Halaman

Rabu, 17 Oktober 2012

QUASIMODO || Kepingan Keempat




Fanfiction       : QUASIMODO / 4
Author                        : Yoon
Cast                 :
·         Lee Jin Ki
·         Han Yoon Hee
·         Cho Kyu Hyun
·         Han Neora
·         Park Hye Rim
·         Yg lain muncul bergantian:p
Genre              : apa aja boleeee[?]
Length                        : Chaptered
Disclaimer       : FF ini milik SAYA^^!!! Han Yoon Hee MILIK Lee Jin Ki xD Lee Jin Ki milik…. banyak orang ._. #ngenes #abaikan
Happy reading^^



Bergerak cepat, Kyu Hyun mulai melandarkan aksi pendekatan pada Yoon Hee. Seakan berusaha menyadarkan bahwa akhir bagi Yoon Hee mungkin saja bisa menjadi suatu permulaan dari kisah yang baru. Tapi..bagaimana dengan yang telah berlalu dari Yoon Hee? Apakah Jin Ki juga sudah memulai awal yang baru? Dengan siapa??

***
...
But trying to be genuine was harder than it seemed
And somehow I got caught up in between


Let me apologize to begin with
Let me apologize for what I'm about to say

But trying to be someone else was harder than it seemed
And somehow I got caught up in between

Between my pride and my promise
Between my lies and how the truth gets in the way

And things I want to say to you get lost before they come
The only thing that's worse than one is none

(In Between – Linkin Park)

***

Jin Ki mengangkat alis sesaat, tidak menyangka akan dikenali semudah itu. Tapi toh dia menurut, melangkah masuk setelah gerbang tadi dibuka oleh si tukang kebun. Sementara itu, wanita yang bekerja sebagai pembantu di rumah besar itu, berjalan sedikit di depan Jin Ki, masih terus berceloteh.

“Tuan Muda, kenapa lama sekali baru datang lagi? Padahal Nona sering menanyakan lho…” ujarnya bersemangat dengan logat daerah yang kental.

“Ah, benarkah?” tanya Jin Ki sambil menggaruk telinganya sedikit gugup. Dia tidak tahu harus berkomentar apa. Bahkan sesungguhnya ada sedikit rasa tidak enak mulai menyelusup di hatinya. Sungguh dia tidak menyangka kalau…

“Bibi Shin? Ada tamu? Siapa?” sebuah suara terdengar dari arah pintu. Jin Ki dan Bibi Shin sama-sama mengangkat kepala, mendapati sosok jangkung yang berdiri di pintu, sebelah tangannya masih memegang koran hari itu.

“Ah… Kau.. Lee Jin Ki kan?”

Sama seperti tadi, ekspresi si pemilik suara langsung berubah begitu mengenali Jin Ki.

“Ne, Paman Park..”

“Kajja, masuklah… Kenapa jarang kemari akhir-akhir ini? Bukankah ku bilang, mampirlah kemari jika kau sedang ada waktu luang…”

“Emh, jadwal kuliah sedang padat Paman…” kata Jin Ki, sedikit salah tingkah.

“Bibi Shin, tolong buatkan minuman…” ujar Tuan Park, lantas beralih kembali menatap Jin Ki. “Jin Ki-ya, kau mau minum apa? Teh? Atau apa?”

“Ehm… Tidak perlu repot-repot, Paman…” cegah Jin Ki.

“Ah, tidak. Kalau begitu teh saja ya? Bibi Shin, bawakan teh untuk Jin Ki, sekalian bawakan kue atau makanan apapun yang ada di dapur..”

“Baik Tuan…” kata Bibi Shin, membungkukkan badannya sebelum berlalu masuk ke dapur.

“Kemana saja kau? Lumayan lama tidak mampir kemari…” Tuan Park kembali mengulangi pertanyaannya sambil mempersilahkan Jin Ki untuk duduk.

Jin Ki menuruti ajakan si pemilik rumah untuk duduk, lalu tersenyum sedikit gugup.

“Ya begitulah, Paman… Urusan kuliah…”

Tuan Park manggut-manggut, “Ya..ya.. aku mengerti.. Apalagi kau Teknik Kimia ya? Memang ya, anak Teknik sepertinya banyak mendapat tugaslah, praktikum lah…” sambil berbicara, ekor mata Tuan Park menangkap sesuatu  yang masih ada di genggaman tangan Jin Ki, dan senyumnya pun mengembang semakin lebar.

“Oh ya, mau bertemu Hye Rim ya?”

Jin Ki terbatuk kecil, tapi kemudian mengangguk. “Ehm, iya Paman. Kalau boleh, saya mau..bertemu… Hye Rim. Boleh Paman?”

Tuan Park tertawa. “Kau ini, kenapa begitu sungkan? Tentu saja boleh… Sebentar ya, ku panggilkan dulu Hye Rim di kamarnya.”

Bertepatan dengan itu, Bibi Shin  masuk sambil membawa sebuah baki. Ada secangkir teh yang masih mengepul, ditemani sepiring brownies yang sudah dipotong-potong.

“Silahkan Tuan Muda…” kata si pembantu tadi, mengangguk memberi hormat pada Jin Ki. Jin Ki balas mengangguk kecil, seraya menggumamkan ucapan terima kasih.

“Ne, gamshamnida…” sahut Jin Ki, menguntaikan sebuah senyuman ramah. Tangannya bergerak meraih cangkir teh di depannya, mungkin beberapa teguk cairan kecoklatan yang beraroma khas itu bisa meredakan kegugupannya saat ini.

Eh? Gugup? Untuk apa dia harus gugup? Sambil tercenung, pandangan Jin Ki nanar menatap kepulan teh dari cangkir dalam genggamannya. Minuman ini, ‘gadis itu’ juga sangat menyukainya, terutama aroma teh ini, juga teh lemon yang biasa ‘gadis itu’ pesan ketika mereka berdua sedang makan bersama.

Kembali, seraut wajah yang tengah tertawa menyeruak, berbayang dalam kepulan tipis itu. Jin Ki merasakan helaan nafasnya memberat. Digelengkannya kepala. Tidak. Jangan sekarang. Seharusnya bayangan itu tidak boleh ia biarkan muncul saat ada hal lain yang harus ia jalani.

Tapi hati kecil Jin Ki tak mampu mengabaikan satu pertanyaan sederhana: sedang apa ‘gadis itu’ sekarang?

***

Seorang gadis manis mengangkat wajah dari buku sketsa di hadapannya saat bunyi ketukan di pintu itu mengusiknya.

“Hye Rim-ah?”

“Ne appa? Masuk saja…”

Detik selanjutnya, pintu sudah terbuka lebar, dan wajah ayahnya muncul. Tak hanya berdiri di pintu, ayahnya melangkah masuk, dan duduk di tepi tempat tidur. Gadis yang dipanggil Hye Rim tadi mengangkat alis. Ada yang sedikit berbeda dengan ayahnya pagi ini. Hye Rim sedikit memiringkan kepalanya, berusaha mengenali jejak yang tak biasa itu. Ah, ya… Senyum ayahnya itu terlihat lebih cerah daripada biasanya.

“Hm, ada kabar apa hari ini? Wajah appa terlihat lebih cerah dari biasanya…”

“Kau sudah mandi ya? Bagus lah anak appa pagi-pagi begini sudah cantik…”

Hye Rim memutar bola matanya, “Tentu saja sudah, appa… Kalau Senin begini kan jadwal terapinya pagi… Kalau nanti-nanti, yang ada eomma jadi cerewet..” jawab Hye Rim, kembali memusatkan perhatiannya pada buku sketsa yang ada di depannya.

Hye Rim berusaha menambahkan beberapa garis yang mempertegas lekuk di sketsa yang tengah dibuatnya untuk menjadi sesosok wajah yang bisa dikenali. Sesosok wajah yang tengah tersenyum. Sebuah senyuman yang bahkan semenjak pertama kali Keke melihatnya, membuatnya sadar, bahwa matahari tidak hanya milik langit. Masih ada matahari yang terpeta dalam bentuk sebuah senyuman.

Tuan Park memanjangkan lehernya, berusaha melihat apa yang tengah ditekuni anak gadis kesayangannya, lalu terkekeh geli. Sadar akan reaksi ayahnya, Hye Rim langsung mendekap buku sketsanya di dada.

“Appaaaaa…!”

“Orangnya sedang ada di ruang tamu tuh…”

“Jang…” kata-kata Hye Rim menggantung seketika. Otaknya berusaha mencerna kata-kata tadi. Di depannya, Tuan Park masih tersenyum menggoda.

“Jinjjayo?”

Tuan Park mengangguk kecil.

“Appa bercandanya tidak lucuuuuu…” Hye Rim sedikit merajuk. Meskipun bunga-bunga harapan mulai menunjukkan kuntumnya.

“Eh, siapa yang bercandaaa… Appa serius…” seakan ingin menegaskan kata-katanya, Tuan Park mengubah ekspresi wajahnya.

“Jinjja?? Ada… Jin Ki oppa?”

Tuan Park mengangguk.

“Jin Ki oppa? Di ruang tamu?’

Pertanyaan yang kembali dijawab anggukan.

“Mau apa?”

“Mencarimu.”

“Mencari…ku?”

Tuan Park tertawa renyah. Menikmati semburat merah yang muncul di wajah manis Hye Rim. Sudah sangat lama semenjak dia melihat binar-binar harapan di wajah anak gadis satu-satunya itu.

“Iyaaa… Cepat sana temui dia, kalau kau lama-lama dia mungkin akan segera pergi.”

“Eh, jangan…” refleks Hye Rim berusaha mencegah, lalu terdiam. Dia berdehem kecil, “Maksudku, iya, Hye Rim nanti keluar. Bilang saja pada Jin Ki oppa, untuk menunggu sebentar…”

Tuan Park mengangguk, memahami reaksi Hye Rim, sekaligus merasa geli. Dia lalu berdiri, mengacak perlahan rambut Hye Rim.

“Berdandan yang cantik….” Goda Tuan Park sekali lagi.

“Appaaaaaa…..” seru Hye Rim, meskipun yang tersisa dari ayahnya itu hanyalah derai tawa beliau dari pintu. Hye Rim tersipu sendiri, tanpa dia sadari, tangannya bergerak ke dadanya. Merasakan degupan yang tak seperti biasanya. Tanpa melihat ke arah cermin pun Hye Rim tahu, ada rona merah di pipinya.

Sedikit tergesa, Hye Rim meletakkan buku sketsanya, kembali tersipu malu saat melihat wajah Lee Jin Ki yang muncul dalam bentuk sketsa di halaman putih itu.

Ah, ya… benar kata ayahnya tadi, jangan sampai Jin Ki terlalu lama menunggu. Hye Rim bergerak cepat menuju pintu, tapi di depan meja rias, langkahnya terhenti. Dengan sedikit cemas, dipandanginya bayangan yang terpantul dari cermin besar disana. Hye Rim mengerucutkan bibirnya, lalu merubah arah langkahnya, dan duduk di depan meja rias itu.

Terburu-buru, disikatnya rambut panjangnya. Sekilas ingatan yang tiba-tiba muncul dalam benak mendorongnya menarik salah satu laci. Mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk bintang keperakan. Dengan cermat, Hye Rim menyematkan jepit itu di sisi kiri rambutnya. Dan adegan sebulan lalu itu berkelebat kembali di benaknya. Saat pesta untuk merayakan ulang tahun perusahaan milik ayahnya, ketika dia pertama kali terpana melihat sosok seorang Lee Jin Ki.

Mungkin seandainya saja tidak ada Jin Ki, perayaan itu hanya berlalu sebagai suatu seremonial biasa. Rutinitas tiap tahun yang memaksa Hye Rim berbasa-basi dan memasang topeng berupa senyuman ramah bagi para kolega dan karyawan perusahaan ayahnya. Tapi malam itu, ketika Lee Hyo Ki, salah seorang karyawan baru, memperkenalkan adik satu-satunya pada keluarga mereka, Hye Rim langsung memutuskan bahwa acara itu berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.

Dan sepanjang sisa malam itu pandangan mata Hye Rim hanya terpaku pada satu titik. Lee Jin Ki. Meskipun Hye Rim seakan tidak mampu memikirkan topik apapun yang menarik untuk membuka pembicaraan. Toh, Jin Ki dengan senyuman cerianya selalu berhasil menemukan sesuatu untuk ditanyakan, untuk dikomentari, untuk diceritakan. Mata sabit pemuda itupun seolah mencerminkan keramahan yang amat terasa. Sosok penuh kesederhanaan itu membuat Hye Rim berharap malam itu tidak akan pernah berakhir.

Pertemuan pertama saja sudah cukup untuk membuat wajah Jin Ki lekat dalam ingatannya. Dan kedatangan Jin Ki yang kedua, meskipun hanya untuk mengantarkan kue buatan kakaknya, membuat Hye Rim semakin terpukau. Tak sampai 10 menit Jin Ki berdiri di teras rumah Hye Rim pada saat itu.

Hanya tersenyum ramah, mengangsurkan kotak berisikan brownies buatan kakaknya. Selintas dialog dengan percakapan basa-basi. Menanyakan kabar, menitipkan salam pada Tuan Park. Namun berjam-jam setelah Jin Ki pergi, Hye Rim masih bisa mengingat semua detail gerak-gerik Jin Ki. Setiap kata yang pemuda itu ucapkan dalam kunjungan singkatnya.

Hye Rim terkesiap saat lirikan matanya jatuh pada jam meja kecil di atas meja riasnya. Astaga, sudah terlalu lama kah ia larut dalam memorinya?

Dengan deburan degup jantung yang berpacu bersama langkah kakinya, Hye Rim keluar dari kamar. Menempuh jarak beberapa langkah untuk bisa sampai di batas antara ruang tengah dan ruang tamu. Langkah Hye Rim sontak melambat, begitu menyadari bahwa ayahnya tidak bercanda.

Lee Jin Ki tengah duduk di salah satu sudut sofa berlapis beledru merah itu. Terpekur menatap cangkir teh di hadapannya.

Hye Rim tak pernah menyangka, pemandangan yang biasa saja seperti yang ada di depannya saat ini bisa membuatnya terpaku. Padahal, apa yang istimewa dari seorang pemuda yang tengah duduk dengan secangkir teh di hadapannya?

Ah, tapi apapun yang sebenarnya terlihat biasa saja akan berharga jika itu menyangkut orang yang istimewa di hati kita.

Mungkin merasa diperhatikan, Jin Ki menoleh dan mengangkat wajah. Senyuman ramah langsung terukir di bibirnya ketika ia berdiri, menyambut kedatangan Hye Rim.

“Annyeong.. Kau.. sedang sibuk ya? Maaf mengganggu…”

Hye Rim tertunduk, sedikit tersipu. Lalu menggeleng malu-malu sambil menyahut, “Tidak juga, oppa..” Lalu diam. Terasa canggung. Hye Rim diam-diam mencuri pandang pada sosok di hadapannya.

Sementara itu, Jin Ki yang entah untuk keberapa kalinya, tiba-tiba terhadang keraguan. Benarkah yang ia lakukan kali ini?

“Emm… Tumben sekali oppa disini pagi-pagi.. Tidak kuliah?” tanya Hye Rim akhirnya. Memberanikan diri untuk mengangkat wajah dan melempar senyum ke arah tamunya.

Yang ditanya tertawa kecil. “Aniyo.. Hari ini hanya ada jadwal praktikum, dan itu sore nanti…”

“Oh… Duduk oppa…” kata Hye Rim sambil melangkah mendekati sofa dan duduk di kursi tamu di hadapan Jin Ki. Jin Ki menurut.

“Kau sedang apa tadi?”

“Emh, tidak sedang melakukan hal yang penting kok…”

“Oh…”

Diam lagi. Dan mereka berdua diam-diam merutuk sendiri, menyesali diri kenapa tidak bisa mencari bahan obrolan yang dapat mencairkan kecanggungan ini.

“Emm… ada angin apa oppa? Tumben sekali mampir kemari…” Hye Rim mengulangi pertanyaannya. Yang ditanya tertawa kecil, lalu tiba-tiba menyodorkan sebuket bunga krisan kuning.

“Ingin memberikan ini, padamu…”

Hye Rim terpana. Baru sekali ini dia mengalami hal semacam ini. Sebuket bunga, disodorkan ke hadapannya. Oleh seseorang yang selama ini raut wajahnya diam-diam ia lukiskan dalam mimpinya. Maka Hye Rim hanya bisa sedikit ternganga, merasakan detak jantung yang berpacu dan menyebarkan rasa panas di wajahnya.

“Untuk…ku?”

Jin Ki mengangguk, lalu bertanya “Boleh kan, memberimu bunga?”

Hye Rim tidak tahu harus menjawab apa. Dia hanya mengangguk.

“Kalau boleh, ya ambilah bunganya. Kau tahu, tanganku mulai kram memegangi bunga seperti ini terus…” kata Jin Ki, diiringi derai tawa yang mengalun.

“Ah… iya…” bisik Hye Rim perlahan. Dengan malu diraihnya bunga itu, sedikit menyesali kebodohannya tadi, tapi tidak mampu menahan rasa tersanjung yang menyelusup tak terkendali di hatinya.

“Kau suka?”

Hye Rim kembali mengangguk. Jangankan bunga krisan yang tengah mekar dengan warna kuning cemerlangnya yang cantik ini, jika yang disodorkan Jin Ki tadi hanyalah beberapa tangkai bunga rumput pun, dia akan tetap merasa sama senangnya.

Seringkali memang, siapa yang memberi akan lebih berarti daripada apa yang diberikan.

Jin Ki tersenyum memandangi gadis yang tengah mencium aroma rangkaian bunga yang kini ada di genggamannya itu.

“Kuning itu perlambang semangat, dan kalau tidak salah, krisan bermakna… harapan.” jelas Jin Ki.

Hye Rim menatap Jin Ki, “Kata siapa?” tanyanya polos.

“Kata yang jual bunga…”

Jawaban pendek tadi membuat bayangan Jung Yoogeun sekilas muncul di benak Jin Ki. Yoogeun dengan mata lebarnya. Ah, pertanyaan polos Yoogeun tadi pagi. Pertanyaan yang sekilas menusuk, dan tanpa bisa dicegah menghadirkan bayangan seorang gadis di pikiran Jin Ki. Nafas Jin Ki berat seketika. Dia menggeleng cepat, berusaha mengusir raut wajah gadis yang diam-diam mencengkeram kenangannya. Tidak boleh begini, ada gadis lain di hadapannya saat ini.

Hye Rim sedikit heran melihat gestur Jin Ki tadi, tapi berusaha mengabaikannya. Tidak sulit, toh, saat ini hatinya tengah melambung.

Jin Ki berdehem kecil.

“Ah, aku sampai lupa… Gomawoyo oppa….” Ujar Hye Rim, mengembangkan sebuah senyuman. Jin Ki mengangguk, lalu kembali berdehem. Berusaha menyusun kata-kata.

“Ituu… ada arti tersendiri kenapa aku memberimu bunga itu…” ujar Jin Ki, membuat alis Hye Rim bertaut.

“Arraseo, bukankah tadi oppa sudah mengatakan bahwa kuning artinya semangat, dan krisan artinya harapan…” kata Hye Rim.

Jin Ki mengangguk. “Iya.. Jadi maksudnya, aku memberimu bunga itu, agar kau tetap bersemangat dan selalu punya harapan…”

Hye Rim memiringkan kepalanya, lalu tertawa kecil. “Gomawo…”

“Kau pasti sembuh….” Cetus Jin Ki tiba-tiba.

Hye Rim terkesiap. Hanya satu pertanyaan yang melintas di benaknya. Darimana Jin Ki tahu?

“Oppa…?” pertanyaan Hye Rim menggantung disitu. Ada rasa dingin mulai merayapi hatinya saat Jin Ki, tanpa Hye Rim sangka, menyinggung hal itu. Hal yang membuat Hye Rim merasa berbeda. Tidak.. tidak, itu bukan hanya perasaannya. Hye Rim memang berbeda dari orang-orang lain.

Jin Ki tersenyum, kali ini sebuah senyuman lembut, seakan berusaha membesarkan hati Hye Rim.

“Semangat, ne…” ujar Jin Ki lagi, sekali ini lebih lirih. Hye Rim tidak menyahut, hanya terpekur memandangi buket bunga di tangannya. Perlahan jemarinya menelusuri kelopak salah satu bunga yang telah mekar sempurna itu.

“Hari ini terapi kan? Aku antar, boleh?”

Sepasang alis tipis Hye Rim yang menaungi mata kecilnya kembali bertaut. Dengan tatapan bertanya ia mengangkat wajah untuk menatap Jin Ki.

“Oppa.. tahu darimana?”

Jin Ki menunduk, lalu berdehem kecil. Ternyata rencana yang mereka susun punya satu titik lemah yang belum sempat mereka duga sebelumnya. Jin Ki mengangkat kembali cangkir tehnya, menyeruput isinya sambil berusaha mengulur waktu untuk menjawab pertanyaan itu. Di hadapannya Hye Rim masih diam.

Denting cangkir yang menyentuh tatakannya memecah hening yang sempat muncul. Jin Ki menatap Hye Rim, sebuah senyuman kembali muncul di bibirnya.

“Jadi, boleh tidak kalau aku saja yang mengantarmu?”

Hye Rim tersipu malu mendengar pertanyaan Jin Ki tadi. Senyuman itu membuatnya lupa bahwa rasa penasarannya tadi belum terjawab.

“Jadiiii…. Boleh yaaaaa…?” kali ini ada nada sedikit menggoda dalam pertanyaan Jin Ki tadi.

“Ehm, tapi apa tidak merepotkan? Oppa tidak sibuk?” Hye Rim balik bertanya.

Jin Ki menggeleng, “Bukankah sudah ku bilang tadi, hari ini aku hanya ada praktikum jam 3 nanti. Masih sempat kalau harus menemanimu dulu…”

“Ehm, tapi itu juga kalau diijinkan oleh Paman…” Jin Ki buru-buru menambahkan.

“Tidak… Tidak apa-apa… Paman justru senang kalau kau mau menemani Hye Rim hari ini…” tiba-tiba Tuan Park sudah melangkah ke arah mereka berdua sambil mengikatkan dasi di leher kemejanya.

Hye Rim tersentak, lalu mengernyit dengan kesal. “Appaaaa… Appa menguping yaaa?? Haish…”

“Eh? Tidak, siapa bilang… Appa memang pas kebetulan sudah mau keluar kok..” Tuan Park berusaha membela diri. Tapi Hye Rim terlalu mengenal ayahnya itu, dia bisa menangkap ekspresi bersalah yang sekilas muncul di wajah Tuan Park.

“Ya sudah sana, Hye Rim-ah siap-siap. Supaya cepat berangkat… dengan Jin Ki berangkatnya hari ini…” kata Tuan Park lagi cepat-cepat.

“Appaaaaa….” Rajuk Hye Rim sekali lagi. Toh, Hye Rim berdiri dari sofa, lalu tersenyum malu-malu ke arah Jin Ki. “Sebentar oppa, aku ganti baju dulu….”

Jin Ki mengangguk. Memandangi Hye Rim yang dengan langkah cepat menghilang dari pandangan.

“Jin Ki-ya…”

Jin Ki menoleh, mendapati Tuan Park yang tengah menatapnya.

“Terima kasih… sudah mau menjadi teman Hye Rim…”

Jin Ki tersenyum sopan, lalu mengangguk. “Tidak, Paman.. Saya juga senang bisa berteman dengan Hye Rim. Hye Rim gadis yang baik…”

Tuan Park menggaruk-garuk dagunya, “Hye Rim tidak punya banyak teman. Apalagi sudah setahun ini ia.. terpaksa home schooling, tidak seperti anak seusianya yang lain…”

Jin Ki mengangguk kembali, menunjukkan bahwa ia memaklumi.

Tuan Park mendesah keras. “Paman tahu, mungkin kesannya sebagai orang tua, kami terlalu protektif pada Hye Rim. Tapi.. dengan kondisi Hye Rim yang seperti ini…” kalimat tadi terhenti disana. Tuan Park menatap kosong ke depan, seakan tengah menyesali sesuatu.

Jin Ki diam, tapi lalu berucap lirih. “Selalu ada harapan Paman, selama kita masih mau berharap dan berusaha…”

Tuan Park menatap Jin Ki, ada rasa terima kasih yang terpancar disana. Tuan Park mendekati Jin Ki, menepuk pelan pundak pemuda baik hati itu. “Terima kasih…”

Jin Ki tersenyum. Meskipun diam-diam merasa betapa beban yang ada kini semakin menumpuk. Berhadapan dengan kekecewaan seringkali lebih rumit daripada harus menghadapi kemarahan.

“Titip Hye Rim ya…” kata Tuan Park sekali lagi. Tidak lebih nyaring dari sebelumnya. Jin Ki tidak menyahut, tidak mengangguk. Hanya memaksa diri untuk mengangkat kedua ujung bibirnya.

Tuan Park membalas senyum tadi. Jelas ada sebuah pengharapan tergambar dalam senyum itu.

“Paman pergi ke kantor dulu… “

“Silahkan Paman…” sahut Jin Ki dengan sopan. Sesaat kemudian, Jin Ki tertinggal sendirian di ruang tamu yang mewah itu.

Ditemani secangkir teh yang tak lagi terisi penuh. Kepulan dari cangkir teh itu nyaris tak ada lagi. Tapi dengan keras kepala, cangkir teh itu kembali membangkitkan secarik kenangan, tentang seorang gadis yang menyukai teh beraroma lemon.

“Oppa?” panggilan perlahan Hye Rim menyadarkan Jin Ki dari lamunannya. Sedikit tersentak, Jin Ki mengangkat kepala. Hye Rim berdiri beberapa langkah di hadapannya, sebuah dress cantik bermotif bunga-bunga kecil membuat gadis itu terlihat begitu manis. Warna biru pastel yang mendominasi dress itu nampak cantik di kulit putih Hye Rim.

Jin Ki tersenyum. “Berangkat sekarang?”

Hye Rim mengangguk, mengikuti Jin Ki yang berdiri dan melangkah keluar.

Secangkir teh tadi masih tersisa disana. Sendirian, dengan kepulan yang semakin menipis. Hilang ditelan keheningan yang sepi.

***

TBC
Ummm.. *main-mainin rambut-jamur-Jinki* Iya. aku tahu BETAPA GARINGNYA cerita ini. Krik krik banget ya?
[Inget bgt dulu pas ngetik part ini sambil makan ati ayam[?] JinKi ngapelin cewe lain, NGASIH BUNGA LAGIIII, manis bangeeeeeet:))))) *telen golok*]
Ya udah... Maaf kalau mengecewakan..
Minta komen aja deeeeeeeh :D
-Yoon-



Tidak ada komentar:

Posting Komentar