Halaman

Rabu, 17 Oktober 2012

QUASIMODO || Kepingan Kedua




Fanfiction       : QUASIMODO / 2
Author                        : Yoon
Cast                 :
·         Lee Jin Ki
·         Han Yoon Hee
·         Cho Kyu Hyun
·         Han Neora
·         Yg lain muncul bergantian:p
Genre              : apa aja boleeee[?]
Length                        : Chaptered
Disclaimer       : FF ini milik SAYA^^!!! Han Yoon Hee MILIK Lee Jin Ki xD Lee Jin Ki milik…. banyak orang ._. #ngenes #abaikan

Happy reading^^

++++++


“Yoon Hee-ya?”

Yoon Hee terdiam sesaat, menghentikan langkah dan menajamkan telinganya. Sebuah harapan muncul ke permukaan.

“Yoon Hee-ya!” panggilan tadi terdengar semakin dekat, seiring dengan suara derap langkah kaki di belakangnya. Yoon Hee menggigit bibir lalu menggeleng kecil sambil meneruskan langkahnya. Tidak. Itu bukan suara yang dia inginkan.

Derap langkah kaki tadi terdengar semakin laju, hingga akhirnya sepasang lengan menahan pundak Yoon Hee dari belakang. Membuat Yoon Hee terpaksa berhenti.

“Ya! Aku memanggilmu, apa kau tidak dengar?”

Pemilik suara itu memutar tubuh Yoon Hee untuk berbalik, sehingga mereka kini berdiri berhadap-hadapan. Yoon Hee mendongak sekilas, lalu membuang pandangan. “Kyu Hyun oppa…”

“Yoon Hee-ya, waegeurae?”

Yoon Hee diam, tapi perlahan menurunkan tangan pemuda di hadapannya dari pundaknya. “Aniyo, gwaenchanayo Oppa…” sahut Yoon Hee tanpa memandang wajah pemuda itu.

“Tidak apa-apa bagaimana? Matamu merah dan bengkak begini.. Kau menangis? Kenapa? Ada masalah?”

Yoon Hee diam, tapi bibirnya bergetar. Pemuda yang dipanggil Kyu Hyun Oppa tadi menghela nafas.

“Kau.. ada masalah ya? Bertengkar dengan.. Jin Ki?”

Mendengar nama itu disebut, pertahanan Yoon Hee runtuh. Isak tangis yang tadi sedikit reda meledak kembali.

“Oppa.. aku sama sekali tidak mengerti…” ungkap Yoon Hee di sela tangisannya.

Kyu Hyun meraih pundak Yoon Hee, lalu membimbing gadis itu untuk duduk di bangku panjang yang ada di koridor mall itu. Disandarkannya kepala Yoon Hee di pundaknya, membiarkan gadis itu menumpahkan emosinya.

“Sudahlah… Masalah apapun itu, pasti bisa kalian lewati…” kata Kyu Hyun sambil membelai perlahan rambut Yoon Hee.

Yoon Hee menggeleng, lalu menegakkan tubuhnya. Dengan putus asa ia memandang Kyu Hyun. “Tidak Oppa, ini tidak sesederhana seperti yang sebelumnya…”

Kyu Hyun mengerutkan kening. “Memangnya kenapa? Ada apa dengan Moon-mu itu?”

Yoon Hee membenamkan wajah di kedua telapak tangannya, berusaha membendung air mata yang dengan keras kepala terus mengalir dari kedua sudut matanya.

“Yoon Hee-ya?” Kyu Hyun merangkul pundak yang bergetar itu. “Kenapa?”

Yoon Hee menurunkan kedua tangan dari wajahnya. Dengan tatapan hampa dia memandangi bayangan samar sosoknya di lantai marmer mall itu.

“Moo— ah tidak, Jin Ki… tiba-tiba mengatakan kalau dia…”

Kata-kata Yoon Hee terhenti. Di sebelahnya, Kyu Hyun mengeratkan rengkuhan jemarinya di pundak Yoon Hee. Untuk beberapa kali Yoon Hee menarik nafas. Tiga kata yang diucapkan Jin Ki tadi terus bergaung ditelinganya.

“Tadi Jin Ki mengatakan… dia mau meninggalkanku… menyuruhku melupakannya.”

Kyu Hyun mengangkat alis. “Apa? Kenapa?”

Yoon Hee menggeleng-gelengkan kepala dengan frustasi. Pertanyaan ‘kenapa’ itulah yang terus menghantuinya sejak tadi tanpa sekelebat pun petunjuk atas jawabannya. Kenapa? Kenapa?

Kyu Hyun berdecak kesal. “Lee Jin Ki keterlaluan…” geramnya.

Yoon Hee tidak menyahut, masih terlalu kalut, meki berusaha menenangkan diri.

Kyu Hyun kembali mengembalikan fokusnya pada gadis itu. “Kau mau pulang? Aku akan mengantarmu…”

Yoon Hee menggigit bibir, lalu memaksakan sebuah senyum saat menoleh ke arah Kyu Hyun. “Tidak perlu, Oppa. Aku bisa pulang sendiri..”

Kali ini Kyu Hyun yang menggeleng. “Andwae! aku tidak akan meninggalkanmu sendirian dengan kondisi seperti ini..”

Yoon Hee menggeleng pelan,masih mencoba menolak. Tapi Kyu Hyun bersikeras. Dia berdiri, dan mengulurkan tangannya ke arah Yoon Hee. “Ayolah..”

Yoon Hee kembali tertunduk. Memandangi motif lantai marmer mewah di mall itu. Sedetik kemudian, dia merasakan jemari Kyu Hyun yang meremas lembut pundaknya.

“Kalau kau ingin bercerita di mobil, silakan, ingin menangis? Silahkan. Kalaupun kau hanya ingin diam saja di sepanjang jalan, aku tak akan protes. Yang penting, kau tidak sendirian…” ujar Kyu Hyun dengan wajah yang menawarkan simpati.

Yoon Hee menipiskan bibirnya, lalu mengangguk kecil. Meskipun masih sedikit gamang, dia berdiri. Tanpa sadar, dia membiarkan Kyu Hyun menggenggam jemarinya untuk menggandengnya menyusuri koridor mall itu. Sejujurnya, bukan tawaran Kyu Hyun untuk mengantarnya pulang lah yang membuat Yoon Hee menerima uluran tangan itu. Tapi kata-kata Kyu Hyun tadi, bahwa dia tidak ingin melihat Yoon Hee sendirian. Sendirian. Betapa menakutkannya kata itu.

Sendirian.

Sebelum ini, Yoon Hee menganggap itu tak lebih hanya sebuah kata, dengan definisi yang bisa ditera di kamus. Tapi kini, dia tahu, bahwa sendirian tidak lagi hanya sekedar kata. Sendirian adalah dimana dia berada kini, dengan separuh hati yang hampa. Karena sekeping hati itu pergi, tanpa penjelasan apa-apa.

Sendirian itu hampa.

***

Han Neora membuka pintu, dan langsung mengerutkan kening melihat siapa yang berdiri di depan pintu. Kerutan di keningnya semakin dalam ketika melihat raut wajah Yoon Hee yang masih memetakan sisa jejak air matanya.

“Yoon Hee-ya?” tanya Neora sambil membuka pintu lebih lebar. Yoon Hee tidak menyahut, hanya menerobos masuk, setengah berlari ke arah tangga. Derapan langkahnya menaiki tangga menuju kamarnya membuat Neora terperangah. Beberapa detik kemudian, suara pintu yang berdebam menutup, lamat-lamat terdengar. Neora ternganga, lalu menoleh ke arah Kyu Hyun dengan tatapan bertanya. Berusaha mencari penjelasan.

“Kyu Hyun-ah… kenapa kau yang mengantarnya pulang? Ada apa?”

Kyu Hyun hanya mengangkat bahu. “Tadi aku bertemu dengannya di mall. Hanya kebetulan. Dan, ya.. kau lihat sendiri kan Yoon Hee bagaimana. Aku tak tega membiarkannya sendirian, jadi aku antar saja dia pulang meski harus membujuknya lebih dulu..”

“Memang ada apa? Kenapa tahu-tahu dia menangis begitu?”

Kyu Hyun menggeleng. “Molla, di mobil dia diam saja, tidak berkata apapun. Aku juga tidak mendesaknya untuk bercerita, dia mau kuantar pulang saja aku sudah bersyukur.”

“Lalu, Jin Ki dimana? Apa mereka bertengkar ya?”

Sekilas, Neora melihat perubahan ekspresi di wajah Kyu Hyun. Untuk sesaat, ada rona yang tak bisa ditafsirkan Neora di raut tampan itu. Tapi sedetik kemudian, Kyu Hyun kembali seperti Kyu Hyun yang biasa. Dengan ekspresi wajah yang cenderung dingin. “Mungkin. Sepertinya mereka memang sedang bertengkar. Ah, tapi kau tanyakan saja pada Yoon Hee…”

“Oh…”

Untuk beberapa saat mereka berdua terdiam.

“Ehm, kau masuk dulu. Aku buatkan minuman ya?”

Kyu Hyun tersenyum tipis. “Tidak perlu. Aku langsung pulang saja. Kau juga, lebih baik temani dulu adikmu itu. Kasihan dia.”

“Hm.. kau sungguh tidak mau masuk dulu?”

Eoh (iya). Lagipula ada tugas yang masih harus ku selesaikan. Nan khalkhe (aku pergi dulu)…”

Neora mengangguk. Kyu Hyun berbalik, tapi baru dua langkah, Neora sudah memanggilnya lagi. “Kyu!”

Kyu Hyun memutar tubuhnnya, memandang Neora dengan kedua alis terangkat.

“Gomawo… sudah mengantar Yoon Hee pulang…”

Kyu Hyun mengangguk kecil, “Gwaenchana. Kalau ada apa-apa, kalau kau juga perlu bantuan apapun tentang Yoon Hee, aku selalu siap membantu…” sahut Kyu Hyun ringan.

Dia berbalik kembali. Sementara Neora memandangi Kyu Hyun yang melangkah menuju mobil hitam mengkilat yang dibawanya. Setelah derum mobil Kyu Hyun tak terdengar lagi, Neora menutup pintu perlahan. Dia lalu menyandarkan punggungnya di pintu itu sambil memejamkan mata. Ekspresi wajah Yoon Hee, lalu kata-kata Kyu Hyun tadi. Semuanya berdesak-desakan di benaknya. Neora menghela nafas, lalu menegakkan tubuhnya. Sambil melangkah menuju kamar Yoon Hee, berbagai pertanyaan bermunculan di benaknya.

Di depan kamar Yoon Hee, Neora menggerakkan handel pintu dan mendorong perlahan pintu kamar adik satu-satunya itu. Tapi pintu itu tidak bergerak. Neora mengerutkan kening, lalu mencoba sekali lagi. Hasilnya tetap sama. Neora menempelkan telinganya ke daun pintu. Meskipun sedikit teredam, Neora masih bisa mendengar isak tangis dari kamar itu.

“Yoon Hee-ya…” panggilnya sambil mengetuk perlahan. Tidak ada jawaban. Neora kembali mengetuk, memanggil lagi nama Yoon Hee, tapi tetap tidak mendapatkan respon apapun. Akhirnya Neora menyerah, dia menegakkan tubuhnya, lalu berjalan ke kamarnya sendiri di sebelah kamar Yoon Hee.

Di kamar, Neora mendapati sebuah pesan yang masuk ke ponselnya. Singkat.

Neora-ya, kalau ada apa-apa dengan Yoon Hee, kabari aku, ne?

Tidak hanya isi pesan singkat itu yang sedikit membingungkan bagi Neora. Tapi kenyataan bahwa yang mengirimkan pesan itu adalah Kyu Hyun, membuat berbagai pikiran berkecamuk di benak Neora. Berbagai pertanyaan, bahkan apa yang pernah tersimpan di masa lalu sempat menyeruak kembali.

Neora menghela nafas, lalu membanting diri di tempat tidur. Dia menoleh ke arah meja kecil di sisi tempat tidurnya, memandangi fotonya dengan Yoon Hee sewaktu mereka berdua masih kecil. Neora tersenyum sendiri memandangi foto itu. Meskipun mereka bersaudara, tidak banyak persamaan mereka secara fisik. Bahkan pembawaan mereka juga banyak berbeda. Semenjak kecil dulu, Yoon Hee memang selalu lebih kalem dan berperangai lembut jika dibandingkan Neora yang cenderung lebih ‘meledak-ledak’. Toh, perbedaan itu tidak mengurangi sedikitpun rasa sayang dan kekompakan antara mereka berdua. Walaupun kadang-kadang ada saat dimana Neora berharap, seandainya … seandainya saja…

“Haaaaaaah!” Neora menghela nafas, berusaha membuang jauh pikiran yang dulu pernah dikuburnya dalam-dalam. Sambil membalikkan tubuhnya, Neora berharap, semoga besok ada penjelasan atas isak tangis Yoon Hee.

***

Moon—pemuda yang ternyata bernama asli Lee Jin Ki itu—mematikan mesin mobil, lalu menelungkupkan wajahnya di atas setir. Sedari tadi dia tidak bisa memfokuskan diri pada jalanan di depannya. Bahkan dia sendiri heran bisa sampai di sini dengan selamat, karena sepanjang jalan, pikirannya masih dipenuhi adegan perpisahannya dengan Yoon Hee kemarin.

Jin Ki menatap jam hitam di pergelangan tangannya. Masih ada waktu cukup lama sebelum dia harus muncul di kampus. Dia masih sempat melakukan rencananya ini. Tapi entah kenapa, rencana yang sudah disusunnya terasa seperti bayangan yang begitu kabur.

Sudah lewat 12 jam berlalu semenjak perpisahannya dengan Yoon Hee. Lihat, bahkan Jin Ki sudah tidak lagi sadar bahwa waktu telah berlalu entah berapa putaran jarum jam. Semenjak dia beranjak dari meja tempat mereka berpisah, segala sesuatu yang dilakukannya hanyalah seperti gerakan otomatis. Gerakan yang dia lakukan hanya karena sekedar rutinitas. Bagai tak ada nyawa di dalamnya.

Dari posisinya di balik kemudi, dengan tatapan hampa Jin Ki menatap etalase toko, tepat di sisi kiri dimana mobilnya kini berhenti. Toko itu bukan toko yang asing bagi Jin Ki, entah sudah berapa kali ia pernah keluar masuk toko itu. Dulu. Sewaktu Yoon Hee masih menjadi satu-satunya alasan bagi Jin Ki untuk menyambangi toko ini.

Jin Ki menggeleng perlahan, lalu membuka pintu mobil dan turun. Bagaimanapun juga, ini adalah salah satu bagian dari rencananya. Meskipun sepertinya rencana itu semakin lama semakin terasa menyesakkan.

Bocah kecil penjaga toko mengangkat wajah saat mendengar langkah kaki Jin Ki. Begitu dia melihat wajah Jin Ki yang memang sudah begitu akrab, dia langsung tersenyum lebar.

“Jin Ki appa!”

Jin Ki tersenyum kecil, melangkah mendekati bocah itu dan mengacak-acak rambut anak lelaki bertubuh kecil yang lebih suka memanggilnya Appa (ayah) daripada harus memanggilnya Hyung (kakak laki-laki).

“Yoogeun-ah~ annyeong.. Kau sudah mulai bertambah tinggi ya?”

Jung Yoogeun, si anak kecil penjaga toko tadi, tertawa mendengar kata-kata Jin Ki. “Tentu saja, appa. Kan sekarang aku berenang dua kali seminggu…” tuturnya lucu.

“Bagus sekali…” puji Jin Ki.

“Mencari yang biasanya, appa? Pas sekali, lili putihnya baru saja datang…” ujar Yoogeun sambil menunjuk ke salah satu pojokan toko. Jin Ki menoleh sekilas, dan merasakan kembali tusukan yang menyisakan nyeri di hatinya. Lili putih. Favorit Yoon Hee.

“Emh… tidak. Appa sedang mencari… krisan. Yang warna kuning. Ada?”

Yoogeun mengerutkan kening. “Krisan? Aneh… Biasanya kan appa belinya lili putih, atau kalau tidak mawar putih. Bukankah Yoon eomma sukanya lili putih…” celoteh Yoogeun dengan pipi yang menggandul lucu di wajahnya. Lucuuuuu sekali.

Jin Ki mendongak sesaat. Berusaha meredam terpaan sesak yang tiba-tiba menghempas di dadanya. Dengan satu helaan panjang yang terasa berat, dia membuang nafas, lalu berusaha tetap tersenyum saat menjawab pertanyaan Yoogeun tadi.

“Em.. Tidak. Yang ini…bukan…untuknya…”

Yoogeun mengerutkan kening lagi, lalu tiba-tiba terkekeh. “Yaaaaaaa~ appa~ ingin memberi bunga pada siapa? Nanti Yoon eomma marah lho kalau tahu appa memberikan bunga untuk yeoja lain…”

Jin Ki menunduk, tangannya yang terselip dalam saku celana mengepal semakin kencang. Dia menarik nafas panjang, memutuskan untuk tidak menanggapi kata-kata Yoogeun tadi.

Tersenyum pada Yoogeun, ia berujar, “Ada tidak yang tadi? Krisan kuning?”

Yoogeun kini mengangkat alis. Baru sadar akan reaksi aneh appa-nya. “Oh, ada appa. Sebentar ya…”

Jin Ki mengangguk. “Yoogeun~ah, tolong sekalian diplastik ya…” pinta Jin Ki.

Yoogeun mengangguk, lantas berlalu dari hadapan Jin Ki untuk menyiapkan permintaan appa-nya itu. Sementara Yoogeun sibuk berkutat dengan tangkai-tangkai bunga itu, Jin Ki memperhatikan gerak-gerik Yoogeun. Selintas, muncul rasa iri di hati Jin Ki. Mungkin, hidup akan lebih terasa mudah seandainya dia masih seperti Yoogeun yang baru duduk di kelas 5 SD.

Yang dengan sederhananya masih menganggap dunia tidak harus memiliki zona abu-abu. Hitam ya hitam, putih ya putih.

“Appa, segini cukup?” tanya Yoogeun dari tempatnya berdiri. Jin Ki mengangguk. Dengan cekatan—hasil pengalaman membantu toko milik orang tuanya semenjak kelas 2 SD—Yoogeun membungkus bagian tangkai itu dengan plastik bening, dan menambahkan pita yang juga berwarna kuning untuk mempercantik rangkaian itu.

Dengan langkah dan wajah ceria khas anak-anak, Yoogeun lalu menyodorkan rangkaian itu kepada Jin Ki.

“Gomapta ne~. Berapa bunga ini?” tanya Jin Ki sambil merogoh sakunya.

Yoogeun menyebutkan sejumlah harga. Jin Ki mengangguk dan mengangsurkan uang pada bocah itu. “Kembaliannya untukmu saja.”

Senyum Yoogeun terkembang semakin lebar. “Gomawo appa!”

Jin Ki mengangguk, menepuk pelan kepala Yoogeun. “Appa pergi ya…”

Yoogeun mengiringi langkah Jin Ki keluar toko.

“Appa…”

Panggilan Yoogeun tadi menghentikan langkah Jin Ki sebelum sampai ke sebelah mobilnya. Jin Ki menoleh, mengangkat alis. Agak heran melihat ekspresi wajah Yoogeun. “Ne? Kenapa?”

“Appa… putus ya sama eomma?”

Tidak ada tuduhan apapun dalam pertanyaan itu. Hanya sekedar pertanyaan sederhana yang dilontarkan oleh seorang bocah dengan wajah polosnya. Pertanyaan sederhana, dengan efek yang tidak sederhana.

Jin Ki membuang wajah, entah kenapa merasa tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan itu.

“Iya kan? Putus dengan Yoon eomma?”

Jin Ki menunduk, sebelah tangannya yang masih memegang rangkaian bunga krisan kuning itu tergantung lemas di sisinya. Akhirnya, Jin Ki mengangguk pelan. Mengakui kenyataan yang saat ini dianggapnya sekedar khayalan.

“Appa sedih?”

Jin Ki mengangkat wajah, tersenyum miris mendengar pertanyaan lanjutan itu. “Tentu saja.. sedih. Sedih sekali…”

“Karena appa masih sayang?”

Tanpa harus berpikir pun Jin Ki tahu jawaban pasti atas pertanyaan itu. “Masih. Masih sangat sayang padanya…”

“Terus, Yoon eomma juga sedih?” seakan masih belum puas, Yoogeun masih bertanya. Dengan ekspresi polos seorang anak yang penasaran akan dunia.

Jin Ki mendesah. Bayangan kilau mata Yoon Hee yang tersaput air mata menggantung kembali di pikirannya. “Sepertinya begitu…”

Yoogeun membelalakkan mata. “Jadi, kalau appa sedih, masih sayang, dan Yoon eomma juga sedih, kenapa harus putus?”

Tanpa sadar Jin Ki mengencangkan genggamannya pada rangkaian bunga di tangannya. Ada jawaban untuk itu, tapi entah kenapa, jawaban itu terasa tak lagi jadi penjelasan yang sempurna. Toh akhirnya Jin Ki berusaha tersenyum, lalu menepuk perlahan pundak Yoogeun.

“Karena… hidup terkadang tidak berjalan seperti apa yang kita inginkan sayang…”

Yoogeun mengerutkan kening, tapi memutuskan untuk tak lagi bertanya. “Appa jangan sedih lagi ya…” ucapnya pelan.

Jin Ki mengangguk kecil. Berbalik dan melangkah masuk ke dalam Jazz biru metaliknya.

Dari belakang, Yoogeun memandangi kepergian salah satu langganan setianya itu. Jin Ki memang biasa datang pagi-pagi sekali, dengan wajah cerah. Memilih sendiri lili putih yang dengan bangga dia ceritakan akan diberikannya pada seorang gadis, bernama Han Yoon Hee. Yang pernah datang sekali ke toko Bunga itu bersama Jin Ki. Tapi tadi, tak hanya senyuman cerah itu yang hilang, Yoogeun merasa sinar mata Jin Ki pun tak seperti biasanya.

Yoogeun mengangkat bahu. Mungkin dia memang masih terlalu kecil untuk bisa mengerti bahwa hidup tak selalu berjalan secara sederhana. Yoogeun berbalik, masuk kembali ke tokonya sambil bersiul riang. Baru beberapa menit dia kembali sibuk merapikan bunga-bunga yang dipajang, seorang pemuda asing sudah masuk dengan terburu-buru.

“Permisi, lili putihnya, ada?”

Yoogeun mengangkat wajah dan tersenyum ramah. “Ada. Mohon tunggu sebentar ya…”

***

TBC
-Yoon-


Tidak ada komentar:

Posting Komentar