Halaman

Kamis, 08 Maret 2012

Listen to You (Part 1)

FanFiction Story: Listen to You (Part 1)


Park Hyurin POV
Aku membuka jendela besar yang ada di sisi kiriku, lalu merasakan terpaan udara yang menerbangkan beberapa helai rambutku namun terasa begitu sejuk. Ini memang masih terlalu pagi, dan aku sudah berada dalam kelas mata kuliahku ini. Aku bahkan baru saja membersihkan kelas ini, meski hari ini bukanlah jadwalku. Aku menerawang jauh kedepan, saat tidak ada kerjaan seperti ini, pikiranku kembali mengembara. Aku teringat kejadian kemarin..

Siang itu setelah urusan di perpustakaan selesai, aku segera bergegas menuju café tempatku bekerja paruh waktu. Namun ditengah jalan, seseorang menabrakku dan mengakibatkan ponselku rusak, ah tidak. Remuk lebih tepatnya. Dan dengan polosnya ia hanya memberiku kartu nama dan pergi begitu saja tanpa berkata maaf sedikitpun. Hah, betapa sopannya namja itu! Sial!

Saat melanjutkan perjalanan, aku kembali bertabrakan dengan seseorang. Aku tidak tau kenapa hari itu aku sangat ceroboh. Aku membiarkannya pergi setelah saling meminta maaf. Dan ketika aku merogoh tasku di sebuah halte bus yang akan membawaku ke café, aku baru sadar kalau dompetku sudah lenyap dari dalam tas. Orang tadi adalah pencopet! Benar-benar sial!

Karena tidak mungkin aku berjalan ke tempat kerja, kuputuskan untuk pergi ke kosanku. Libur sehari saja tidak apa bukan?
Namun, aku salah. Salah besar. Ketika malam harinya aku menelpon manager café –tentu saja lewat telepon umum- dan dia mengatakan bahwa aku sudah dipecat dan tak perlu datang lagi esok hari dan seterusnya. Ia mengatakan tak membutuhkan karyawan yang tak punya tanggung jawab sepertiku.

Hey, ayolah. Aku hampir tiga bulan bekerja disana dan belum pernah sekalipun membolos atau datang terlambat. Hanya SEHARI aku tidak datang tanpa pemberitahuan, dan langsung dipecat? Sungguh, sial sesial sialnya sial!!

Aku mendengus kesal. Setelah ini aku harus bagaimana? Aku tidak mungkin dapat bertahan jika tak punya uang dan pekerjaan. Aku juga tidak mungkin memberitau Miso eonni tentang ini, bisa-bisa ia akan datang dan menyeretku kembali ke rumah. Meski kuliahku ditanggung pihak kampus, tapi tetap saja ini sulit. Apa yang akan ku gunakan untuk membayar uang kos dan membeli makanan nantinya? Dengan daun? Atau kertas? Haaahh~ yang benar saja!

“Annyeong..”

Aku yang semula melamun, sedikit terlonjak kaget. Mendengar ada yang menyapa, segera ku tolehkan kepalaku, “Annyeong..” Sahutku sesingkat sapaannya.

Dia memandangku, khawatirkah itu? “Hyurin-ssi, apakah aku mengagetkanmu?”

“Sedikit..” jawabku jujur.

"Mianhae.. aku tidak bermaksud seperti itu.”

“Ne, gwenchanayo..” sahutku dengan senyuman tipis. Ia kembali melangkah memasuki kelas.

“Sepi ya..” ujarnya singkat.

“Tentu saja, ini masih pagi kan?” tanyaku, entah benar-benar bertanya atau hanya menyatakan. Toh dia hanya menganggukkan kepalanya, lantas segera duduk di tempatnya yang biasa, tepat di depanku. Selalu seperti ini. Sejak awal semester dimulai, sejak tiga bulan yang lalu.

Aku kembali memilih larut dalam khayalanku sambil memandangi halaman kampus dari jendela yang ku buka tadi. Sendiri atau berdua, tidak akan berarti apa-apa, jika bersamanya.

Karena selalu seperti ini. Dia dengan diamnya, begitu pula denganku. namja yang baru datang ini Ok Taecyeon, kami ada di jurusan dan kelas yang sama, selama tiga bulan ini. Tapi berdua saja dengannya, selalu berujung seperti ini. Tanpa kata, sibuk dengan diri masing-masing hanya begini. Hanya hening yang mendominasi.

Dia namja pertama yang kukenal di kampus ini. Ia yang saat itu dengan baik hatinya mengantarku yang bingung mencari ruang dosen. Dan tak bisa kupungkiri, rasa senang menyelimutiku saat bertemu lagi dengan namja ini dikelas yang sama.

“Sedang melihat apa?” aku nyaris terlonjak (lagi) saat mendengarnya tiba-tiba bersuara.

“A..anio..” Yak, pabo kenapa aku malah gugup seperti ini, huh ?! aku tersenyum ke arahnya dan berdoa semoga senyumku ini tidak terlihat aneh, lantas aku memutuskan untuk duduk di kursiku. Tepat di belakangnya.

Dan aku memandangi punggungnya. Memandangi dirinya dalam diamku, dan heningnya ruang kelas ini. Taecyeon-ssi punya senyum yang manis, dan entah sejak kapan aku menggemari senyumnya itu. Tipis, hanya sedikit dari ujung bibirnya yang tertarik, namun terkesan lembut dan sangat manis. Ia juga pintar, selalu keras kepala jika sudah mengajukan pendapat, hampir mirip dengan sifatku. Ia tinggi dan juga tampan. Mungkin ini terdengar berlebihan, tapi hampir seluruh murid Seoul University tau bahwa Taecyeon memiliki penggemar –tentu saja dari kalangan yeoja- hampir disemua jurusan di kampus ini.

Eh? hei tunggu, apakah aku baru saja memujinya? Jujur saja aku tidak tau apa yang sedang kurasakan, aku sedang malas untuk jatuh cinta pada siapapun saat ini. Tapi namja ini.. Taecyeon, membuatku merasa.. err entahlah…

“Uhm..” tiba-tiba saja ia menoleh, haish..tidak bisakah ia berhenti membuatku terkejut dan…jantungan? Hampir saja aku tertangkap basah memandanginya dari belakang!

“Waeyo?”

“Err..” dia menggaruk belakang kepalanya, membuatku bingung, “a..nio, lupakan saja..”

“Haish, ada apa denganmu hah? Aneh.” Celetukku begitu saja.

“Mwo?”

“Kau aneh.” Ulangku lagi.

“Kita yang aneh.”

“Mwo?” aku memandangnya bingung.

“Coba ingat sudah berapa lama kita bertemu di kelas ini dan tak jarang hanya ada kau dan aku di kelas pagi-pagi. Kalau aku tidak salah mengingat berarti sudah tiga bulan kita menjadi teman sekelas. Dan anehnya sudah selama itu, tapi kita tak pernah banyak bicara.”

“Kau merasa hal itu aneh?” tanyaku polos.

“Ne.”

“Tapi sadar atau tidak, kau baru saja mengucapkan kalimat terpanjangmu padaku.” Celetukku, membuatnya terkekeh.

“Haha..” namja tampan –yang ternyata lebih tampan saat tertawa- di depanku ini entah kenapa terlihat lebih bersemangat dari biasanya. “Ah, ne.. kau benar..”

“Lalu?”

“Jadi, yang ingin ku katakan adalah… kau dan aku harus lebih sering mengobrol setelah ini.”

“Kenapa harus?”

“Karena.. err kita adalah teman sekelas, teman sekelas harus dekat satu sama lain, kau tau? Dan untuk itu kita harus sering mengobrol.. ottokhe?” kali ini aku yang tertawa mendengar ucapannya. Bukankah dia namja yang lucu sekali kan?

“Kenapa tertawa?”

“Anio..” Aku buru-buru menggeleng. “Arraseo, kita akan lebih banyak mengobrol setelah ini.” Ujarku.

“Bagus, kuharap kita bisa menjadi teman dekat..”

“Ne, Taecyeon-ssi..”

Ia menatapku, masih tersenyum, senyum kegemaranku, dan aku balik menatapnya, memberikan senyumanku juga. Kami kembali diam. Ia kembali berbalik menghadap depan dan aku kembali memandangi punggungnya. Senyumnya itu, entah sejak kapan membuat sesuatu berdetak keras dalam tubuhku.

Ini aneh. Dan sialnya, aku tahu, keanehan ini sedang tumbuh perlahan di hatiku. Perlahan merasuki tanpa sekalipun kenal permisi.

XXXXX

Malam ini, hujan turun sangat deras diluar sana. Suara rintiknya bergemurutuk di atap. Membuat suasana malam ini menjadi tak begitu hening.

Aku membalik halaman koran yang kubeli sepulang kuliah tadi dan meneliti kolom lowongan pekerjaan di lembaran itu. Lalu melingkari beberapa diantaranya dengan spidol warna merah. Kemudian aku segera menoleh kearah pintu ruangan yang sudah kutempati hampir tiga bulan ini sebagai kos-kosan. Seseorang mengetuk pintu, dan aku segera membukanya.

“Bibi Han?” pemilik tempat yang kutinggali inilah yang mengetuk pintu tadi.

“Annyeong, Hyurin-ya. Apakah aku mengganggu kegiatanmu?”

“Ah, anniyo. Silahkan masuk, Bi..”

“Andwae, aku hanya ingin mengatakan sesuatu padamu..” raut muka Bibi Han sedikit berubah.

“Waeyo? Ada apa, Bi?”

“Sebenarnya pemilik tempat yang kau tinggali ini bukanlah aku. Pemilik sebenarnya akan membongkar dan membangun toko ditanah ini. Dia bilang lima hari lagi akan dimulai pembongkaran..” ujar Bibi Han, aku menahan napas mendengar kalimatnya. Sepertinya ini bukan hal baik. “Dia memberiku waktu untuk mengosongkan tempat ini. Hyurin-ya, paling tidak dua hari dari sekarang kau harus berkemas dan mencari tempat tinggal baru.” Lanjut Bibi Han, raut wajahnya jelas terlihat khawatir padaku.

“Jadi.. aku tidak boleh tinggal disini lagi?” tanyaku lirih.

“Jeongmal mianhae, Hyurin. Aku tau ini sangat mendadak, tapi aku juga tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantumu.” Ujarnya, benar-benar menyesal. Aku mendesah berat. Lalu mengangguk tidak jelas.

“Aku mengerti, Bi. Gwaenchanayo..” sahutku lirih.

“Sekali lagi, mianhae. Aku permisi dulu Hyurin-ya. Annyeong..”

“Ne, annyeong, Bibi..” aku sedikit membungkuk ketika ia pergi dan setelah itu kututup pintu. Aku bersandar di pintu lalu membiarkan tubuhku merosot dan terduduk. Aku mendesah lelah. Kemana aku harus mencari tempat tinggal? Ini benar-benar buruk. Pertama, satu-satunya ponsel yang kumiliki rusak. Kedua, aku kecopetan dan sebagian uangku hilang. Berikutnya, aku dipecat. Dan sebentar lagi aku akan kehilangan tempat tinggal.

Entah mengapa tiba-tiba aku teringat pada appa dan eomma. Apakah mereka tak merestuiku mencari kebenaran yang ingin kuketahui, hingga rasanya jalan yang kulalui harus sesulit ini?

Kutekuk dan kupeluk lututku, lantas menenggelamkan wajahku disana, putus asa. Aku menangis, tanpa suara. Aku merindukan appa dan eomma. Appa, eomma, aku merindukan kalian. Aku sangat merindukan kalian…

Setelah ini apakah ada yang lebih buruk lagi, Tuhan?

XXXXX

Author POV

Seorang namja berjalan sambil menarikan ibu jarinya di atas keypad ponsel. Namun langkahnya terhenti saat dirasanya ada seseorang yang mencekal lengan kanannya, membuat tubuhnya berbalik. Namja itu mengeryit bingung saat mendapati seorang yeoja menatapnya lekat-lekat. Mata itu… ia seperti pernah melihatnya.

“Maaf, Tuan. Apa ini benar dompetmu?” ujar yeoja itu. Sang namja mengerjap beberapa kali lalu pandangannya turun kearah tangan kanan yeoja yang sedang memegang sebuah dompet. Ia membelalakan matanya lalu meraba saku belakang celananya. Dan tidak ada dompet disakunya.

“Aku melihat kau menjatuhkannya saat turun dari bus tadi.” Lanjut yeoja itu. Namja itu menerima dompet yang diulurkan padanya. “Sebaiknya periksa dulu, apakah isinya masih sama..” saran yeoja itu kemudian.

Namja itu membuka dompet dan memeriksa kelengkapan isinya. Tanda pengenal, kartu SIM, kartu kredit, serta beberapa lembar uang masih ada dan jumlahnya tidak berubah. Masih lengkap. Ia mendesah lega, dan mengangkat wajahnya menatap yeoja dihadapannya.

“Apa ada yang hilang?” tanya yeoja itu.

“Anio..” ia buru-buru menggeleng. “Terima kasih sudah menemukan dompetku, Nona.”

Yeoja dihadapannya ini tersenyum lembut dan mengangguk. DEG. Lagi-lagi, perasaan ini… mata dan senyuman itu… kenapa rasanya begitu mirip? Ia pernah melihat mata dan senyuman itu, dulu, beberapa tahun yang lalu saat seseorang mengisi hatinya, dulu…

“Baiklah, Tuan. Kuharap kau lebih berhati-hati. Permisi.” Masih sambil tersenyum, yeoja itu membungkukan badan padanya, lalu memutar tubuh memunggunginya.

Srreeetttt…

“Tunggu, Nona..” cegah namja itu, menarik lengan yeoja itu hingga kembali menghadapnya. Yeoja itu memandangnya bingung.

“Waeyo?”

“Apakah aku mengenalmu?” tanyanya, namun kemudian ia buru-buru meralat pertanyaannya. “Apakah kita pernah bertemu?” yeoja itu memandangnya dengan bingung, lalu menggeleng perlahan.

“A..ani.. tidak pernah.” Jawabnya.

Seketika pegangan namja dilengannya terasa mengendur perlahan. Ia melihat namja itu menunduk, menggelengkan kepala lalu menghela napas.

“Mianhaeyo, Nona.” Namja itu kembali mengangkat wajahnya. “Kau mirip.. dengan seseorang.”

Yeoja itu kembali tersenyum maklum. “Gwenchanayo, Tuan. Annyeong..” pamit yeoja itu sebelum akhirnya ia berbalik dan melangkah menjauh dari namja itu.

Namun baru beberapa langkah ia berjalan, namja itu kembali memanggilnya. “Nona!” seru namja yang berdiri dengan jarak beberapa meter dibelakangnya, membuatnya menoleh.

“Bolehkah… aku tau namamu?” serunya tertahan. “Aku Park Jung Soo.. siapa namamu, Nona?” tanyanya sambil menyebutkan namanya sendiri.

“Hyurin, Tuan.. Namaku Park Hyu Rin!”

XXXXX

Tinggalkan jejak, biar aku tau kalian baca FF ini :)
FREE to follow @igitaya or add fb Gita Anggraini
Gomawoo ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar