Halaman

Jumat, 28 September 2012

AGAIN ...


Han Yoon Hee memindai cepat kertas panjang yang baru disambarnya sambil berjalan keluar dapur. Rata-rata daftar ini berisi stok bulanan bumbu, sayuran dan daging-dagingan. Yoon Hee mengernyit. Sebanyak ini, bagaimana membawanya?

Saat mengangkat wajah, Yoon Hee terpaksa berhenti mendadak karena tiba-tiba sebuah tas rotan besar melayang tepat di depan wajahnya. Tak lama tas rotan itu terbang mengambang ke samping, menunjukan wajah tampan pemuda yang ternyata bersembunyi dibaliknya. Lee Jin Ki.

Yoon Hee terperangah.

Jin Ki memandangi gadis di hadapannya, lalu tanpa tedeng aling-aling menarik tangan Yoon Hee agar mengikutinya ke halaman depan.

Yoon Hee memandangi telapaknya yang digenggam jemari besar Jin Ki, kehangatan itu mengusiknya. Lalu gadis itu bergerak memperhatikan tubuh pemuda yang dibalut kaus putih super polos dipadu celana jeans selutut. Terlalu santai untuk ukuran seorang Tuan Muda Lee.

"Tuan," katanya tertahan, berdiri diam di satu titik hingga Jin Ki tersentak dan berbalik badan. "Mau kemana?"

Pemuda itu mengernyit, lalu menggoyang-goyangkan tas rotan yang sama di tangan satunya "Belanja bulanan kan?"

"Naik itu?" tanya Yoon Hee heran, melirik ke arah Hyundai yang terparkir manis di depan pilar pintu utama.
Jin Ki mengangguk.

"Belanjanya kan di pasar," sahut gadis itu pelan.

Jin Ki mengernyit lagi, "Bukannya biasa di supermarket?" melihat Yoon Hee menggeleng, pemuda itu bertanya lagi "Kenapa tidak di supermarket?"

Yoon Hee mengangkat bahu "Bukankah lebih segar dì pasar? Lagipula bisa ditawar,"

Jin Ki tersenyum meremehkan "Tawar-menawar? Memangnya uangnya kurang?" tanyanya sambil melirik amplop uang belanja yang dipegang Yoon Hee.

Gadis itu menghembuskan nafas, merasa sedikit ganjil ketika menyadari betapa rindunya ia pada saat-saat seperti ini, masa-masa perdebatan lidah dengan Tuan muda sombongnya ini, seperti sebelum segala hal memusingkan menyangkut hati terjadi. Ironisnya, kenapa saat-saat ini harus berulang saat Yoon Hee telah memantapkan keputusannya lagi bahwa ... Ah, gadis itu tersadar sendiri. Ia melepas dari genggaman Jin Ki.

"Bukan soal uang. Tawar menawar itu kan seni, Tuan," ujar Yoon Hee berusaha tersenyum.

Jin Ki tersentak sekilas ketika Yoon Hee melepas cengkraman tangannya. Senyum gadis itu dan panggilannya yang dulu, membangkitkan perasaan Jin Ki akan sesuatu. Sesuatu yang membuat lidahnya kelu. Tapi tidak boleh. Ada alasan tersembunyi mengapa Jin Ki rela menemani Yoon Hee sepagi ini.

Kemarin, terjadi konfrontasi kecil antaranya dengan Yoon Ra. Gadis berwajah tirus itu hampir menangis karena menuduhnya menyembunyikan sesuatu. Isakan Yoon Ra membuatnya ditampar janjinya sendiri bahwa gadis itu takkan menangis di hadapannya lagi, membuatnya bingung, membuatnya membutuhkan zat adiksi itu dalam kadar tinggi untuk mempertahankan kewarasannya agar cukup untuk menghadapi Yoon Ra lagi. Dan karena itulah ia mencari Yoon Hee, tak lain karena kebutuhan yang harus dipenuhinya. Kembali, untuk Lee Yoon Ra.


"Jadi naik apa?" tanya Jin Ki tak lama.

"Bus."


***


09.06, Pasar.



"Mahal sekali, ahjumma. Biasanya juga seribu seikat."

"Kan pada naik, Tuan. Ini juga saya sudah jual murah. Seribu tiga ratus. Yang lain malah seribu lima ratus, Tuan."

"Seribu saja ya? Eotthe?? Saya ambil sepuluh."

"Seribu tiga ratus, Tuan."


"Seribu seratus deh. Saya kan ambil banyak,"

"Hah, baiklah."

Yoon Hee tertawa kecil melihat begitu bersemangatnya Jin Ki melakukan transaksi tawar-menawar hingga si ibu penjual sayur terlihat sedikit jengkel. Tadinya, pemuda itu penasaran kenapa Yoon Hee begitu ngotot saat tak mendapat harga daging ayam fillet yang ditawarnya, lalu Jin Ki pun ikut bergabung menawar.

Ujung-ujungnya, karena berhasil meluluhkan si nenek penjual daging karena ketampanannya, Jin Ki malah ketagihan dan mengajukan diri sebagai juru penawar untuk semua transaksi berikutnya. Seperti pembelian sawi hijau ini. Jin Ki bahkan sampai berniat menanyakan harga pasaran sawi biasanya pada Yoon Hee.

Pemuda itu memasukkan hasil transaksinya dengan pandangan puas ke tas rotan, lalu memandang Yoon Hee dengan wajah bangga, membuat gadis itu tak mampu menahan senyum gelinya.

"Kenapa senyum-senyum seperti itu?" tanya Jin Ki sedikit tersinggung.

Yoon Hee menggeleng sambil menahan senyum lalu melirik daftar belanja yang sudah tercentang semua "Ayo pulang, Tuan."

"Kenapa manggil Tuan sih ?" tanya Jin Ki bingung.

Yoon Hee tersenyum tipis. Menyiapkan diri, jawabnya sendiri dalam hati. Ia menatap Jin Ki sekilas lalu melenggang mendahului pemuda itu.

"Yoon Hee-ya!" seru Jin Ki tertahan, membuat Yoon Hee menoleh lagi dan bertanya,

"Kenapa, Tuan?"

"Tunggu," kata Jin Ki, menyusul dan berdiri di depan Yoon Hee lalu mencengkram lengan gadis itu erat-erat.

Yoon Hee mendesah, lagi-lagi. Tapi entah kenapa gadis itu tak menampik genggaman Jin Ki kali ini. Mungkin karena toh ia tahu waktu itu kian mendekat. Biarlah ia merasakan debaran liar ini untuk terakhir kali.

Jin Ki kini berjalan di depan Yoon Hee. Dengan sikap sok tahunya yang biasa, ia menyelinap di antara para penjaja, mengacuhkan bau yang kadang terlampau busuk bagi Tuan Muda sepertinya. Setelah keluar dari area pasar, Jin Ki sigap menyetop bus angkutan umum dengan nomor trayek yang tadi juga ia naiki dari depan perumahannya.

Bus itu sepi, Jin Ki melepas tangan Yoon Hee lalu mendorong gadis itu untuk duduk di kursi dekat jendela, diikuti dirinya. Dengan fasih, Yoon Hee mengambil tas rotan dan kresek lain yang masih digenggam Jin Ki lalu menaruh semua itu di dekat kakinya. 

Tak ada suara ketika angkutan mulai berjalan selain lagu desau angin dan batuk parau sang sopir. Lalu entah siapa yang memulai, mungkin karena suasana yang terbawa, mata Jin Ki dan Yoon Hee bertumbukan di saat yang sama. Angin alam yang berhembus dari jendela kaca buram membawa harum Aigner dan apel manis itu untuk saling bertukar.

Yoon Hee menunduk jengah lalu tak lama mengangkat wajah saat melihat tangan Jin Ki menggenggam jemarinya. Sesaat, Yoon Hee merasa kisah ini begitu sederhana. Hanya ada dia, Jin Ki dan waktu yan seakan tak pernah berlalu.

Seandainya Yoon Hee bisa menghentikan semua disini. Ada rasa damai yang menyelinap saat gadis itu melihat Jin Ki memejamkan mata, sambil merengkuh jemarinya mendekati jantung pemuda itu sendiri.

Yoon Hee tahu bahwa waktu, nyatanya takkan bisa dikristalkan. Ia mendesah lalu menggenggam tangan Jin Ki erat-erat pula. Tahu bahwa semua ini akan berakhir sebentar lagi.

Mereka sedang mengawang sejenak, dan saat mereka kembali pada dunia bernama realitas, takkan ada lagi mimpi-mimpi ini.

Yoon Hee tersenyum tipis, dalam usaha menahan tangis yang hampir kabur dari sudut matanya. Ia menghela nafas, tak bisa menahan diri untuk menyandarkan kepalanya di bahu Jin Ki. Dan merasa, bahwa kadang membohongi diri untuk terakhir kali, takkan ada salahnya.

***




"Cheating MUCH?!(CUKUP selingkuhnya?!)



Seruan emosional itu menyembur dari sebuah suara renyah, tepat ketika Jin Ki dan Yoon Hee bergerak memasuki dapur melalui lorong garasi sambil tertawa berdua karena mengingat tingkah laku pemuda itu di pasar tadi.


Jin Ki terkesiap, sekejap menjatuhkan tas rotannya. "Yoon Ra-ya?" pemuda itu tergeragap. Ia bergegas menghampiri tubuh Yoon Ra yang bergetar penuh kemarahan. Pemuda itu terkejut ketika gadis itu menampiknya.

"STOP !" seru Yoon Ra menjauhi lengan Jin Ki, menahan air mata yang mulai menggelegak dari pelupuknya.

"Yoon Ra-ya, dengarkan aku .." ujar Jin Ki pelan, berusaha meraih gadis itu.

"Kau bilang," ucap Yoon Ra sambil berjalan mundur dan menuding Jin Ki. "kau tidak akan membuatku menangis di depanmu lagi! Tapi sekarang?! Malah kau bersama gadis itu..." Yoon Ra ganti menuding Yoon Hee yang diam mematung.

"Dan KAU," kata Yoon Ra kalap sambil berjalan mendekati rivalnya. "I said. STAY. AWAY. FROM. HIM!! Isn't CLEAR MUCH?! Don't you know I need him? More than you do!!" gadis itu memainkan dinamika nada ucapannya dengan baik, menekan pada kata kata tertelak, kali ini ia mendesis.

"And this is called fate .. Something that can't be avoided. I belong for him. And vice versa. So, let him go! CAN'T YOU?!" (Dan inilah takdir .. Sesuatu yang tak bisa dihindari. Aku milik dia, dan sebaliknya. Lepaskan dia! Tidak bisakah?!) kecemburuan buta membuat Yoon Ra seakan akan dengan pongah mendahului nasib.

"Yoon Ra.." Jin Ki merengkuh bahu Yoon Ra yang berguncang dari belakang, memeluk gadis itu demikian erat untuk meredakan emosinya. Ia tak menyangka gadis itu akan semeledak ini. Jin Ki tak tega melihatnya. "Chagiya," panggilnya pelan, menenangkan. "Maaf. Tapi .. dia bukan siapa-siapa." Jin Ki menatap Yoon Hee sekilas, seakan karena kesalahan gadis itu lah Yoon Ra-nya menangis lagi, euphoria kecemasan membutakan ingatannya pada tawa yang padahal baru saja terpeta tak lama ini.

"Dia bukan siapa-siapa." ulang pemuda itu "Dia hanya.." sepah yang harus lekas dibuang setelah zat adiksinya sudah cukup memulihkan kewarasan Jin Ki lagi.

Pemuda itu memandang Yoon Hee tajam, memuntahkan kata katanya "...hanya masa lalu yang setelah ini, takkan lagi berharga."




***




Lalu inilah. Akhir dari segala akhir.

Sesungguhnya, Yoon Hee tak seberapa terganggu dengan tragedi pagi tadi. Karena itu yang diam diam ia tunggu. Pelatuk fatal yang harus ditarik agar keputusannya semakin siap dipentalkan.


Yoon Hee sudah tahu bahwa segalanya memang serupa bom waktu. Yang sudah terpicu sejak awal malam itu. Dan saat-saat singkat bersama Jin Ki hanya sela dalam detik sampah yang dipulung tak rela untuknya. Lalu pagi tadi sampailah sulutan itu pada utasan terakhir sang sumbu. Yang lantas meledak dan menghancurkan segalanya menjadi abu, termasuk sampah itu.
Pintu jati ini, lagi-lagi terdaulat menjadi saksi. Atas segala yang telah dan akan terjadi. Terkenang di benak Yoon Hee pelatuk yang dilepas Jin Ki pagi tadi. Dan disinilah ia untuk mengamini ucapan itu. Masa lalu tidak berharga ini harus terputus, agar pemuda itu bisa berjalan terus.


Yoon Hee memasuki kamar Jin Ki tanpa mengetuk. Apapun yang terjadi, ia sudah tak mau lagi peduli. Karena telah diterimanya cacian yang paling menyakitkan hati. Cacian penolakan yang tak sanggup lagi mementahkan keputusannya kali ini.


Yoon Hee memegangi jantungnya sendiri. Sesuai janjinya pada Choi Min Ho, tak boleh ada lagi air mata yang terkuras setelah ini.

Dan hati mengenal kepedihannya sendiri, yang tak bisa dipungkiri penampikan. Kepedihan menguliti hati Yoon Hee hingga berdarah, ketika mendapati punggung pemuda itu tengah berada di balkon, memunggungi pintu kaca yang terbuka dimana didekatnya Yoon Hee berdiri.


Dan di sinilah Yoon Hee, dengan setiap inci keteguhan hati. Yang kali ini takkan dibiarkannya tergoyahkan apapun lagi.


Begitu banyak yang ditahan dalam ujung lidahnya. Semua kenangan, kenyataan bahkan angan yang belum sempat terpetakan. Segala perjuangan teramat panjang yang ternyata sebegitu singkat dipertahankan. Semuanya tersumbat dalam pangkal tenggorok gadis itu.


Yoon Hee melangkah pelan memasuki ambang pintu, membiarkan derapnya tak terdengar. Gadis itu terdiam, merenungi tiap waktu yang tersisa seakan ini akhir hidupnya, membiarkan potongan siluet tegap itu menyihirnya, siluet yang membuatnya terperosok lebih dalam lagi.


Beberapa menit yang terlewat tanpa sedikitpun suara mulai terasa mencekam. Hingga akhirnya suara sedingin laut baltik itu terdengar, "Ada apa, Yoon Hee-ssi?"


Pertanyaan itu menyentak Yoon Hee, menyadarkan Yoon Hee bahwa sesungguhnya pemuda itu tahu ia disana. Dan cara panggilan siluet itu untuknya kali ini, membuat gadis itu mengerti pula bahwa ia memang bukan siapa-siapa lagi.


Yoon Hee menunduk lalu mengulum bibir, tiba-tiba tak tahu bagaimana memulai penghabisan ini karena lidahnya kelu. Lantas lagi-lagi disiakannya waktu yang terus berlalu.


"Mau berdiri di situ sampai kapan?"


Yoon Hee mengangkat wajah tepat ke ketika mendapati Jin Ki menengok sekilas ke arahnya lewat balik bahu. Bola mata pencair tembaga itu mengeras, lalu tak lama pemuda itu membuang pandangan ke depan lagi.


Yoon Hee menggigit bibir, memainkan jarinya lalu menghela nafas panjang sebelum melantun balasan.


"Sebentar lagi saja," jawab gadis itu telak, membuat Jin Ki diam-diam tersentak.


Tiga ujaran penghambat keputusan Yoon Hee kala itu. Tujuh silabel yang kini terasa hampa. Karena gadis itu menyadari bahwa 'sebentar' pun hanya kata. Kerancuan makna bisa membuatnya berarti, berlaku dan berakhir kapan saja. Mungkin esok hari, sepuluh tahun lagi atau bagi Yoon Hee, bermakna kini. Detik berarti yang terus menetes dan tergenang mati.



Ini apa yang sebenarnya ingin ia katakan di rumah pohon tempo hari.


"Kau tahu? Penerima kata itu sudah mengerti sampai batas mana kekuatannya untuk bertahan. Tiga kata itu sudah membuatnya mati rasa. Dan tak bisa lagi ia mengerti apa tujuannya,"


Yoon Hee menghela nafas panjang. Karena ia tahu setelah ini setiap tarikan nafas dan kata akan terasa menyiksa. Diiringi keperihan dalam torehan yang memeluknya hingga ke tulang.


Dengan ulu hati tertekan butiran kristal yang coba ia tahan, gadis itu berdeklamasi melanjutkan. "Masa lalu mungkin memang tidak bisa dihilangkan, tapi paling tidak.. ada titik dimana ia bisa dilupakan dan tak lagi perlu untuk dikenang. Lalu... begitulah kita."

Yoon Hee menggigit bibirnya yang mulai bergetar. Karena sungguhpun, tiap goresan kata membuka lagi lembaran peristiwa yang pernah berlangsung di antara mereka.


Kota kecil di Busan. Hujan. Kenangan.

Pulau Jeju. Lantunan lagu. Pernyataan pemuda itu.

Makan malam. Sebuah tarian. Suatu perayaan.


Namun entah kenapa segalanya menjadi begitu asing. Seakan ingatan milik orang lain dijejalkan paksa dalam batok kepalanya. Bahkan tawa yang sempat terlagu pagi tadi terasa bergaung begitu jauh dari dasar hati.

Lantas, klimaks penolakan itu bergema pula. Terpantul teramat kentara dari sel-sel otak Yoon Hee. Menyesah jantungnya yang sudah mulai bernanah.

Yoon Hee menarik nafas, lalu memandang ke arah langit hitam. Seolah mencari ketenangan dari angkasa kekelaman. Seolah kidung perpisahan sudah dapat didengarnya bersenandung mengoyak langit malam, gadis itu berkata lagi.

"Karena bintang dalam masa lalu itu pun sudah tidak ada. Entah sudah betul-betul mati menjadi nebula atau hanya cahayanya yang meredup berbeda. Penerima kata itu sudah tak bisa lagi menemukan bintang yang dipilihnya dulu. Moon-ku yang dulu..."

Yoon Hee mengejang, lalu melangkah mendekat dan berhenti tepat di belakang punggung Jin Ki, ia mendendangkan kata penghabisannya. Lirih.

"Maka terimakasih untuk segalanya. Karena setelah ini takkan ada lagi ingatan yang harus dikenang, terimakasih... Karena kamu sudah pernah ada."

Dengan segenap keberanian yang tertinggal, Yoon Hee menyusupkan kedua lengannya untuk memeluk tubuh Jin Ki dari belakang dan membenamkan wajahnya disana. Membiarkan harum pemuda itu mencekat nafasnya untuk terakhir kali.

Bahkan udara tak diizinkannya mengisi sela kosong yang tersisa.


Yoon Hee tak ingin detak ini berakhir. Namun, pelukan itu ternyata terlalu menyesakkan. Sedingin pelukan kematian. Pelukan yang menjejal kenyataan bahwa mereka harus berpisah jalan.


Dan bahwa takkan ada lagi alasan pembantahan.


Yoon Hee menggigit bibir, melepas kungkungan lengannya lalu berlari pergi.


Gadis itu menutup pintu ruang eksekusi hatinya, lalu berusaha menarik udara dengan nafas tersengal. Tangis yang ia tahan mati-matian ternyata menekan jantungnya yang menyesak.


Yoon Hee mulai berjalan tersaruk, seperti orang yang mengidap gangguan pernafasan saat didengarnya sebuah suara menyejukkan.

"Yoon ?"


Gadis itu menoleh melihat Min Ho berdiri di dekatnya dengan tatapan penuh kecemasan. Seakan tahu apa yang baru terjadi, ia bertanya pelan "Sudah selesai?"


Yoon Hee mengulum lidah, lalu berusaha menarik kedua sudut bibirnya untuk membentuk busur senyum yang dipaksakan dan mengangguk.

Lalu tiba-tiba, seakan tahu inilah pemuda yang—lagi lagi—telah menyiapkan bahu untuknya, sebutir air mata menuruni pipi Yoon Hee.


"Jangan lagi," gadis itu bergegas menghapus tetesan yang muncul seenaknya tadi, tanpa sadar bahwa gerakannya membuat kawanan air tadi tak mampu ditahan lebih lama lagi.


"Sudahlah," Min Ho menarik Yoon Hee ke dalam dekapannya lagi. Membiarkan udara membawa senandung kesedihan gadis itu yang rela didengarnya untuk kesekian kali.

Yoon Hee akhirnya meluruh dalam rengkuhan itu, membiarkan tangis mengalirkan semua kesesakan keluar dari pembuluh darahnya. Membiarkan harum lain ini mengembalikan nafas dan mencuci bersih ingatannya.

"M-maaf," ujar Yoon Hee di sela isakan. "Ini tangis yang terakhir untuknya. Aku janji."


Yoon Hee tak tahu kenapa matanya berkunang, atau apakah Min Ho betul betul mencium puncak kepalanya. Yang ia sadari hanyalah saat ini, ia sedang butuh tempat bersandar. Dan segalanya menghilang.


***




Sementara itu, Jin Ki sendiri tak tahu mengapa tubuhnya terpaku sedari tadi. Mungkin ikrar yang pernah dilontarkan lidahnya pada Lee Yoon Ra, membuat organ yang sama tergembok hingga ia tak dapat mengucap satu pun kata pada Han Yoon Hee.



Lalu tak lama angin berhembus. Membawa sisa harum apel manis itu melayang di udara lalu menyapa penciuman pemuda yang sama. Jin Ki terkesiap ketika kesadaran meluluhlantakkannya.


Han Yoon Hee. Yang sudah bukan miliknya.

Jin Ki tak tahu. Kenapa setelah itu ada bagian hatinya yang terasa berdenyut-denyut menyakitkan. Seolah kehilangan.

***

"Part of me wishes that i could forget you too. Forget meeting you, finding what you are and everything that has happened. Because i don't want it to be like this. I don't want to feel like this. But i can't. With everything that has happened, i can't loose the way i feel about you." - Elena Gilbert, The Vampire Diaries.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar