Author :
Yoon
Cast :
·
Lee Jin Ki
·
Han Yoon Hee
·
Cho Kyu Hyun
·
Han Neora
·
Yg lain
muncul bergantian:p
Genre : apa aja boleeee[?]
Length :
Chaptered
Disclaimer : FF ini milik SAYA^^!!! Han Yoon Hee
MILIK Lee Jin Ki xD Lee Jin Ki milik…. banyak orang ._. #ngenes #abaikan
Happy reading^^
++++++
“Yoon Hee-ya?”
Yoon Hee terdiam sesaat, menghentikan langkah dan menajamkan
telinganya. Sebuah harapan muncul ke permukaan.
“Yoon Hee-ya!” panggilan tadi terdengar semakin dekat,
seiring dengan suara derap langkah kaki di belakangnya. Yoon Hee menggigit
bibir lalu menggeleng kecil sambil meneruskan langkahnya. Tidak. Itu bukan
suara yang dia inginkan.
Derap langkah kaki tadi terdengar semakin laju, hingga
akhirnya sepasang lengan menahan pundak Yoon Hee dari belakang. Membuat Yoon
Hee terpaksa berhenti.
“Ya! Aku memanggilmu, apa kau tidak dengar?”
Pemilik suara itu memutar tubuh Yoon Hee untuk berbalik,
sehingga mereka kini berdiri berhadap-hadapan. Yoon Hee mendongak sekilas, lalu
membuang pandangan. “Kyu Hyun oppa…”
“Yoon Hee-ya, waegeurae?”
Yoon Hee diam, tapi perlahan menurunkan tangan pemuda di
hadapannya dari pundaknya. “Aniyo, gwaenchanayo Oppa…” sahut Yoon Hee tanpa
memandang wajah pemuda itu.
“Tidak apa-apa bagaimana? Matamu merah dan bengkak begini.. Kau
menangis? Kenapa? Ada masalah?”
Yoon Hee diam, tapi bibirnya bergetar. Pemuda yang dipanggil
Kyu Hyun Oppa tadi menghela nafas.
“Kau.. ada masalah ya? Bertengkar dengan.. Jin Ki?”
Mendengar nama itu disebut, pertahanan Yoon Hee runtuh. Isak
tangis yang tadi sedikit reda meledak kembali.
“Oppa.. aku sama sekali tidak mengerti…” ungkap Yoon Hee di
sela tangisannya.
Kyu Hyun meraih pundak Yoon Hee, lalu membimbing gadis itu
untuk duduk di bangku panjang yang ada di koridor mall itu. Disandarkannya
kepala Yoon Hee di pundaknya, membiarkan gadis itu menumpahkan emosinya.
“Sudahlah… Masalah apapun itu, pasti bisa kalian lewati…”
kata Kyu Hyun sambil membelai perlahan rambut Yoon Hee.
Yoon Hee menggeleng, lalu menegakkan tubuhnya. Dengan putus
asa ia memandang Kyu Hyun. “Tidak Oppa, ini tidak sesederhana seperti yang
sebelumnya…”
Kyu Hyun mengerutkan kening. “Memangnya kenapa? Ada apa
dengan Moon-mu itu?”
Yoon Hee membenamkan wajah di kedua telapak tangannya,
berusaha membendung air mata yang dengan keras kepala terus mengalir dari kedua
sudut matanya.
“Yoon Hee-ya?” Kyu Hyun merangkul pundak yang bergetar itu.
“Kenapa?”
Yoon Hee menurunkan kedua tangan dari wajahnya. Dengan
tatapan hampa dia memandangi bayangan samar sosoknya di lantai marmer mall itu.
“Moo— ah tidak, Jin Ki… tiba-tiba mengatakan kalau dia…”
Kata-kata Yoon Hee terhenti. Di sebelahnya, Kyu Hyun mengeratkan
rengkuhan jemarinya di pundak Yoon Hee. Untuk beberapa kali Yoon Hee menarik
nafas. Tiga kata yang diucapkan Jin Ki tadi terus bergaung ditelinganya.
“Tadi Jin Ki mengatakan… dia mau meninggalkanku… menyuruhku
melupakannya.”
Kyu Hyun mengangkat alis. “Apa? Kenapa?”
Yoon Hee menggeleng-gelengkan kepala dengan frustasi.
Pertanyaan ‘kenapa’ itulah yang terus menghantuinya sejak tadi tanpa sekelebat
pun petunjuk atas jawabannya. Kenapa? Kenapa?
Kyu Hyun berdecak kesal. “Lee Jin Ki keterlaluan…” geramnya.
Yoon Hee tidak menyahut, masih terlalu kalut, meki berusaha
menenangkan diri.
Kyu Hyun kembali mengembalikan fokusnya pada gadis itu. “Kau
mau pulang? Aku akan mengantarmu…”
Yoon Hee menggigit bibir, lalu memaksakan sebuah senyum saat
menoleh ke arah Kyu Hyun. “Tidak perlu, Oppa. Aku bisa pulang sendiri..”
Kali ini Kyu Hyun yang menggeleng. “Andwae! aku tidak akan
meninggalkanmu sendirian dengan kondisi seperti ini..”
Yoon Hee menggeleng pelan,masih mencoba menolak. Tapi Kyu
Hyun bersikeras. Dia berdiri, dan mengulurkan tangannya ke arah Yoon Hee.
“Ayolah..”
Yoon Hee kembali tertunduk. Memandangi motif lantai marmer
mewah di mall itu. Sedetik kemudian, dia merasakan jemari Kyu Hyun yang meremas
lembut pundaknya.
“Kalau kau ingin bercerita di mobil, silakan, ingin
menangis? Silahkan. Kalaupun kau hanya ingin diam saja di sepanjang jalan, aku
tak akan protes. Yang penting, kau tidak sendirian…” ujar Kyu Hyun dengan wajah
yang menawarkan simpati.
Yoon Hee menipiskan bibirnya, lalu mengangguk kecil.
Meskipun masih sedikit gamang, dia berdiri. Tanpa sadar, dia membiarkan Kyu
Hyun menggenggam jemarinya untuk menggandengnya menyusuri koridor mall itu.
Sejujurnya, bukan tawaran Kyu Hyun untuk mengantarnya pulang lah yang membuat Yoon
Hee menerima uluran tangan itu. Tapi kata-kata Kyu Hyun tadi, bahwa dia tidak
ingin melihat Yoon Hee sendirian. Sendirian. Betapa menakutkannya kata itu.
Sendirian.
Sebelum ini, Yoon Hee menganggap itu tak lebih hanya sebuah
kata, dengan definisi yang bisa ditera di kamus. Tapi kini, dia tahu, bahwa
sendirian tidak lagi hanya sekedar kata. Sendirian adalah dimana dia berada
kini, dengan separuh hati yang hampa. Karena sekeping hati itu pergi, tanpa
penjelasan apa-apa.
Sendirian itu hampa.
***
Han Neora membuka pintu, dan langsung mengerutkan kening
melihat siapa yang berdiri di depan pintu. Kerutan di keningnya semakin dalam
ketika melihat raut wajah Yoon Hee yang masih memetakan sisa jejak air matanya.
“Yoon Hee-ya?” tanya Neora sambil membuka pintu lebih lebar.
Yoon Hee tidak menyahut, hanya menerobos masuk, setengah berlari ke arah
tangga. Derapan langkahnya menaiki tangga menuju kamarnya membuat Neora
terperangah. Beberapa detik kemudian, suara pintu yang berdebam menutup,
lamat-lamat terdengar. Neora ternganga, lalu menoleh ke arah Kyu Hyun dengan
tatapan bertanya. Berusaha mencari penjelasan.
“Kyu Hyun-ah… kenapa kau yang mengantarnya pulang? Ada apa?”
Kyu Hyun hanya mengangkat bahu. “Tadi aku bertemu dengannya
di mall. Hanya kebetulan. Dan, ya.. kau lihat sendiri kan Yoon Hee bagaimana. Aku
tak tega membiarkannya sendirian, jadi aku antar saja dia pulang meski harus
membujuknya lebih dulu..”
“Memang ada apa? Kenapa tahu-tahu dia menangis begitu?”
Kyu Hyun menggeleng. “Molla, di mobil dia diam saja, tidak
berkata apapun. Aku juga tidak mendesaknya untuk bercerita, dia mau kuantar
pulang saja aku sudah bersyukur.”
“Lalu, Jin Ki dimana? Apa mereka bertengkar ya?”
Sekilas, Neora melihat perubahan ekspresi di wajah Kyu Hyun.
Untuk sesaat, ada rona yang tak bisa ditafsirkan Neora di raut tampan itu. Tapi
sedetik kemudian, Kyu Hyun kembali seperti Kyu Hyun yang biasa. Dengan ekspresi
wajah yang cenderung dingin. “Mungkin. Sepertinya mereka memang sedang
bertengkar. Ah, tapi kau tanyakan saja pada Yoon Hee…”
“Oh…”
Untuk beberapa saat mereka berdua terdiam.
“Ehm, kau masuk dulu. Aku buatkan minuman ya?”
Kyu Hyun tersenyum tipis. “Tidak perlu. Aku langsung pulang saja.
Kau juga, lebih baik temani dulu adikmu itu. Kasihan dia.”
“Hm.. kau sungguh tidak mau masuk dulu?”
“Eoh (iya).
Lagipula ada tugas yang masih harus ku selesaikan. Nan khalkhe (aku pergi dulu)…”
Neora mengangguk. Kyu Hyun berbalik, tapi baru dua langkah, Neora
sudah memanggilnya lagi. “Kyu!”
Kyu Hyun memutar tubuhnnya, memandang Neora dengan kedua
alis terangkat.
“Gomawo… sudah mengantar Yoon Hee pulang…”
Kyu Hyun mengangguk kecil, “Gwaenchana. Kalau ada apa-apa,
kalau kau juga perlu bantuan apapun tentang Yoon Hee, aku selalu siap membantu…”
sahut Kyu Hyun ringan.
Dia berbalik kembali. Sementara Neora memandangi Kyu Hyun
yang melangkah menuju mobil hitam mengkilat yang dibawanya. Setelah derum mobil
Kyu Hyun tak terdengar lagi, Neora menutup pintu perlahan. Dia lalu
menyandarkan punggungnya di pintu itu sambil memejamkan mata. Ekspresi wajah Yoon
Hee, lalu kata-kata Kyu Hyun tadi. Semuanya berdesak-desakan di benaknya. Neora
menghela nafas, lalu menegakkan tubuhnya. Sambil melangkah menuju kamar Yoon
Hee, berbagai pertanyaan bermunculan di benaknya.
Di depan kamar Yoon Hee, Neora menggerakkan handel pintu dan
mendorong perlahan pintu kamar adik satu-satunya itu. Tapi pintu itu tidak
bergerak. Neora mengerutkan kening, lalu mencoba sekali lagi. Hasilnya tetap
sama. Neora menempelkan telinganya ke daun pintu. Meskipun sedikit teredam, Neora
masih bisa mendengar isak tangis dari kamar itu.
“Yoon Hee-ya…” panggilnya sambil mengetuk perlahan. Tidak
ada jawaban. Neora kembali mengetuk, memanggil lagi nama Yoon Hee, tapi tetap
tidak mendapatkan respon apapun. Akhirnya Neora menyerah, dia menegakkan
tubuhnya, lalu berjalan ke kamarnya sendiri di sebelah kamar Yoon Hee.
Di kamar, Neora mendapati sebuah pesan yang masuk ke
ponselnya. Singkat.
Neora-ya, kalau ada apa-apa dengan Yoon Hee, kabari aku, ne?
Tidak hanya isi pesan singkat itu yang sedikit membingungkan
bagi Neora. Tapi kenyataan bahwa yang mengirimkan pesan itu adalah Kyu Hyun,
membuat berbagai pikiran berkecamuk di benak Neora. Berbagai pertanyaan, bahkan
apa yang pernah tersimpan di masa lalu sempat menyeruak kembali.
Neora menghela nafas, lalu membanting diri di tempat tidur.
Dia menoleh ke arah meja kecil di sisi tempat tidurnya, memandangi fotonya dengan
Yoon Hee sewaktu mereka berdua masih kecil. Neora tersenyum sendiri memandangi
foto itu. Meskipun mereka bersaudara, tidak banyak persamaan mereka secara
fisik. Bahkan pembawaan mereka juga banyak berbeda. Semenjak kecil dulu, Yoon
Hee memang selalu lebih kalem dan berperangai lembut jika dibandingkan Neora
yang cenderung lebih ‘meledak-ledak’. Toh, perbedaan itu tidak mengurangi
sedikitpun rasa sayang dan kekompakan antara mereka berdua. Walaupun
kadang-kadang ada saat dimana Neora berharap, seandainya … seandainya saja…
“Haaaaaaah!” Neora menghela nafas, berusaha membuang jauh
pikiran yang dulu pernah dikuburnya dalam-dalam. Sambil membalikkan tubuhnya, Neora
berharap, semoga besok ada penjelasan atas isak tangis Yoon Hee.
***
Moon—pemuda yang ternyata bernama asli Lee Jin Ki itu—mematikan
mesin mobil, lalu menelungkupkan wajahnya di atas setir. Sedari tadi dia tidak
bisa memfokuskan diri pada jalanan di depannya. Bahkan dia sendiri heran bisa
sampai di sini dengan selamat, karena sepanjang jalan, pikirannya masih
dipenuhi adegan perpisahannya dengan Yoon Hee kemarin.
Jin Ki menatap jam hitam di pergelangan tangannya. Masih ada
waktu cukup lama sebelum dia harus muncul di kampus. Dia masih sempat melakukan
rencananya ini. Tapi entah kenapa, rencana yang sudah disusunnya terasa seperti
bayangan yang begitu kabur.
Sudah lewat 12 jam berlalu semenjak perpisahannya dengan Yoon
Hee. Lihat, bahkan Jin Ki sudah tidak lagi sadar bahwa waktu telah berlalu
entah berapa putaran jarum jam. Semenjak dia beranjak dari meja tempat mereka
berpisah, segala sesuatu yang dilakukannya hanyalah seperti gerakan otomatis.
Gerakan yang dia lakukan hanya karena sekedar rutinitas. Bagai tak ada nyawa di
dalamnya.
Dari posisinya di balik kemudi, dengan tatapan hampa Jin Ki
menatap etalase toko, tepat di sisi kiri dimana mobilnya kini berhenti. Toko
itu bukan toko yang asing bagi Jin Ki, entah sudah berapa kali ia pernah keluar
masuk toko itu. Dulu. Sewaktu Yoon Hee masih menjadi satu-satunya alasan bagi Jin
Ki untuk menyambangi toko ini.
Jin Ki menggeleng perlahan, lalu membuka pintu mobil dan
turun. Bagaimanapun juga, ini adalah salah satu bagian dari rencananya.
Meskipun sepertinya rencana itu semakin lama semakin terasa menyesakkan.
Bocah kecil penjaga toko mengangkat wajah saat mendengar
langkah kaki Jin Ki. Begitu dia melihat wajah Jin Ki yang memang sudah begitu
akrab, dia langsung tersenyum lebar.
“Jin Ki appa!”
Jin Ki tersenyum kecil, melangkah mendekati bocah itu dan
mengacak-acak rambut anak lelaki bertubuh kecil yang lebih suka memanggilnya Appa (ayah) daripada harus memanggilnya Hyung (kakak laki-laki).
“Yoogeun-ah~ annyeong.. Kau sudah mulai bertambah tinggi
ya?”
Jung Yoogeun, si anak kecil penjaga toko tadi, tertawa
mendengar kata-kata Jin Ki. “Tentu saja, appa. Kan sekarang aku berenang dua
kali seminggu…” tuturnya lucu.
“Bagus sekali…” puji Jin Ki.
“Mencari yang biasanya, appa? Pas sekali, lili putihnya baru
saja datang…” ujar Yoogeun sambil menunjuk ke salah satu pojokan toko. Jin Ki
menoleh sekilas, dan merasakan kembali tusukan yang menyisakan nyeri di
hatinya. Lili putih. Favorit Yoon Hee.
“Emh… tidak. Appa sedang mencari… krisan. Yang warna kuning.
Ada?”
Yoogeun mengerutkan kening. “Krisan? Aneh… Biasanya kan appa
belinya lili putih, atau kalau tidak mawar putih. Bukankah Yoon eomma sukanya
lili putih…” celoteh Yoogeun dengan pipi yang menggandul lucu di wajahnya.
Lucuuuuu sekali.
Jin Ki mendongak sesaat. Berusaha meredam terpaan sesak yang
tiba-tiba menghempas di dadanya. Dengan satu helaan panjang yang terasa berat,
dia membuang nafas, lalu berusaha tetap tersenyum saat menjawab pertanyaan Yoogeun
tadi.
“Em.. Tidak. Yang ini…bukan…untuknya…”
Yoogeun mengerutkan kening lagi, lalu tiba-tiba terkekeh. “Yaaaaaaa~
appa~ ingin memberi bunga pada siapa? Nanti Yoon eomma marah lho kalau tahu
appa memberikan bunga untuk yeoja lain…”
Jin Ki menunduk, tangannya yang terselip dalam saku celana
mengepal semakin kencang. Dia menarik nafas panjang, memutuskan untuk tidak
menanggapi kata-kata Yoogeun tadi.
Tersenyum pada Yoogeun, ia berujar, “Ada tidak yang tadi?
Krisan kuning?”
Yoogeun kini mengangkat alis. Baru sadar akan reaksi aneh appa-nya.
“Oh, ada appa. Sebentar ya…”
Jin Ki mengangguk. “Yoogeun~ah, tolong sekalian diplastik ya…”
pinta Jin Ki.
Yoogeun mengangguk, lantas berlalu dari hadapan Jin Ki untuk
menyiapkan permintaan appa-nya itu. Sementara Yoogeun sibuk berkutat dengan
tangkai-tangkai bunga itu, Jin Ki memperhatikan gerak-gerik Yoogeun. Selintas,
muncul rasa iri di hati Jin Ki. Mungkin, hidup akan lebih terasa mudah
seandainya dia masih seperti Yoogeun yang baru duduk di kelas 5 SD.
Yang dengan sederhananya masih menganggap dunia tidak harus
memiliki zona abu-abu. Hitam ya hitam, putih ya putih.
“Appa, segini cukup?” tanya Yoogeun dari tempatnya berdiri. Jin
Ki mengangguk. Dengan cekatan—hasil pengalaman membantu toko milik orang tuanya
semenjak kelas 2 SD—Yoogeun membungkus bagian tangkai itu dengan plastik
bening, dan menambahkan pita yang juga berwarna kuning untuk mempercantik
rangkaian itu.
Dengan langkah dan wajah ceria khas anak-anak, Yoogeun lalu
menyodorkan rangkaian itu kepada Jin Ki.
“Gomapta ne~. Berapa bunga ini?” tanya Jin Ki sambil merogoh
sakunya.
Yoogeun menyebutkan sejumlah harga. Jin Ki mengangguk dan
mengangsurkan uang pada bocah itu. “Kembaliannya untukmu saja.”
Senyum Yoogeun terkembang semakin lebar. “Gomawo appa!”
Jin Ki mengangguk, menepuk pelan kepala Yoogeun. “Appa pergi
ya…”
Yoogeun mengiringi langkah Jin Ki keluar toko.
“Appa…”
Panggilan Yoogeun tadi menghentikan langkah Jin Ki sebelum
sampai ke sebelah mobilnya. Jin Ki menoleh, mengangkat alis. Agak heran melihat
ekspresi wajah Yoogeun. “Ne? Kenapa?”
“Appa… putus ya sama eomma?”
Tidak ada tuduhan apapun dalam pertanyaan itu. Hanya sekedar
pertanyaan sederhana yang dilontarkan oleh seorang bocah dengan wajah polosnya.
Pertanyaan sederhana, dengan efek yang tidak sederhana.
Jin Ki membuang wajah, entah kenapa merasa tidak sanggup
untuk menjawab pertanyaan itu.
“Iya kan? Putus dengan Yoon eomma?”
Jin Ki menunduk, sebelah tangannya yang masih memegang
rangkaian bunga krisan kuning itu tergantung lemas di sisinya. Akhirnya, Jin Ki
mengangguk pelan. Mengakui kenyataan yang saat ini dianggapnya sekedar
khayalan.
“Appa sedih?”
Jin Ki mengangkat wajah, tersenyum miris mendengar
pertanyaan lanjutan itu. “Tentu saja.. sedih. Sedih sekali…”
“Karena appa masih sayang?”
Tanpa harus berpikir pun Jin Ki tahu jawaban pasti atas
pertanyaan itu. “Masih. Masih sangat sayang padanya…”
“Terus, Yoon eomma juga sedih?” seakan masih belum puas, Yoogeun
masih bertanya. Dengan ekspresi polos seorang anak yang penasaran akan dunia.
Jin Ki mendesah. Bayangan kilau mata Yoon Hee yang tersaput
air mata menggantung kembali di pikirannya. “Sepertinya begitu…”
Yoogeun membelalakkan mata. “Jadi, kalau appa sedih, masih
sayang, dan Yoon eomma juga sedih, kenapa harus putus?”
Tanpa sadar Jin Ki mengencangkan genggamannya pada rangkaian
bunga di tangannya. Ada jawaban untuk itu, tapi entah kenapa, jawaban itu
terasa tak lagi jadi penjelasan yang sempurna. Toh akhirnya Jin Ki berusaha
tersenyum, lalu menepuk perlahan pundak Yoogeun.
“Karena… hidup terkadang tidak berjalan seperti apa yang
kita inginkan sayang…”
Yoogeun mengerutkan kening, tapi memutuskan untuk tak lagi
bertanya. “Appa jangan sedih lagi ya…” ucapnya pelan.
Jin Ki mengangguk kecil. Berbalik dan melangkah masuk ke
dalam Jazz biru metaliknya.
Dari belakang, Yoogeun memandangi kepergian salah satu
langganan setianya itu. Jin Ki memang biasa datang pagi-pagi sekali, dengan
wajah cerah. Memilih sendiri lili putih yang dengan bangga dia ceritakan akan
diberikannya pada seorang gadis, bernama Han Yoon Hee. Yang pernah datang
sekali ke toko Bunga itu bersama Jin Ki. Tapi tadi, tak hanya senyuman cerah
itu yang hilang, Yoogeun merasa sinar mata Jin Ki pun tak seperti biasanya.
Yoogeun mengangkat bahu. Mungkin dia memang masih terlalu
kecil untuk bisa mengerti bahwa hidup tak selalu berjalan secara sederhana. Yoogeun
berbalik, masuk kembali ke tokonya sambil bersiul riang. Baru beberapa menit
dia kembali sibuk merapikan bunga-bunga yang dipajang, seorang pemuda asing sudah
masuk dengan terburu-buru.
“Permisi, lili putihnya, ada?”
Yoogeun mengangkat wajah dan tersenyum ramah. “Ada. Mohon
tunggu sebentar ya…”
***
TBC
-Yoon-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar