Halaman

Sabtu, 13 Oktober 2012

MY DAZZLING GIRL, ULJIMA...

11 10 2012
ABU Radio Song Festival



“Nomor yang anda tuju sedang sibuk atau berada di luar jangka—”


Lee Jin Ki mendesah kesal setelah panggilan ke-sepuluhnya hanya berakhir di mesin operator jaringan. Jin Ki memandangi layar ponselnya sesaat. Dan hanya melihat bayangan wajahnya sendiri ketika layar tersebut berubah gelap.


Lelah.


Ada yang sangat mengusik pikirannya saat ini. Gadis itu. apa lagi memangnya?


Terhitung hingga hari ini, sudah hampir seminggu tak ada kabar dari Han Yoon Hee. Pesan yang biasanya gadis itu kirimkan sesaat sebelum ia perform hampir tak pernah menyambangi kotak masuknya lagi. Atau telepon singkat dari si cerewet itu untuk sekedar mengingatkan Jin Ki makan siang juga tak pernah lagi ada.


Kemana sih gadis menyebalkan itu? berani sekali membuat seorang Lee Jin Ki merindukannya seperti ini!


Sekali lagi, Jin Ki mendesah lelah. Dan rupanya, hal itu tertangkap oleh Taemin.


“Hyung, ada masalah?” tanyanya heran ketika dilihatnya sang Leader sedari tadi hanya berdiri tak jelas di pojok ruang make up ini.


Jin Ki menoleh. “Ah, aniya, ponselku sepertinya lowbat.” Ungkapnya. “Oh, Taemin-ah, bukankah sekarang giliranmu? Tadi Jung Noona menanyakanmu. Kau darimana saja?”


“Aku ada urusan dengan ibuku tadi Hyung.” jelas Taemin. “Oh! Hyung! Kau tampak keren dengan model rambut barumu.” Puji Taemin.




(Onew at ABU Radio Song Festival)



“Tidak usah merayuku! Kau ini, kebiasaan sekali pergi tanpa pamit.” Omel Jin Ki.


Taemin meringis tak enak hati. Memang, sering sekali ia menusahkan hyungnya yang satu ini.


“Mianhae…”


“Sekarang, duduk di sana. Ku panggilkan Jung Noona dulu.”


“Arraseo…” sahut Taemin seraya beranjak duduk di salah satu kursi make up. Sementara Jin Ki melenggang keluar ruangan untuk mencari coordi-noona make up Taemin.


“Ah, sial. Aku bahkan harus mencari Jong Hyun juga. Apa toilet di sini jaraknya berpuluh-puluh kilometer, huh? Anak itu… Jinjja!”


Taemin meringis setengah geli, mendengar sang Leader mulai senewen dengan adik-adiknya.


“Hyung, fighting!” teriaknya sesaat sebelum Jin Ki benar-benar menghilang dari balik pintu ruang make up.


***


Malam menjelang namun kegiatan masih terus berjalan. Lelah, tentu sudah sangat akrab dengan tubuh kelima namja tampan yang kini sedang duduk diam dalam sebuah mobil van yang akan membawa mereka kembali ke dorm, beristirahat.



“Onew-ah, gwaenchana?” suara Choi Jin—sang manager SHINee—memecah keheningan. Ia menoleh dari kursi depan memandang ‘anak asuh’nya yang paling tua itu.



Jin Ki mengangkat wajah, dan mendapati ke-empat ‘adik’ serta manager menatap lekat ke arahnya. Jin Ki berdeham beberapa kali.


“Nan gwaenchana hyung…”


Choi Jin menatap lekat pada Jin Ki. begitu pula dengan Jong Hyun, Key, Min Ho dan Taemin. Hening sesaat, dan Jin Ki mulai jengah ditatap lekat seperti itu.


“Nan jeongmal gwaenchanikka. Kkogjonghajima. (I’m really fine. Don’t worry.)” Tegasnya sekali lagi.


Choi Jin mengangkat alis sesaat kemudian mengangguk. Setelah itu, ia kembali memutar tubuhnya ke depan.


Bukan apa-apa ia mencemaskan Jin Ki. hanya saja sejak kejadian yang ‘lalu’, sebagai manager, ia perlu lebih eksra lagi mengawasi semua anak asuhnya. Kejadian dimana saat itu adalah hal yang tak pernah terpikirkan untuk terjadi. Insiden konyol yang menyalahkan satu pihak, adiknya itu. kecelakaan kecil yang merambah menjadi besar, menggemparkan public, perseteruan singkat yang merugikan, hingga harus ‘melenyapkan’ Jin Ki dari peredaran untuk beberapa waktu.


Choi Jin sangat amat paham, bagaimana Leader Onew yang sebenarnya. Dia… bahkan lebih rapuh dari adik-adiknya. Mudah goyah meski hanya dengan satu sentilan kecil di tubuhnya.


Choi Jin kembali meihat Jin Ki yang duduk di kursi belakang, kali ini lewat kaca tengah mobil. Namja bermata sipit itu lagi-lagi kedapatan tengah memandangi layar ponselnya. Dan hal itu bukan hari ini saja Choi Jin amati. Sudah hampir beberapa hari terakhir. Dan jika seperti itu, hanya ada satu alasan. Han Yoon Hee.


Hanya gadis cerewet itu yang bisa membuat Lee Jin Ki kacau balau.


“Dia tidak akan tahu kau merindukannya, kalau kau hanya memandangi ponsel seperti itu, Onew-ah.” Sindir Choi Jin. Membuat Jin Ki melengos sebal.


“Kau tidak tahu Hyung, hari ini panggilan ke-sepuluhku bahkan tidak ia angkat.” Jawabnya sakratis.


“Mungkin dia sedang sibuk Hyung.” timpal Min Ho.


“Atau mungkin dia sudah mulai bosan denganmu.” Sahut Key asal, yang langsung mendapat pelototan tajam dari yang lain. Kadang mulut Key memang sangat licin, hingga ia sendiri sulit mengendalikan kalimatnya-__-


“Kenapa tidak kau coba saja menelpon adiknya? Bukankah mereka tinggal satu apartemen?” usul Choi Jin.


“Aku tidak punya nomornya, Hyung.”


“Aku punya!” sahut Taemin, terlalu cepat. Membuat pusat pandangan kali ini tertuju padanya. “Waeyo?” tanyanya bingung.


“Bagaimana kau bisa mempunyai nomor adiknya Yoon Hee?” selidik Jong Hyun, memicingkan mata. Taemin menelan ludah.


“A… aku memang dekat dengan Han Yoon Ra sejak Onew Hyung berpacaran dengan Yoon Hee noona. Me… memangnya ada yang salah?”


“Ani. (No.)” Ledek Jong Hyun.


“Geureonggeo anira. (Of course no).” sahut Min Ho.


“Oh, uri magnae has growing up now.” Ledek Key sambil memutar bola matanya menyebalkan.


“Memang apa salahnya sih punya nomor ponsel seorang yeoja. Aku kan namja juga Hyung.” sahut Taemin membela diri, sebal.


“Sudah, sudah. Taemin, berikan aku nomor Han Yoon Ra.”


Tanpa babibu lagi, meskipun dengan menahan gondok, Taemin memberikan nomor gadis bernama Han Yoon Ra tersebut.


Setelah beberapa nada sambung, Jin Ki mendengar suara lembut mengalun dari seberang, hampir sama persis dengan suara Yoon Hee, pikir Jin Ki.


“Yeobosseyo?”


“Yeobosseyo, Yoon Ra-ya…”


Terdengar hening beberapa detik sebelum Yoon Ra menjawab dengan kaget,


“ONEW OPPA?!”


***


“Sudah berapa hari ia tidak tidur?”


“Entahlah. Kurasa… hampir seminggu ini.”


Jin Ki menghela napas, lalu kembali mengalihkan pandangannya pada sosok gadis yang kini tengah tertidur dengan posisi menelungkup di atas meja belajarnya. Laptop putihnya masih menyala dan di sekeliling gadis itu banyak kertas-kertas berserakan. Berantakan sekali.


“Kurasa dia lebih pendiam akhir-akhir ini. Dan yang menyebalkan adalah tiap kali ku tanya, ia sama sekali tak mau menjawab atau berceloteh seperti biasanya. Menjawab sambil lalu bahkan kadang tidak nyambung. Aku bingung oppa. Pasti… ada yang salah dengannya.”


Han Yoon Ra, yang berdiri di samping Jin Ki juga menatap sang kakak yang tengah tertidur dengan posisi menelungkup itu.


“Apakah gara-gara aku? Menurutmu, apakah aku sudah melakukan kesalahan padanya?” Jin Ki mengalihkan pandangannya, menatap Yoon Ra.


Adik Han Yoon Hee itu mengangkat bahu dengan ekspresi menyesal. “Nado molla, oppa.”


“Gadis bodoh.” Ucap Jin Ki menatap punggung Yoon Hee. Sejenak kemudian, Jin Ki melangkah keluar dari kamar Yoon Hee dan menuju dapur apartemen kakak-beradik Han itu. dengan cekatan dan seperti sudah terbiasa, Jin Ki memanasi penggorengan dan meraih sebutir telur dari dalam kulkas. Disiapkannya piring, diletakknya setangkup roti tawar di piring tersebut, beberapa sayur seperti tomat, timun, juga daun selada kini menghiasi setangkup roti tersebut.


“Oppa, lapar? Aku bisa membuatkanmu makanan.” Ujar Yoon Ra sedikit heran.


“Aniya, aku membuat ini untuk Yoon Hee.”


***


Kram itu mulai terasa. Denyut yang terasa sangat menyebalkan itu juga mulai mendera kepalanya. Lagi-lagi, malam ini ia harus berkawan dengan sakit kepala.


Yoon Hee yang mulai merasakan pegal di bagian leher dan bahu, mulai sedikit menggerakkan tubuhnya. Mata bulatnya masih menyipit, menyesuaikan dengan penerangan lampu kamar yang menusuk iris matanya.


Yoon Hee bergerak gusar ketika dilihatnya laptop putih itu tidak ada di atas meja.


“Mimpi indah, Putri Tidur?”


Sebuah suara tak asing menyentak Yoon Hee. Ia menggerakkan kepalanya ke arah kanan, dan melihat Lee Jin Ki tengah menatap layar laptop putih, mengetikkan esainya.


“Jin Ki-ya? Sejak kapan kau ada di sini?”


“Sejak paragraf analogimu berubah menjadi silogisme. Ckck, kukira kau pandai dalam bahasa, ternyata..” Yoon Hee melotot sebal ketika dilihatnya Jin Ki tengah tersenyum menyebalkan.


“Pulanglah, ini sudah hampir tengah malam.”


Jin Ki mengalihkan pandangannya dari layar laptop. “Aku menyempatkan ke sini, dan sekarang kau mengusirku, begitu?”


“Kau pintar.”


Yoon Hee melengos menuju laci meja di sisi tempat tidurnya, mengambil sebungkus obat lalu menelan satu butir di antaranya.


“Apa yang kau minum?”


Yoon Hee mendengar pertanyaan sederhana itu, namun tak mengindahkannya sama sekali. Ia memutar pandangannya ke segala arah, lantas berjalan mendekat dan duduk di samping Jin Ki, meraih segelas susu yang terletak di atas meja di sisi sepiring roti sandwich yang dapat Yoon Hee tebak, dibuat oleh Jin Ki.


Terenyuh. Tangan Yoon Hee gemetar ketika memegang gelas itu. tiap tegukan yang melewati tenggorokannya terasa seperti sembilu. Bagaimana bisa namja yang ia acuhkan masih bisa semanis ini?


Jangan menangis. Jangan, setidaknya sebelum namja ini pulang, batin Yoon Hee. Berusaha membuat raut wajahnya datar, walau kenyataannya ia sangat ingin menangis dan memeluk namja itu. meneriakkan betapa ia sangat merindukan Jin Ki.


“Ngomong-ngomong, model rambut barumu bagus.”


“Ya! Aku bicara padamu, Han Yoon Hee! Yang kau minum tadi itu apa?”


Yoon Hee meletakkan gelasnya kembali. Lantas meraih laptopnya, dan memangkunya. “Obat flu.”


“Mwo?”


“Berisik. Pulanglah.”


“Jangan sok sibuk. Tugasmu itu sudah ku selesaikan.” Jin Ki mendesah kesal. Lalu, tanpa aba-aba, disingkirkannya laptop itu ke meja semula, dan diraihnya tangan Yoon Hee, memaksa gadis itu berdiri.


“Lepas! Apa yang kau lakukan, hah?”


“Menyelamatkanmu.”


“Hah?”


Jin Ki tak memberikan penjelasan apapun lagi. Ia hanya menyeret Yoon Hee hingga mereka sampai di depan mobil yang Jin Ki bawa dari dorm tadi.


“Masuk.”


“Shireo!!!”


“Tidak ada penolakan!” Jin Ki berhasil memaksa Yoon Hee masuk dalam BMW yang ia beli kurang lebih empat bulan yang lalu itu. dan beberapa saat kemudian, mobil itu telah melaju membelah jalanan kota Seoul bersama kendaraan yang lain.


***


Beberapa hal yang sangat ia pahami tentang Han Yoon Hee adalah gadis ‘gila’ itu sangat menggilai Hujan. Gadis aneh itu pernah mengaku menyukai tetes air langit itu. menyukai suara rintiknya pada kanopi halte atau genteng rumah. Menyukai bau tanah yang ikut bermuara saat hujan menyapunya. Menenangkan, katanya.


Namun, karena saat ini, sedang tidak turun hujan, maka ia mengajak gadisnya itu ke tempat ini. Hal kedua yang di’gilai’ Yoon Hee selain hujan.


Pendar lampu kota saat malam menjelang.
 






Kurang aneh apalagi gadisnya ini? Jin Ki membatin.


Beberapa waktu hanya diisi oleh keheningan. Bukit yang sering kali Jin Ki kunjungi bersama teman-temannya saat ia masih dalam masa trainee dulu tetap tidak berubah. Masih ada bangku keramik panjang di sini, yang kali ini, ia duduki bersama gadisnya, Han Yoon Hee.


“Di sini… indah kan?” urai Jin Ki mengawali. Mulai merasa masa-masa bersama teman-teman sekolahnya dulu. Bahkan dari bukit ini, Sungai Han pun terlihat jelas.


Sesaat tak ada sahutan dari Yoon Hee, hingga gadis itu berkata,


“Kadang… aku bingung, kau ini… nyata atau tidak.” Tersenyum, sambil tertawa kecil.


Jin Ki memberengut, “Tentu saja aku nyata!”


“Kau selalu ada dimana saja, muncul tanpa aba-aba. Dan sekejap… sudah ada di sampingku.”


Jin Ki menoleh ke kiri. Menatap nanar pada gadis itu. Memang ada yang ‘salah’ dengan Yoon Hee saat ini.


“Jangan merayuku. Aku sedang marah padamu. kemana saja kau seminggu ini huh?”


“Mian.” Tunduk Yoon Hee.



Jawaban singkat dan tak jelas yang terlontak tak lama ini semakin membuat Jin Ki sulit menahan geram. Ia menggeser tubuhnya mendekat. Dipandanginya gadis yang tengah menunduk itu. Jin Ki menghela napas.


Ia baru menyadari satu hal. Yoon Hee sama sekali belum menatap matanya.


“Kau berubah Yoon.” Ucap Jin Ki akhirnya. “Kau berubah. Sikapmu padaku, berbeda.”


Yoon Hee semakin menunduk, membuat poninya menjuntai menutupi wajahnya.


“Neo… gwaenchanha? Jhebal, malhaeba… (Are you… okay? Please, tell me what happen with you…)”


“Apa kau kecewa padaku?”


Jin Ki tertegun, Yoon Hee menatap telak di matanya. Ada yang berbeda dari bola mata bulat itu. kabut bening yang menyelimuti. Berbayang dan menggantung di pelupuk mata. Seolah jika gadis itu berkedip sekali saja, maka bulir bening itu akan menetes kapan saja.


Jin Ki tergagap. “A… maksudku, kau… kenapa tak pernah lagi—“


Yoon Hee tersenyum aneh, memotong ucapan Jin Ki. “Kau BUKAN bayi, Lee Jin Ki. Haruskah kau butuh aku untuk SELALU mengingatkan kapan kau harus bangun? Mengingatkanmu jam berapa kau harus makan siang? Menelponmu untuk menyuruhmu bersemangat tiap kali kau akan tampil? Masihkan aku HARUS melakukan SEMUA hal itu? Kau. Bukan. Bayi. Cobalah hidup tanpa aku, tanpa SMS dariku, tanpa telepon dariku. Bagaimana… Bagaimana jika suatu saat aku tidak akan bisa melakukan semua hal itu lagi? Apa kau juga akan berhenti makan jika tidak ada SMSku? Apa kau akan tidur terus jika aku berhenti menjadi ‘alarm’mu? TIDAK, kan?”


Yoon Hee tersengal kemudian. Mengucapkan semua kalimat itu dalam satu tarikan napas. Dan sekarang dadanya terasa sesak. Sesak yang lain. Seperti ada yang memukul-mukul dadanya berulang kali. Yoon Hee menelan ludah, tak menyangka akan mengucapkan kalimat sekasar itu pada pemuda lembutnya. Pada LEE JINKI-NYA!!!


Yoon Hee merasa pandangannya memburam, matanya mulai memanas.


Jin Ki mematung. Hingga hening yang mengisi selama beberapa saat. Tidak ada suara hingga…. Isakan kecil itu terdengar.


“Mianhae…” ucap gadis itu terisak. “Aku sudah mengabaikanmu. Aku banyak masalah. Tapi…” Yoon Hee membekap mulutnya sesaat, menangis. Butuh beberapa saat hingga ia bisa kembali mengeluarkan suara selain isakan. “Tapi harusnya aku tahu… bukan… bukan kau yang ku salahkan.. mianhae… jeongmal mianhae…”


Ia tidak bisa menahan sesak itu lagi. Yoon Hee menyerah. Menahan tangis ternyata terlalu sesak untuknya. Bermula dari sebulir air mata yang dengan lancang menjatuhkan diri, disusul dengan bulir kawan lainnya. Hingga akhirnya, bahu dan sekujur tubuhnya bergetar.


Menangis dari hati terdalam.


Tanpa kata, Jin Ki menarik tubuh gadis yang bergetar menangis itu dalam rengkuhannya. Diusapnya punggung Yoon Hee dengan lembut. Diletakannya dagunya di puncak kepala gadis itu.


“Ireokhe… Jhebal… Uljima… (Don’t be like this… Please… Don’t cry…)”

Kehangatan yang menenangkan ini, seolah menyuruh Yoon Hee untuk menumpahkan semuanya. Ia menangis. Keras. Membenamkan wajahnya di dada bidang pemuda itu.

Onew –In Your Eyes
Dan hanbeondo malhan jeok eobtjiman
Sasil mallya nan geunare i simjangi ttwineungeol neukkyeosseo
Cheoeumbuteo nan al su isseosseo
Hwaksinhal sun eobseotjiman imi urin jeonghaejin unmyeong gatasseo

[I have been told once but
I felt the heart beating on that day
I know from the start
I was not sure what, we sounded like it is destiny]


Jin Ki bersenandung kecil. Meskipun sesak juga menyelimutinya ketika mendengar isakan pilu dari gadis itu. gadis yang amat disayanginya.


Sarangeun naegero wa
Neoreul ikkeuneun siganeuro
Yeongwonhi kkaeji annneun
Kkumman gatasseo jeongmal kkumman gataseo

[Love me and
Time will lead you
Forever without breaking up
I thought I was dreaming, like a real dream]


Yoon Hee semakin mengeratkan pelukannya, tangannya melingkar erat pada pinggang Jin Ki. mencium harum white tea itu. mengisi paru-parunya dengan aroma kerinduan yang teramat nyata.


Nal bomyeo utneun neo
Ireoke joheun nal
Wae nunmuri nalkka
Nae nuneneun
Yeongwonhi kkaeji anheul
Kkum igil barae neul byeonchi ankireul

[Looking at me smiling to you
It was a good day
Why there are tears
In my eyes
Forever we will not break up
Always dream to hope that will not change the next day]


Sarangi meomuneun got
Uri hamkke hal siganeuro
Yeongwonhi byeonchi anheul
Kkumman gatasseo naegen kkumman gataseo
Cheoeum mannan geunareul gieokhae
Nuni busige bitnadeon geureon nare niga wajwoseo

[Love stays
Our time to be together
Do not change, forever
Like a dream to me like a dream.
Remember that day when we first met
Strikingly radiant you for coming on such a day]


Jin Ki menggantung penggalan akhir lagunya. Sengaja.


Dilonggarkannya jarak, hingga ia bisa melihat wajah Yoon Hee yang merah dan basah. Dengan kedua telapak tangan, direngkuhnya wajah gadis itu, mendekat. Yoon Hee memejamkan matanya perlahan. Ya Tuhan, betapa ia juga sakit melihat gadis itu menangis. Semakin dekat jarak yang ia hapus, semakin matanya memburam. Membisikkan dengan lirih lirik terakhir.


Gomawo jeongmal

[I really thank you]


Hingga akhirnya saat bibir itu mendarat di kening Yoon Hee, sebulir air mata itu melepas diri dari kelopak mata sabit Jin Ki. air mata ketulusan. Bahwa ia tak mau hanya mata bulat itu yang menangis. Tidak ada yang tahu, bahwa kalimat Yoon Hee membuatnya takut. Jin Ki tidak mau ditinggalkan. Ia tidak suka perpisahan. Apapun, akan ia lakukan untuk mempertahankan gadis ini agar selalu ada di sampingnya. Tak akan pernah ia lepas.


Cukup lama ia mengecup kening Yoon Hee. Lalu, bibir itu turun. Mengecup satu persatu mata Han Yoon Hee. Cukup lama.


“Khajima… (Jangan pergi kemanapun…)”


“Na andwae… (Aku tidak akan melakukannya…)”


“Saranghae… jeongmal… (I love you… so much…)”


Dan dikecupnya bibir merah itu.


Diiringi nyanyian pendar lampu malam, disaksikan pendar bulan yang menenangkan.


Tidak akan pergi…


Tidak akan pergi kemanapun….



___ END ___


Tidak ada komentar:

Posting Komentar