Halaman

Senin, 13 Agustus 2012

FIRST EDITED XD





THE BEST BROTHER


FanFiction      : THE BEST BROTHER
Cast                :
  • Lee Jin Ki
  • Lee Yoon Hee
  • Cho Kyuhyun
  • Choi Min Rin a.k.a Karina Ika Tantri
  • Choi Min Ho
Genre              : Family, Gaje[?]
Author            : Yoon
Recommended song : Momo Geisha-Cobalah Mengerti
Akhir-akhir ini aku suka bgt bikin  FF genre Family, kalo ga gitu Friendship –a ada apa dgn saya ?? #nahloh #abaikan
HAPPY READING :D
*
Aku takkan pernah berhenti
Akan terus memahami
Masih terus berfikir
Bila harus memaksa, atau berdarah untukmu,

Apapun itu, asal kau mau menerimaku
-Cobalah Mengerti-
*

Aku menggigit bagian bawah bibirku kuat-kuat, berharap tidak ada air mata yang menetes turun dan akan membasahi pipiku. Aku benci menangis. Menangis hanya akan membuat dadaku sesak. Aku tidak suka menjadi lemah. Aku bukan gadis seperti itu.

Tapi sepertinya semua sia-sia, bersatunya air mata dan segumpal kesal di hatiku mampu menjebol kekuatanku. Hah, selalu saja begini ! Karena kehadirannya, karena segala hal tentangnya, ia selalu saja menjadi yang juara. Aku benci padanya ! Sangat-sangat benci padanya ! Ia selalu menghancurkan semuanya. Bahkan sepertinya, keberadaannya di dunia ini tidak lebih untuk selalu mengganggu hari-hariku.

Jika boleh, aku ingin ia tidak ada. Tidak disini. Tidak di rumah ini. Tidak di sekolah. Tidak di manapun.

Dimanapun.

***

Siang ini, matahari begitu terik memancarkan sinarnya. Dan aku rasa juga tidak ada satu orang pun yang cukup bodoh bersedia untuk menantangnya. Aku mendengus kesal, ketika mendapati swift hitam milik Jin Ki Oppa terparkir di depan rumah, itu artinya ia ada di dalam, dan aku benar-benar malas jika harus melihat wajahnya, yang entah mengapa, menurut orang lain sangat innocent, tampan atau apalah itu, pujian-pujian kosong tak beralasan menurutku.

Jangan tanya mengapa, aku begitu kesal pada kakak semata wayangku itu. Ya, tentu saja aku memiliki alasan atas segala sikapku padanya. Bagiku ia sama sekali tidak menampilkan figur kakak laki-laki impian seperti yang sering aku lihat di film ataupun cerita-cerita di novel.

“Hya, Yoon Hee-ya, kau pulang, kenapa tak memberi salam dulu ?”

Aku sama sekali tidak bergeming mendengar sapaannya. Benar apa yang ia bilang, aku memang langsung masuk begitu saja, tanpa sekalipun menggubrisnya.

“Yoon Hee-ya, annyeong..” suara lain, yang lebih lembut, yang terdengar lebih merdu, ikut juga menyapaku.

Annyeong, Kyuhyun Oppa..” sahutku, tersenyum manis, berusaha menampilkan senyum termanis yang aku punya.

Kalian boleh menganggapku jahat, tapi siapa peduli, jika boleh memilih, terang-terangan tentu saja aku akan lebih memilih Kyuhyun Oppa, yang notabene adalah sahabat karib Jin Ki Oppa, sebagai kakak laki-lakiku ketimbang Jin Ki Oppa sendiri.

Kyuhyun Oppa membalas senyumku dengan senyumnya yang tidak kalah manis. Dan aku langsung bergegas naik ke lantai dua menuju kamarku, masih tanpa sekalipun memperdulikan kehadiran Jin Ki Oppa. Mencoba tidak menganggap dirinya. Berlalu dan menghilang begitu saja.

***

Alunan lagu dari Taylor Swift penyanyi kesukaanku, memenuhi sudut-sudut kamar, menemaniku yang sedang larut dalam setumpuk tugas sekolah yang harus ku selesaikan. Sambil ikut berdendang, seolah aku sedang berduet dengannya, aku terus asik mengerjakan soal-soal yang ada di depanku.

Klik. Lagu berhenti tiba-tiba. Serta merta aku langsung menoleh ke arah rak dimana disc playerku berada. Dan betul saja, ia sedang berdiri di sana, sambil memamerkan deretan gigi putihnya ke arahku.

“Ya! Apa yang Oppa lakukan ? Mengganggu saja..” ujarku ketus, menatapnya tajam.

“Aku sudah memanggilmu dari tadi, Eomma menyuruhmu turun, kita makan malam..”

“Tapi tidak perlu sampai mematikan musik sembarang, kan?! Apalagi masuk kamar yeoja tidak mengetuk pintu dulu, tidak sopan sekali,” aku masih saja menggerutu sambil menatapnya sebal.

“Hahahah, mianhae, Yoon Hee-ya.. ayo turun, kita makan bersama..”

Dan dari segala rasa sebalku terhadapnya, inilah yang paling membuatku sebal. Ketika aku masih dalam rasa sebalku terhadapnya, dan ia malah tertawa. Bisa tidak sih dia LEBIH SERIUS daripada ini ? Bisa tidak sih SEKALI SAJA dia mengerti bahwa aku ini sedang marah terhadapnya ?! Apa dia pikir SEGALA HAL bisa terselesaikan dengan uraian tawanya ?? Jujur, aku juga sangat heran dengan pemikiran orang-orang yang menganggap senyum dan tawa Jinki Oppa itu menenangkan.

Menenagkan apanya? Jengkel, IYA.

“Duluan saja sana, aku menyusul nanti,”

“Ya sudah.. cepatlah..”

Aku hanya mengangguk tipis. Sekilas aku jadi memandangi foto kami berdua yang sengaja Eomma letakkan di atas meja belajarku. Saat itu, aku masih kelas satu SD dan Jinki Oppa kelas empat. Kami masih akur, atau mungkin yang lebih tepatnya aku BELUM antipati seperti ini padanya. Di dalam foto itu, Jinki Oppa merangkulku sambil tersenyum lebar hingga matanya menyipit, seperti biasa. Aku dan dia tampak begitu manis di sana, khas anak-anak.

Tapi semua berubah semenjak aku SMP, dan Jinki Oppa SMA. Aku mulai bisa mengerti dan ‘membedakan’. Aku mulai membanding-bandingkannya dengan kakak laki-laki teman-temanku yang lain, hingga akhirnya aku memperoleh satu kesimpulan, Jinki Oppa bukanlah sesosok kakak yang bisa dibanggakan. Semua itu diperparah oleh sikapnya yang ‘aneh’ dan iseng, serta orang tuaku yang lebih memperhatikannya di banding aku.

Kenyataan-kenyataan itu membuatku tidak suka padanya, tidak suka akan kehadirannya, hingga tanpa aku sadari, aku mulai antipati kepadanya. Dan perlahan kami pun menjauh.

Sekuat apapun kau mencari, kau tidak akan menemukan satupun fotoku dan Jinki Oppa di masa sekarang ini. Karena aku tidak pernah mau difoto dekatnya. Sama sekali tidak mau.

Ahh ya, bukankah tadi ia menyuruhku untuk makan malam, lagipula cacing-cacing di perutku sudah saling menggeliat menantikan makanan. Segera setelah merapikan alat tulisku, aku bergegas menuju ruang makan. Dari tangga, aku bisa melihat, bagaimana Eomma dan Appa mengelus-elus punggung Jinki Oppa. Hal yang tidak pernah mereka lakukan secara bersamaan padaku.

Nafsu makan yang tadinya menggebu hebat, tiba-tiba menguap, dan sebelum terlihat, aku segera berbalik menuju kamarku kembali. Di balik pintu kamar, aku terduduk dalam diamku, meremas-remas tanganku, entah untuk apa.

Aku benci sdmuanya. Aku iri padanya. Iri akan apa yang ia bisa dapatkan dengan mudah dan aku tidak. Iri karena ia bisa dengan mudahnya mendapatkan perhatian kedua orang tuaku di banding aku.

Dan rasa iri terus memelukku erat malam itu. Menjadi satu-satunya teman yang menyatu dengan sepinya udara. Menjadi senyawa tak terlihat namun terasa di balik dinginnya lantai keramik.

Ya aku iri, dan aku membencinya.

***

Aku hampir saja menjatuhkan pisau yang kugunakan untuk mengoleskan selai coklat ke atas rotiku, ketika Eomma mengatakan bahwa pagi ini, Jinki Oppa-lah yang akan mengantarkanku ke sekolah, dan begitu juga nanti siang, ia yang akan menjemputku.

Ingin rasanya aku menolak. Tapi apa daya, kata-kata Eomma adalah sederet kalimat yang langsung tersegel dengan cap tidak dapat di ganggu gugat. Menolaknya sama saja dengan sukarela menerima ceramah beliau yang tiada henti pagi-pagi begini, dan tentu saja aku tidak mau.

“Haaahh, menyenangkan sekali bisa mengantarkanmu ke sekolah..” dengan spontan, tangan Jin Ki Oppa menepuk-nepuk kepalaku pelan. Yang buru-buru langsung aku singkirkan.

“Ish apa-apaan sih..”

“Haha..” lihatlah, ia hanya tertawa, padahal itu yang tambah membuatku sebal terhadapnya.

Sepanjang perjalanan menuju sekolah, aku hanya diam dengan tangan terlipat di dada. Suara dentum dari lagu rock atau metal atau sama sajalah namanya, yang demi apapun bisa merusak gendang telinga orang yang mendengarnya, menjadi suara-suara asing yang ada di dalam mobil ini.

Aku bahkan tidak bisa menangkap satu katapun dari lagu-lagu yang terus berkumandang ini. Hentakan drum dan teriakan sekencang mungkin, hanya itulah yang aku rasa ada di dalam lagu ini. Tapi sepertinya Jin Ki Oppa tidak peduli, sama sekali tidak peduli. Kepalanya ikut bergoyang-goyang dan tangannya ia pukul-pukulkan ke stir mobil.

Berlebihan, tapi rasanya aku benar-benar ingin sujud syukur ketika akhirnya mobil ini memasuki pekarangan sekolahku. Setidaknya delapan jam ke depan, aku terbebas dari mahluk satu ini. Meski sialnya, pulang nanti aku harus menghadapi suasana seperti ini lagi.

“Jangan turun !” cegahku, menarik ujung kaos Jin Ki Oppa, ketika ia hampir saja membuka pintu.

“Kenapa ? Bagaimanapun, aku kan juga pernah bersekolah di sini..”

Andwae, aku bilang jangan itu berarti Oppa jangan turun!!”

“Yoon Hee-ya, apa salahnya jika aku turun, hm?”

“Oppa di mobil saja, please..” nadaku melemah, aku benar-benar menatapnya sambil memohon. Hal yang sangat jarang aku lakukan terhadapnya.

“Ya sudah, baiklah…” ujarnya pasrah.

Aku hanya mendesah lega, lantas buru-buru aku langsung turun dari mobil dan sedikit berlari kecil memasuki halaman sekolah.

“Hai Yoon Hee-ya, diantar siapa?” Min Rin, salah satu teman sekelasku, tiba-tiba saja sudah berada di sisi kiriku.

“Eh..itu, ehm sama..”

“Sama siapa ?”

“Jin Ki Oppa,” jawabku akhirnya, amat pelan, dan terpaksa. Berharap bisa menemukan nama lain untuk aku sebut. Bahkan rasanya aku lebih senang menyebut nama Jung ahjussi, supirku, ketimbang Jin Ki Oppa.

“Oh Jin Ki Oppa sedang ada di Seoul ya? Baru pulang dari Busan?”

“Iya, lagi libur kuliah semesteran.”

“Emh, sama dengan Min Ho Oppa..”

Aku hanya mengulum senyum, Min Ho Oppa sama seperti Jin Ki Oppa, alumni sekolah ini juga. Hanya saja mereka sangat berbeda jauh. Dan aku rasa, aku akan bangga bila memiliki kakak seperti Min Ho Oppa.

“Yoon Hee-ya, ada Soo Man seonsaengnim, kita sapa yuk..”

Tanpa persetujuan dariku, Min Rin langsung saja menarik lenganku agar ikut bersamanya menemui Soo Man seonsaengnim yang sedang berdiri di depan ruang guru. Setahuku ia guru matematika kelas dua belas, dan sebagai murid kelas sepuluh tentu saja kami belum pernah di ajar olehnya.

“Selamat pagi, seonsaengnim..” sapa Min Rin sambil membungkuk pada Soo Man seonsaengnim, begitu pula denganku.

“Pagi, pagi..” sahutnya ramah, meski dari desas-desus yang aku dengar, ia sangat galak bila di kelas.

“Seonsaengnim, choneun Choi Min Rin imnida, adik dari Choi Min Ho, kakak saya menitipkan salamnya untuk anda, seonsaengnim..”

“Ahh, Choi Min Ho? Di mana dia sekarang? Pasti lebih pintar ya..” ujar Soo Man seonsaengnim sambil tertawa senang mengingat salah satu murid kesayangannya tersebut.

“Di University of Seoul, seonsaengnim..”

“Ahh, sudah ku kira dia pasti akan dengan mudah mendapatkan apa yang dia mau...”

Tiba-tiba aku seperti merasa terasing oleh dua orang di dekatku ini. Mereka mulai sibuk membicarakan tentang prestasi-prestasi Min Ho Oppa yang memang seorang juara olimpiade matematika di sekolahku. Dan aku mulai menyesal mengikuti Min Rin tadi, Jin Ki Oppa juga alumni sekolah ini, tapi sepertinya tidak akan ada satu orang pun yang ingat tentang prestasinya, karena toh dia memang tidak berprestasi apa-apa.

“...kakaknya teman saya ini juga alumni di sini, seonsaengnim”

Sial. Kini Min Rin pun –entah sengaja atau tidak- mulai membahas ‘topik’ yang sangat kuhindari. Aku hanya bisa melemparkan cengiranku, yang pasti terlihat aneh ke arah Min Rin. Untuk apa juga dia  harus bilang begitu? Haiiisssh, jinjja!!

“Oh benarkah? Siapa nama kakak mu?” tanya Soo Man seonsaengnim yang kini beralih menatapku.

“L-Lee.. Jin Ki, seonsaengnim..”

“Lee Jin Ki? Oh iya-iya saya ingat, Jin Ki yang dulu nakal sekali itu, kan? Yang dulu hampir saja di keluarkan karena terlibat tawuran?”

Nah kan? Tuhan, apa pula guru di hadapanku ini tidak sama sekali menyaring ucapannya. Rasanya di depan Min Rin tadi ia berkata dengan nada yang manis dan amat terkesan. Kenapa ia terlihat begitu meremehkan ketika di hadapanku dan berbicara tentang Jin Ki Oppa?

Ini semua gara-gara Jin Ki Oppa. Selalu karenanya.

“Ne..” sahutku berusaha biasa saja. Kemudian, aku menoleh pada Min Rin lagi. “Min Rin-ah, ayo kita ke kelas, aku belum membuat catatan tentang pelajaran yang kemarin..” sambungku lagi, merasa tidak sanggup jika harus ada di sini terus.

“Eh, catatan ?”

“Iya..catatan..” ulangku sambil mencubit tangan Min Rin, memberinya kode, bahwa sebenarnya aku hanya tidak ingin berlama-lama di sini.

“Ohh.. Ayo..ayo.. seonsaengnim, kami permisi dulu..” tanpa berkata-kata dan hanya tersenyum, aku langsung menarik Min Rin menjauh dari hadapan Soo Man seonsaengnim.

“Ehm..Yoon Hee-ya, tunggu sebentar,” Min Rin menahan tanganku dan menghentikan langkahnya. “Maaf ya..”

“Untuk ?”

“Itu tadi, pasti kau sangat tidak nyaman dengan obrolan tadi. Aku minta maaf karena telah salah bicara..”

“Lupakan saja, Min Rin-ah, memang taka da yang bisa dibanggakan dari Jin Ki Oppa seperti apa yang dimiliki Min Ho Oppa, lagipula ini bukan yang pertama kalinya..” ujarku sambil mengibaskan tangan seolah tak peduli.

Bukan pertama kali. Ya, bisa di bilang ini bukan pertama kalinya, aku mendengar catatan buruk tentang Jin Ki Oppa di sekolah ini. Hampir semua guru yang pernah mengajarnya dan kemudian mengajarku, pasti akan membuka kartu-kartu aib miliknya, entah ia yang dulu sering bolos, tidak ada di jam pelajaran, ulangan yang selalu remidial, dan sebagainya.

Belum lagi, kakak kelas yeoja yang mendatangiku untuk menanyakan keberadaannya, mereka adalah korban-korban dari permainan cinta Jin Ki Oppa, yang memang terkenal sebagai seorang playboy.

Dan selalu saja aku yang ikut terkena getahnya. Tidak berbuat namun ikut terseret. Wajar kan jika aku tidak ingin mengenalnya?

***

Jika biasanya, bel pulang sekolah itu  terasa menyenangkan, maka kali ini aku merasakan sebaliknya. Karena setengah jam ke depan, aku harus terkungkung di mobil yang sama lagi dengan Jin Ki Oppa.

Belum lagi, hari ini secara aklamasi aku di tunjuk untuk menyanyi di depan pengurus yayasan sekolah besok pagi. Aku yang memang anggota dari kelompok paduan suara di sekolahku, menyukai bidang tarik suara, tapi untuk menyanyi di depan umum secara DADAKAN tanpa latihan sebelumnya dan SEORANG DIRI, aku benar-benar mual jika memikirkan bagaimana penampilanku besok.

Rasanya besok aku ingin mengurung diri saja di kamar, dan pura-pura amnesia dengan kewajiban ini, meski rasanya itu tidak mungkin, karena wali kelasku langsung menelpon eomma tadi untuk mengabarkan ini. Dan eomma yang memang sejak kecil suka tampil, tentu saja langsung penuh semangat menyambut ini.

“Nah itu adikku..”

Aku langsung mengangkat kepala yang sejak tadi aku tundukkan, suara yang begitu aku kenali, dan benar saja, Jin Ki Oppa sedang bersandar di lobi sekolah, dikelilingi oleh beberapa anak yang kebanyakan perempuan.

“Oppa..” panggilku lirih. Mengutuki kebodohannya.

“Oh jadi dia adiknya..”

“Kenapa rasanya sedikit tidak mirip ya..”

“Haha.. bagaimana ya rasanya punya kakak seperti Jin Ki Oppa..”

Sesuatu yang dari dulu, sejak aku harus menerima nasib bahwa eomma mendaftarkanku di sekolah yang sama dengan Jin Ki Oppa, yang aku takuti akhirnya hari ini terjadi. Aku berani bertaruh besok pagi, SELURUH penjuru sekolah pasti tahu, bahwa aku adalah adik Lee Jin Ki si biang onar.

Padahal aku paling benci di banding-bandingkan, meski ya aku tahu, aku jauh lebih unggul bila di bandingkan dalam soal pendidikan olehnya.

Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibirku. Aku hanya menariknya keluar dari kerumunan itu, mengajaknya ke parkiran mobil, dan hanya diam selama dalam perjalanan hingga sampai di rumah.

Dan tahukah kau ? Ia sama sekali tidak mengucapkan kata maaf, tidak.

“Ada apa? Kenapa cemberut terus?” tanya eomma akhirnya, ketika kami bertiga berkumpul di meja makan.

“Tidak apa-apa.” jawabku singkat.

“Benarkah ?”

“Iya, eomma.”

“Bohong eomma..” celetuk Jin Ki Oppa, yang menurutku sama artinya dengan mengibarkan bendera perang.

“Kenapa Yoon Hee-ya? Bilang pada eomma, atau ini karena acaramu menyanyi besok?”

“Bukan eomma, aku tidak apa-apa,” kilahku lagi.

“Besok Yoon Hee mau menyanyi ? Wah, besok aku harus datang..”

“ANDWAE!!” tanpa sadar aku berteriak kencang. Membuat eomma dan Jin Ki Oppa langsung menoleh ke arahku.

“Kenapa sayang? Jin Ki kan kakakmu..”

“Justru karena itu, aku tidak mau Jin Ki Oppa ikut besok, tidak mau!” aku berdiri, membiarkan nasiku yang masih tersisa separuh di piring. Aku sudah muak.

“Yoon Hee-ya! Ada apa denganmu?! Tidak sopan bicara seperti itu pada kakamu sendiri, mengerti?!” sentak eomma.

“Eomma..” ujarku sakit hati karena eomma lebih membela ‘dia’ daripada aku, apalagi di hadapannya seperti ini. “tidak ada yang bisa Yoon Hee banggakan dari Jin Ki Oppa! Tidak seperti teman-temanku yang lain!! Kakak laki-laki mereka, semuanya berprestasi, tidak seperti Jin Ki Oppa!!!” raungku lagi, kali ini, air mata telah terbayang-bayang ingin menyeruak turun.

“LEE YOON HEE !!” eomma menatapku tajam, belum pernah sebelumnya begini, membuat nyaliku menciut karena telah melawannya, namun kepalang basah, aku tetap pada pendirianku, berdiri di atas apa yang aku yakini.

“Eomma bela saja terus Jin Ki Oppa ! Semua memang lebih sayang pada Oppa daripada aku! Padahal dari dulu hanya Yoon Hee yang selalu masuk tiga besar, Yoon Hee tidak pernah membuat malu eomma dengan berkali-kali di panggil ke ruang guru, Yoon Hee juga tidak pernah menyusahkan eomma.. tapi kenapa semuanya lebih sayang pada Jin Ki Oppa?!!” jeritku tak terkendali. “Aku, eomma… aku yang selalu berusaha membanggakan eomma, aku… Lee YOON HEE, anak eomma juga kan?” mulai terisak.

Segala hal yang aku rasakan selama ini akhirnya terbuncah keluar, di iringi oleh isakan tangisku, aku meluapkan semuanya. Tentang rasa iriku, tentang ketidak sukaanku pada Jin Ki Oppa. Semuanya.

“Yoon Hee benci Jin Ki Oppa!!” sekilas aku menatap tajam namja yang hanya duduk diam sambil menunduk itu. Aku sedikit terkejut ketika melihat setetes air jatuh ke piringnya. Namun aku tak mau peduli apakah ia benar-benar sedang meneteskan air mata, karena aku tidak bisa melihat wajahnya. Dengan tangis yang berurai, aku naik ke lantai dua, menuju kamarku. Sama sekali tidak menghiraukan teriakan eomma yang memanggil namaku berkali-kali.

Aku terus menangis, meski wajahku telah ku dekapkan ke dalam bantal. Dan benar saja kan, menangis hanya bisa membuat dadaku sesak, aku tidak suka begini.
Jin Ki Oppa, memang hanya ia yang membuatku cengeng seperti ini, sekarangpun ia membuatku bertengkar dengan eomma. Ia benar-benar menyebalkan.

Aku tidak ingin ia ada disini..

***

Mata panda. Itu yang terjadi padaku hari ini. Lingkaran hitam menghiasi daerah sekitar bawah mataku dengan sempurna. Membuat wajahku jadi terlihat aneh. Padahal tinggal satu jam lagi aku harus tampil, menghibur semua tamu yang telah hadir.

Tapi yang paling sial, aku sama sekali belum berlatih. Sejak kejadian pulang sekolah kemarin, aku hanya menangis dan mengurung diri di kamar. Aku bahkan tidak tahu, lagu apa yang harus aku nyanyikan nanti. Benar-benar mimpi buruk.

Aku mencoba menenangkan hatiku, sambil menghapal lirik lagu aku print tadi pagi, aku mencoba mensugesti diriku untuk lebih positif. Ku panjatkan doa agar semua bisa baik-baik saja, meski melihat persiapanku tentu saja semua jadi terasa berat. Sepertinya perlu ada campur tangan Tuhan yang besar untuk membuatku sukses nanti.

“Yoon Hee-ssi, siap-siap ya, setelah ini giliranmu..”  perutku seperti melilit dan ditikam jatuh ke bawah mendengar rentetan kata itu. Aku belum siap dan tidak akan siap sepertinya.

Setelah berdoa beberapa kali, memohon kepada Tuhan, aku melangkah ke atas panggung. Lagi-lagi rasa gugup setengah mati menggentayangiku ketika ku saksikan puluhan orang yayasan dan para orang tu` murid yang datang. Semua baris lirik yang ku hapal tadi menghilang entah kemana. Kepalaku terasa kosong, nyaris tak berisi.

Denting piano mulai di mainkan, dan suaraku tidak keluar sama sekali. Lagipula aku sendiri kan juga tidak mengerti harus menyanyikan lagu apa. Aku benar-benar tak ada akal, dan hanya ingin turun dari panggung ini lalu menangis.

Kasak-kusuk mulai terdengar, ketika intro telah lewat dan tak ada satupun alunan lagu yang ku nyanyikan. Guruku yang berdiri di bawah panggung, menggerak-gerakkan tangannya berusaha memberi tahuku sesuatu, namun sia-sia, aku seperti tak dapat mencerna apapun saat ini.

Namun, tiba-tiba saja, suara musik itu berhenti, digantikan dengan alunan piano, bukan hanya itu, aku juga sangat mengenal nadanya, dan lagu apa yang dimainkan.

Aku takkan pernah berhenti
Akan terus memahami
Masih terus berfikir
Bila harus memaksa, atau berdarah untukmu,

Apapun itu, asal kau mau menerimaku..

Di ujung panggung, terlihat Jin Ki Oppa sedang duduk di depan gran piano hitam itu, ia tersenyum ke arahku yang masih kaget dengan kehadirannya, yang harus aku akui sangat membantuku dan tentu saja menyelamatkanku. Ia terus saja memainkan piano, dan melirikku menyuruhku untuk melanjutkan lagu yang telah ia mulai.

Lagu faforit eomma –yang memang berkebangsaan Indonesia-. Lagu yang diubah Jin Ki Oppa menjadi bahasa Korea ketika kami masih sd dulu, karena Jin Ki Oppa tidak terlalu bisa menggunakan bahasa negara asal eomma lahir itu.

Dan kamu hanya perlu terima
Dan tak harus memahami
Dan tak harus berfikir
Hanya perlu mengerti, aku bernafas untukmu
Jadi tetaplah di sini..
Dan mulai menerimaku..

Aku dan Jin Ki Oppa saling menatap selama beberapa saat ketika menyanyikan bagian reff bersama. Dan entah kenapa dalam sorot mata itu aku menemukan sebuah pesan tentang lagu ini, bahwa Jin Ki Oppa… ingin ku anggap ada. Bahwa dia selalu ada untukku.

Cobalah mengerti…
Semua ini mencari arti
Selamanya takkan berhenti
Inginkan..
Rasakan..
Rindu ini menjadi satu
Biar waktu yang memisahkan

Jin Ki Oppa mendekat ke arahku ketika aku berhasil menyelesaikan lagu ini, ia menggenggam tanganku, dan mengajakku memberi hormat kepada para tamu undangan. Dan untuk pertama kalinya, aku tidak menampik tangannya, meski tangan itu menyentuh tubuhku, karena tanpa ia sadari, untuk pertama kalinya pula, aku melihatnya berbeda, tidak seperti kakakku yang biasanya.

“Gomawo..” bisikku.

Ia menatapku, dan kemudian tersenyum sambil mengangguk.

Untuk beberapa saat, aku tertegun, tatapan itu, senyum itu, apakah selama ini, hal-hal itulah yang terlalu sibuk aku tampik hingga aku tidak peduli akan segala perubahan yang terjadi padanya. Ia sudah terlihat dewasa saat ini, wajahnya tidak lagi sebengal dulu, dan aku baru menyadarinya.

Apakah selama ini, tindakanku sangat keterlaluan padanya? Oppa…

***


***

Setelah peristiwa 'duet bersama' itu, meski tetap antipati, namun sikapku jauh melunak pada Jin Ki Oppa. Setidaknya, aku berusaha untuk tersenyum atau tidak lagi menatapnya sinis, satu hal yang dulu tidak pernah aku lakukan terhadapnya. Seminggu setelah itu, ia kembali ke Busan, kota tempatnya menjadi mahasiswa.

Dan aku juga kembali menjalankan aktivitasku seperti biasa, tidak ada yang spesial. Aku kembali berkutat dengan buku-bukuku, satu hal yang aku tahu, akan jauh membedakanku dengan Jin Ki Oppa adalah prestasi kami di sekolah. Setidaknya itulah yang aku tahu dari guru-guru. Dan satu lagi, untuk membuktikan ke-eksistensianku, aku memutuskan untuk ikut dalam pelatihan calon pengurus kegiatan sekolah. Aku tidak ingin di samakan dengan Jin Ki Oppa yang ‘nol’ prestasi.

Sudah sejak satu jam yang lalu aku membuat segala hal yang di perlukan untuk kegiatan pelatihanku nanti, segala hal yang berhubungan dengan sesuatu yang ‘aneh’ . Seperti nametag yang harus berbentuk binatang, topi-topian kertas, kacamata kertas, tas dari kardus, kalung dan gelang dari sedotan, segala hal yang membuatku jengkel sejak tadi. Satu-satunya hiburan yang menemaniku hanyalah timeline twitter yang terpampang di layar laptopku.

“Sedang apa ?”

Aku menoleh, dan bingung mendapati Jin Ki Oppa ada di rumah. Baru dua bulan yang lalu ia libur semesteran, untuk apa ia ada disini sekarang.

“Pelatihan pengurus kegiatan sekolah. Oppa kenapa ada di sini?” jawab dan tanyaku bersamaan. Lihatkan, setidaknya aku tidak seperti dulu.

“Ada yang harus ku urus, mau kubantu ?” tawarnya, sambil duduk di sebelahku, sama sekali tidak melepas jaket atau sekedar mengganti dulu bajunya. Padahal pasti ia lelahkan, setelah menyetir dari Busan kemari.

“Tidak usah..”

Dan entahlah apakah otaknya sudah terbalik, sehingga baginya penolakan adalah persetujuan, yang jelas saat ini ia mulai membantuku untuk menggunting-gunting kertas. Dalam diam kami bekerja sama, untuk pertama kalinya.

“Yoon Hee-ya, apa kau menyukai Kyuhyun?” tanyanya tiba-tiba. Tanpa menoleh ke arahku, masih asyik dengan kertas warna dan gunting di tangannya.

“Tidak.”

“Kalau iya bilang saja iya, karena Kyuhyun juga menyukaimu sepertinya,”

Aku memutar kepalaku, menatapnya dengan tatapan penasaran yang amat sangat, dan rasanya ingin mengguncang-guncang tubuhnya untuk menceritakan segala hal yang ia tahu. Karena, bukankah sudah ku bilang, keberadaan Kyuhyun Oppa selalu membuatku merasa lebih nyaman.

“Aku tidak bohong, tunggu saja sampai kenaikan kelas, atau tidak lama lagi, pasti dia menyatakannya padamu.” sambungnya lagi, seolah bisa menangkap sirat-sirat penuh pertanyaan tak tersampaikan di mataku.

Dalam sekejap, aku jadi merasa bahagia. Entahlah tapi, aku memang selalu mengagumi sosok Kyuhyun Oppa yang bagai dua mata sisi uang dengan Jin Ki Oppa.

“Err.. aku ambilkan minum Oppa..” tawarku, lagi-lagi untuk yang pertama kalinya. Dan tanpa jawaban dari Jin Ki Oppa, aku langsung saja pergi ke dapur untuk mengambilkannya segelas minuman.

Dan saat kembali, tubuhku terpaku, ketika melihat apa yang terjadi di hadapanku. Entah bagaimana bisa, Jin Ki Oppa sepertinya dengan sukses menumpahkan cat air di hasil karyaku yang telah ku kerjakan sejak tadi. Di dorong emosi, dan mungkin juga karena rasa letihku, tanpa sekalipun berniat untuk mendengar penjelasannya, yang menatapku dengan perasaan bersalah, namun sama sekali tak menyentuh hatiku, aku langsung saja menyiramkan segelas air yang ada di tanganku, tepat ke kepalanya.

“Aku benci padamu oppa!! Aku BENCI!! Kau selalu merusak semuanya!! Aku ingin kau tidak ada di sini!! Tidak ada di dekatku!!” Segala rasa kesal, lelah, emosi, bingung dan sebagainya bercampur, membuat perasaanku tidak terkendali.

Jin Ki Oppa hanya menatapku lirih. Sepertinya ia sama sekali tidak menyangka atas reaksiku ini. Tapi aku tidak peduli dengan semuanya, aku benci padanya. Dan perlu BERAPA KALI lagi, aku katakan itu untuk menunjukkan rasa benci ini?!

“Yoon Hee-ya, ada ap— Eh, Jin Ki-ya kenapa kau--” eomma dan appa yang sejak tadi diam di kamar, tidak mengerti apa yang terjadi dengan kami. Bisa kau bayangkan mungkin, Jin Ki Oppa dengan tubuh basah kuyup, lantai ruang keluarga yang berserakan dengan berbagai kertas dan alat-alat lainnya, serta aku yang menangis sendiri.

Tidak mau berlama-lama seruangan dengan pengacau ini, aku segera berlari menuju kamarku, aku benar-benar menyesal mengijinkannya ikut campur. Harusnya aku bisa mengira dari awal, ia akan mengacaukan segalanya.

***

Ternyata jauh di luar dugaanku, Jin Ki Oppa adalah sosok yang sangat bertanggung jawab. Keesokan paginya, tepat di depan kamarku, aku menemukan sekardus hasil karyanya yang sama persis dengan apa yang telah aku buat, bahkan jauh lebih bagus dan lebih rapi. Baru aku tahu, ternyata ia berbakat juga di bidang prakarya.

Saat aku akan berangkat pagi itu, ia belum bangun, entahlah sampai jam berapa ia begadang menyelesaikan semua ini. Karena diburu waktu, aku tidak sempat mengucapkan terimakasih padanya hari itu.

Aku mengikuti pelatihan di bumi perkemahan dengan lancar, segala hal yang sunbae perintahkan kucoba kerjakan dengan baik, meski bentakan-bentakan mereka tercipta memang untuk menciutkan nyali kami semua.

Dan hari ini, setelah dua hari satu malam aku di sana, akhirnya datang juga hari kebebasan itu. Aku sudah rindu rumah, rindu kamarku dan kasurnya yang empuk. Dan tentu saja, aku masih berhutang kata terima kasih pada Jin Ki Oppa.
Segala peralatan elektronik yang disita, seperti handphone dan ipod sudah di kembalikan, aku sendiri langsung mengabarkan eomma agar dijemput nanti setelah upacara penutupan.

***

AUTHOR POV

Ditatapnya kotak putih berisi strawberry chessecake yang sangat menggugah selera itu, dibawanya hati-hati kotak itu, dan ia letakkan di jok mobilnya, berharap tidak akan ada yang terjadi pada cake itu, hingga nanti diterima oleh pemiliknya.

Kue kesukaan adiknya, adik semata wayangnya, dan ia sangat berharap cake ini dapat membuat adiknya tersenyum senang saat menemukannya di rumah nanti. Dapat ia bayangkan, bagaimana wajah cantik itu berseri-seri ketika melihat cake ini seperti biasa. Kebahagiaan tersendiri dalam hatinya, tanpa seorang pun tahu.

Pelan-pelan, ia mulai memacu mobilnya, kecepatannya benar-benar rendah, ia hanya tidak ingin terjadi guncangan dan kemudian cake itu akan hancur, tidak boleh terjadi. Bahkan dalam hati ia berujar, matipun ia rela asalkan cake itu tetap utuh.

Berkali-kali mobil di belakangnya menghujaninya dengan rentetan klakson, namun ia tidak peduli ada yang jauh lebih penting. Sebentar-sebentar ia mengalihkan pandangannya pada cake itu, memastikan bahwa letaknya tidak bergeser sedikitpun.

Semua tampak aman, hingga di perempatan jalan yang besar, ketika lampu hijau jalurnya masih menyala terang, dan mobilnya berbelok ke kanan, sebuah truk dengan kecepatan besar mencoba menyalipnya dari sisi kiri. Bahu jalan yang sempit, menimbulkan gesekan keras pada body kedua mobil, mobilnya terus berputar dan oleng tanpa kendali, dan akhirnya berhenti setelah menabrak tiang-tiang lampu, menyilang di jalur subway dengan bagian depan terangkat ke taman-taman jalan.

“Ergh..” Dadanya terasa sesak, ke-alpaannya memakai sabuk pengaman membuat ia terlempar ke belakang, lalu terbentur ke stir mobilnya sendiri. Kepalanya juga berdenyut sakit seperti dipukuli dengan palu berkali-kali. Dengung-dengung suara serta seperti ada yang mengalir dari hidungnya, membuat dirinya sama sekali tidak bisa membuka mata, dan perlahan semua tampak memudar. Tapi ia tahu satu hal, tangan kirinya bisa merasa, kotak itu masih di tempatnya, tetap di tempatnya.

***

YOON HEE POV

Aku tahu ada yang tidak beres. Dimulai dengan kedatangan Kyuhyun Oppa untuk menjemputku disini, dan bukannya eomma atau appa, serta wajah Kyuhyun Oppa yang terlihat panik. Aku tahu pasti. Sesuatu telah terjadi, dan tampaknya itu bukan hal baik.

Kecurigaanku semakin terbukti, ketika Kyuhyun Oppa membelokkan mobilnya ke dalam parkiran sebuah rumah sakit. Belum apa-apa saja bulu kudukku sudah merinding tidak karuan. Aku mencoba tenang tapi tidak bisa. Ingin bertanya, tapi aku merasa takut mendengar jawaban yang akan Kyuhyun Oppa berikan nantinya. Seolah aku bisa menebak jawaban itu akan membuatku.. kehilangan.

Kyuhyun Oppa menggandeng tanganku, dan mengajakku berlari menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Dari tangannya yang dingin aku bisa merasa bahwa ada ketegangan atau apapun namanya, yang berhubungan dengan orang terdekat kami. Dan tentu saja, aku tidak sebodoh itu. Sejak tadi, aku telah menduga meski di waktu yang sama aku juga menampiknya, ini berhubungan dengan Jin Ki Oppa.

Aku langsung ingin menangis, ketika aku melihat eomma menangis di pelukan appa. Dugaanku pasti benar, pasti ada apa-apa dengan Jin Ki Oppa. Aku mengeratkan tanganku genggaman Kyuhyun Oppa, aku ingin tahu, tapi sekali lagi, aku tidak mampu mendengar satu jawaban pun tentang keadaan ini. dan aku juga tahu, semua ini pasti ada hubungannya dengan kabar buruk.

“Keluarga Lee Jin Ki-ssi..” seorang dokter, keluar dari ruangan yang atasnya baru kusadari bertuliskan ICU. Kami semua langsung mendekat, termasuk aku, meski pada kenyataannya akulah yang belum tahu ada apa dengan semua ini.

“Sebaiknya kalian ke dalam, manfaatkan waktu sebaik-baiknya..” ujar dokter itu pelan, lantas menepuk-nepuk pundak appa. Aku memperhatikan ketika dokter itu berlalu, apa maksudnya dengan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya?
Apa yang terjadi pada kakakku ?!!

Dan meski menjadi satu-satunya yang tidak tahu apa-apa, aku melepaskan genggaman Kyuhyun Oppa dan langsung berlari memasuki ruangan itu. Baru di ambang pintu, langkahku terhenti. Air mata tak lagi dapat kubendung, semua tumpah, dan aku juga sama sekali tidak ingin menahannya.

Dengan perlahan aku mendekat, mendekat ke arah Jin Ki Oppa yang tampak begitu lemah, di balik perban yang membalut kepala, lengan, dada. Matanya terbuka, ia sadar, dan aku menatapnya, dengan tatapanku yang paling ramah yang aku miliki, bukan tatapan permusuhan yang selama ini aku tunjukkan, melainkan tatapan seorang adik kepada kakaknya.

“Oppa..” panggilku pelan, namun segera kututup mulutku dengan tangan begitu isakan tak terkendali keluar, di antara entah sudah berapa ratus rinai air mata yang jatuh sejak aku masuk kemari.

Ia tersenyum, dan aku akui sekarang, ia tampak begitu tampan dan mengesankan. Hah, kemana saja aku selama ini, hingga tidak menyadari bahwa aku mempunyai kakak laki-laki yang tampan.

“Jangan menangis..” lafalnya, suaranya tidak keluar, tapi aku mengerti apa yang di maksud. Aku menggeleng.

“Maafkan aku Opaa, aku juga ingin mengucapkan terima kasih.. aku.. aku sayang padamu Oppa.. aku sayang padamu.. aku.. tidak membencimu.. Oppa percaya, kan?” ujarku tersengal-sengal, seolah ada yang memberi tahuku, bahwa aku harus mengatakannya dengan cepat, selama ia masih bisa mendengar segalanya.

“Oppa.. sayang.. Yoon Hee..”

Dan tangisku kembali pecah. Isakan keras yang sedari tadi kutahan ini meluncur tanpa kendali dari bibirku. Kenapa harus seperti ini ? kenapa harus ada kejadian seperti ini dulu baru aku bisa mengaku tentang semuanya? Kemana aku selama ini? Kenapa aku harus membiarkan Jin Ki Oppa menunggu selama ini? Kenapa?!

Ada tangan yang menarikku untuk mundur, dan aku tahu itu tangan Kyuhyun Oppa, kubiarkan eomma dan appa yang kali ini gantian mendekat ke arah Jin Ki Oppa.

Semua terasa hening, semua terasa lama dan panjang. Seperti ada yang ‘tak tampak’ yang berdiri dengan gagahnya di ruang ini, yang siap untuk menarik ia yang kusayang. Dan membuatku mengerti, tidak ada kekuatan yang mampu menahannya. Seperti apa yang telah digariskan, darimana sebuah hal berasal, maka kesanalah ia akan kembali. Ke tempat yang akan kau jamah suatu saat nanti, yang kau sendiri tidak mengerti kapan kau datangi.

Aku bergetar dalam pelukan Kyuhyun Oppa. Aku bisa melihat bagaimana eomma menciumi Jin Ki Oppa begitu juga dengan appa. Sekali ini, aku tidak merasa iri dengannya. Aku benci keheningan ini, seperti ada lagu dengan nada minor yang terlalu menyayat hati dan menggiring paksa air mata ini terus mengalir.

Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiit.

Aku tidak tahu itu alat apa, yang aku tahu, ketika suaranya berbunyi seperti itu, dan ketika garis zigzagnya berubah menjadi  garis lurus mendatar, itu artinya… artinya, mulai besok, atau detik ini, aku tidak akan lagi menemukan Jin Ki Oppa disini.

Di dunia yang sama denganku.

***

Semua tiba-tiba saja berjalan lambat, bagai alunan musik klasik yang seolah tak berujung, semua tiba-tiba saja tak lagi bersuara, dunia ini seperti kosong, atau hati ini yang kosong?

Aku meringkuk di tempatku. Semua tampak sibuk berlalu lalang. Aku masih bisa mengetahui ini sudah hampir tengah malam. Tapi selain itu, aku tidak ingin menerima kenyataan lainnya. Aku tidak ingin menerimanya. Tidak ingin melepaskannya.

Dia pergi dan aku kehilangan. Tidak, tidak sesederhana itu. Dia pergi dan aku menyesal, sangat-amat-menyesal, tiba-tiba saja, jika selama ini berulang kali aku selalu memintanya untuk tidak ada disini, maka kali ini, meski baru sekali, tapi dengan sungguh-sungguh, aku benar-benar berharap, ia ada disini, di sisiku, disini, di tempat yang ‘sama’ denganku.

Aku membenci diriku sendiri saat ini. Membenci tentang segala permintaan laknat yang pernah ku ucapkan berkali-kali. Membenci mengapa Tuhan menjamahnya, membenci kenapa aku baru bisa membenci perkataanku saat ini. Bukan kemarin, bukan beberapa hari yang lalu, mengapa harus saat ini. Di saat sebuah selubung tipis, telah memisahkan kami, di saat jari-jemari kecilku tak dapat lagi menyentuhnya meski aku sangat ingin menyentuhnya, di saat berjuta kalimat sayang siap aku sampaikan padanya dan ia takkan membalasnya.

Aku memperhatikan sekelilingku, meski rasanya mata ini tidak lagi fokus, karena air mata yang tak dapat kuhentikan, dan memang tak mau kuhentikan. Seluruh saudara-saudaraku telah datang, semua kerabat menenangkan eomma yang masih sama shocknya sepertiku, sementara appa berusaha tegar mengurus segala hal yang harus diurus, teman-teman Jin Ki Oppa juga datang, dan aku baru tahu ia ternyata memiliki banyak teman, bahkan dari desas-desus yang kudengar teman-teman kampusnya di Busan juga ada disini.

Tapi tidak ada satupun yang duduk di sebelahku. Aku hanya sendiri, dan terasing. Apa mereka pikir aku tidak sedih? Aku tidak meratapi kepergiaannya? Apa ini ganjaran atas segala sikapku selama ini yang tidak pernah benar-benar menganggapnya ada?

Aku jadi ingat. Tiga tahun yang lalu, ketika nenek meninggal, semua orang juga sibuk seperti ini. Semua orang juga tidak ada yang mempedulikanku. Tapi tidak dengan Jin Ki Oppa, ia memilih duduk di sebelahku, meski aku selalu menampik tangannya ketika ia hanya ingin sekedar menyeka air mataku. Dan kini, Jin Ki Oppa-lah yang pergi, tak ada lagi yang mau susah-susah duduk di sebelahku. Tak ada.

“Hee-ya..”

Aku menoleh, terlihat Kyuhyun Oppa tersenyum tipis ke arahku, ia juga tampak letih dan tentunya sama kehilangannya sepertiku. Di banding dengan aku yang adiknya, aku yakin, Kyuhyun Oppa jauh lebih tahu segala hal tentang Jin Ki Oppa.

“Hmm..” jawabku lirih, berusaha tersenyum, berusaha menyamarkan segala tangis, meski tampaknya sia-sia.

“Ini..” ia duduk di sebelahku, dan meletakkan sebuah kotak kue di pangkuanku, aku sangat mengenalnya, itu cake kesukaanku. Kotak itu tampak rusak di beberapa bagian sudutnya, dan aku tidak bisa meraba apa artinya memberiku chessecake tengah malam di saat suasana perkabungan seperti ini.

“Bukalah..” suruhnya. Dan aku patuh, kubuka kotak itu pelan, dapat kutemukan cake di dalamnya, meski strawberrynya banyak yang berjatuhan, dan bagian pinggirnya hancur, namun cake itu masih sangat terlihat layak di makan.

“Ini apa oppa?”

“Itu dari Jin Ki untukmu..”

Aku mengernyit, jika ini sebuah lelucon maka sama sekali tidak ada bagian yang lucu. Aku memandang Kyuhyun Oppa bingung.

“Aku tidak bohong, itu dari Jin Ki. Sebelum kecelakaan Jin Ki sengaja membelinya untukmu, bahkan..” jeda sebentar, ia menghela nafasnya berkali-kali. “Bahkan..waktu warga berusaha ngeluarin dia dari mobilnya, katanya tangan kiri dia masih tetap dalam posisi di atas kotak kue ini, menjaga kotak kue ini..”

“Cukup oppa..” pintaku, nyaris tanpa ekspresi. Dengan tangan, aku mengambil sebagian kecil cake itu, memakannya, dan terus memakannya, karena tanpa siapapun mengerti, rasa sesak diikuti berkarung-karung rasa bersalah, menghimpitku tanpa ampun.

Aku memakannya, sambil menangis, terus memakan dan terus menangis. Dan kalian tahu? bukan rasa manis atau malah asin yang terasa di lidahku saat ini. Sama sekali bukan.

Ini strawberry chessecake terpahit yang pernah ku makan.

“Maaf.. Jin Ki Oppa.. maaf..“ desahku, mulai meracau tanpa kendali. Tangan Kyuhyun Oppa menarik kepalaku agar bersandar di dadanya. Dan tangisku kembali kencang. Meski aku tahu, bahkan jika aku menangis hingga air mataku habis, semua tetaplah telah terjadi, tidak bisa di ganggu gugat, tidak bisa ku tuntut untuk kembali. Maka biarkanlah aku terbenam dalam segala rasa ini. Rasa pahit ini.

***

Aku yang paling tidak dekat dengannya, namun aku yang menangis paling kencang ketika kepergiannya.

Pemakaman sudah usai sejak beberapa jam yang lalu. Sedang ada doa di rumahku saat ini, tapi aku sama sekali tidak berenergi untuk mengikutinya. Tentu saja doaku akan selalu terlantun untuknya, tapi biarlah doa itu menjadi suatu jembatan pribadi antara aku dan Jin Ki Oppa. Doa khusus untuk kakakku tersayang.

Pelan-pelan, untuk pertama kalinya, setelah entah berapa tahun ini, detik ini, aku berdiri di ambang pintu kamarnya. Aku duduk di atas kasurnya, ku ambil bantalnya dan kucium. Tidak lebih dari dua puluh empat jam yang lalu, tubuh itu masih terbaring aman disini. Aku memperhatikan kamarnya, tampak bersih, tampak rapi. Tidak begitu banyak barang, karena aku tahu, sebagian barangnya pasti ada di apartemennya di Busan.

Tenggorokanku tercekat, ketika sebuah benda kuning terasa menyilaukan mataku, seolah memanggilku untuk mendekat dan melihatnya. Dan aku tertawa lirih, ketika ku sadari itu adalah sebuah piala kontes menyanyi milik Jin Ki Oppa. Berapa lama aku melupakan itu, berapa lama aku melupakan bahwa kakakku adalah penyanyi yang hebat.

Semakin aku melihat benda-benda di kamar ini, rasanya aku semakin mengecil, aku semakin merasa sangsi, benarkah aku, adik dari seorang Lee Jin Ki? Karena begitu banyak hal yang baru kusadari tidak kuketahui tentangnya. Aku baru sadar, bahwa aku tidak tahu apa makanan kesukaannya, apa benda favouritenya, apa lagu kesukaannya, tim sepak bola mana yang menjadi jagoannya, dan bagaimana kehidupannya selama ini.

Pernahkah ia membenciku? Karena rasanya lebih pantas jika hal itu ia lakukan padaku ketimbang aku yang membencinya.

Aku beringsut dari tempatku sekarang, menuju sudut kamarnya, tempat keyboard kesayangannya ada. Aku terduduk lemas di kursi, tanganku menekan tuts-tuts itu tak beraturan. Lirih, aku mulai menyanyikan sedikit part lagu yang pernah Jin Ki Oppa nyanyikan dulu.
Dan kamu hanya perlu terima
Dan tak harus memahami
Dan tak harus berfikir
Hanya perlu mengerti, aku bernafas untukmu
Jadi tetaplah di sini..
Dan mulai menerimaku..
Aku jadi ingat ketika ia bak pahlawan menyelamatkanku dalam penampilan perdanaku di depan umum beberapa bulan lalu. Ia memang selalu ada dan aku selalu menolak kehadirannya.

***

Dua tahun kemudian.

Ini bukan hari yang istimewa, karena sesuatu yang istimewa selalu identik dengan kebahagiaan bukan? Tapi meski tidak istimewa, ini adalah hari yang akan selalu dan selalu aku ingat dalam hidupku, melebihi hari ulang tahunku sendiri, melebihi semuanya.

Ini hari perginya Jin Ki Oppa ke surga. Ya, dua tahun sudah ia menempati rumah barunya yang damai, damai karena pastinya tidak ada malaikat yang membenci dia seperti aku. Tapi bagiku, eomma, appa, dan Kyuhyun Oppa, ini adalah dua tahun yang sangat panjang. Hari-hari seperti tidak lagi terdiri dari dua puluh empat jam, namun lebih, semua benar-benar terasa berat. Kidung-kidung kesedihan masih nampak di setiap sudut rumah ini, meski perlahan kami semua mencoba mengisinya dengan tawa.

Setelah mempersiapkan semuanya, aku dan Kyuhyun Oppa lebih dulu berangkat ke makam, aku ingin lebih lama disana. Meski hampir setiap bulan aku tidak pernah absen untuk mengunjunginya.

Aku bersimpuh, dan mulai melantunkan doa, seperti biasa, titik-titik air mata mengalir, aku masih bisa belum berhenti menangis jika harus mengingat tentangnya. Agak buruk, namun apalah daya, aku memang belum bisa mencapai titik ketegaran itu.

Terlalu banyak penyesalan, itu yang aku rasakan, hingga detik ini. Seperti alasan kenapa eomma dan appa lebih memperhatikan Jin Ki Oppa ketimbang aku, karena ternyata Oppa tidak begitu bisa mengatur kehidupan selama di Busan, ia jarang makan dan seringkali tidak bisa tidur. Hal itu membuatnya mengalami radang lambung yang cukup serius, dan aku tidak tahu. Ulang sekali lagi, AKU TIDAK TAHU ia sakit.

Atau, dugaanku selama ini bahwa tidak ada hal baik yang dilakukannya selama SMA, ternyata semua itu salah, berita meninggalnya Jin Ki Oppa, membuatku tahu bahwa ternyata dulu ia sangat loyal terhadap para penjaga kantin, satpam sekolah, bahkan pesuruh sekolah, mereka menceritakan bagaimana baiknya dan sopannya kelakuan Oppa pada mereka.

Ya, penyesalan, kata yang susah terdefinisi, tapi aku rasa setiap manusia pernah mengalaminya, sekalipun manusia itu selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik dalam hidupnya.

“Oppa, sudah dua tahun ya..” ujarku sambil meraba nisannya. Diikuti Kyuhyun Oppa yang sedang menaburkan bunga di atas pusaranya. Ia merangkulku sekedar untuk menguatkan diriku.

“Aku yakin, Oppa pasti bahagia disana, aku percaya itu.. aku juga mulai bahagia disini, ada Kyuhyun Oppa yang selalu menemaniku..”

“Sayang kau tak ada disini saat aku menyatakan perasaan pada Yoon Hee, Jin Ki-ya.. tidak ada yang bisa kuajak berbagi saat aku gugup setengah mati menunggu jawaban dari adikmu ini... tapi aku yakin, kau selalu menjaga kami dari atas sana, selamanya..”

“Jin Ki Oppa..” aku mengeluarkan sebuah amlop dengan gambar malaikat kecil di bagian depannya. “Surat ini aku tinggal disini ya, supaya malaikat-malaikat kecil ini membawakannya padamu di surga.. Oppa baca ya, ini memang hanya hadiah kecil dariku.. tapi ini aku tulis dengan sepenuh hati, dan berharap Oppa percaya, kalau aku juga menyayangi Oppa.. selalu sayang pada Oppa..”

Aku menyandarkan amplop itu tepat di nisannya. Membiarkannya di situ, aku tahu, Jin Ki Oppa pasti akan mengerti, bukankah ia selalu mengerti tentang aku?

Kehilangannya membuat aku rapuh, padahal kehadirannya tidak pernah aku hiraukan. Itu sebabnya, saat ini, aku berjanji, aku akan menjaga semuanya, menyayangi semuanya, selama itu masih ada dalam jangkauanku.

Dan untuk kalian, berjanjilah juga sepertiku, aku berani bersumpah, kehilangan dan penyesalan adalah kombinasi kesakitan yang tak berujung, butuh waktu lama untuk mengobatinya. Sangat lama, percayalah.

***

Untuk kakak terhebat, Lee Jin Ki..

Secercah cahaya matahari lembut menyapa jendela kamar ku pagi ini.
Membuka kelopak mataku yang terpejam.
Ada yang berbeda pagi ini, ada satu suara yang tak ku dengar.
Tak ada satu pun tawa yang pecah.

Kemarin, ribuan malaikat turun bergandeng tangan, menembus langit demi langit bumi.
Tangan halus nya merangkulmu, menjemputmu.
Kepakan sayapnya semakin membawamu kedalam damai.
Tetapi aku tak bisa melihat damai itu,.
Aku hanya bisa mengusap wajah dinginmu, menggenggam tangan kaku mu.
Tangisku tak akan pernah lagi kau dengar.

Tuhan, jutaan nyawa yang kau pelihara, jutaan nyawa yang kau kasihi.
Tetapi mengapa harus ia yang Kau peluk.
Tuhan, kini aku sendiri.
Apakah ini jawaban doaku Tuhan ?
Mengapa kau jabah doa ku ini Tuhan....

Rasanya baru kemarin dirimu pergi.
tetapi aku sudah sangat merindukanmu.
Bisakah kau kembali ?
Air mata kami masih jatuh hingga hari ini
Sungguh berbeda dengan tangis yang biasanya.

Aku memang membencimu.
Tetapi tidak dengan hatiku.
Karena walau bagaimanapun, kau bagian dariku.
Kakak yang berdoa pada Tuhan agar aku lahir.
Kakak yang meminta pada eomma dan appa agar aku ada.
Kakak yang melindungiku saat aku rapuh.
Kakak yang mengajakku mengenal dunia.
Berjalan bersama dengan kaki kecil kita.
Berlari bersama dengan kaki kecil kita.
Dulu......
Kakak......
Aku menyayangimu.
Aku tidak membencimu.
Tapi percuma, kau takkan pernah membalas kata kataku lagi.
Aku merasa berdosa.
Aku aku minta maaf.
Kini aku baru mengerti..
Hanya waktu yang bisa mengartikan apa itu cinta, apapun cinta itu..

Tenanglah di sana.
Do'a baikku selalu bersamamu.
Berbuat baiklah di rumah Tuhan, Oppa..

Adik yang kausayang dan menyayangimu,
Lee Yoon Hee

*END*


Minggu, 12 Agustus 2012

"Shining Moment" -JINYOON COUPLE-







Warning : kisseu scene :P
Backsound : SHINee – Hana :3


~***~

Love is the most shining moment..




Achim haessali geudaewa gatayo
Jogeum yuchihagaetjyo
Geuraedo nan eerungae joeun geol
[The morning sunlight is like you
It might be a little childish, but I like it]


Hari ketiga di musim semi yang sangat indah, saat dimana musim semi menghijaukan dedaunan, Han Yoon Hee berjalan dengan langkah ringan menemui seseorang yang telah menantinya di sudut taman kota yang tak terlalu ramai. Seulas senyum mengembang di wajah cantiknya, terlihat sesosok namja tengah menantinya sembari duduk di salah satu kursi taman bercat coklat tua, menikmati kopi hitam dan sesekali menggosok-gosokkan tangannya.

Yoon Hee berlari kecil menghampiri orang itu dan memeluknya dari belakang. Sejenak ia memejamkan matanya mencium aroma white tea yang begitu ia kenal. Sekilas Yoon Hee juga mengusapkan pipinya pada rambut halus pemuda itu. Pemuda itu, kekasih yang amat ia cintai.

Nareul kkaeweojun geudae yeopae ramyeon
Deo baralgae eopgaetjyo
Eereokhae geudael bogo shipeun geol
[If I’m by your side when you wake me up
I have nothing more to wish for
I want to see you]



Yoon Hee melepas pelukannya dan mengecup pipi pemuda itu sekilas, lantas beranjak duduk di sebelanya. Tidak ada kata yang terucap, mereka hanya saling melemparkan pandangan satu sama lain. Menyalurkan kerinduan tanpa bahasa, hanya lewat udara yang saling terhela di antara keduanya. Pemuda itu mengusap lembut pipi Yoon Hee, menyingkirkan beberapa anak rambut dari wajah Yoon Hee hingga akhirnya mendaratkan sebuah kecupan lembut di dahi gadis itu, cukup lama.

Sarangi eodirago mot.hal geora saenggakhaji malayo
Nareul deo neutgi jeonae
Na deo keugi jeonae japajul su itjyo?
[Don’t think that we can’t love because we’re young
Before it’s too late
Before I grow older, can you hold onto me?]


“Kadang aku bingung harus bekerja apa, Jin Ki-ya..” Yoon Hee mengeluh dan menyandarkan kepalanya di pundak Jin Ki –pemuda yang mengecup keningnya tadi—.

“Kau pintar, kau juga bisa melakukan apa saja. Kenapa harus bingung?” tanya Jin Ki tak mengerti.

“Aku bingung, apakah aku harus mendaftar sebagai make-up artist-mu agar bisa membuatmu terlihat paling tampan setiap hari? Apakah aku harus menjadi penata rambut agar bisa menyentuh rambutmu setiap hari? Apakah aku harus bekerja di tempat perawatan wajah agar aku bisa menyentuh wajahmu setiap hari? Katakan padaku, aku harus bekerja sebagai apa agar bisa menyentuhmu setiap hari?” Jin Ki tertawa jecil saat mendengar ocehan lucu yang terlontar dari mulut Yoon Hee. Pemuda itu bergerak memeluk tubuh Yoon Hee dari samping.

“Kau ingin tahu harus bekerja menjadi apa, hm?” Yoon Hee mendongakkan kepalanya menatap mata sabit Jin Ki. “Tapi kurasa ini tidak bisa disebut sebagai pekerjaan.”

“Memangnya apa?”

“Jadilah istriku,” Sahut Jin Ki sambil tersenyum lembut. “maka kau akan bisa menyentuhku setiap hari. Dan aku juga bisa memelukmu setiap hari.”

“Tapi, kenapa tidak bisa disebut pekerjaan?”

“Karena itu takdir.” Jin Ki tertawa membuat Yoon Hee terkikik dan membenamkan wajahnya di dada Jin Ki. Tersenyum dalam dekapan pemuda itu.



Pelukanmu, adalah tempat ternyaman dalam tiap detik hidupku…


“Apa ini caramu melamarku?”

“Apa kau berpikir aku sedang melamarmu?” balas Jin Ki. Yoon Hee sontak menegakkan punggungnya, menatap Jin Ki dengan bibir mengerucut.

“Ya! Lupakan saja!” sentaknya dengan semburat merah di pipi putihnya. Yoon Hee memalingkan tubuhnya ke arah lain, membelakangi Jin Ki.

“Hey…” ditariknya lengan gadis itu, membuat mereka saling berhadapan lagi. “Aku hanya bercanda.”

Yoon Hee masih saja memalingkan wajahnya. Membuat Jin Ki gemas. Diraihnya dagu gadis itu dengan telunjuk dan ibu jarinya. Menyambar mata bulan gadis itu dengan tajam. “Ya~ kenapa kau gampang kesal seperti ini?”

Yoon Hee memutar wajahnya lagi menghadap Jin Ki. "Kau yang selalu menggodaku,"

"Hahaha, karena kau sangat lucu saat digoda."

“Hm.” Sahut Yoon Hee bergumam.

"Ah, baiklah, baiklah.. aigoo.. aku minta maaf.."

"Tidak semudah itu.."

"Lalu ?"

"Nyanyikan aku sebuah lagu." tuntut Yoon Hee.

"Mwo? Lagu apa?"

"Mana ku tahu. Bukankah SHINee punya banyak lagu, huh?"

"Haissh, arraseo!"

Jin Ki melirik Yoon Hee dan membatin dalam hati kenapa ia bisa mencintai yeoja dengan mulut pedas dan seperti bunglon ini. Sedetik manis, sedetik manja, dan detik berikutnya memarahinya. Ckckckck.

Jin Ki berdeham lalu menarik nafas, dan mulai melantunkan suaranya.

Saranghaeyo geudaemaneul jeo haneulmankeum
Jungmal geudaeneun naega saneun eeyu.in geolyo
Geudaereul aju mani geudael michidorok anajugo shipeo
Ajik mani ppareungeojyo geureongeojyo
[I love you only, as much as the sky
You truly are the reason I live
I really, really, I want to hug you like crazy
We’re still going too fast, right?]


Jin Ki menarik bahu Yoon Hee, menjatuhkan gadis itu dalam dekapannya lagi. sambil menggerakkan kepalanya, menikmati lantunan suara merdunya sendiri. Tanpa menyadari, Yoon Hee sudah mulai luluh kembali, dan tersenyum, ikut menikmati nyanyian pemuda itu.

Ya. Dia selalu luluh oleh seorang Lee Jin Ki.

Ajik geudae maeumi nae gyeotae
Ol su eopneun geol arayo geunde
Geudae hanaman naye hanarago boolleodo dwaenayo
[I know that your heart
Cannot come by my side yet
Can I just call you my one?]


Seperti terhipnotis, Yoon Hee pun kini ikut bersenandung bersama Jin Ki. Dalam pelukan hangat itu, Yoon Hee menengadahkan kepalanya,








dan terlihat betapa musim semi ini sangat hijau, berwarna, indah, dan sehangat pemuda-nya.








Oori gatchi one, two, three, oh ja shijakhaeyo
Geudae naye hanajyo naye jeonbuingeolyo
Geudaereul aju mani geudael michidorok saranghago shipeo
Eejeneun geuraedo dwaejyo geurungeojyo
Geudaereul aju mani geudael michidorok saranghago shipeo
Eejeneun geuraedo dwaejyo geurungeojyo
[Let’s all together one, two, three, let’s begin
You are my one, my everything
I really, really, I want to love you like crazy
I can do that now, right?
I really, really, I want to love you like crazy
I can do that now, right?]


Hmmm... Hmmmm~~~

PROOKK PROOKK PROOKK

Tanpa sadar, Yoon Hee langsung bertepuk tangan begitu Jin Ki selesai berimprovisasi. Suara namja itu begitu lembut. Membuat Yoon Hee semakin tak kuasa menolak pesonanya.

"Bagaimana?"

"Choa!! (bagus!!)" pekik Yoon Hee sambil tersenyum lebar.

"Apa aku sudah dimaafkan sekarang?"

"Hahaha, tentu.."

"Jadi sekarang, aku minta bayaran."

"Mwo ?"

"Ya! Nona Han, apa kau lupa? Aku tidak pernah mau menyanyi tanpa bayaran."

"He??" Yoon Hee mengerjapkan matanya saat melihat kilatan aneh di mata sabit itu.

Tangan kanan Jin Ki yang semula memegang dagu gadis itu kini juga beralih posisi. Yoon Hee merinding saat merasakan telapak tangan hangat mendarat pelan di tengkuknya. Menariknya ke depan, membuat ujung hidungnya dan Jin Ki bersentuhan.

Jin Ki tersenyum penuh kemenangan saat dilihatnya Yoon Hee kini mematung sambil menatapnya tanpa berkedip dengan muka yang merah padam.

“Saranghae…” bisiknya amat pelan, sebelum benar-benar menghilangkan jarak di antara mereka, menyapukan bibirnya pada bibir merah Yoon Hee, gadis-nya.

Angin musim semi berhembus lembut. Menggelitik dedaunan yang bergelayut manja pada ranting pohon. Di bawahnya, sepasang hati tengah larut dalam buai rasa.


Dan dia akan selamanya menjadi tempat singgahku yang paling nyaman…
Geudae naye hanajyo naye jeonbuingeolyo
[You are my one, my everything]




=========================================================


by : Yoon