Author :
Yoon
Cast :
·
Lee Jin Ki
·
Han Yoon Hee
·
Cho Kyu Hyun
·
Han Neora
·
Park Hye Rim
·
Yg lain
muncul bergantian:p
Genre : apa aja boleeee[?]
Length :
Chaptered
Disclaimer : FF ini milik SAYA^^!!! Han Yoon Hee
MILIK Lee Jin Ki xD Lee Jin Ki milik…. banyak orang ._. #ngenes #abaikan
Happy reading^^
PART 5: Aliran Rasa yang Tak Bermuara
Selama aku masih bisa bernafas,
masih sanggup berjalan
Ku kan slalu memujamu
Meski ku tak tahu lagi engkau ada dimana
Dengarkan aku…
Ku merindukanmu
(Merindukanmu – D’Massiv)
+++
Yoon Hee menempelkan telapak tangannya di kaca jendela
mobil, merasakan dingin yang terbias dari hujan di luar sana. Di sebelahnya, Kyu
Hyun mengetuk-ngetukkan jemarinya dengan tidak sabar di roda kemudi, menanti
antrian kendaraan yang seakan bersaing dengan siput.
“Macet sekali…” cetus Kyu Hyun kesal. Yoon Hee menoleh,
mengangkat alis dan tersenyum kecil melihat kerutan di dahi Kyu Hyun.
“Hujan, oppa… Memang sudah biasa kan jika cuacanya seperti
ini…”
“Tapi sekarang kan bukan sedang musim hujan… Haish, aku
benci sekali jika jalanan sudah seperti ini!” Kyu Hyun masih terdengar kesal.
“Efek global warming…” sahut Yoon Hee santai, lalu tiba-tiba
kembali terpekur. Global warming. Climate change. Dulu Moon suka sekali
membahas topik-topik itu. Meskipun bagi Yoon Hee kadang-kadang hal-hal seperti itu
terlalu membosankan dan rumit untuk dimengerti, toh Moon tetap seringkali
menyebut-nyebut hal itu dalam topik obrolannya.
Yoon Hee semakin terpekur saat nama panggilan itu ia rapal
kembali dalam hati… Moon.
“Hais,
panggilan macam apa itu?”
“Bukankah
bagus? Moon itu bagus tahuuu..”
“Tidak.
Panggil saja aku oppa, bukankah kau satu tahun lebih muda dariku…”
Sekelebat percakapan yang memperdebatkan panggilan
masing-masing dari mereka itu bergaung di pikiran Yoon Hee, menambah tusukan
baru di hatinya. Yoon Hee yang tidak mau dipanggil ‘chagi’ mengusulkan agar
mereka saling memanggil dengan nama unik. Yoon Hee masih ingat, perdebatan itu
menghasilkan sebuah nama panggilan Yoon untuk Yoon Hee, dan Moon untuk Jin Ki.
“Karena
namamu sudah bagus, aku hanya perlu memanggilmu… Yoon.”
“…. Yoon
berarti membiarkan. Bagus kan? Seperti aku, yang membiarkanmu melakukan apapun
hal yang kau suka. Membiarkan rasa ini tulus dan tumbuh dengan sendirinya.
Karena membiarkan, tidak selalu berarti tak peduli.”
Ingatan lain mulai kembali berdesakan dalam pikirannya.
Menambah kesesakannya.
“Baiklah,
ku rasa Moon tidak buruk. Apa artinya?”
“Moon
bermakna ‘kata-kata’. Kau sumber semua kata yang tak bisa kusuarakan, yang tak
kumengerti bagaimana membahasakan dirimu. Karena hanya dalam hati aku bisa
menjabarkanmu. Dan kau, adalah kata itu sendiri, Moon-ku. “
Yoon Hee menghela napas berat. Hah, bukankah panggilan itu
sudah tidak boleh ia ingat lagi?
Seakan-akan menyadari perubahan sikap Yoon Hee yang
mendadak, Kyu Hyun menoleh. Ditelusurinya wajah manis yang tengah tercenung
menatap deretan panjang kendaraan dari balik jendela.
“Memikirkan apa?”
Yoon Hee hanya menggeleng, pandangannya masih menerawang
jauh ke balik kaca yang berhiaskan deraian aliran hujan.
“Kenapa diam saja?”
Yoon Hee menarik nafas panjang, lalu menoleh untuk menatap Kyu
Hyun dengan sebuah senyuman tipis di bibirnya. “Aniyo, gwaenchana…”
Kyu Hyun diam. Mencari kepastian akan perkiraannya dari
balik bening mata Yoon Hee.
“Memikirkan Lee Jin Ki?” tebak Kyu Hyun.
Tepat pada sasaran. Kyu Hyun bisa meraba perubahan ekspresi
yang terbayang di raut wajah Yoon Hee begitu nama itu disebut-sebut.
Yoon Hee membuang wajah. Ditelusurinya kaca jendela itu
dengan telunjuknya. Di sebelahnya, Kyu Hyun menghela nafas panjang.
“Sudahlah Yoon Hee-ya… Lupakan dia..”
Yoon Hee tidak menjawab.
“Sudah 3 minggu lebih kan? Dan tiba-tiba dia menghilang
begitu saja. Jadi seperti itukah orang yang pernah menjadi kekasihmu? Beginikah
caranya memperlakukanmu huh?!”
Yoon Hee menggigit bibir. Tanpa harus disinggung Kyu Hyun
seperti itupun Yoon Hee sudah cukup merasa tersakiti oleh keadaan seperti ini. Yoon
Hee tidak pernah berniat menghitung sudah berapa lama semenjak Jin Ki tiba-tiba
saja hilang dari hari-harinya.
Tapi seperti sistem otomatis, setiap kali Yoon Hee membuka
matanya di pagi hari, hal pertama yang terlintas di benaknya adalah telah
berapa hari berlalu semenjak Jin Ki tiba-tiba meminta Yoon Hee untuk melupakan
dirinya.
“Dia sama sekali tak pernah menghubungimu lagi kan? Tak ada
penjelasan apapun kan?” kata-kata Kyu Hyun terdengar dingin. Yoon Hee melirik
sekilas. Kyu Hyun nampak menatap lurus ke depan, jari jemarinya menggenggam
kemudi kuat-kuat.
“Lupakan dia Yoon Hee-ya…”
Yoon Hee menyandarkan punggungnya ke kursi berjok kulit itu.
Lalu, dengan gerakan yang sangat perlahan, dia menggeleng. “I can’t… Not now,
at least…”
“Kenapa begitu?” tukas Kyu Hyun, lebih terdengar seperti
sebuah protes.
Yoon Hee memejamkan matanya. Bukannya dia tidak pernah
berusaha mencari penjelasan atas apa yang telah terjadi. Tapi semua seperti
berujung pada jalan buntu. Bahkan Lee Hyo Ki –kakak Jin Ki—pun nampak enggan
saat Yoon Hee meneleponnya.
Hyo Ki hanya mengatakan bahwa Jin Ki berpesan, pemuda itu
tidak ingin berbicara dengan Yoon Hee. Itu saja, sesingkat itu. Pernyataan
singkat yang seakan menerbangkan semua harapan.
Yoon Hee kembali menggeleng. Sama perlahannya dengan
sebelumnya. “Aku yakin Oppa… pasti ada penjelasan… pasti ada alasan…”
“Alasan apa?” nada suara Kyu Hyun terdengar lebih tajam dari
sebelumnya.
Yoon Hee menoleh, sedikit mengangkat alis. Entah kenapa, Yoon
Hee merasa sedikit janggal dengan sikap Kyu Hyun.
“Mian… Aku… terkesan terlalu ikut campur..” kata Kyu Hyun
menyesal.
Yoon Hee tersenyum. Kyu Hyun sempat menangkap senyuman itu
saat dia melirik sekilas ke arah Yoo Hee.
“Gwaenchana…” sahut Yoon Hee halus.
“Aku hanya tidak bisa terima, dia memperlakukanmu seperti
ini,” tambah Kyu Hyun, berusaha memberikan alasan bagi sikapnya. “Apalagi,”
Kyu Hyun menggantungkan kalimatnya. Kyu Hyun menarik nafas sekali sebelum
menyambung lagi.
“Apalagi… sebenarnya masih banyak yang mau dan bisa
memperlakukanmu lebih baik daripada ini Yoon Hee-ya…”
Yoon Hee menunduk. Ia bukannya tidak bisa menebak maksud
lain yang tersembunyi di balik kata-kata Kyu Hyun tadi. Dan Yoon Hee tidak bisa
memungkiri kenyataan, bahwa sudah hampir 4 minggu ini Kyu Hyun lah yang selalu
setia mengiringinya. Yoon Hee berkali-kali berusaha menolak dengan halus. Tapi
toh, setiap pagi, Kyu Hyun akan tetap muncul di depan rumahnya.
Belum lagi setangkai lili putih yang seakan tak pernah absen
ikut hadir bersama kedatangan Kyu Hyun. Dan SMS rutin yang hanya sekedar
mengingatkan Yoon Hee untuk makan, atau ucapan selamat malam. Semuanya sudah menjadi
pertanda bahwa Kyu Hyun siap menawarkan diri untuk menjadi pendamping Yoon Hee.
Untuk sejenak, suasana canggung merebak begitu saja.
Diam-diam Kyu Hyun melirik dari sudut matanya. Yoon Hee masih nampak termangu.
Seuntai rambut jatuh keluar dari ikatan rambut Yoon Hee, menggantung cantik di
balik telinganya. Sekilas ada rasa nyeri mengiris di hati Kyu Hyun.
Sesulit itukah untuk sekedar mengaburkan bayangan Lee Jin Ki
dari hati gadis manis itu? Seberkas rasa putus asa menyeruak di pikiran Kyu
Hyun.
Kyu Hyun berdeham kecil, berusaha memecah suasana tanpa kata
di antara mereka. “Yoon Hee-ya?”
Yoon Hee mengangkat wajah. Seulas senyum terukir di
wajahnya. Tapi Kyu Hyun bisa merasakan betapa senyum itu hanya sekedar lekukan
di bibir untuk menutupi luka yang disembunyikan Yoon Hee dalam hatinya.
“Aku… aku masih yakin oppa, pasti ada alasan di balik semua
ini. Aku percaya itu..”
Kyu Hyun diam. Berusaha mencerna kata-kata Yoon Hee tadi.
Meskipun pandangannya lurus ke depan, terus mengamati jalan yang mulai lancar,
pikirannya tak bersinggungan dengan arus lalu lintas.
“Kenapa? Kenapa kau masih bisa percaya padanya?”
Yoon Hee mengangkat bahunya tanpa menoleh ke arah Kyu Hyun.
Matanya masih lekat menatap ke luar jendela di sisi kirinya.
“Molla… Mungkin… karena aku percaya padanya, seperti halnya aku
yang percaya pada diriku sendiri kalau aku masih menyayanginya.”
Kyu Hyun mempererat genggamannya di roda kemudi. Berusaha
menelan gelegak kecewa yang tiba-tiba mengaduk emosinya. Sedalam itukah
bayangan Jin Ki tertanam di hati Yoon Hee, sehingga begitu sukar bagi Kyu Hyun
untuk menjadi pengganti?
“Yoon Hee-ya…?”
“Hmmm?”
“Kalau…” Kyu Hyun diam sesaat. Menimbang-nimbang apakah
kalimat selanjutnya layak terucap.
“Kalau apa?”
“Kalau… seandainya… alasan itu adalah… gadis lain?”
Yoon Hee tersentak. Jujur, beberapa kali pikiran itu sempat
terlintas. Tapi berkali-kali pula Yoon Hee berusaha menulikan diri dari bisikan
kecurigaannya sendiri.
Yoon Hee menggigit bibir, lalu menoleh perlahan. Kyu Hyun
balik menatap gadis itu. Seakan menantang Yoon Hee untuk berani menerima
kenyataan yang paling pahit sekalipun.
“Kalau alasannya adalah gadis lain, kau masih akan percaya
padanya?” Kyu Hyun kembali mengulangi pertanyaannya.
Hening sesaat, sebelum kata-kata Kyu Hyun kembali memecah
keheningan itu.
“Kau… masih akan tetap menyayanginya?”
Yoon Hee menatap Kyu Hyun dalam-dalam. Lalu mendesah
perlahan.
“aku… tidak tahu…” bisik Yoon Hee perlahan. Dia lalu
menunduk, lalu menggeleng pelan.
“Aku tidak tahu..” bisiknya lagi.
Kyu Hyun menggigit bibir melihat betapa gadis itu nampak
begitu merapuh. Perlahan tangannya bergerak untuk mengenggam jemari Yoon Hee.
Berusaha mengurangi rasa berdosa yang tanpa ampun menyelinap dan mencengkeram
hatinya.
“Masih ada aku Yoon Hee-ya…” bisik Kyu Hyun. Berusaha
menyadarkan Yoon Hee akan keberadaan dirinya.
Dengan halus, Yoon Hee menarik perlahan tangannya dari
genggaman Kyu Hyun, dipaksakannya sebuah senyuman, meskipun kegetiran terasa
begitu pahit dalam senyum itu.
“Kau… bukan dia oppa…”
Meskipun terucap begitu perlahan, begitu lirih, toh
kata-kata itu tak ubahnya sebuah belati. Belati yang dengan dingin mengiris
tajam, meninggalkan jejak kepedihan di atas harapan yang diam-diam dibangun Kyu
Hyun.
Diam lagi. Lebih sunyi. Lebih sepi. Jejak hujan yang menari,
menerpa kaca jendela, seakan menaburkan dingin untuk hening di antara mereka
berdua.
Yoon Hee menyandarkan punggungnya di jok mobil. Telunjuknya
kembali bergerak acak di permukaan jendela mobil. Berusaha menafsirkan
kata-kata yang terucap dalam hatinya sendiri. Meskipun penantian yang seakan
sia-sia itu membuat hati Yoon Hee semakin lelah.
Terkadang, hati yang lelah tak mampu memahami logika apapun.
Tak mampu membaca isyarat apapun. Tak mampu, atau tak ingin?
Tapi kenapa hati yang lelah seakan tak pernah jera untuk
bergantung pada harapan yang mungkin sekedar impian belaka?
***
Hujan sudah sekedar titik-titik gerimis ketika Picanto hitam
yang membawa mereka berdua merapat di depan gerbang rumah bercat hijau terang
itu. Kyu Hyun mematikan mesin mobil.
“Gomawo oppa…” kata Yoon Hee sambil melepaskan seat beltnya.
“Aku turun dulu ya…” lanjutnya lagi agak tergesa. Dia masih merasa canggung
untuk berdua saja dengan Kyu Hyun setelah percakapan mereka tadi.
Tidak hanya canggung, Yoon Hee merasa tak sepantasnya ia
terus membiarkan ada benih harapan, sehalus apapun, tumbuh dan berkembang di
hati Kyu Hyun. Tidak. Tidak selama masih ada sosok lain yang menjadi hal
pertama yang muncul di benaknya setiap pagi, dan hal terakhir yang ada di
pikirannya sebelum lelap mengantarnya ke alam mimpi. Jin Ki.
Kyu Hyun tidak menjawab. Hanya tersenyum kecil sambil
mengangguk. Yoon Hee pun tidak berlama-lama, dia langsung membuka pintu, untuk
turun dan setengah berlari memasuki gerbang rumahnya. Kyu Hyun melipat kedua
tangannya pada roda kemudi dan bersandar di sana, mengamati gerai rambut Yoon
Hee yang bergerak-gerak mengikuti gerakan gadis itu.
Sesaat Kyu Hyun sempat melihat Jazz kuning cerah yang
biasanya dikemudikan Neora terparkir rapi di depan garasi. Begitu gerbang itu
merapat kembali, teras depan dan taman yang tertata apik itu pun hilang dari
pandangan. Hanya pagar tinggi dan gerbang yang tertutup rapat yang terlihat.
Untuk beberapa saat, Kyu Hyun masih terdiam dalam posisi
yang sama. Akhirnya ia menarik nafas, menegakkan tubuh, dan menarik keluar
ponsel dari saku celananya. Sambil sedikit mengerutkan kening, dicarinya sebuah
nama di phonebook dalam ponsel itu. Sambil menempelkan ponsel itu di
telinganya dan menunggu panggilannya dijawab, Kyu Hyun kembali melayangkan
pandangan ke arah gerbang yang tertutup rapat itu.
“Yeobosseyo?”
sebuah suara memutuskan nada sambung di telinga Kyu Hyun.
“Yeobosseyo. Kuliahmu sudah selesai?”
“Sudah.”
“Sudah pulang?”
“Kau bilang mau menjemputku?
Mau berbicara sesuatu? Jadi, tidak?”
Kyu Hyun tertawa. “Haissh. Galak sekali.”
“You know me..”
sahut gadis di ujung sana.
“So well?”
“Kyu Hyun-ah. Tidak
lucu, tahu.”
Kyu Hyun kembali tertawa. “Okay. Aku kesana sekarang. Mungkin
setengah jam lagi sampai, itupun kalau beruntung…”
“You’d better be lucky
then..”
“Kalau tidak?”
“I’ll cut you into
pieces…” suara tadi menjawab dengan nada datar.
“Kau menyeramkan..”
“Memang.”
“Tidak bosan menjadi gadis menyeramkan?”
“Tidak. Tapi aku bosan
menunggumu yang berjanji menjemputku disini dalam waktu setengah jam lagi..”
“Napasmu panjang sekali, bicara seperti itu dalam satu
tarikan napas…” Kyu Hyun masih setengah terkekeh.
“Pick me up now!”
Klik.
Begitu saja. Gadis tadi memutuskan sambungan tanpa
basa-basi. Kyu Hyun tersenyum kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya,
masih menatap layar ponsel di genggamannya.
Kyu Hyun menyelipkan kembali ponselnya ke dalam saku celana,
dan memutar kunci mobil. Ada orang lain yang tengah menunggunya.
***
Yoon Hee melongok dari balik pintu, dan mendapati ibunya
tengah tekun di hadapan layar komputer. Jemarinya lincah bergerak di atats tuts
keyboard, terkadang berpindah untuk menulis sesuatu, entah apa, di sebuah notes
di sebelah keyboard itu.
“Eomma…” panggil Yoon Hee sambil melangkah mendekati meja
kerja ibunya.
Ibunya mengangkat wajah, lalu tersenyum sambil mendorong
kacamatanya ke atas kepala. “Eoh? Sudah pulang?”
Yoon Hee mencium sekilas pipi ibunya sebelum menjawab. “Hm.
Eomma sih serius sekali di depan komputer.” Yoon Hee setengah mengomel,
meskipun sebetulnya bisa memaklumi. Tidak seperti sang ayah dengan posisinya
sebagai seorang CEO perusahaan multi nasional yang menyebabkan Tuan Han harus
berada di berbagai kota, bahkan negara, untuk urusan bisnisnya, ibunya lebih
banyak ada di rumah. Beliau menjalankan sebuah toko online yang cukup sukses,
sehingga sebagian besar waktunya bisa dihabiskan di rumah. Dalam seminggu,
hanya tiga kali ibunya memantau proses produksi di pusat kerajinan yang
produknya dipasarkan.
“Neora eonnie tidak kuliah? Atau sudah pulang?”
Eomma menggeleng. “Kuliah, tapi tadi berangkat dengan temannya.
…”
Bibir Yoon Hee membulat membentuk huruf O.
“Ganti baju sana. Setelah itu makan ya…” kata Nyonya Han lagi
sebelum memusatkan kembali perhatiannya pada layar komputer.
“Arraseooooo….” Jawab Yoon Hee, berbalik sambil membenahi
tali tas di pundaknya. Dia melangkah menuju pintu ruang kerja.
“Yoon?” panggil Nyonya Han lagi sebelum Yoon Hee sempat
melangkah keluar. “Eomma hampir saja lupa lagi..”
“Ada apa eomma?” Yoon Hee berbalik, mengangkat alis.
“Tadi IALF menelpon. Katanya hasil tes sudah bisa diambil…”
“Ohya? Berapa skor ku, eomma?” spontan Yoon Hee bertanya.
Dia sendiri sudah hampir lupa tentang tes IELTS itu.
Nyonya Han menggeleng sambil tersenyum. “Eomma tidak
menanyakannya. Lagipula mungkin mereka tak akan memberitahu kalau tidak
langsung ke orangnya sayang…”
“Oh.”
Yoon Hee terdiam sesaat. Setengah menunggu, karena dia
hampir bisa memastikan, bahwa kabar tadi akan diikuti pertanyaan Nyonya Han
tentang sesuatu hal.
“Yoon…”
See? Betul kan? Pasti eomma akan menanyakan kembali hal itu. Yoon
Hee diam-diam membatin.
“Soal tawaran eomma dan appa saat itu…”
Nyonya Han menghentikan kalimatnya, seakan-akan mencari kata
yang tepat.
“Sudah Yoon pikirin lagi eomma…” Yoon Hee menukas sebelum ibunya
itu sempat melanjutkan pertanyaannya. Nyonya Han mengangkat alis, agak
terkejut.
Yoon Hee menarik nafas perlahan. Kali ini ia tidak punya
alasan lain untuk menunda keputusan itu. Yoon Hee mengangguk dua kali. Lalu
diam. Nyonya Han menatap Yoon Hee, ada sedikit kerutan di kening beliau.
“Kau… mau?”
Yoon Hee kembali mengangguk, kali ini lebih mantap dari
sebelumnya.
“Yoon… eomma tahu ini… tidak mudah untukmu…”
Yoon Hee tersenyum, berharap yang nampak di mata ibunya adalah
senyuman yang wajar, dan kegetiran yang diam-diam dia rasakan tersembunyi
dengan rapat.
“Yoon mau mencobanya eomma…”
Nyonya Han melepaskan kacamata dan meletakkannya di meja.
Beliau lalu berdiri dan melangkah mendekati Yoon Hee. Tanpa kata-kata, beliau
memeluk Yoon Hee.
Dan entah kenapa, tiba-tiba saja Yoon Hee merasakan sesak di
dadanya yang ingin lepas dalam bentuk tangis.
“Eomma tahu Yoon Hee-ya… eomma tahu…” bisik Nyonya Han
perlahan sambil mempererat pelukannya. Yoon Hee sempat ragu sesaat, tapi lalu
membalas pelukan ibunya. Wanita pertama yang mengajarinya kasih sayang.
“Kau pasti bisa melewati semua ini.. Pasti. You’ll be over
it, sooner or later…” bisikan lembut Nyonya Han terdengar kembali, seiring
dengan belaian jemarinya di rambut Yoon Hee.
Masih dalam pelukan ibunya, Yoon Hee mengangguk.
Bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah keputusan ini akan menjadi titik
baliknya?
Yoon Hee lalu melepaskan diri dari pelukan eomma-nya,
mencoba tersenyum, untuk meyakinkan beliau.
“Aku…ke kamar dulu eomma…” kata Yoon Hee, lalu berbalik.
Meninggalkan ruang kerja Nyonya Han untuk masuk ke kamarnya.
Dalam kamar bernuansa putih dan biru muda itu, Yoon Hee
membanting diri untuk berbaring tengkurap di atas tempat tidurnya. Asal saja,
dia meraih remote untuk menyalakan stereo set di pojokan kamarnya, sekedar
untuk mengisi kesunyian.
Ah, sialan… decak Yoon Hee dalam hati. Seakan berkonspirasi
dengan suasana hatinya, lagu yang tengah diputar di radio pun bernuansa
melankolis. Tapi entah kenapa, Yoon Hee pun tidak ingin memindah
gelombang radio untuk mencari lagu lain yang mungkin tidak terlalu
bernada kegalauan semacam ini.
Yoon Hee menghela nafas, memutar sedikit kepalanya untuk
memandangi pigura di meja kecil di samping tempat tidurnya. Wajah Lee Jin Ki
yang tengah tertawa lebar balik menatapnya dari foto dalam pigura itu. Yoon
Hee menggigit bibir. Saat wajah di foto itu seakan mengajaknya untuk berbagi
senyuman, justru lirik lagu dari stereo set itu membawanya kembali ke hari itu.
Hari ketika Jin Ki dengan wajah terluka meminta mereka untuk berjalan tanpa
berdampingan lagi.
(Lee JinKi – The Named I Loved)
Both hands trembles...
As i remembered the cold memories of love
Now it is getting weirder
I don't wish to reject you, but I just know that...
No matter how close we are
I know that I can't love you anymore
I can't miss you... Waiting for you makes me tired
I can't endure anymore, and I can't realize it
Ada segumpal kekecewaan yang terus mengusik Yoon Hee.
Seandainya bisa, betapa inginnya Yoon Hee untuk melepaskan semua ini.
Mengumpulkan kebenciannya pada Jin Ki, sehingga Yoon Hee bisa dengan mudah
berdiri tegak untuk melangkah kembali.
The name I loved once in this life
Has becoming further and further away from me
I am writing your name on a paper, and forever kept it in my
heart
From that day I only realized that I will only loved you
forever
Love that can't be together can also be known as love
Tapi kenapa, setiap kali dia berusaha meneguhkan diri untuk
melupakan, selalu muncul bisikan bahwa dia masih punya harapan?
I cant handle the love memories and feelings alone
I can't start this, I can only miss you secretly in my heart
My heart only left your body fragrance that I missed and
always loved
The name i loved once in this life
has becoming further and further away from me
i am writing your name on a paper, and forever kept it in my
heart
from that day i only realized that i will only loved you
forever
love that can't be together can also be known as love
Thousands of times remembering the first time our eyes met
and stolen an edge of my heart without noticing
Toh, setidaknya masih ada setitik keraguan yang menolak
untuk dikubur rapat. Lantas sudah saatnya kah melepaskan semua harapan sebagai
sekedar angan belaka?
***
TBC
Emm.. engg.. Iya.. saya tahu,
Part yang ini juga garing jaya ya? Hiks.
Aku post part 4, sama 5 ini. Maaf
kalo kesannya maruk ya, posting dua berturut-turut. Ya sudahlah, untuk
menebusnya, Part 6 akan aku posting satu bulan lagi. #plak. Ihik. Enggak ding.
Semoga gak lebih dari satu minggu deh.
Minta komeeeeeen utk ff lama ini :D gomawo<3 ^^
—Yoon—
Tidak ada komentar:
Posting Komentar