11 10 2012
ABU Radio Song Festival
“Nomor yang anda tuju
sedang sibuk atau berada di luar jangka—”
Lee
Jin Ki mendesah kesal setelah panggilan ke-sepuluhnya hanya berakhir di mesin
operator jaringan. Jin Ki memandangi layar ponselnya sesaat. Dan hanya melihat
bayangan wajahnya sendiri ketika layar tersebut berubah gelap.
Lelah.
Ada
yang sangat mengusik pikirannya saat ini. Gadis itu. apa lagi memangnya?
Terhitung
hingga hari ini, sudah hampir seminggu tak ada kabar dari Han Yoon Hee. Pesan
yang biasanya gadis itu kirimkan sesaat sebelum ia perform hampir tak pernah
menyambangi kotak masuknya lagi. Atau telepon singkat dari si cerewet itu untuk
sekedar mengingatkan Jin Ki makan siang juga tak pernah lagi ada.
Kemana
sih gadis menyebalkan itu? berani sekali membuat seorang Lee Jin Ki
merindukannya seperti ini!
Sekali
lagi, Jin Ki mendesah lelah. Dan rupanya, hal itu tertangkap oleh Taemin.
“Hyung,
ada masalah?” tanyanya heran ketika dilihatnya sang Leader sedari tadi hanya
berdiri tak jelas di pojok ruang make up ini.
Jin
Ki menoleh. “Ah, aniya, ponselku sepertinya lowbat.” Ungkapnya. “Oh, Taemin-ah,
bukankah sekarang giliranmu? Tadi Jung Noona menanyakanmu. Kau darimana saja?”
“Aku
ada urusan dengan ibuku tadi Hyung.” jelas Taemin. “Oh! Hyung! Kau tampak keren
dengan model rambut barumu.” Puji Taemin.
(Onew at ABU Radio Song
Festival)
“Tidak
usah merayuku! Kau ini, kebiasaan sekali pergi tanpa pamit.” Omel Jin Ki.
Taemin
meringis tak enak hati. Memang, sering sekali ia menusahkan hyungnya yang satu
ini.
“Mianhae…”
“Sekarang,
duduk di sana. Ku panggilkan Jung Noona dulu.”
“Arraseo…”
sahut Taemin seraya beranjak duduk di salah satu kursi make up. Sementara Jin
Ki melenggang keluar ruangan untuk mencari coordi-noona make up Taemin.
“Ah,
sial. Aku bahkan harus mencari Jong Hyun juga. Apa toilet di sini jaraknya
berpuluh-puluh kilometer, huh? Anak itu… Jinjja!”
Taemin
meringis setengah geli, mendengar sang Leader mulai senewen dengan
adik-adiknya.
“Hyung,
fighting!” teriaknya sesaat sebelum Jin Ki benar-benar menghilang dari balik
pintu ruang make up.
***
Malam
menjelang namun kegiatan masih terus berjalan. Lelah, tentu sudah sangat akrab
dengan tubuh kelima namja tampan yang kini sedang duduk diam dalam sebuah mobil
van yang akan membawa mereka kembali ke dorm, beristirahat.
“Onew-ah,
gwaenchana?” suara Choi Jin—sang manager SHINee—memecah keheningan. Ia menoleh
dari kursi depan memandang ‘anak asuh’nya yang paling tua itu.
Jin
Ki mengangkat wajah, dan mendapati ke-empat ‘adik’ serta manager menatap lekat
ke arahnya. Jin Ki berdeham beberapa kali.
“Nan
gwaenchana hyung…”
Choi
Jin menatap lekat pada Jin Ki. begitu pula dengan Jong Hyun, Key, Min Ho dan
Taemin. Hening sesaat, dan Jin Ki mulai jengah ditatap lekat seperti itu.
“Nan
jeongmal gwaenchanikka. Kkogjonghajima. (I’m really fine. Don’t worry.)”
Tegasnya sekali lagi.
Choi
Jin mengangkat alis sesaat kemudian mengangguk. Setelah itu, ia kembali memutar
tubuhnya ke depan.
Bukan
apa-apa ia mencemaskan Jin Ki. hanya saja sejak kejadian yang ‘lalu’, sebagai
manager, ia perlu lebih eksra lagi mengawasi semua anak asuhnya. Kejadian
dimana saat itu adalah hal yang tak pernah terpikirkan untuk terjadi. Insiden
konyol yang menyalahkan satu pihak, adiknya itu. kecelakaan kecil yang merambah
menjadi besar, menggemparkan public, perseteruan singkat yang merugikan, hingga
harus ‘melenyapkan’ Jin Ki dari peredaran untuk beberapa waktu.
Choi
Jin sangat amat paham, bagaimana Leader
Onew yang sebenarnya. Dia… bahkan lebih rapuh dari adik-adiknya. Mudah
goyah meski hanya dengan satu sentilan kecil di tubuhnya.
Choi
Jin kembali meihat Jin Ki yang duduk di kursi belakang, kali ini lewat kaca
tengah mobil. Namja bermata sipit itu lagi-lagi kedapatan tengah memandangi
layar ponselnya. Dan hal itu bukan hari ini saja Choi Jin amati. Sudah hampir
beberapa hari terakhir. Dan jika seperti itu, hanya ada satu alasan. Han Yoon
Hee.
Hanya
gadis cerewet itu yang bisa membuat Lee Jin Ki kacau balau.
“Dia
tidak akan tahu kau merindukannya, kalau kau hanya memandangi ponsel seperti
itu, Onew-ah.” Sindir Choi Jin. Membuat Jin Ki melengos sebal.
“Kau
tidak tahu Hyung, hari ini panggilan ke-sepuluhku bahkan tidak ia angkat.”
Jawabnya sakratis.
“Mungkin
dia sedang sibuk Hyung.” timpal Min Ho.
“Atau
mungkin dia sudah mulai bosan denganmu.” Sahut Key asal, yang langsung mendapat
pelototan tajam dari yang lain. Kadang mulut Key memang sangat licin, hingga ia
sendiri sulit mengendalikan kalimatnya-__-
“Kenapa
tidak kau coba saja menelpon adiknya? Bukankah mereka tinggal satu apartemen?”
usul Choi Jin.
“Aku
tidak punya nomornya, Hyung.”
“Aku
punya!” sahut Taemin, terlalu cepat. Membuat pusat pandangan kali ini tertuju
padanya. “Waeyo?” tanyanya bingung.
“Bagaimana
kau bisa mempunyai nomor adiknya Yoon Hee?” selidik Jong Hyun, memicingkan
mata. Taemin menelan ludah.
“A…
aku memang dekat dengan Han Yoon Ra sejak Onew Hyung berpacaran dengan Yoon Hee
noona. Me… memangnya ada yang salah?”
“Ani.
(No.)” Ledek Jong Hyun.
“Geureonggeo
anira. (Of course no).” sahut Min Ho.
“Oh,
uri magnae has growing up now.” Ledek Key sambil memutar bola matanya
menyebalkan.
“Memang
apa salahnya sih punya nomor ponsel seorang yeoja. Aku kan namja juga Hyung.”
sahut Taemin membela diri, sebal.
“Sudah,
sudah. Taemin, berikan aku nomor Han Yoon Ra.”
Tanpa
babibu lagi, meskipun dengan menahan gondok, Taemin memberikan nomor gadis
bernama Han Yoon Ra tersebut.
Setelah
beberapa nada sambung, Jin Ki mendengar suara lembut mengalun dari seberang,
hampir sama persis dengan suara Yoon Hee, pikir Jin Ki.
“Yeobosseyo?”
“Yeobosseyo,
Yoon Ra-ya…”
Terdengar
hening beberapa detik sebelum Yoon Ra menjawab dengan kaget,
“ONEW
OPPA?!”
***
“Sudah
berapa hari ia tidak tidur?”
“Entahlah.
Kurasa… hampir seminggu ini.”
Jin
Ki menghela napas, lalu kembali mengalihkan pandangannya pada sosok gadis yang
kini tengah tertidur dengan posisi menelungkup di atas meja belajarnya. Laptop
putihnya masih menyala dan di sekeliling gadis itu banyak kertas-kertas berserakan.
Berantakan sekali.
“Kurasa
dia lebih pendiam akhir-akhir ini. Dan yang menyebalkan adalah tiap kali ku
tanya, ia sama sekali tak mau menjawab atau berceloteh seperti biasanya.
Menjawab sambil lalu bahkan kadang tidak nyambung. Aku bingung oppa. Pasti… ada
yang salah dengannya.”
Han
Yoon Ra, yang berdiri di samping Jin Ki juga menatap sang kakak yang tengah
tertidur dengan posisi menelungkup itu.
“Apakah
gara-gara aku? Menurutmu, apakah aku sudah melakukan kesalahan padanya?” Jin Ki
mengalihkan pandangannya, menatap Yoon Ra.
Adik
Han Yoon Hee itu mengangkat bahu dengan ekspresi menyesal. “Nado molla, oppa.”
“Gadis
bodoh.” Ucap Jin Ki menatap punggung Yoon Hee. Sejenak kemudian, Jin Ki
melangkah keluar dari kamar Yoon Hee dan menuju dapur apartemen kakak-beradik
Han itu. dengan cekatan dan seperti sudah terbiasa, Jin Ki memanasi
penggorengan dan meraih sebutir telur dari dalam kulkas. Disiapkannya piring,
diletakknya setangkup roti tawar di piring tersebut, beberapa sayur seperti
tomat, timun, juga daun selada kini menghiasi setangkup roti tersebut.
“Oppa,
lapar? Aku bisa membuatkanmu makanan.” Ujar Yoon Ra sedikit heran.
“Aniya,
aku membuat ini untuk Yoon Hee.”
***
Kram
itu mulai terasa. Denyut yang terasa sangat menyebalkan itu juga mulai mendera
kepalanya. Lagi-lagi, malam ini ia harus berkawan dengan sakit kepala.
Yoon
Hee yang mulai merasakan pegal di bagian leher dan bahu, mulai sedikit
menggerakkan tubuhnya. Mata bulatnya masih menyipit, menyesuaikan dengan
penerangan lampu kamar yang menusuk iris matanya.
Yoon
Hee bergerak gusar ketika dilihatnya laptop putih itu tidak ada di atas meja.
“Mimpi
indah, Putri Tidur?”
Sebuah
suara tak asing menyentak Yoon Hee. Ia menggerakkan kepalanya ke arah kanan,
dan melihat Lee Jin Ki tengah menatap layar laptop putih, mengetikkan esainya.
“Jin
Ki-ya? Sejak kapan kau ada di sini?”
“Sejak
paragraf analogimu berubah menjadi silogisme. Ckck, kukira kau pandai dalam
bahasa, ternyata..” Yoon Hee melotot sebal ketika dilihatnya Jin Ki tengah tersenyum
menyebalkan.
“Pulanglah,
ini sudah hampir tengah malam.”
Jin
Ki mengalihkan pandangannya dari layar laptop. “Aku menyempatkan ke sini, dan
sekarang kau mengusirku, begitu?”
“Kau
pintar.”
Yoon
Hee melengos menuju laci meja di sisi tempat tidurnya, mengambil sebungkus obat
lalu menelan satu butir di antaranya.
“Apa
yang kau minum?”
Yoon
Hee mendengar pertanyaan sederhana itu, namun tak mengindahkannya sama sekali.
Ia memutar pandangannya ke segala arah, lantas berjalan mendekat dan duduk di
samping Jin Ki, meraih segelas susu yang terletak di atas meja di sisi sepiring
roti sandwich yang dapat Yoon Hee tebak, dibuat oleh Jin Ki.
Terenyuh.
Tangan Yoon Hee gemetar ketika memegang gelas itu. tiap tegukan yang melewati
tenggorokannya terasa seperti sembilu. Bagaimana bisa namja yang ia acuhkan
masih bisa semanis ini?
Jangan
menangis. Jangan, setidaknya sebelum namja ini pulang, batin Yoon Hee. Berusaha
membuat raut wajahnya datar, walau kenyataannya ia sangat ingin menangis dan
memeluk namja itu. meneriakkan betapa ia sangat merindukan Jin Ki.
“Ngomong-ngomong,
model rambut barumu bagus.”
“Ya!
Aku bicara padamu, Han Yoon Hee! Yang kau minum tadi itu apa?”
Yoon
Hee meletakkan gelasnya kembali. Lantas meraih laptopnya, dan memangkunya.
“Obat flu.”
“Mwo?”
“Berisik.
Pulanglah.”
“Jangan
sok sibuk. Tugasmu itu sudah ku selesaikan.” Jin Ki mendesah kesal. Lalu, tanpa
aba-aba, disingkirkannya laptop itu ke meja semula, dan diraihnya tangan Yoon
Hee, memaksa gadis itu berdiri.
“Lepas!
Apa yang kau lakukan, hah?”
“Menyelamatkanmu.”
“Hah?”
Jin
Ki tak memberikan penjelasan apapun lagi. Ia hanya menyeret Yoon Hee hingga
mereka sampai di depan mobil yang Jin Ki bawa dari dorm tadi.
“Masuk.”
“Shireo!!!”
“Tidak
ada penolakan!” Jin Ki berhasil memaksa Yoon Hee masuk dalam BMW yang ia beli
kurang lebih empat bulan yang lalu itu. dan beberapa saat kemudian, mobil itu
telah melaju membelah jalanan kota Seoul bersama kendaraan yang lain.
***
Beberapa
hal yang sangat ia pahami tentang Han Yoon Hee adalah gadis ‘gila’ itu sangat
menggilai Hujan. Gadis aneh itu pernah mengaku menyukai tetes air langit itu.
menyukai suara rintiknya pada kanopi halte atau genteng rumah. Menyukai bau
tanah yang ikut bermuara saat hujan menyapunya. Menenangkan, katanya.
Namun,
karena saat ini, sedang tidak turun hujan, maka ia mengajak gadisnya itu ke
tempat ini. Hal kedua yang di’gilai’ Yoon Hee selain hujan.
Pendar
lampu kota saat malam menjelang.
Beberapa
waktu hanya diisi oleh keheningan. Bukit yang sering kali Jin Ki kunjungi
bersama teman-temannya saat ia masih dalam masa trainee dulu tetap tidak
berubah. Masih ada bangku keramik panjang di sini, yang kali ini, ia duduki
bersama gadisnya, Han Yoon Hee.
“Di
sini… indah kan?” urai Jin Ki mengawali. Mulai merasa masa-masa bersama
teman-teman sekolahnya dulu. Bahkan dari bukit ini, Sungai Han pun terlihat jelas.
Sesaat
tak ada sahutan dari Yoon Hee, hingga gadis itu berkata,
“Kadang…
aku bingung, kau ini… nyata atau tidak.” Tersenyum, sambil tertawa kecil.
Jin
Ki memberengut, “Tentu saja aku nyata!”
“Kau
selalu ada dimana saja, muncul tanpa aba-aba. Dan sekejap… sudah ada di
sampingku.”
Jin
Ki menoleh ke kiri. Menatap nanar pada gadis itu. Memang ada yang ‘salah’
dengan Yoon Hee saat ini.
“Jangan
merayuku. Aku sedang marah padamu. kemana saja kau seminggu ini huh?”
“Mian.”
Tunduk Yoon Hee.
Jawaban
singkat dan tak jelas yang terlontak tak lama ini semakin membuat Jin Ki sulit
menahan geram. Ia menggeser tubuhnya mendekat. Dipandanginya gadis yang tengah
menunduk itu. Jin Ki menghela napas.
Ia
baru menyadari satu hal. Yoon Hee sama sekali belum menatap matanya.
“Kau
berubah Yoon.” Ucap Jin Ki akhirnya. “Kau berubah. Sikapmu padaku, berbeda.”
Yoon
Hee semakin menunduk, membuat poninya menjuntai menutupi wajahnya.
“Neo…
gwaenchanha? Jhebal, malhaeba… (Are you… okay? Please, tell me what happen with
you…)”
“Apa
kau kecewa padaku?”
Jin
Ki tertegun, Yoon Hee menatap telak di matanya. Ada yang berbeda dari bola mata
bulat itu. kabut bening yang menyelimuti. Berbayang dan menggantung di pelupuk
mata. Seolah jika gadis itu berkedip sekali saja, maka bulir bening itu akan
menetes kapan saja.
Jin
Ki tergagap. “A… maksudku, kau… kenapa tak pernah lagi—“
Yoon
Hee tersenyum aneh, memotong ucapan Jin Ki. “Kau BUKAN bayi, Lee Jin Ki. Haruskah
kau butuh aku untuk SELALU mengingatkan kapan kau harus bangun? Mengingatkanmu
jam berapa kau harus makan siang? Menelponmu untuk menyuruhmu bersemangat tiap
kali kau akan tampil? Masihkan aku HARUS melakukan SEMUA hal itu? Kau. Bukan.
Bayi. Cobalah hidup tanpa aku, tanpa SMS dariku, tanpa telepon dariku.
Bagaimana… Bagaimana jika suatu saat aku tidak akan bisa melakukan semua hal
itu lagi? Apa kau juga akan berhenti makan jika tidak ada SMSku? Apa kau akan
tidur terus jika aku berhenti menjadi ‘alarm’mu? TIDAK, kan?”
Yoon
Hee tersengal kemudian. Mengucapkan semua kalimat itu dalam satu tarikan napas.
Dan sekarang dadanya terasa sesak. Sesak yang lain. Seperti ada yang
memukul-mukul dadanya berulang kali. Yoon Hee menelan ludah, tak menyangka akan
mengucapkan kalimat sekasar itu pada pemuda lembutnya. Pada LEE JINKI-NYA!!!
Yoon
Hee merasa pandangannya memburam, matanya mulai memanas.
Jin
Ki mematung. Hingga hening yang mengisi selama beberapa saat. Tidak ada suara
hingga…. Isakan kecil itu terdengar.
“Mianhae…”
ucap gadis itu terisak. “Aku sudah mengabaikanmu. Aku banyak masalah. Tapi…”
Yoon Hee membekap mulutnya sesaat, menangis. Butuh beberapa saat hingga ia bisa
kembali mengeluarkan suara selain isakan. “Tapi harusnya aku tahu… bukan… bukan
kau yang ku salahkan.. mianhae… jeongmal mianhae…”
Ia
tidak bisa menahan sesak itu lagi. Yoon Hee menyerah. Menahan tangis ternyata
terlalu sesak untuknya. Bermula dari sebulir air mata yang dengan lancang
menjatuhkan diri, disusul dengan bulir kawan lainnya. Hingga akhirnya, bahu dan
sekujur tubuhnya bergetar.
Menangis
dari hati terdalam.
Tanpa
kata, Jin Ki menarik tubuh gadis yang bergetar menangis itu dalam rengkuhannya.
Diusapnya punggung Yoon Hee dengan lembut. Diletakannya dagunya di puncak kepala
gadis itu.
“Ireokhe…
Jhebal… Uljima… (Don’t be like this… Please… Don’t cry…)”
Kehangatan
yang menenangkan ini, seolah menyuruh Yoon Hee untuk menumpahkan semuanya. Ia
menangis. Keras. Membenamkan wajahnya di dada bidang pemuda itu.
Onew –In Your Eyes
Dan hanbeondo malhan
jeok eobtjiman
Sasil mallya nan geunare
i simjangi ttwineungeol neukkyeosseo
Cheoeumbuteo nan al su
isseosseo
Hwaksinhal sun
eobseotjiman imi urin jeonghaejin unmyeong gatasseo
[I have
been told once but
I felt the
heart beating on that day
I know
from the start
I was not
sure what, we sounded like it is destiny]
Jin
Ki bersenandung kecil. Meskipun sesak juga menyelimutinya ketika mendengar
isakan pilu dari gadis itu. gadis yang amat disayanginya.
Sarangeun naegero wa
Neoreul ikkeuneun
siganeuro
Yeongwonhi kkaeji
annneun
Kkumman gatasseo
jeongmal kkumman gataseo
[Love me
and
Time will
lead you
Forever
without breaking up
I thought
I was dreaming, like a real dream]
Yoon
Hee semakin mengeratkan pelukannya, tangannya melingkar erat pada pinggang Jin
Ki. mencium harum white tea itu. mengisi paru-parunya dengan aroma kerinduan
yang teramat nyata.
Nal bomyeo utneun neo
Ireoke joheun nal
Wae nunmuri nalkka
Nae nuneneun
Yeongwonhi kkaeji anheul
Kkum igil barae neul
byeonchi ankireul
[Looking
at me smiling to you
It was a
good day
Why there
are tears
In my eyes
Forever we
will not break up
Always
dream to hope that will not change the next day]
Sarangi meomuneun got
Uri hamkke hal siganeuro
Yeongwonhi byeonchi
anheul
Kkumman gatasseo naegen
kkumman gataseo
Cheoeum mannan geunareul
gieokhae
Nuni busige bitnadeon
geureon nare niga wajwoseo
[Love
stays
Our time
to be together
Do not
change, forever
Like a
dream to me like a dream.
Remember
that day when we first met
Strikingly
radiant you for coming on such a day]
Jin
Ki menggantung penggalan akhir lagunya. Sengaja.
Dilonggarkannya
jarak, hingga ia bisa melihat wajah Yoon Hee yang merah dan basah. Dengan kedua
telapak tangan, direngkuhnya wajah gadis itu, mendekat. Yoon Hee memejamkan
matanya perlahan. Ya Tuhan, betapa ia juga sakit melihat gadis itu menangis.
Semakin dekat jarak yang ia hapus, semakin matanya memburam. Membisikkan dengan
lirih lirik terakhir.
Gomawo jeongmal
[I really
thank you]
Hingga
akhirnya saat bibir itu mendarat di kening Yoon Hee, sebulir air mata itu
melepas diri dari kelopak mata sabit Jin Ki. air mata ketulusan. Bahwa ia tak
mau hanya mata bulat itu yang menangis. Tidak ada yang tahu, bahwa kalimat Yoon
Hee membuatnya takut. Jin Ki tidak mau ditinggalkan. Ia tidak suka perpisahan. Apapun,
akan ia lakukan untuk mempertahankan gadis ini agar selalu ada di sampingnya. Tak
akan pernah ia lepas.
Cukup
lama ia mengecup kening Yoon Hee. Lalu, bibir itu turun. Mengecup satu persatu
mata Han Yoon Hee. Cukup lama.
“Khajima…
(Jangan pergi kemanapun…)”
“Na
andwae… (Aku tidak akan melakukannya…)”
“Saranghae…
jeongmal… (I love you… so much…)”
Dan
dikecupnya bibir merah itu.
Diiringi
nyanyian pendar lampu malam, disaksikan pendar bulan yang menenangkan.
Tidak
akan pergi…
Tidak
akan pergi kemanapun….
___ END ___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar