mempertegas
lekuk di sketsa yang tengah dibuatnya untuk menjadi sesosok wajah yang bisa
dikenali. Sesosok wajah yang tengah tersenyum. Sebuah senyuman yang bahkan
semenjak pertama kali Keke melihatnya, membuatnya sadar, bahwa matahari tidak
hanya milik langit. Masih ada matahari yang terpeta dalam bentuk sebuah
senyuman.
Tuan Park memanjangkan lehernya, berusaha melihat apa yang
tengah ditekuni anak gadis kesayangannya, lalu terkekeh geli. Sadar akan reaksi
ayahnya, Hye Rim langsung mendekap buku sketsanya di dada.
“Appaaaaa…!”
“Orangnya sedang ada di ruang tamu tuh…”
“Jang…” kata-kata Hye Rim menggantung seketika. Otaknya
berusaha mencerna kata-kata tadi. Di depannya, Tuan Park masih tersenyum
menggoda.
“Jinjjayo?”
Tuan Park mengangguk kecil.
“Appa bercandanya tidak lucuuuuu…” Hye Rim sedikit merajuk.
Meskipun bunga-bunga harapan mulai menunjukkan kuntumnya.
“Eh, siapa yang bercandaaa… Appa serius…” seakan ingin
menegaskan kata-katanya, Tuan Park mengubah ekspresi wajahnya.
“Jinjja?? Ada… Jin Ki oppa?”
Tuan Park mengangguk.
“Jin Ki oppa? Di ruang tamu?’
Pertanyaan yang kembali dijawab anggukan.
“Mau apa?”
“Mencarimu.”
“Mencari…ku?”
Tuan Park tertawa renyah. Menikmati semburat merah yang
muncul di wajah manis Hye Rim. Sudah sangat lama semenjak dia melihat
binar-binar harapan di wajah anak gadis satu-satunya itu.
“Iyaaa… Cepat sana temui dia, kalau kau lama-lama dia
mungkin akan segera pergi.”
“Eh, jangan…” refleks Hye Rim berusaha mencegah, lalu
terdiam. Dia berdehem kecil, “Maksudku, iya, Hye Rim nanti keluar. Bilang saja
pada Jin Ki oppa, untuk menunggu sebentar…”
Tuan Park mengangguk, memahami reaksi Hye Rim, sekaligus
merasa geli. Dia lalu berdiri, mengacak perlahan rambut Hye Rim.
“Berdandan yang cantik….” Goda Tuan Park sekali lagi.
“Appaaaaaa…..” seru Hye Rim, meskipun yang tersisa dari
ayahnya itu hanyalah derai tawa beliau dari pintu. Hye Rim tersipu sendiri,
tanpa dia sadari, tangannya bergerak ke dadanya. Merasakan degupan yang tak
seperti biasanya. Tanpa melihat ke arah cermin pun Hye Rim tahu, ada rona merah
di pipinya.
Sedikit tergesa, Hye Rim meletakkan buku sketsanya, kembali
tersipu malu saat melihat wajah Lee Jin Ki yang muncul dalam bentuk sketsa di
halaman putih itu.
Ah, ya… benar kata ayahnya tadi, jangan sampai Jin Ki
terlalu lama menunggu. Hye Rim bergerak cepat menuju pintu, tapi di depan meja
rias, langkahnya terhenti. Dengan sedikit cemas, dipandanginya bayangan yang
terpantul dari cermin besar disana. Hye Rim mengerucutkan bibirnya, lalu
merubah arah langkahnya, dan duduk di depan meja rias itu.
Terburu-buru, disikatnya rambut panjangnya. Sekilas ingatan
yang tiba-tiba muncul dalam benak mendorongnya menarik salah satu laci.
Mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk bintang keperakan. Dengan cermat, Hye
Rim menyematkan jepit itu di sisi kiri rambutnya. Dan adegan sebulan lalu itu
berkelebat kembali di benaknya. Saat pesta untuk merayakan ulang tahun
perusahaan milik ayahnya, ketika dia pertama kali terpana melihat sosok seorang
Lee Jin Ki.
Mungkin seandainya saja tidak ada Jin Ki, perayaan itu hanya
berlalu sebagai suatu seremonial biasa. Rutinitas tiap tahun yang memaksa Hye
Rim berbasa-basi dan memasang topeng berupa senyuman ramah bagi para kolega dan
karyawan perusahaan ayahnya. Tapi malam itu, ketika Lee Hyo Ki, salah seorang
karyawan baru, memperkenalkan adik satu-satunya pada keluarga mereka, Hye Rim
langsung memutuskan bahwa acara itu berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.
Dan sepanjang sisa malam itu pandangan mata Hye Rim hanya
terpaku pada satu titik. Lee Jin Ki. Meskipun Hye Rim seakan tidak mampu
memikirkan topik apapun yang menarik untuk membuka pembicaraan. Toh, Jin Ki
dengan senyuman cerianya selalu berhasil menemukan sesuatu untuk ditanyakan,
untuk dikomentari, untuk diceritakan. Mata sabit pemuda itupun seolah
mencerminkan keramahan yang amat terasa. Sosok penuh kesederhanaan itu membuat Hye
Rim berharap malam itu tidak akan pernah berakhir.
Pertemuan pertama saja sudah cukup untuk membuat wajah Jin
Ki lekat dalam ingatannya. Dan kedatangan Jin Ki yang kedua, meskipun hanya
untuk mengantarkan kue buatan kakaknya, membuat Hye Rim semakin terpukau. Tak
sampai 10 menit Jin Ki berdiri di teras rumah Hye Rim pada saat itu.
Hanya tersenyum ramah, mengangsurkan kotak berisikan
brownies buatan kakaknya. Selintas dialog dengan percakapan basa-basi.
Menanyakan kabar, menitipkan salam pada Tuan Park. Namun berjam-jam setelah Jin
Ki pergi, Hye Rim masih bisa mengingat semua detail gerak-gerik Jin Ki. Setiap
kata yang pemuda itu ucapkan dalam kunjungan singkatnya.
Hye Rim terkesiap saat lirikan matanya jatuh pada jam meja
kecil di atas meja riasnya. Astaga, sudah terlalu lama kah ia larut dalam
memorinya?
Dengan deburan degup jantung yang berpacu bersama langkah
kakinya, Hye Rim keluar dari kamar. Menempuh jarak beberapa langkah untuk bisa
sampai di batas antara ruang tengah dan ruang tamu. Langkah Hye Rim sontak
melambat, begitu menyadari bahwa ayahnya tidak bercanda.
Lee Jin Ki tengah duduk di salah satu sudut sofa berlapis
beledru merah itu. Terpekur menatap cangkir teh di hadapannya.
Hye Rim tak pernah menyangka, pemandangan yang biasa saja
seperti yang ada di depannya saat ini bisa membuatnya terpaku. Padahal, apa
yang istimewa dari seorang pemuda yang tengah duduk dengan secangkir teh di
hadapannya?
Ah, tapi apapun yang sebenarnya terlihat biasa saja akan
berharga jika itu menyangkut orang yang istimewa di hati kita.
Mungkin merasa diperhatikan, Jin Ki menoleh dan mengangkat
wajah. Senyuman ramah langsung terukir di bibirnya ketika ia berdiri, menyambut
kedatangan Hye Rim.
“Annyeong.. Kau.. sedang sibuk ya? Maaf mengganggu…”
Hye Rim tertunduk, sedikit tersipu. Lalu menggeleng
malu-malu sambil menyahut, “Tidak juga, oppa..” Lalu diam. Terasa canggung. Hye
Rim diam-diam mencuri pandang pada sosok di hadapannya.
Sementara itu, Jin Ki yang entah untuk keberapa kalinya,
tiba-tiba terhadang keraguan. Benarkah yang ia lakukan kali ini?
“Emm… Tumben sekali oppa disini pagi-pagi.. Tidak kuliah?”
tanya Hye Rim akhirnya. Memberanikan diri untuk mengangkat wajah dan melempar
senyum ke arah tamunya.
Yang ditanya tertawa kecil. “Aniyo.. Hari ini hanya ada
jadwal praktikum, dan itu sore nanti…”
“Oh… Duduk oppa…” kata Hye Rim sambil melangkah mendekati
sofa dan duduk di kursi tamu di hadapan Jin Ki. Jin Ki menurut.
“Kau sedang apa tadi?”
“Emh, tidak sedang melakukan hal yang penting kok…”
“Oh…”
Diam lagi. Dan mereka berdua diam-diam merutuk sendiri, menyesali
diri kenapa tidak bisa mencari bahan obrolan yang dapat mencairkan kecanggungan
ini.
“Emm… ada angin apa oppa? Tumben sekali mampir kemari…” Hye
Rim mengulangi pertanyaannya. Yang ditanya tertawa kecil, lalu tiba-tiba
menyodorkan sebuket bunga krisan kuning.
“Ingin memberikan ini, padamu…”
Hye Rim terpana. Baru sekali ini dia mengalami hal semacam
ini. Sebuket bunga, disodorkan ke hadapannya. Oleh seseorang yang selama ini
raut wajahnya diam-diam ia lukiskan dalam mimpinya. Maka Hye Rim hanya bisa
sedikit ternganga, merasakan detak jantung yang berpacu dan menyebarkan rasa
panas di wajahnya.
“Untuk…ku?”
Jin Ki mengangguk, lalu bertanya “Boleh kan, memberimu bunga?”
Hye Rim tidak tahu harus menjawab apa. Dia hanya mengangguk.
“Kalau boleh, ya ambilah bunganya. Kau tahu, tanganku mulai
kram memegangi bunga seperti ini terus…” kata Jin Ki, diiringi derai tawa yang
mengalun.
“Ah… iya…” bisik Hye Rim perlahan. Dengan malu diraihnya
bunga itu, sedikit menyesali kebodohannya tadi, tapi tidak mampu menahan rasa
tersanjung yang menyelusup tak terkendali di hatinya.
“Kau suka?”
Hye Rim kembali mengangguk. Jangankan bunga krisan yang
tengah mekar dengan warna kuning cemerlangnya yang cantik ini, jika yang
disodorkan Jin Ki tadi hanyalah beberapa tangkai bunga rumput pun, dia akan
tetap merasa sama senangnya.
Seringkali memang, siapa
yang memberi akan lebih berarti daripada apa
yang diberikan.
Jin Ki tersenyum memandangi gadis yang tengah mencium aroma
rangkaian bunga yang kini ada di genggamannya itu.
“Kuning itu perlambang semangat, dan kalau tidak salah, krisan
bermakna… harapan.” jelas Jin Ki.
Hye Rim menatap Jin Ki, “Kata siapa?” tanyanya polos.
“Kata yang jual bunga…”
Jawaban pendek tadi membuat bayangan Jung Yoogeun sekilas
muncul di benak Jin Ki. Yoogeun dengan mata lebarnya. Ah, pertanyaan polos Yoogeun
tadi pagi. Pertanyaan yang sekilas menusuk, dan tanpa bisa dicegah menghadirkan
bayangan seorang gadis di pikiran Jin Ki. Nafas Jin Ki berat seketika. Dia
menggeleng cepat, berusaha mengusir raut wajah gadis yang diam-diam
mencengkeram kenangannya. Tidak boleh begini, ada gadis lain di hadapannya saat
ini.
Hye Rim sedikit heran melihat gestur Jin Ki tadi, tapi
berusaha mengabaikannya. Tidak sulit, toh, saat ini hatinya tengah melambung.
Jin Ki berdehem kecil.
“Ah, aku sampai lupa… Gomawoyo oppa….” Ujar Hye Rim,
mengembangkan sebuah senyuman. Jin Ki mengangguk, lalu kembali berdehem.
Berusaha menyusun kata-kata.
“Ituu… ada arti tersendiri kenapa aku memberimu bunga itu…”
ujar Jin Ki, membuat alis Hye Rim bertaut.
“Arraseo, bukankah tadi oppa sudah mengatakan bahwa kuning
artinya semangat, dan krisan artinya harapan…” kata Hye Rim.
Jin Ki mengangguk. “Iya.. Jadi maksudnya, aku memberimu
bunga itu, agar kau tetap bersemangat dan selalu punya harapan…”
Hye Rim memiringkan kepalanya, lalu tertawa kecil. “Gomawo…”
“Kau pasti sembuh….” Cetus Jin Ki tiba-tiba.
Hye Rim terkesiap. Hanya satu pertanyaan yang melintas di
benaknya. Darimana Jin Ki tahu?
“Oppa…?” pertanyaan Hye Rim menggantung disitu. Ada rasa
dingin mulai merayapi hatinya saat Jin Ki, tanpa Hye Rim sangka, menyinggung
hal itu. Hal yang membuat Hye Rim merasa berbeda. Tidak.. tidak, itu bukan
hanya perasaannya. Hye Rim memang berbeda dari orang-orang lain.
Jin Ki tersenyum, kali ini sebuah senyuman lembut, seakan
berusaha membesarkan hati Hye Rim.
“Semangat, ne…” ujar Jin Ki lagi, sekali ini lebih lirih. Hye
Rim tidak menyahut, hanya terpekur memandangi buket bunga di tangannya.
Perlahan jemarinya menelusuri kelopak salah satu bunga yang telah mekar
sempurna itu.
“Hari ini terapi kan? Aku antar, boleh?”
Sepasang alis tipis Hye Rim yang menaungi mata kecilnya
kembali bertaut. Dengan tatapan bertanya ia mengangkat wajah untuk menatap Jin
Ki.
“Oppa.. tahu darimana?”
Jin Ki menunduk, lalu berdehem kecil. Ternyata rencana yang mereka susun punya satu titik lemah yang
belum sempat mereka duga sebelumnya. Jin
Ki mengangkat kembali cangkir tehnya, menyeruput isinya sambil berusaha
mengulur waktu untuk menjawab pertanyaan itu. Di hadapannya Hye Rim masih diam.
Denting cangkir yang menyentuh tatakannya memecah hening
yang sempat muncul. Jin Ki menatap Hye Rim, sebuah senyuman kembali muncul di
bibirnya.
“Jadi, boleh tidak kalau aku saja yang mengantarmu?”
Hye Rim tersipu malu mendengar pertanyaan Jin Ki tadi.
Senyuman itu membuatnya lupa bahwa rasa penasarannya tadi belum terjawab.
“Jadiiii…. Boleh yaaaaa…?” kali ini ada nada sedikit
menggoda dalam pertanyaan Jin Ki tadi.
“Ehm, tapi apa tidak merepotkan? Oppa tidak sibuk?” Hye Rim
balik bertanya.
Jin Ki menggeleng, “Bukankah sudah ku bilang tadi, hari ini
aku hanya ada praktikum jam 3 nanti. Masih sempat kalau harus menemanimu dulu…”
“Ehm, tapi itu juga kalau diijinkan oleh Paman…” Jin Ki
buru-buru menambahkan.
“Tidak… Tidak apa-apa… Paman justru senang kalau kau mau
menemani Hye Rim hari ini…” tiba-tiba Tuan Park sudah melangkah ke arah mereka
berdua sambil mengikatkan dasi di leher kemejanya.
Hye Rim tersentak, lalu mengernyit dengan kesal. “Appaaaa… Appa
menguping yaaa?? Haish…”
“Eh? Tidak, siapa bilang… Appa memang pas kebetulan sudah
mau keluar kok..” Tuan Park berusaha membela diri. Tapi Hye Rim terlalu mengenal
ayahnya itu, dia bisa menangkap ekspresi bersalah yang sekilas muncul di wajah Tuan
Park.
“Ya sudah sana, Hye Rim-ah siap-siap. Supaya cepat berangkat…
dengan Jin Ki berangkatnya hari ini…” kata Tuan Park lagi cepat-cepat.
“Appaaaaa….” Rajuk Hye Rim sekali lagi. Toh, Hye Rim berdiri
dari sofa, lalu tersenyum malu-malu ke arah Jin Ki. “Sebentar oppa, aku ganti
baju dulu….”
Jin Ki mengangguk. Memandangi Hye Rim yang dengan langkah
cepat menghilang dari pandangan.
“Jin Ki-ya…”
Jin Ki menoleh, mendapati Tuan Park yang tengah menatapnya.
“Terima kasih… sudah mau menjadi teman Hye Rim…”
Jin Ki tersenyum sopan, lalu mengangguk. “Tidak, Paman..
Saya juga senang bisa berteman dengan Hye Rim. Hye Rim gadis yang baik…”
Tuan Park menggaruk-garuk dagunya, “Hye Rim tidak punya
banyak teman. Apalagi sudah setahun ini ia.. terpaksa home schooling, tidak
seperti anak seusianya yang lain…”
Jin Ki mengangguk kembali, menunjukkan bahwa ia memaklumi.
Tuan Park mendesah keras. “Paman tahu, mungkin kesannya sebagai
orang tua, kami terlalu protektif pada Hye Rim. Tapi.. dengan kondisi Hye Rim
yang seperti ini…” kalimat tadi terhenti disana. Tuan Park menatap kosong ke
depan, seakan tengah menyesali sesuatu.
Jin Ki diam, tapi lalu berucap lirih. “Selalu ada harapan Paman,
selama kita masih mau berharap dan berusaha…”
Tuan Park menatap Jin Ki, ada rasa terima kasih yang
terpancar disana. Tuan Park mendekati Jin Ki, menepuk pelan pundak pemuda baik
hati itu. “Terima kasih…”
Jin Ki tersenyum. Meskipun diam-diam merasa betapa beban
yang ada kini semakin menumpuk. Berhadapan dengan kekecewaan seringkali lebih
rumit daripada harus menghadapi kemarahan.
“Titip Hye Rim ya…” kata Tuan Park sekali lagi. Tidak lebih
nyaring dari sebelumnya. Jin Ki tidak menyahut, tidak mengangguk. Hanya memaksa
diri untuk mengangkat kedua ujung bibirnya.
Tuan Park membalas senyum tadi. Jelas ada sebuah pengharapan
tergambar dalam senyum itu.
“Paman pergi ke kantor dulu… “
“Silahkan Paman…” sahut Jin Ki dengan sopan. Sesaat kemudian,
Jin Ki tertinggal sendirian di ruang tamu yang mewah itu.
Ditemani secangkir teh yang tak lagi terisi penuh. Kepulan
dari cangkir teh itu nyaris tak ada lagi. Tapi dengan keras kepala, cangkir teh
itu kembali membangkitkan secarik kenangan, tentang seorang gadis yang menyukai
teh beraroma lemon.
“Oppa?” panggilan perlahan Hye Rim menyadarkan Jin Ki dari
lamunannya. Sedikit tersentak, Jin Ki mengangkat kepala. Hye Rim berdiri
beberapa langkah di hadapannya, sebuah dress cantik bermotif bunga-bunga kecil
membuat gadis itu terlihat begitu manis. Warna biru pastel yang mendominasi
dress itu nampak cantik di kulit putih Hye Rim.
Jin Ki tersenyum. “Berangkat sekarang?”
Hye Rim mengangguk, mengikuti Jin Ki yang berdiri dan
melangkah keluar.
Secangkir teh tadi masih tersisa disana. Sendirian, dengan
kepulan yang semakin menipis. Hilang ditelan keheningan yang sepi.
***
TBC
Ummm.. *main-mainin rambut-jamur-Jinki* Iya. aku tahu BETAPA
GARINGNYA cerita ini. Krik krik banget ya?
[Inget bgt dulu pas ngetik part ini sambil makan ati ayam[?]
JinKi ngapelin cewe lain, NGASIH BUNGA LAGIIII, manis bangeeeeeet:))))) *telen golok*]
Ya udah... Maaf kalau mengecewakan..
Minta komen aja deeeeeeeh :D
-Yoon-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar