Halaman

Minggu, 30 September 2012

Spamming



aku tidak pernah tahu, atau lebih tepatnya, aku tidak pernah menduga, bahwa rasa sakitnya menyesal, tidak akan berlalu begitu saja dengan sendiri. Tidak ada yang baik-baik saja saat ini, tapi sekali lagi aku mengerti, ini memang sesuatu yang pantas untukku, setelah aku begitu saja, membiarkan orang yang aku sayang terjatuh sendiri hingga akhirnya menyerah dan menghilang.

Bukan penyesalan. Ini hanya sebuah rasa pedih. Rasa yang ternyata tidak dapat aku hilangkan dalam sekejap. Rasa yang cara penanganannya tidak ada di dalam buku manapun. Rasa yang begitu hebat tapi tidak diajarkan dalam sekolah bertaraf super sekalipun. Rasa manusiawi yang kehadirannya tidak aku duga sebelumnya, kehilangan.

Ternyata aku masih sama, masih aku yang telah berhenti berharap, karena aku memang tidak ingin kembali, namun masih terus bertahan, karena cinta itu masih ada di dalam hatiku.

Terbenam seperti ini, memang tidak baik untukku. Aku telah berusaha, untuk terus maju. Setidaknya bila orang normal berjalan dua langkah, dan aku hanya setengah langkah, aku mencoba untuk terus berjalan. Karena aku tahu, waktu tidak akan menungguku untuk kembali. Waktu adalah waktu, yang akan tetap berlari sesuai alurnya, tidak peduli pada masalah-masalah yang menimpa para pelaku di dalam lintasannya.

aku memang bersalah dan terbenam di dalamnya. lantas, belum cukupkah semua hukuman ini ? bisakah aku meminta untuk berhenti saat ini ?

aku lelah, lelah karena aku tahu, aku telah sendiri saat ini.

silahkan kamu bahagia, toh memang seperti itu kenyataannya. dan biarkan aku untuk bahagia juga, bahagia tanpa senyumanmu dalam hidupku, bahagia karena aku menemukan matahari baruku, bahagia karena aku telah kembali menjadi aku dan diriku

ajari aku, ajari aku untuk keluar dari semua ini

hanya itu

aku mohon..

Jumat, 28 September 2012

AGAIN ...


Han Yoon Hee memindai cepat kertas panjang yang baru disambarnya sambil berjalan keluar dapur. Rata-rata daftar ini berisi stok bulanan bumbu, sayuran dan daging-dagingan. Yoon Hee mengernyit. Sebanyak ini, bagaimana membawanya?

Saat mengangkat wajah, Yoon Hee terpaksa berhenti mendadak karena tiba-tiba sebuah tas rotan besar melayang tepat di depan wajahnya. Tak lama tas rotan itu terbang mengambang ke samping, menunjukan wajah tampan pemuda yang ternyata bersembunyi dibaliknya. Lee Jin Ki.

Yoon Hee terperangah.

Jin Ki memandangi gadis di hadapannya, lalu tanpa tedeng aling-aling menarik tangan Yoon Hee agar mengikutinya ke halaman depan.

Yoon Hee memandangi telapaknya yang digenggam jemari besar Jin Ki, kehangatan itu mengusiknya. Lalu gadis itu bergerak memperhatikan tubuh pemuda yang dibalut kaus putih super polos dipadu celana jeans selutut. Terlalu santai untuk ukuran seorang Tuan Muda Lee.

"Tuan," katanya tertahan, berdiri diam di satu titik hingga Jin Ki tersentak dan berbalik badan. "Mau kemana?"

Pemuda itu mengernyit, lalu menggoyang-goyangkan tas rotan yang sama di tangan satunya "Belanja bulanan kan?"

"Naik itu?" tanya Yoon Hee heran, melirik ke arah Hyundai yang terparkir manis di depan pilar pintu utama.
Jin Ki mengangguk.

"Belanjanya kan di pasar," sahut gadis itu pelan.

Jin Ki mengernyit lagi, "Bukannya biasa di supermarket?" melihat Yoon Hee menggeleng, pemuda itu bertanya lagi "Kenapa tidak di supermarket?"

Yoon Hee mengangkat bahu "Bukankah lebih segar dì pasar? Lagipula bisa ditawar,"

Jin Ki tersenyum meremehkan "Tawar-menawar? Memangnya uangnya kurang?" tanyanya sambil melirik amplop uang belanja yang dipegang Yoon Hee.

Gadis itu menghembuskan nafas, merasa sedikit ganjil ketika menyadari betapa rindunya ia pada saat-saat seperti ini, masa-masa perdebatan lidah dengan Tuan muda sombongnya ini, seperti sebelum segala hal memusingkan menyangkut hati terjadi. Ironisnya, kenapa saat-saat ini harus berulang saat Yoon Hee telah memantapkan keputusannya lagi bahwa ... Ah, gadis itu tersadar sendiri. Ia melepas dari genggaman Jin Ki.

"Bukan soal uang. Tawar menawar itu kan seni, Tuan," ujar Yoon Hee berusaha tersenyum.

Jin Ki tersentak sekilas ketika Yoon Hee melepas cengkraman tangannya. Senyum gadis itu dan panggilannya yang dulu, membangkitkan perasaan Jin Ki akan sesuatu. Sesuatu yang membuat lidahnya kelu. Tapi tidak boleh. Ada alasan tersembunyi mengapa Jin Ki rela menemani Yoon Hee sepagi ini.

Kemarin, terjadi konfrontasi kecil antaranya dengan Yoon Ra. Gadis berwajah tirus itu hampir menangis karena menuduhnya menyembunyikan sesuatu. Isakan Yoon Ra membuatnya ditampar janjinya sendiri bahwa gadis itu takkan menangis di hadapannya lagi, membuatnya bingung, membuatnya membutuhkan zat adiksi itu dalam kadar tinggi untuk mempertahankan kewarasannya agar cukup untuk menghadapi Yoon Ra lagi. Dan karena itulah ia mencari Yoon Hee, tak lain karena kebutuhan yang harus dipenuhinya. Kembali, untuk Lee Yoon Ra.


"Jadi naik apa?" tanya Jin Ki tak lama.

"Bus."


***


09.06, Pasar.



"Mahal sekali, ahjumma. Biasanya juga seribu seikat."

"Kan pada naik, Tuan. Ini juga saya sudah jual murah. Seribu tiga ratus. Yang lain malah seribu lima ratus, Tuan."

"Seribu saja ya? Eotthe?? Saya ambil sepuluh."

"Seribu tiga ratus, Tuan."


"Seribu seratus deh. Saya kan ambil banyak,"

"Hah, baiklah."

Yoon Hee tertawa kecil melihat begitu bersemangatnya Jin Ki melakukan transaksi tawar-menawar hingga si ibu penjual sayur terlihat sedikit jengkel. Tadinya, pemuda itu penasaran kenapa Yoon Hee begitu ngotot saat tak mendapat harga daging ayam fillet yang ditawarnya, lalu Jin Ki pun ikut bergabung menawar.

Ujung-ujungnya, karena berhasil meluluhkan si nenek penjual daging karena ketampanannya, Jin Ki malah ketagihan dan mengajukan diri sebagai juru penawar untuk semua transaksi berikutnya. Seperti pembelian sawi hijau ini. Jin Ki bahkan sampai berniat menanyakan harga pasaran sawi biasanya pada Yoon Hee.

Pemuda itu memasukkan hasil transaksinya dengan pandangan puas ke tas rotan, lalu memandang Yoon Hee dengan wajah bangga, membuat gadis itu tak mampu menahan senyum gelinya.

"Kenapa senyum-senyum seperti itu?" tanya Jin Ki sedikit tersinggung.

Yoon Hee menggeleng sambil menahan senyum lalu melirik daftar belanja yang sudah tercentang semua "Ayo pulang, Tuan."

"Kenapa manggil Tuan sih ?" tanya Jin Ki bingung.

Yoon Hee tersenyum tipis. Menyiapkan diri, jawabnya sendiri dalam hati. Ia menatap Jin Ki sekilas lalu melenggang mendahului pemuda itu.

"Yoon Hee-ya!" seru Jin Ki tertahan, membuat Yoon Hee menoleh lagi dan bertanya,

"Kenapa, Tuan?"

"Tunggu," kata Jin Ki, menyusul dan berdiri di depan Yoon Hee lalu mencengkram lengan gadis itu erat-erat.

Yoon Hee mendesah, lagi-lagi. Tapi entah kenapa gadis itu tak menampik genggaman Jin Ki kali ini. Mungkin karena toh ia tahu waktu itu kian mendekat. Biarlah ia merasakan debaran liar ini untuk terakhir kali.

Jin Ki kini berjalan di depan Yoon Hee. Dengan sikap sok tahunya yang biasa, ia menyelinap di antara para penjaja, mengacuhkan bau yang kadang terlampau busuk bagi Tuan Muda sepertinya. Setelah keluar dari area pasar, Jin Ki sigap menyetop bus angkutan umum dengan nomor trayek yang tadi juga ia naiki dari depan perumahannya.

Bus itu sepi, Jin Ki melepas tangan Yoon Hee lalu mendorong gadis itu untuk duduk di kursi dekat jendela, diikuti dirinya. Dengan fasih, Yoon Hee mengambil tas rotan dan kresek lain yang masih digenggam Jin Ki lalu menaruh semua itu di dekat kakinya. 

Tak ada suara ketika angkutan mulai berjalan selain lagu desau angin dan batuk parau sang sopir. Lalu entah siapa yang memulai, mungkin karena suasana yang terbawa, mata Jin Ki dan Yoon Hee bertumbukan di saat yang sama. Angin alam yang berhembus dari jendela kaca buram membawa harum Aigner dan apel manis itu untuk saling bertukar.

Yoon Hee menunduk jengah lalu tak lama mengangkat wajah saat melihat tangan Jin Ki menggenggam jemarinya. Sesaat, Yoon Hee merasa kisah ini begitu sederhana. Hanya ada dia, Jin Ki dan waktu yan seakan tak pernah berlalu.

Seandainya Yoon Hee bisa menghentikan semua disini. Ada rasa damai yang menyelinap saat gadis itu melihat Jin Ki memejamkan mata, sambil merengkuh jemarinya mendekati jantung pemuda itu sendiri.

Yoon Hee tahu bahwa waktu, nyatanya takkan bisa dikristalkan. Ia mendesah lalu menggenggam tangan Jin Ki erat-erat pula. Tahu bahwa semua ini akan berakhir sebentar lagi.

Mereka sedang mengawang sejenak, dan saat mereka kembali pada dunia bernama realitas, takkan ada lagi mimpi-mimpi ini.

Yoon Hee tersenyum tipis, dalam usaha menahan tangis yang hampir kabur dari sudut matanya. Ia menghela nafas, tak bisa menahan diri untuk menyandarkan kepalanya di bahu Jin Ki. Dan merasa, bahwa kadang membohongi diri untuk terakhir kali, takkan ada salahnya.

***




"Cheating MUCH?!(CUKUP selingkuhnya?!)



Seruan emosional itu menyembur dari sebuah suara renyah, tepat ketika Jin Ki dan Yoon Hee bergerak memasuki dapur melalui lorong garasi sambil tertawa berdua karena mengingat tingkah laku pemuda itu di pasar tadi.


Jin Ki terkesiap, sekejap menjatuhkan tas rotannya. "Yoon Ra-ya?" pemuda itu tergeragap. Ia bergegas menghampiri tubuh Yoon Ra yang bergetar penuh kemarahan. Pemuda itu terkejut ketika gadis itu menampiknya.

"STOP !" seru Yoon Ra menjauhi lengan Jin Ki, menahan air mata yang mulai menggelegak dari pelupuknya.

"Yoon Ra-ya, dengarkan aku .." ujar Jin Ki pelan, berusaha meraih gadis itu.

"Kau bilang," ucap Yoon Ra sambil berjalan mundur dan menuding Jin Ki. "kau tidak akan membuatku menangis di depanmu lagi! Tapi sekarang?! Malah kau bersama gadis itu..." Yoon Ra ganti menuding Yoon Hee yang diam mematung.

"Dan KAU," kata Yoon Ra kalap sambil berjalan mendekati rivalnya. "I said. STAY. AWAY. FROM. HIM!! Isn't CLEAR MUCH?! Don't you know I need him? More than you do!!" gadis itu memainkan dinamika nada ucapannya dengan baik, menekan pada kata kata tertelak, kali ini ia mendesis.

"And this is called fate .. Something that can't be avoided. I belong for him. And vice versa. So, let him go! CAN'T YOU?!" (Dan inilah takdir .. Sesuatu yang tak bisa dihindari. Aku milik dia, dan sebaliknya. Lepaskan dia! Tidak bisakah?!) kecemburuan buta membuat Yoon Ra seakan akan dengan pongah mendahului nasib.

"Yoon Ra.." Jin Ki merengkuh bahu Yoon Ra yang berguncang dari belakang, memeluk gadis itu demikian erat untuk meredakan emosinya. Ia tak menyangka gadis itu akan semeledak ini. Jin Ki tak tega melihatnya. "Chagiya," panggilnya pelan, menenangkan. "Maaf. Tapi .. dia bukan siapa-siapa." Jin Ki menatap Yoon Hee sekilas, seakan karena kesalahan gadis itu lah Yoon Ra-nya menangis lagi, euphoria kecemasan membutakan ingatannya pada tawa yang padahal baru saja terpeta tak lama ini.

"Dia bukan siapa-siapa." ulang pemuda itu "Dia hanya.." sepah yang harus lekas dibuang setelah zat adiksinya sudah cukup memulihkan kewarasan Jin Ki lagi.

Pemuda itu memandang Yoon Hee tajam, memuntahkan kata katanya "...hanya masa lalu yang setelah ini, takkan lagi berharga."




***




Lalu inilah. Akhir dari segala akhir.

Sesungguhnya, Yoon Hee tak seberapa terganggu dengan tragedi pagi tadi. Karena itu yang diam diam ia tunggu. Pelatuk fatal yang harus ditarik agar keputusannya semakin siap dipentalkan.


Yoon Hee sudah tahu bahwa segalanya memang serupa bom waktu. Yang sudah terpicu sejak awal malam itu. Dan saat-saat singkat bersama Jin Ki hanya sela dalam detik sampah yang dipulung tak rela untuknya. Lalu pagi tadi sampailah sulutan itu pada utasan terakhir sang sumbu. Yang lantas meledak dan menghancurkan segalanya menjadi abu, termasuk sampah itu.
Pintu jati ini, lagi-lagi terdaulat menjadi saksi. Atas segala yang telah dan akan terjadi. Terkenang di benak Yoon Hee pelatuk yang dilepas Jin Ki pagi tadi. Dan disinilah ia untuk mengamini ucapan itu. Masa lalu tidak berharga ini harus terputus, agar pemuda itu bisa berjalan terus.


Yoon Hee memasuki kamar Jin Ki tanpa mengetuk. Apapun yang terjadi, ia sudah tak mau lagi peduli. Karena telah diterimanya cacian yang paling menyakitkan hati. Cacian penolakan yang tak sanggup lagi mementahkan keputusannya kali ini.


Yoon Hee memegangi jantungnya sendiri. Sesuai janjinya pada Choi Min Ho, tak boleh ada lagi air mata yang terkuras setelah ini.

Dan hati mengenal kepedihannya sendiri, yang tak bisa dipungkiri penampikan. Kepedihan menguliti hati Yoon Hee hingga berdarah, ketika mendapati punggung pemuda itu tengah berada di balkon, memunggungi pintu kaca yang terbuka dimana didekatnya Yoon Hee berdiri.


Dan di sinilah Yoon Hee, dengan setiap inci keteguhan hati. Yang kali ini takkan dibiarkannya tergoyahkan apapun lagi.


Begitu banyak yang ditahan dalam ujung lidahnya. Semua kenangan, kenyataan bahkan angan yang belum sempat terpetakan. Segala perjuangan teramat panjang yang ternyata sebegitu singkat dipertahankan. Semuanya tersumbat dalam pangkal tenggorok gadis itu.


Yoon Hee melangkah pelan memasuki ambang pintu, membiarkan derapnya tak terdengar. Gadis itu terdiam, merenungi tiap waktu yang tersisa seakan ini akhir hidupnya, membiarkan potongan siluet tegap itu menyihirnya, siluet yang membuatnya terperosok lebih dalam lagi.


Beberapa menit yang terlewat tanpa sedikitpun suara mulai terasa mencekam. Hingga akhirnya suara sedingin laut baltik itu terdengar, "Ada apa, Yoon Hee-ssi?"


Pertanyaan itu menyentak Yoon Hee, menyadarkan Yoon Hee bahwa sesungguhnya pemuda itu tahu ia disana. Dan cara panggilan siluet itu untuknya kali ini, membuat gadis itu mengerti pula bahwa ia memang bukan siapa-siapa lagi.


Yoon Hee menunduk lalu mengulum bibir, tiba-tiba tak tahu bagaimana memulai penghabisan ini karena lidahnya kelu. Lantas lagi-lagi disiakannya waktu yang terus berlalu.


"Mau berdiri di situ sampai kapan?"


Yoon Hee mengangkat wajah tepat ke ketika mendapati Jin Ki menengok sekilas ke arahnya lewat balik bahu. Bola mata pencair tembaga itu mengeras, lalu tak lama pemuda itu membuang pandangan ke depan lagi.


Yoon Hee menggigit bibir, memainkan jarinya lalu menghela nafas panjang sebelum melantun balasan.


"Sebentar lagi saja," jawab gadis itu telak, membuat Jin Ki diam-diam tersentak.


Tiga ujaran penghambat keputusan Yoon Hee kala itu. Tujuh silabel yang kini terasa hampa. Karena gadis itu menyadari bahwa 'sebentar' pun hanya kata. Kerancuan makna bisa membuatnya berarti, berlaku dan berakhir kapan saja. Mungkin esok hari, sepuluh tahun lagi atau bagi Yoon Hee, bermakna kini. Detik berarti yang terus menetes dan tergenang mati.



Ini apa yang sebenarnya ingin ia katakan di rumah pohon tempo hari.


"Kau tahu? Penerima kata itu sudah mengerti sampai batas mana kekuatannya untuk bertahan. Tiga kata itu sudah membuatnya mati rasa. Dan tak bisa lagi ia mengerti apa tujuannya,"


Yoon Hee menghela nafas panjang. Karena ia tahu setelah ini setiap tarikan nafas dan kata akan terasa menyiksa. Diiringi keperihan dalam torehan yang memeluknya hingga ke tulang.


Dengan ulu hati tertekan butiran kristal yang coba ia tahan, gadis itu berdeklamasi melanjutkan. "Masa lalu mungkin memang tidak bisa dihilangkan, tapi paling tidak.. ada titik dimana ia bisa dilupakan dan tak lagi perlu untuk dikenang. Lalu... begitulah kita."

Yoon Hee menggigit bibirnya yang mulai bergetar. Karena sungguhpun, tiap goresan kata membuka lagi lembaran peristiwa yang pernah berlangsung di antara mereka.


Kota kecil di Busan. Hujan. Kenangan.

Pulau Jeju. Lantunan lagu. Pernyataan pemuda itu.

Makan malam. Sebuah tarian. Suatu perayaan.


Namun entah kenapa segalanya menjadi begitu asing. Seakan ingatan milik orang lain dijejalkan paksa dalam batok kepalanya. Bahkan tawa yang sempat terlagu pagi tadi terasa bergaung begitu jauh dari dasar hati.

Lantas, klimaks penolakan itu bergema pula. Terpantul teramat kentara dari sel-sel otak Yoon Hee. Menyesah jantungnya yang sudah mulai bernanah.

Yoon Hee menarik nafas, lalu memandang ke arah langit hitam. Seolah mencari ketenangan dari angkasa kekelaman. Seolah kidung perpisahan sudah dapat didengarnya bersenandung mengoyak langit malam, gadis itu berkata lagi.

"Karena bintang dalam masa lalu itu pun sudah tidak ada. Entah sudah betul-betul mati menjadi nebula atau hanya cahayanya yang meredup berbeda. Penerima kata itu sudah tak bisa lagi menemukan bintang yang dipilihnya dulu. Moon-ku yang dulu..."

Yoon Hee mengejang, lalu melangkah mendekat dan berhenti tepat di belakang punggung Jin Ki, ia mendendangkan kata penghabisannya. Lirih.

"Maka terimakasih untuk segalanya. Karena setelah ini takkan ada lagi ingatan yang harus dikenang, terimakasih... Karena kamu sudah pernah ada."

Dengan segenap keberanian yang tertinggal, Yoon Hee menyusupkan kedua lengannya untuk memeluk tubuh Jin Ki dari belakang dan membenamkan wajahnya disana. Membiarkan harum pemuda itu mencekat nafasnya untuk terakhir kali.

Bahkan udara tak diizinkannya mengisi sela kosong yang tersisa.


Yoon Hee tak ingin detak ini berakhir. Namun, pelukan itu ternyata terlalu menyesakkan. Sedingin pelukan kematian. Pelukan yang menjejal kenyataan bahwa mereka harus berpisah jalan.


Dan bahwa takkan ada lagi alasan pembantahan.


Yoon Hee menggigit bibir, melepas kungkungan lengannya lalu berlari pergi.


Gadis itu menutup pintu ruang eksekusi hatinya, lalu berusaha menarik udara dengan nafas tersengal. Tangis yang ia tahan mati-matian ternyata menekan jantungnya yang menyesak.


Yoon Hee mulai berjalan tersaruk, seperti orang yang mengidap gangguan pernafasan saat didengarnya sebuah suara menyejukkan.

"Yoon ?"


Gadis itu menoleh melihat Min Ho berdiri di dekatnya dengan tatapan penuh kecemasan. Seakan tahu apa yang baru terjadi, ia bertanya pelan "Sudah selesai?"


Yoon Hee mengulum lidah, lalu berusaha menarik kedua sudut bibirnya untuk membentuk busur senyum yang dipaksakan dan mengangguk.

Lalu tiba-tiba, seakan tahu inilah pemuda yang—lagi lagi—telah menyiapkan bahu untuknya, sebutir air mata menuruni pipi Yoon Hee.


"Jangan lagi," gadis itu bergegas menghapus tetesan yang muncul seenaknya tadi, tanpa sadar bahwa gerakannya membuat kawanan air tadi tak mampu ditahan lebih lama lagi.


"Sudahlah," Min Ho menarik Yoon Hee ke dalam dekapannya lagi. Membiarkan udara membawa senandung kesedihan gadis itu yang rela didengarnya untuk kesekian kali.

Yoon Hee akhirnya meluruh dalam rengkuhan itu, membiarkan tangis mengalirkan semua kesesakan keluar dari pembuluh darahnya. Membiarkan harum lain ini mengembalikan nafas dan mencuci bersih ingatannya.

"M-maaf," ujar Yoon Hee di sela isakan. "Ini tangis yang terakhir untuknya. Aku janji."


Yoon Hee tak tahu kenapa matanya berkunang, atau apakah Min Ho betul betul mencium puncak kepalanya. Yang ia sadari hanyalah saat ini, ia sedang butuh tempat bersandar. Dan segalanya menghilang.


***




Sementara itu, Jin Ki sendiri tak tahu mengapa tubuhnya terpaku sedari tadi. Mungkin ikrar yang pernah dilontarkan lidahnya pada Lee Yoon Ra, membuat organ yang sama tergembok hingga ia tak dapat mengucap satu pun kata pada Han Yoon Hee.



Lalu tak lama angin berhembus. Membawa sisa harum apel manis itu melayang di udara lalu menyapa penciuman pemuda yang sama. Jin Ki terkesiap ketika kesadaran meluluhlantakkannya.


Han Yoon Hee. Yang sudah bukan miliknya.

Jin Ki tak tahu. Kenapa setelah itu ada bagian hatinya yang terasa berdenyut-denyut menyakitkan. Seolah kehilangan.

***

"Part of me wishes that i could forget you too. Forget meeting you, finding what you are and everything that has happened. Because i don't want it to be like this. I don't want to feel like this. But i can't. With everything that has happened, i can't loose the way i feel about you." - Elena Gilbert, The Vampire Diaries.

Kamis, 27 September 2012

POEM || JINGGA



Jingga


Hai. Namaku Jingga. Sudah lebih dari setahun aku terus-terusan menunggu. Duduk di tepi jendela, melihat ayunan yang menggantung sendiri bergoyang perlahan ditiup angin. Ayunan saja tak pernah bisa diam sendiri, meski tidak sedang ditunggangi. Ada angin yang selalu menjelaskan kepada pegangannya bahwa tanpa orang yang mendudukinya, ayunan tetap sejati untuk berayun.


Kata orang, jingga itu warna senja yang indah. Warna yang tenang, layak untuk dijadikan sandaran kelelahan sepulang bekerja. Warna yang layak untuk membuat alasan pulang, tanpa harus tahu kemana rumah untuk pulang. Warna yang selalu ditebak setelah sore.

Padahal tidak.

Pada senja di pagi hari, jingga adalah alasan untuk terjaga dan mencecap karena membuat orang harus beranjak kemudian pergi meninggalkan rumahnya.

Aku jingga yang kedua.

***

[saking pengennya punya nama JINGGA =.=]

- YOON -

Selasa, 25 September 2012

PELANGI DI UJUNG PAYUNG






Pelangi di Ujung Payung


           Awal bulan November ini, terasa menyiksa bagiku. Hujan kerap kali datang pada sore hari. Seperti saat ini, aku terpaksa harus menunggu di halte begitu bus yang ku naiki ini berhenti pada porosnya. Hal kedua yang kusesali adalah, aku tak membawa payung lipat yang biasa kubawa, juga tak mengenakan jaket seperti biasanya.

          Kendaraan besar berwarna biru dan oranye ini berhenti, menurunkan setidaknya tiga puluh lima orang yang sebelumnya berjejal penuh sesak didalamnya. Aku tak mau ambil resiko dengan ikut berjejal keluar melewati pintu bus yang sempit. Menunggu mereka keluar terlebih dahulu, kurasa lebih baik.

         Kakiku berhasil menginjak trotoar jalan, lalu sedikit berlari menuju dudukan halte. Begitupun dengan orang-orang. Kulihat mereka mengeluarkan benda kecil dari tas yang mereka bawa. Payung lipat. Ah, sepertinya aku harus menunggu sampai hujan mengalah, lalu membiarkanku pulang.

        Aku berdiri menyandar pada tiang penyangga, yang berada di sudut. Begitu mereka (para penumpang yang lain) pergi dengan payung, dan sebagian nekat menerobos hujan, tersisa banyak bangku kosong. Tanpa a-b-c-d aku mendudukan pantatku diatasnya.

       Angin berhembus menerobos dinding dadaku, menyentuh ulu hati yang kini terasa geli. Disini sudah tak ada orang, kecuali laki-laki yang sedari tadi duduk menyandar pada sandaran bangku. Aku melihat ke arahnya, ia nampak tengah melamun. Ada luka lebam di beberapa sudut wajahnya. Entah kenapa, bulu kudukku berdiri menegang melihatnya. Ia memang tengah melamun, namun air mukanya membentuk kemarahan yang tengah ia pendam.

Jangan-jangan dia salah satu anggota gengster yang baru saja ikut tawuran, dan kini ia tengah menyusun rencana untuk ..

         “Hei, nona!”

          Aku terlonjak mendengar suara renyah yang terlontar dari orang di.. dihadapanku? Sejak kapan laki-laki ini duduk di sampingku?!

          “Kau melihatku dari tadi? Apa kau berniat membunuhku?” serunya angkuh

          “Tidak. M-mianhamnida..” ucapku terbata. Yang benar saja? Dari tadi aku fokus memperhatikannya?

           Ia kembali bersandar, tatapan kosong memenuhi sebagian dari dirinya. Apa yang ia pikirkan? Oh.. mungkin ia sedang berpikir bagaimana mendapatkan uang untuk membayar ojek payung.. atau ia sedang berpikir bagaiman cara untuk mencopetku! Astaga!

           Aku menoleh ke arahnya, masih sama.

           Ah sudahlah jangan berpikir sejauh itu terhadap orang yang belum kita kenal. Aku ikut bersandar. Berusaha membuat benteng tebal, untuk melindungiku dari dinginnya cuaca hari ini. Dan kurasa ini tak berhasil, aku tetap kedinginan.

          “hatccihm..” oh ternyata benar.. aku telah cukup kediginan.

          “Hidungmu sudah mulai merah. Persis badut, kukira” celetuk laki-laki disampingku ini.

          “Oya?” aku meraba hidung, mencoba melihat melalui sudut mata, yang terarah pada objek yang ingin kulihat. Ahh tentu saja tidak akan terlihat! “Cuaca hari ini memang sangat dingin” lanjutku.

         “Bodoh. Kenapa tidak memakai jaket?” ucapnya. Kini kutahu matanya terarah padaku, dan aku rasa luang dudukku menyempit.

         “Aku lupa.” Jawabku pendek. Tiba-tiba saja, aku teringat kalimat Yoon Hee eonnie—kakakku—untuk tidak bicara terlalu banyak pada orang asing.

          Ia berdiri, lalu melakukan gerakan peregang otot. Kudengar ia mendesah berat. Apa-apaan orang ini.

         “Baiklah. Pakai jaketku!” ucapnya, ia meletakkan jaketnya di pangkuannku. Lalu pergi, berlari menerobos sekutu hujan yang turun.

         Hah?

***

Tak terasa telah satu minggu, pasca adegan Jaket Lelaki yang tak dikenal itu. Namun, aku belum bertemu lagi dengannya. Aku sengaja menghabiskan sepuluh menit Les Tari Balet, satu hari setelahnya, Lalu membolos dua puluh menit pada Pelajaran tambahan Matematika, dan.. ah, kenapa laki-laki itu menyita waktuku?! Datanglah, aku berniat memberikan jaket mu kembali!

Seperti biasa – selama satu mingu ini – aku duduk di bangku Halte, Entah Tuhan mendengar doa ku, ataukah laki-laki ini bisa mendengar teriakan hatiku tadi ? aku tidak tahu, yang jelas adalah aku lega ia berada dihadapanku, sekarang.

Aku tatap Mata coklatnya, lalu mendelik “Huh! Itu jaketmu” Hardikku seraya melempar jaket kepada si-empunya. “Kau tahu? Kau telah menyita waktuku, seminggu ini?!”

“Hey, ternyata Jaketku ada padamu? Pantas, aku mencarinya satu minggu ini.” ucapanya tenang, lalu mengenakan jaket yang telah kucuci sebelumnya.

Aku memutar bola mata. Apa-apaan ini? Bukankanh ia yang meminjamkan?

“Terima kasih telah mencucinya. Kau pake sabun apa? Baunya tidak enak.” Ucapnya, setelah sebelumnya mengendus bagian bawah kaetiaknya.

“Hah, jinjja… sudahlah aku harus pergi. Terima Kasih” Ucapku lalu segera pergi dari hadapan si aneh ini.

Tak kusangka, kejadian ini seperti adegan di dalam drama. Kini ia tengah memegang lenganku, membuatku berhenti berjalan. Aku menoleh “Ada apa?” tanyaku acuh tak acuh

“Kau mau jadi kekasihku?”

Hah?

***

Seperti ada ribuan Peluru yang menembus batok kepalaku, apa-apan lelaki ini? Meminta ku untuk jadi kekasihnya? Lalu dengan tiba-tiba menarik lenganku, sehingga aku kembali terduduk di bangku Halte.

Diam. Kurasa telah sepuluh menit berlalu dari kejadian ‘aneh’ tadi tapi, ia tak kunjung bersua. Ia tetap diam bersama tanganku yang tak kunjung lepas dari genggamannya. Apakah ia mempunyai masalah? Benakku terus berkonfrontasi.

“Apa kau mempunyai masalah?” Tanyaku mulai memberanikan diri.

Ia menengok kearahku, lalu sedikit tersenyum. Dan baru kusadari pria ini tampan!

“Semua orang punya masalah, ya.. begitupun dengan aku.” jawabnya tenang.

“M-mungkin kau seorang psikopat ya? Hingga kau menyandraku seperti ini?!” Aku kembali bertanya, namun kali ini suaraku benar-benar tercekat.

“Kalau iya, mungkin kau telah habis aku perkosa, lalu kubunuh, dan Mayatmu aku mutilasi.” guraunya. Heyy dia sedang bergurau! Karena setelahnya ia terkekeh sendiri. Persis kakekku, kukira.

Aku merenggut sebal, kulirik jam tangan mungil di lengan kiriku. Ah sudah terlalu sore, aku harus segera pulang.

“Hey!! Aku harus segera pulang! Lepaskan tanganku!” Teriakku cempreng, hahaha dia saja sampai meringis kesakitan di telinganya. Huh Rasakan itu!

“Bisakah pelankan suaramu, nona?” Ujarnya sambil tersenyum miring. Ia berdiri, mau tak mau aku ikut berdiri “Aku akan mengantarmu Pulang, Yoon Ra-ssi.”

***

Hah?

Siapa sebenarnya pria ini? Kenapa ia mengetahui namaku, dan seolah-olah tahu tempat tinggalku. Dengan sekuat tenaga aku melepaskan tangaku darinya. Berhasil. Dia lalu menatapku, menyengritkan dahi. Namun sekejap, ia menggenggam tanganku, dan menuntunku berjalan.

“Kenapa kau bisa tahu namaku?” Tanyaku, penasaran juga.

“Entahlah, aku lupa mengapa aku bisa tahu namamu.” Ucapnya santai

PLETAKK

Dengan kekuatan penuh aku menjitak kepalanya, ia terlihat meringis. Memangnya aku peduli? Ia menatapku geram. Aku tidak akan takut padamu !! Batinku

“Ya! Yoon Ra-ssi, bisakah tangan nakalmu itu diam? Sebentar lagi hujan akan turun, kalau kita tak segera pulang ke rumah, kupastikan seluruh tubuhmu akan basah kuyup!” Ucapnya menahan geram. Wajahnya jadi lucu.

Akhirnya aku menurut, aku ikut sajalah apa mau orang gila ini. Sepanjang jalan kudengar dia malah ber-monolog sendiri. Menceritakan bahwa namanya adalah Lee Taemin (itupun kalau aku tidak salah dengar). Ia duduk di bangku kelas 3 sekolah menengah atas di.. ah aku lupa nama sekolahnya. Lagi pula siapa yang ingin tahu tentangnya?

Tapi yang membuatku tercengang adalah ketika dia menceritakan keluarganya, ia becerita seolah tanpa beban.

“...Aku anak Broken Home, Tapi tak masalah lah.. aku sakit hanya ketika aku berada didalam Rumah. Diluar itu, aku baik-baik saja bukan?”

***

           Tak Terasa hampir satu jam aku berjalan dengannya, Bahkan Rumahku telah terlihat. Kurasakan ia makin mengeratkan genggaman tengannya di tanganku. Tidak ingin berpisahkah ia?

           “Bukankah ini Rumahmu?”

            Aku mengangguk Lemah, masih bingung dengan Segala keanehan Orang bernama Lee Taemin ini.

           “Baiklah, aku pulang. Istirahatlah yang banyak.” Ucapnya lalu pergi membalik arah dariku. Tanpa kusadari tanganku menahan lenganku, ia menyengritkan dahi. Aku bertanya

           “Bolehkah aku bertanya?”

           “Sebagai kekasihku, kau boleh bertanya apapun.” Jawabnya, lalu menyunggingkan sudut bibirnya. Ahh lagi-lagi senyum mematikan itu! Tapi tak kuhiraukan itu, aku ingin tetap bertanya, tentangnya, dan tentang diriku sendiri? Entahlah

           “Bagaimana bisa kau tahu tentangku?”

           “Kau ini kekasihku, wajar saja aku tahu tentangmu. Ada pertanyaan lagi?”

           Aku pukul bahunya! Aku jitak kepalanya! Aku cubit hidung bangirnya! Aku cubit perutnya! Bahkan kalau aku tidak mendengar rintihannya, mungkin aku telah melemparkan sepatuku kewajahnya.

           “Ahh-ahh jangan disitu! Itu sakiiiit..” Teriaknya pada saat aku mencubit bagian perutnya. Rasakan itu! Aku melepaskan cubitanku di perutnya. Tapi, kulihat raut wajahnya berubah pucat.

“Cubitanku benar-benar sakit, ya?” Tanyaku polos

           “Ah.. tidak-tidak! Sudah beristirahatlah, aku pulang!” katanya lalu berlalu meninggalkanku dengan tangan masih memegangi perutnya.

***

            ‘..Aku seakan dapat meilhat bayangan pelangi..’

            Ucapan Lee Taemin (namja yang BARU KUSADARI serupa sebuah bintang, berkelip dan membuaikan) kemarin sore terus berputar di otakku, seakan terekam jelas, lalu dengan indah berputar.

Membuat gelombang tak kentara yang mengoyak perut. Terhenyak seakan ada sentilan kecil di ulu hati.

            ‘Dimana?’ Tanyaku, seraya mengikuti arah pandangny.

            Rupanya ia menyadari bahwa aku mengikuti gerak pandangnya, ia menatapku. Lalu tersenyum kecil. Keningku berkerut, lalu merenggut kesal.

           ‘Disana..!’ Ucapnya sambil menunjuk entah kemana. Yang kulihat ia menunjuk k earah gumpalan awan yang mulai menghitam, mulai bersatu dengan beban hujan masing-masing.

            ‘Aku tidak melihat apa-apa disana.’ gumamku masih memperhatikan arah telunjuknya.

Minggu, 23 September 2012

FF Special Birthday || ALMIGHTY-KEY DAY




FF Special Birthday || ALMIGHTY-KEY DAY
Cast :
Kim KEYbum , Park Min Rin
Lee Jin Ki , Han Yoon Hee
Kim Jong Hyun , Shin Tae Rin
Choi Min Ho , Song Seoyong
Lee Tae Min , Han Yoon Ra

credit-edit-pict by Han Yoon Ra



Gadis itu menatap puas serangkai kalimat ucapan yang ia torehkan di atas kue berbentuk segiempat tersebut. Dilihatnya dari berbagai sudut…tidak jelek, untuk ukuran tangan mungil yang disebut-sebut sebagai ‘perusak’ atau ‘trouble-maker’ bagi orang-orang yang mengetahui kemampuannya dalam bidang memasak.
  
생일 축하합니다, 우리 사랑하는 이성 !!

Kalimat ucapan tersebut ditulis olehnya dengan menggunakan cream  tiramisu sebagai pelengkap hiasan di atas kuenya. Tidak hanya hiasan berbentuk kalimat ucapan, tak lupa Park Min Rin –gadis itu –menambah hiasan berbentuk bunga mawar ‘timbul’ di sampingnya. Hmm…bunga buatannya juga terlihat tidak buruk. Usai membuat bunga mawar terakhir, ia menepuk tangannya sekilas dengan wajah penuh kepuasan.

“Eommonim! Aku sudah selesai menghiasnya!” serunya riang, membuat seorang wanita paruh baya yang semula sedang membereskan peralatan yang dipakai untuk membuat kue, membalikkan badannya dan menghampiri meja makan yang terletak tidak jauh dari dapur, melihat hasil yang Min Rin kerjakan. Wanita itu tersenyum, tidak kalah puasnya dari Min Rin.

“Eottokhae? Tidak jelek, juga tidak bagus. Tapi masih bisa dibaca bukan tulisannya?” tanya sambil tertawa geli.
  
“Haha, cantik sekali, Rin-ah. Kibum pasti suka!”


“Eommonim, gomawo sudah mau membantuku untuk membuat kue ulang tahun Key Oppa. Mianhae, karena hampir semua Eommonim yang membuatnya, bukan aku. Aku hanya mengganggu saja,” ucapnya dengan nada menyesal sembari memain-mainkan ujung apron putih yang dikenakannya.


“Aigo~ Min Rin-ah, gwaenchana. Eommonim justru senang bisa memasak lagi bersama calon menantu Eommonim. Lain kali kita akan memasak bersama lagi, dan pastinya kita akan sering bersama setelah kau menikah nanti bukan?” goda wanita paruh baya yang merupakan Ibu dari namjachingu-nya. Calon menantu? Dua kata yang tertangkap ditelinganya beberapa detik yang lalu sontak membuat wajahnya bersemu merah.


“Eommonim membuatku malu! Lagipula kami belum tahu kapan tepatnya kami akan menikah. Pernikahan bukanlah hal yang ingin kami lakukan buru-buru. Mengingat Key oppa juga sangat sibuk untuk berbagai jadwal ditambah peluncuran single Jepang terbaru SHINee bulan depan.” Sahut Min Rin gemas seraya memeluk Nyonya Kim.


“Ah, arraseo… Oh iya bagaimana kabar temanmu itu, Han Yoon Hee?” Nyonya Kim berusaha mengalihkan pembicaraan. Berharap jika gadis yang masih memeluknya ini tidak lagi bertanya soal ucapan yang merupakan sebuah rahasia. Rahasia besar.


“Yoon… Aish, dia sedang senang Eommonim. Ternyata si Dubu Oppa sudah kembali lagi dengan Yoon. Bahkan dia sudah melamar gadis itu! Tapi tidak akan kubiarkan mereka melangkahi kami terlebih dahulu!”


“Wah, tidak masalah kalian saling melangkahi atau tidak. Yang jelas kalian berdua sama-sama akan menghadapi tahapan selanjutnya untuk bisa bersikap lebih dewasa bukan? Pasti orang tua kalian sangat bahagia karena kedua anaknya sebentar lagi akan menikah dan memberikan cucu untuk mereka.” Min Rin tersenyum sembari menopang dagunya dengan kedua tangannya.

“Kuharap begitu, Eommonim. Eommonim sendiri…juga merasa senang bukan?”


“Tentu saja. Eommonim sangat senang karena akhirnya Kibum akan segera menikah denganmu. Kalian berdua harus memberikan Eommonim dan Abonim juga orangtuamu cucu yang cantik dan tampan, ya!”


“Eommonim bisa saja!” Min Rin sekilas melirik jam dinding yang tergantung di hadapannya. Waktu sudah menunjukan jam 12 siang. “Eommonim! Bagaimana kalau kita pergi ke Cafe sekarang? Aku akan segera menelepon Oppadeul juga Key Oppa terlebih dahulu. Eommonim lebih baik siap-siap saja.”


“Baiklah. Eommonim tinggal sebentar.” Nyonya Kim berjalan cepat menuju kamarnya dan meninggalkan Min Rin sendirian bersama kue ulang tahun yang mereka buat berdua. Sementara itu, Min Rin buru-buru memasukkan kuenya kedalam sebuah kardus besar yang telah dipersiapkan sejak awal.


Setelah persiapan semua selesai, Min Rin segera mengambil ponsel dari dalam saku cardigan hijaunya, lalu menelepon Jin Ki. Salah satu namja yang ia harapkan bisa bekerja sama dengannya untuk menjalankan rencana pesta kejutannya untuk Key.


“Yeobosseyo?” ucap Jin Ki dari seberang telepon.


“Oppa! Apa Key Oppa masih tidur?” tanya Min Rin.


“Eoh, dia masih tidur dikamarnya. Kau mau menjalankan rencananya sekarang?”


“Ne! Kuenya sudah selesai kubuat dengan Eommonim! Bagaimana dengan Jong Hyun Oppa, Min Ho, dan Tae Min? Sudah melakukan apa yang kusuruh kemarin?”


“Sepertinya sudah. Ng… Rin-ah, kau yakin Key tidak akan membanting kami satu persatu setelah apa yang kami perbuat?”


“Semoga saja tidak. Lebih baik kalian berempat berdoa saja, hanya kalian lah yang bisa kumintai bantuan!”


“Aku kasihan pada Key karena mempunyai calon istri yang begitu evil sepertimu. Bahkan kau dan Key juga hampir setingkat kadar kecerewetannya!”


Mendengar ucapan kocak dari si Leader membuat gadis itu tertawa puas. Terkesan sangat berlebihan mengingat rencana yang ia buat bersama keempat namja tampan tersebut. Tapi semata-mata rencananya adalah sebuah rangkaian ‘acara’ sebelum pesta kejutan ulang tahun namjachingu-nya yang berlangsung di sebuah cafe.


“Sudahlah, kalau dia marah itu tanggung jawabku! Aku yang merencanakan semuanya dan kalian hanya mengerjakan apa yang kusuruh!”


“Ya, ya, ya…terserah kau saja.”


“Baiklah. Aku akan segera menelepon Key Oppa. Dan ingatkan Taemin untuk bersiap-siap saja dengan Banana Milk ditangannya, kekeke… annyeong!” Sembari terkekeh, Min Rin memutuskan pembicaraannya dengan Jin Ki, lantas menekan angka satu yang notabene merupaka speed-dial untuk Key.


Tak lama kemudian, orang yang diteleponnya mengangkat panggilannya dengan suara erangan.“Yeoboseyo…”


O, benar apa yang dikatakan Jin Ki. Key masih tidur di kamarnya, dan baru bangun–meskipun terpaksa–saat Min Rin meneleponnya. Min Rin sendiripun merasa tidak enak karena mengganggu istirahat Key, namja itu hanya bisa tidur beberapa jam saja berhubung jadwal kerjanya yang padat dan baru saja ke negara Indonesia untuk mengadakan konser bersama para artis SM di sana. Tapi mau bagaimana lagi, gadis itu ingin rencananya berhasil dan memberikan kejutan manis untuk Key dihari ulang tahunnya yang ke-22.


“Oppa! Kau harus ke Cafe sekarang juga! Ada yang ingin kubicarakan denganmu!”


“Mworago? Nanti sore saja, Rin-ah… aku masih mengantuk…”


“Oppa!! Harus sekarang! Aku tidak mau tahu! Kutunggu kau setengah jam lagi!”


“Chagi-ya… jebal, jangan sekarang…”


“Kalau kau ingin selamat dariku, kau harus ke Cafe sekarang juga! Ppaliwa, Kim Kibum!!”


“Arraseo!! Errr…aish jinjja…”


“Kutunggu kau disana!” Usai mematikan ponselnya, Min Rin langsung tertawa terbahak-bahak sendirian diruang makan. Gadis itu tidak bisa membayangkan bagimana raut wajah seorang ‘Almighty Key’ saat mendapat bentakan darinya, bukan ucapan selamat ulang tahun yang harusnya sudah ia katakan sejak waktu menunjukkan pergantian hari. Ya, semenjak tadi malam Min Rin sama sekali belum mengucapkan selamat ulang tahun pada Key. Ia yakin kalau namjachingu-nya sedang menunggu ucapan darinya sampai saat ini.


“Chagi, kenapa kau tertawa sendirian?” suara lembut Nyonya Kim menghentikan tawanya yang meledak-ledak.

“Tidak ada apa-apa, Eommonim. Kita berangkat sekarang?”


“Ne, kajja.”


*


Key’s Side
At the same time…
SHINee’s Dorm



Kulempar ponsel secara asal lalu kembali membenamkan kepalaku di atas bantal. Bagaimana tidak kesal, bukannya mendapat ucapan selamat ulang tahun darinya, malah bentakkan dan ancaman yang kudapat.  Gadis itu benar-benar…arrgh!! Saking kesalnya, aku langsung menendang-nendang kasur yang kutiduri dengan kasar.
Kau tahu, sejak tadi malam usai konser SMTOWN in Indonesia dan pulang ke Korea, aku sama sekali tidak menikmati pesta kecil untuk merayakan hari ulang tahunku. Disaat memberdeul mulai bersenang-senang dan bergurau untuk memeriahkan pesta kecil yang mereka buat untukku, hanya ku tanggapi dengan senyum tipis yang hanya bertahan selama beberapa detik. Setelah itu, mataku kembali tertuju pada layar ponsel, memandang wajah bahagia gadis itu yang telah menjadi wallpaper ponselku selama beberapa minggu.


Aku menunggu ucapan darinya.


Aku terus menunggu mulai dari jam 12 tepat sampai aku tiba di dorm pagi-pagi tadi. Tapi apa yang kudapat? Nihil. Aku tidak mendapat telepon darinya, pesan masuk saja tidak. Aku berharap bahwa aku telah melewatkan namanya di kotak masuk pesanku karena tenggelam bersama berpuluh-puluh pesan masuk yang berasal keluarga, sahabat, atau rekan kerjaku. Namun, berkali-kali kugeser layar ponselku tetap saja nama ‘Park Min Rin’ tidak ada di dalam kotak masuk.


Gadis itu sama sekali tidak memberikan ucapan selamat ulang tahun padaku. Kesal? Kecewa? Tentu saja! Tiga kata sederhana yang paling kutunggu akan diucapkan oleh orang yang paling berharga dan paling kusayang selain keluarga ternyata sama sekali tidak kudapatkan.


Apa dia ingin mengujiku? Oke, terserah dia saja. Aku sudah lelah. Mungkin aku memang terkesan seperti anak kecil, meributkan hal sepele. Tapi tetap saja aku merasa kecewa karena dia—Min Rin—sama sekali tidak ingat dengan ulang tahunku.


Daripada marah-marah dan membuatku melempar barang apapun untuk meluapkan kemarahan, lebih baik hari ini, hari ulang tahunku, kulewati dengan tidur sepanjang hari saja. Siapa tahu dengan tidur bisa merilekskan badan juga hatiku, lalu segera melupakan semuanya.


Tapi rencanaku gagal. Setelah mendapat telepon bentakkan darinya. Menyuruhku untuk segera datang ke coffee shop baru yang dikelola oleh Ibunya. Oh, ayolah! Bisakah dia membiarkanku melewati hari ini dengan tenang tanpa ada gangguan dari sikap childish-nya?


Dia sudah membuat emosiku naik hingga ke ubun-ubun, dan sekarang lagi-lagi dia menaikkan emosiku. Jangan sampai aku marah-marah dihadapannya karena sudah tidak bisa menahan kemarahanku lagi.


Baiklah. Kuturuti kemauannya sekarang. Entah apa yang ingin ia bicarakan, aku tidak peduli. Yang jelas setelah dia selesai bicara, lebih baik aku pulang dan kembali istirahat. Dengan kepala yang masih terasa sakit akibat kurang tidur, aku turun dari tempat tidur lalu berjalan gontai menuju kamar mandi. Berharap jika aku akan terlihat lebih segar dan lebih baik setelah mandi.


*


Mataku melebar saat melihat angka yang ditunjukkan oleh jarum panjang dan pendek di jam dinding kamarku. Aku telat lima menit. Pasti Min Rin sudah menggerutu tidak jelas karena keterlambatanku. Ya, seperti itulah dia. Min Rin memang tipe gadis yang tidak suka menunggu, tapi suka membuat semua orang menunggu karena kebiasaan buruknya. Jam karet. -_-


Buru-buru kuambil kunci mobil juga ponsel yang tergeletak bebas diatas kasurku yang belum sempat kubereskan. Sudahlah, nanti saja kubereskan. Kukunci kamarku lantas berjalan cepat menuju pintu dorm. Aku terus mempercepat ritme langkahku tanpa melihat kedepan. Mataku tetap tertuju pada layar ponselku, mengetik sebuah pesan untuk Min Rin tentang keterlambatanku. Semoga dia mengerti, tapi kupikir dia pasti tidak akan menerima alasanku dan  marah-mar…


BRUK!


Byuuuuuur!


Langkahku terhenti seketika. Aku menatap nanar ponsel milikku yang sudah…tersiram Banana Milk milik namja yang sekarang sudah ada di hadapanku. Ulang sekali lagi, BANANA MILK! Aish! Jinjja… kenapa jadi begini? Ponselku basah dan lengket. -___-


“Aigo! Hyung! Mianhae, aku tidak sengaja…” Namja itu mengeluarkan senyum konyolnya sembari mengambil ponselku dan memeriksa apakah ponselku masih digunakan atau tidak. Tenanglah, Kim Kibum. Kesabaranmu hari ini sedang diuji.


Kurebut kembali ponselku yang semula ada ditangannya lalu kubersihkan dengan saputanganku pelan-pelan. “Sudahlah! Tidak apa-apa, kau tidak sengaja ‘kan?”


“Aah, Hyung! Aku benar-benar merasa bersalah padamu! Masih bisa digunakan bukan?” Kutekan salah satu tombol di ponsel untuk memeriksanya. Syukurlah masih bisa digunakan meskipun… lengket.


“Masih. Tenang saja.”


“Hyung, mianhae…”


“Ne, gwaenchana.” Ucapku seraya menggeser badan agar aku bisa melewatinya yang masih berdiri di hadapanku dengan wajah menyesal. Bukannya mempersilahkanku agar bisa pergi dari hadapnnya, Taemin malah kembali menghadangku dan lagi-lagi… meminta maaf padaku.

“Hyung…mianhae…jangan marah…”


“Aku tidak marah, Taemin-ah!” Sahutku dengan nada –sedikit –kesal.


“Tapi Hyung kelihatan marah. Mianhae…”


“Ya! Kalau sekali lagi kau minta maaf padaku, akan kusiram kau dengan susu pisang-mu itu! Cepat minggir! Aku mau pergi!” Buru-buru ia menggeser badannya, memberikan ruang jalan untukku. Dengan gerutuan kesal tidak jelas yang keluar dari mulutku, kulewati dia dan berjalan menuju rak sepatu untuk mencari sepatu kets putih kesayanganku.


Kubuka rak sepatu dan sialnya…aku tidak melihat sepatuku tersimpan rapi di dalamnya. Kenapa tidak ada? Aku yakin aku sudah menaruhnya dengan rapi kemarin di sini. Yang ada hanya spasi kosong yang bisa memuat sepasang sepatu untuk ditaruh, yang notabene adalah tempat dimana kemarin aku menaruh sepatuku. Kemana sepatuku? Tidak mungkin sepatuku bisa keluar sendiri dari rak. Pasti ada seseorang yang menyembunyikan sepatuku.


“Oh, Key… ada apa?” tiba-tiba sosok Jin Ki sudah berada di belakangku sambil menatap bingung ke arahku.


“Kau terlihat sedang mencari sepatu, Hyung.” Kutolehkan kepalaku kearah sumber suara. Ternyata ada Min Ho juga. Entah ada angin apa, sekarang ia ada disini. Bukannya di lokasi syutting dramanya. “Tentu saja aku mencari sepatu, kau pikir aku sedang mencari apa disini? Mencarimu?”


“Astaga~ tidak perlu marah-marah seperti itu, Hyung!  Kau tidak jauh beda dengan gadis-gadis yang sedang mengalami PMS.”


“Terserah apa katamu saja. Apa kau tahu dimana sepatuku? Kemarin aku menaruhnya disini!” Kutunjuk spasi kosong tersebut, tempat semula kutaruh sepatu-entah-ada-dimana-sekarang itu. Min Ho diam, begitu juga dengan Jin Ki yang hanya menanggapi pertanyaanku dengan menaikkan kedua bahu sekilas juga wajah aku-tidak-tahu-dan-tidak-peduli-dengan-sepatumu.


“Molla. Mana kutahu. Kau tahu sendiri aku juga jarang berada di dorm akhir-akhir ini Hyung.”


“Ya, siapa tahu saja kau iseng main kesini lalu melihat sepatuku.” Jawabku sembari bangkit berdiri.


“Pertanyaanmu itu seakan menuduhku. Apa wajahku terlihat seperti seorang pencuri?”


Aku mengerling kesal pada namja-sok-polos ini. “Ya! Aku tidak menuduhmu! Aku hanya bertanya!”


“Hyung, kau ini kenapa marah-marah hah? Tenanglah! Tidak enak dilihat!”


“Karena kau aku jadi ingin marah-marah, Choi Min Ho!”


“Aish, lebih baik kau pakai sepatu yang lain saja! Memangnya sepatumu hanya itu saja? Tapi ya… kalau kau bersikeras untuk tetap memakainya, selamat mencari!” Arrgh! Rasanya aku benar-benar ingin menimpuknya dengan sepatu yang ada di rak sepatu ini. Tapi sayangnya dia sudah kabur duluan ke dalam bersama Jin Ki. Cih! Menyebalkan! Lagi-lagi kesabaranku diuji.


Ya, hari ini aku benar-benar sedang diuji oleh tiga orang. Pertama, pacarku sendiri, Park Min Rin. Kedua, si adik-paling-manis dengan susu pisangnya, Lee Taemin. Dan ketiga, si kodok sok polos, Choi Min Ho. Jin Ki hyung bahkan tak menolong sama sekali! Nanti siapa lagi hah?


Aku benar-benar merasa aku adalah orang paling sial dan menyedihkan hari ini, di hari ulang tahunku.


*


Author’s Side



“Key… sudah berangkat?” tanya Jin Ki pada namja yang baru muncul dari depan, tersenyum puas sembari mengangkat salah satu ibu jarinya. Jin Ki tertawa dengan memamerkan eyes-smile-nya.


“Hyung, kau harus lihat wajahnya tadi. Dia benar-benar kesal,” Min Ho tidak bisa menghentikan tawanya ketika mengingat raut wajah Key yang benar-benar tidak mengenakkan.


“Rencana Min Rin benar-benar daebak. Kapan lagi kita bisa membuat Key hyung emosi dan marah-marah seperti itu bukan?” Celetuk Taemin seraya meneguk banana milk-nya yang tinggal setengah setelah dipakai untuk ‘menyiram’ ponsel Key.


“Kau yakin kita tidak akan mendapat masalah dari Key Hyung?”


“Semua tanggung jawab Min Rin, dia dalang dari semuanya. Kita hanya melakukan apa yang dia suruh!” ujar Jin Ki.


“Annyeong!” seorang namja lain, muncul dari balik pintu masuk dorm.


 “Jong Hyun-ah.. bagaimana tugasmu? Sudah kau kerjakan?” Tanya Jin Ki.


“Tentu saja sudah. Aku sudah membocorkan bannya, bahkan empat-empatnya sudah kubocorkan. Aku pintar sekali bukan?” Jin Ki, Min Ho, dan Taemin tercengang saat mendengar Jong Hyun dengan bangganya berkata kalau dia telah membocorkan keempat ban mobil Key.


BLETAK!


“Ya! Kenapa kalian senang sekali menjitak kepalaku?”


“Tidak usah empat-empatnya, babo! Satu saja sudah cukup!” Sahut Min Ho kesal. Min Ho tidak habis pikir apa yang ada di pikiran Jong Hyun hingga namja itu repot-repot membocorkan keempat ban sementara hanya dengan membocorkan satu ban saja rencana sudah berjalan dengan lancar.


“Lebih seru jika keempat bannya dibocorkan semua!” Tukas Jong Hyun, memberikan pembelaan pada dirinya sendiri.


“Bisa-bisanya Tae Rin mau menikah dengan namja sinting macam Kim Jong Hyun ini!” Sindir Min Ho sembari mengalihkan pandangannya ke arah lain.


“Justru dia bersyukur akan bisa menikah dengan namja tertampan di SHINee seperti aku!” Serunya dengan -lagi-lagi -membanggakan diri.


“Aish! Buang-buang tenaga saja kalian ini! Lebih baik sekarang kita segera pergi ke cafe sebelum Key sampai di sana terlebih dulu!” usul Jin Ki.


“Aku tidak mau pergi bersama namja jelek macam Min Ho! Lebih baik aku pergi bersama Tae Rin saja!”


“YA!! KIM JONG HYUN!!”


*


Key’s Side




IGE MWOYA!?


Apa-apaan ini? Aku menatap nanar mobilku yang terparkir rapi di lantai basement gedung apartemen dorm ini. Aku masih bisa terima dan berpikir realistis kalau salah satu banku mengalami kebocoran. Tapi ini…


EMPAT??


Empat-empatnya bocor? Aku yakin kemarin saat aku mengendarainya aku tidak melindas satu paku-pun. Dan orang bodohpun masih bisa berpikir kalau keempat ban mobilku ini sengaja ada yang membocorkan disaat aku tidak tahu. Ada ORANG SINTING yang sudah membocorkan ban mobilku, empat-empatnya, tidak tanggung-tanggung.


Kenapa hari ini semua orang benar-benar mengesalkan hah? Dan kenapa aku mendapatkan kesialan beruntun? Merasa tidak bisa menahan emosiku lagi, kutendang dengan kasar salah satu ban mobil depanku hingga membuat kaki kananku mendapat kesakitan yang luar biasa. Argh! Babo kau, Kim Kibum! Sudah tahu ban mobil itu keras, masih saja kau tendang!


“Appo…” Ringisku sembari memegang kaki kananku yang kupastikan tengah memerah sekarang.


Ddrrrt…ddrtt…


Ponsel yang kutaruh di mantel coklat tebalku bergetar hebat. Pasti dari Min Rin. Benar ‘kan? Namanya tengah terpampang di layar ponselku yang berkedap-kedip. Kutimbang sebentar, memilih untuk menjawab teleponnya atau tidak. Kalau kujawab, Min Rin pasti akan berteriak kencang melebih suara sound system milik SM Entertainment dan akan membuat gendang telingaku rusak. Tapi kalau tidak kujawab, aku pasti akan mati ditangannya nanti saat aku menemuinya di cafe.


Kuhela napas panjang. Terimalah nasibmu, Key.
Sembari berjalan menuju keluar gedung, aku menerima panggilan darinya.


“Yeo-yeoboseyo?” Jawabku dengan gugup.


“OPPA!! EODDIGA?? KAU TELAT SETENGAH JAM! KAU MAU MEMBUATKU MATI BOSAN, HAH!?” Buru-buru kujauhkan ponsel dari telinga sebelum telingaku menjadi tuli permanen.


“Tunggu sebentar! Kau tidak tahu apa yang kualami hari ini! Keempat banku…”


“Aku tidak mau tahu, Oppa! Pokoknya kau harus ke cafe sekarang juga!”


TUT TUT TUT!


Mwoyaaaaaaaa? Min Rin memutuskan telepon secara tiba-tiba. Kuremas rambutku frustasi, kepalaku sakit memikirkan apa yang kualami sekarang. Kenapa aku menyedihkan sekali di hari ulang tahunku hari ini? Ya Tuhan, maafkan aku kalau sewaktu-waktu aku tidak bisa menahan kemarahanku lagi dan akan meluapkan semuanya tanpa kenal tempat, waktu, dan orang yang berada di hadapanku. -_-


Ku hentikan taksi yang lewat di depanku lantas segera masuk kedalamnya. “Ahjussi, antarkan aku segera ke alamat ini!”


*


Park Min Rin’s Side


Usai memutuskan secara tiba-tiba teleponku dengan Key Oppa, aku langsung tertawa terbahak-bahak, hingga Han Yoon Hee, Shin Tae Rin, Song Seoyong Eonnie, dan Han Yoon Ra bahkan Eommonim memandangku heran karena ledakan tawaku yang tidak bisa berhenti sampai-sampai aku memukul meja berkali-kali saking gelinya.


“Min Rin-ah! Kau ini gila atau kerasukan sih?” Tanya Yoon Hee.


“Aigo~ aku benar-benar tidak bisa menahan tawaku, Yoon. Sepertinya aku berhasil membuat Key Oppa kesal di hari ulang tahunnya!” Seruku seraya mengusap air mata yang keluar dari kedua mataku.


“Jangan sampai kau tertawa saat melakukan aktingmu nanti di depannya, bisa-bisa kau menghancurkan rencanamu sendiri!”


“Arraseoooooooooooo… Tenang saja, Yoon!”


KLING!


Aku segera menoleh ke arah pintu masuk café ketika bunyi belnya berdenting.


Tiga orang namja yang kemarin kumintai bantuan untuk menjalani peran penting di dalam rencanaku ini akhirnya datang juga bersama Onew Oppa. “Oppa, Key Oppa tidak tahu ‘kan kalau kalian berempat sudah pergi ke sini?”


“Tenang saja. Namjachingu-mu itu masih kewalahan mencari taksi kosong, haha…” jawab Jin Ki.


“Kita harus bersiap-siap sebelum Key Oppa datang! Lebih baik kalian bersembunyi!”


Semuanya segera pergi kebelakang dan mencari tempat persembunyian agar tidak ketahuan oleh Key Oppa. Aku sendiripun juga bersiap-siap memasang wajah kesal seakan-akan aku benar-benar emosi, tidak kalah kesal dengannya. Tak lama kemudian, sebuah taksi berhenti tepat di depan cafe. Namja itu datang dengan wajah… kesal juga pusing -sepertinya. Ahahaha, kubuat kau makin kesal, Kim Keybum.


*


Key’s Side


“Ghamsahamnida, Ahjussi!” Usai membayar tarif sesuai dengan jarak perjalanan, aku segera keluar dari dalam mobil lalu berjalan masuk kedalam Kona Beans dengan wajah…kesal. Bagaimana tidak? Kesialan beruntun yang kualami membuat mood-ku makin rusak dan entah kapan aku bisa marah-marah karena sudah tidak tahan.


Saat kubuka pintu masuk cafe, tidak ada satupun pengunjung yang sedang menikmati menu yang disuguhkan di sini. Yang ada hanyalah gadis yang sudah duduk manis di meja paling dekat jendela dengan wajah…kusut.


Kutarik kursi yang ada di hadapannya, lalu kuhempaskan badanku diatasnya. Min Rin –gadis itu–membuang mukanya dariku dan menatap jendela keluar, mengetuk-ngetukkan kelima jarinya dengan ritme teratur. “Min Rin-ah…” Panggilku pelan dengan penuh sabar.


Dia masih tetap tidak mau menengok, masih tetap keras kepala. Err, sabarlah Key. Bukankah memang harus butuh kesabaran ekstra menghadapi gadis ‘ajaib’ macam yeojachingu-mu ini ‘kan? Kucoba menyentuh tangan mungilnya, tapi dengan cepat dia menarik tangannya. Dia ini kenapa sih?


“Kau marah karena aku telat? Aku minta maaf!” Kukatakan secara langsung padanya tanpa basa-basi. Ah, baguslah Min Rin mulai memutar kepalanya lalu melihatku, meskipun dengan tatapan… mengerikan.


“Ya! Kau sudah membuatku hampir mati bosan dan jamuran, tapi kau hanya bilang ‘minta maaf’? Kau ini kemana saja hah!?”

Mworago? Dia ini kenapa sih? Sedang PMS? Demi Tuhan, semarah apapun dia karena keterlambatanku, dia tidak akan semarah ini dan lama-kelamaan dia akan kembali seperti semula. Tapi sekarang? Jangan-jangan dia sudah salah makan.


“Kau ini kenapa sih? Tidak biasanya kau marah-marah seperti ini!”


“Memangnya kenapa? Siapa yang tidak marah kalau namjachingu-nya telat hampir satu jam!”


“Ya! Park Min Rin! Jangan membentakku! Kau tidak tahu apa yang kualami bukan? Pertama, kau mengancamku dan menyuruhku untuk segera datang ke cafe. Kedua, Taemin tidak sengaja menyiram ponselku dengan banana milk-nya. Ketiga, aku kehilangan sepatuku. Keempat, ban mobilku bocor karena ulah orang-sinting-kurang-kerjaan. Dan terakhir, kau marah-marah padaku dan membentakku! Arrgh! Aku bisa gila!”


“Itu namanya kau sedang sial di hari ulang tahunmu!”


“Dan karena kesialan itu, aku kesal, marah, dan apapun itu yang bisa membuat emosiku naik turun! Kalau kau hanya mau membuatku makin kesal lebih baik aku pulang saja!” Aku bangkit dari dudukku dengan cepat lalu pergi meninggalkan cafe secepatnya. Mianhae, kalau aku malah meninggalkanmu, Min Rin. Tapi saat ini suasana hatiku benar-benar… buruk.


“Oppa!!”


Aku tetap berjalan keluar cafe tanpa menggubris teriakkannya yang memanggil namaku. Dan sampai diluar coffee shop tersebut, tiba-tiba lenganku ditarik olehnya lalu dipeluknya dengan erat. Menahanku agar tidak pergi dan meninggalkannya. “Oppa! Jangan pergi!”


“Wae? Kau mau marah-marah lagi padaku? Marah-marahmu belum selesai?” Tantangku dengan tatapan sinis.


“Bu-bukan begitu. Ayo masuk lagi!”


“Sudah kubilang, kalau memang kau mau membuatku makin emosi, lebih baik aku pulang. Jangan sampai aku membentakmu, Rin-ah.”


“Oppa… ayolah, kita masuk lagi kedalam… jebal…” Aku melengos sebal. Lagi-lagi memasang puppy-eyes. Aku paling sebal kalau dia sudah memasang puppy-eyes-nya, kalau begitu sejak awal tidak akan kubiarkan dia dekat-dekat dengan Jong Hyun.

“Arraseo! Tapi kalau lagi-lagi marah, aku akan pulang!”


“Baiklah. Kajja!” Dia menarik tanganku dan menyuruhku untuk cepat-cepat masuk kedalam. Sedangkan aku sendiri, berjalan malas dan ogah-ogahan. Lama kelamaan aku semakin menduga kalau gadis ini memang salah makan. Tadi tatapan matanya sengit, menyeramkan, seperti ingin memakanku hidup-hidup. Tapi sekarang? Berbinar-binar, seperti merasakan suatu kepuasan setelah…membentakku. -_-


Begitu ia membukakan pintu cafe untukku. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara… terompet ulang tahun?


“SAENGIL CHUKKAE!!”


Dengan tampang konyol, aku masih tetap mematung diambang pintu dan menatap heran orang-orang yang ada dihadapanku dengan wajah riang. Termasuk, Min Rin. Gadis itu memelukku.

“Saengil chukkae, Oppa! Aaa, mianhae aku membuatmu kesal! Aku tidak mengucapkan selamat ulang tahun sejak tadi malam dan sekarang aku membuatmu marah. Mianhae, Oppa!”


“Kau… aigo! Demi Tuhan kau benar-benar membuatku kesal!” Kuacak-acak rambut ikalnya. Ternyata itu hanya akting saja ya? Sial. Dia sukses membuatku kesal di hari ulang tahunku! -_-


“Saengil Chukkae, Kibum-ah!” Beberapa saat kemudian, Eomma keluar dari kerumunan orang-orang terdekatku dengan birthday cake besar berhias angka dua dan tujuh di tangannya. Semua orang mulai mengerubungiku lalu menyanyikan lagu selamat ulang tahun untukku.


“Saengil chukkae hamnida, saengil chukkae hamnida, saranghaneun uri Key, saengil chukkae hamnida…”


“Oppa! Ditiup lilinnya!”


Kutarik napas dalam-dalam lalu meniup lilin berbentuk angka dua dan tujuh tersebut hingga padam diiringi dengan riuh tepuk tangan dari semua orang. Memberdeul, Yoon Hee, Tae Rin, Seoyong, dan Yoon Ra –yang hadir di pesta kejutan ini –mengucapkan selamat ulang tahun padaku secara bergantian.


“Saengil chukkae, Key-ssi!”


“Happy birthday, Oppa!”


“Saengil chukkae, Hyung! Mianhae tadi aku menyembunyikan sepatumu, hehe…” Mataku membelalak lebar saat Min Ho berkata bahwa dialah yang menyembunyikan sepatuku. Kurang ajar! -_-


“Ah, aku juga sebenarnya yang menjadi tangan kanan Min Rin.” Aku Jin Ki.


“Aku juga minta maaf, Hyung! Tadi sebenarnya aku sengaja menumpahkan banana milku-ku yang berharga ke ponselmu!”


“Aku juga! Aku telah membocorkan keempat ban mobilmu, tadinya aku hanya ingin membocorkan satu tapi kupikir tidak seru kalau hanya satu, jadi ya…kubocorkan semua!”

O, jadi namja bernama Kim Jong Hyun ini, orang sinting yang telah membocorkan keempat ban mobilku. Dasar setan sialan! Onew Hyung, Min Ho dan Taemin juga… mereka semua… arrgh!! Jadi mereka yang membuatku jadi orang menyedihkan di hari ulang tahunku sendiri?


“Kalian berempat! Jadi kalian pelakunya!?”


“Hyung! Ini bukan sepenuhnya salah kami! Semuanya didalangi oleh yeojachingu-mu sendiri!!” Ketiga orang itu menunjukkan tangannya kearah gadis yang sekarang menyengir lebar sembari mengangkat dua jarinya. Kupandangi dia dengan tatapan aku-ingin-memakanmu-hidup-hidup.


“Oppa, mianhae hehe… kalau tidak seperti ini, rencanaku akan gagal!” Belum sempat kujitak kepalanya, gadis itu sudah kabur duluan kebelakang.


“YA! PARK MIN RIN!!”


*


“Oppa…kau masih marah padaku?”


Aku sama sekali tidak menggubrisnya. Aku tetap terpaku kearah jalanan kota yang ramai dengan para pejalan kaki. Usai mengantar Eomma terlebih dahulu kerumah, sekarang giliran yeoja yang ada disampingku ini yang akan kuantar pulang, tentu saja dengan mobil miliknya. Bukan milikku. Kalian tahu sendiri ‘kan kalau ban mobilku dibocorkan oleh si dino itu?


Sebenarnya…aku sudah tidak marah padanya. Tapi untuk kali ini, entah kenapa hatiku tertarik untuk menjahilinya. Balas dendam mungkin lebih tepatnya, kekeke…pembalasan karena sudah membuatku menganggap diri sendiri sebagai orang tersial dan menyedihkan di hari ulang tahun. Kulirik sekilas kearahnya, lihat saja sekarang. Wajahnya benar-benar masam dan menunjukkan rasa menyesalnya. Benar-benar… menggemaskan.


“Oppa…mianhae…” Gumamnya.


Kuhentikan mobil tepat di depan taman kecil yang tidak jauh dari rumahnya. Kutolehkan kepalaku kearahnya, menatapnya sinis -dan tentu saja tatapan sinisku hanya akting saja. Gadis itu masih saja menatapku dengan raut wajah menyesal. Sepertinya Min Rin benar-benar menyesal ya membuatku marah karena rencananya. Untung saja aku bisa menahan tawa, kalau tidak mungkin gadis ini akan sadar kalau aku tengah mengerjainya.


“Menurutmu? Aku marah atau tidak?”


“Marah.”


“Kau tahu sendiri bukan? Lagipula siapa yang tidak marah saat tahu bahwa yeojachingu-nya sendiri yang menjadi dalang kesialan namja-nya?”


“Oppa… aku minta maaf…coke, aku akan memenuhi apapun yang kau minta asalkan kau mau memaafkanku!” Ujarnya.


“Benarkah?” Tanyaku untuk memastikan.


“Hm!”


“Kau yakin?” Seringaian evil-smirk terpeta di wajahku.


“Ya-yakin, tapi kau jangan meminta yang tidak-tidak!”


“Baiklah…tutup matamu!” Suruhku.


“Mwo? Untuk apa?” Tanyanya takut-takut.


“Kau bilang kau mau memenuhi apa saja permintaanku, dan permintaanku adalah kau harus tutup matamu.” Min Rin mulai ragu-ragu apakah dia harus menutup matanya atau tidak. Kurasa dia takut tiba-tiba aku akan melakukan yang tidak-tidak nanti.


Sesuai dengan permintaanku, dia menutup matanya dengan terpaksa meskipun sesekali dia tertangkap basah olehku sedang mencoba membuka matanya sebentar. “Jangan coba-coba membuka matamu, Nona!”


“Aish! Arraseo!” Gerutunya kesal. Ia kembali menutup matanya. Kali ini lebih rapat. Tahanlah tawamu sebentar, Key! Kalau tidak, rencanamu akan gagal! Kubuka seat-belt yang melekat di tubuhku lalu kuputar badanku menghadapnya. Dicondongkan tubuhku mendekat pada Min Rin dan mendekatkan wajahku ke wajahnya. Ahahaha, sepertinya dia sudah mulai merasa kalau aku akan menciumnya.


Dengan santainya aku berkata di depan wajahnya dengan volume kecil, “Kena kau, Park Min Rin…”


Gadis itu sontak membelalak lebar lalu menatapku geram. Sementara aku sendiri langsung tertawa terbahak-bahak sampai perutku kesakitan. Aku tidak henti-hentinya tertawa sampai-sampai aku memukul-mukul kemudi setir saking gelinya. Ahahaha, aku tidak menyangka mengerjainya bisa membuatku jadi sesenang ini. Gadis ini memang ‘korban’ yang paling tepat untuk kukerjai, hahaha…


“Oppa!! Kau jahat! Kupikir kau akan… kau akan…” Min Rin terbata-bata, tidak bisa mengatakannya dengan jelas saking malunya. Ditambah lagi dengan wajahnya yang memerah sekarang. Ya, Tuhan betapa lucunya wajah Min Rin saat ini.


“Kau pikir apa? Apa? Menciummu? Huahaha…” Astaga~ aku bisa mati lemas karena tidak bisa berhenti tertawa.


Saat aku masih tenggelam dalam tawaku, tiba-tiba ia mencubit lenganku bahkan ingin menjambak rambut. “Aigo! Jangan jambak rambutku! Andwae! Andwae! Aku minta maaf!!”


“Oppa, kau jahat sekali! Kau mau membalasku ya?” Rengeknya.


“Tentu saja. Kita berdua impas bukan?”


“Aish! Terserah kau saja!”


“Oiya! Mana kadomu?” Kutengadahkan tanganku, meminta kado yang belum ia kasih tadi siang. Min Rin mengambil tas selempang yang sengaja ia taruh dibelakang lalu merogoh dalamnya. Sebuah kotak berukuran sedang yang dilapisi dengan kertas kado berwarna biru tosca dengan pita putih sebagai penghias menyembul dari dalam tas miliknya.


“Ini kadomu, Oppa. Aku bingung harus memberimu apa, jadi ya… kupilih ini saja.” Katanya sembari mengusap-usap tengkuk lehernya.


“Ng…sebenarnya kau tidak perlu memberiku kado, Chagi-ya. Tadi aku hanya bercanda,”


“Oppa, kau selalu memberikan hadiah padaku. Tapi aku sendiri jarang sekali menyiapkan hadiah untukmu, tahun lalu saat kau ulang tahun ke-21 aku belum memberikan hadiah untukmu bukan? Pacar macam apa aku?” Kuraih puncak kepalanya lalu kuusap dengan lembut.


“Aku bukan anak kecil lagi yang selalu diberi hadiah, umurku sudah 22 tahun sekarang. Tidak perlu memberiku hadiah, aku sendiri sudah mendapat hadiah terbaik selama dua tahun ini. Bahkan setiap hari,”


“Mwo? Hadiah apa itu?”


“Kau.”


Pipinya bersemu merah. Aku tertawa kecil lalu kembali mengusap puncak kepalanya dengan lembut. Ya, dialah hadiah terbaik yang selama ini kudapatkan dan selalu kujaga sampai kapanpun. Hadiah yang kuharapkan tidak akan pernah hilang dan terus ada bersamaku. Min Rin-lah hadiahku.


“Hm… gomawo atas hadiahnya.” Kataku sembari membuka kertas kado yang melapisi kotak berukuran tidak besar juga tidak kecil itu. O, dia memberikanku sebuah headphone baru. “Kau suka, Oppa?”


“Apapun yang kau beri, aku pasti menyukainya,”


“Kau tahu, Oppa. Aku juga membeli model yang sama, kekeke…”


“Oh, jadi kau mau mempunyai headphone yang sama denganku?”


“Tidak juga. Tadinya aku mau membelinya untuk diriku sendiri, tapi akhirnya aku membeli dua, jadinya sama denganmu, haha!” Senyumku memudar seketika. Gadis ini…aish, jinja…


“Aish kau ini…benar-benar membuatku gemas!” Dengan cepat kucubit kedua pipinya hingga membuatnya kesakitan dan mencoba untuk melepas cubitanku. “Oppa! Sakit!”


“Terima kasih atas semuanya…” Bisikku di telinganya. Min Rin hanya mengangguk pelan lalu mengeluarkan senyuman terbaik yang paling kusuka dan selalu ingin kulihat. Melihat senyumnya, tidak dapat kupungkiri kalau diriku sendiri juga ingin mengeluarkan senyum terbaikku untuknya. Kurengkuh wajahnya lalu kucium bibirnya mungilnya dengan lembut.


“Saranghaeyo, nae yeoja…”


“Nado saranghaeyo, Oppa… jheongmal…” entah ada angin apa, tiba-tiba aku tertawa kecil didepannya. Min Rin mengernyitkan dahinya dan menatapku dengan tatapan yang seolah berkata apa-kau-sudah-gila?


“Apa yang kau tertawakan?” tanyanya.


“Kkk, wajahmu lucu sekali!” kucubit pipinya sekali lagi, gemas.


“Kyaaaaaaaak! Oppa! Lepaskan! LEPAS ATAU KAU AKAN KUTENDANG!!”


_______ END _______


Yihaaa…ending failed-____-
Terima jadi saja ya teman-teman (?)
Tadi sempet ada typo di hangul saengil chukkahamnida, tapi udah diganti kkk
Key Oppa, mianhae kadonya ini telat satu hari >.<
Happy birthday uri Eomma[?] Key SHINee kyakyakya #happy22thKEY