Halaman

Minggu, 16 September 2012

PROTECT YOU






Fanfiction : PROTECT YOU
Cast :
Kim Jong Hyun
Shin Tae Rin

***

I drove the car
She'd made it plain
That I'd run out of ways to win her back again

 Her seat was back
No seat belt on
And on the radio some too familiar song

***

Kim Jong Hyun memukul setir dengan kedua tangannya untuk melepaskan emosi. “Pokoknya aku tidak suka!” bentaknya dengan nada tinggi.

Di sebelahnya, gadis manis bernama Shin Tae Rin  lebih memilih untuk memandangi deretan lampu jalan yang mereka lewati. Hening sesaat. Jong Hyun kembali melirik ke sisi kirinya. Tae Rin masih diam membeku, tapi kilatan lampu jalan yang jatuh di pipinya memantulkan sisa jejak air mata yang tersisa dari pertengkaran mereka.

Jong Hyun menggeretakkan giginya, lalu menghela nafas.

“Pokoknya, besok aku tidak mau lagi melihatmu berduaan dengan Lee Jin Ki. Titik. “ Jong Hyun memecah keheningan yang tidak nyaman di antara mereka.

Tae Rin mendesah, lalu perlahan menoleh ke arah Jong Hyun.

“Aku harus Jong Hyun-ah. Kau suka maupun tidak suka. Aku punya tanggung jawab. Aku sudah mengatakannya berkali-kali kan, dengan jadi sekretaris untuk kegiatan ini, aku harus sering berurusan dengan Lee Jin Ki. Bukankah kau tahu sendiri kalau dia yang jadi Ketua Pelaksana?”

“Tapi kurasa tidak harus sampai seperti itu kan…” tukas Jong Hyun dengan nada kering. Dia menginjak pedal rem untuk menghentikan laju mobilnya.

Sampai seperti itu bagaimana maksudmu? Jin Ki-ssi hanya menandatangani surat pengantar untuk proposal yang baru saja ku buat…” Tae Rin sekuat tenaga berusaha menahan emosinya.

“Kenapa harus berduaan di ruang Sekretaris?” Jong Hyun balas memandang Tae Rin untuk beberapa detik, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke depan. Dengan tidak sabar dia mengetuk-ngetukkan jarinya di roda kemudi, menanti lampu merah berubah isyarat menjadi hijau.

“Siapa bilang kami hanya berduaan? Kau kan hanya melihat dari pintu depan. Di dalam ruangan itu juga ada Han Yoon Hee, dan asal kau tahu, Yoon Hee-ssi itu kekasih Lee Jin Ki.”

“Benarkah? Kalau begitu kenapa bukan Han Yoon Hee saja yang jadi Sekretaris?”

Tae Rin mendesah dan memijit pelipis dengan jari-jarinya. Pertengkaran semacam ini terlalu sering terjadi. Hanya dengan topik yang nyaris selalu sama.

“Karena teman-teman memilihku untuk jadi sekretaris. Karena mereka mempercayai aku untuk menduduki posisi itu Jong Hyun-ah…”

Jong Hyun mencengkeram erat-erat gagang persneling saat menjalankan kembali Hyundai hitam itu, mengikuti  arus lalu lintas yang cukup ramai.

“Aku tidak suka…” kata Jong Hyun dengan nada dingin.

“Tidak suka bagaimana lagi sih?”

“Aku tidak suka kalau kau terlalu banyak ikut kegiatan-kegiatan seperti itu.” sahut Jong Hyun, lalu menekan panjang tombol klakson, memberi isyarat pada mobil di depannya untuk memberi jalan bagi laju kendaraan mereka.

“Jong Hyun-ah…”

“Kenapa kau harus mengikuti keinginan teman-temanmu? Bukankah aku sudah bilang aku tak suka kalau kau ikut acara semacam itu…”

“Lalu, kau pikir kenapa aku juga harus selalu mengikuti keinginanmu?” sekali ini Tae Rin tidak bisa meredam nada tinggi dalam kata-katanya.

“Karena aku kekasihmu.” Tandas Jong Hyun. Pendek. Tegas. Tidak mau dibantah.

“Tapi mereka teman-temanku Jong Hyun-ah… Dan ku pikir, tidak ada salahnya kan kalau aku ikut kegiatan di kampus? Toh kuliahku sama sekali tidak terganggu…” Tae Rin masih berusaha membela diri.

“Tapi waktumu untukku jadi berkurang…”

“Berkurang bagaimana? Aku bahkan nyaris tidak punya waktu untukku sendiri. Berangkat kuliah aku harus diantar olehmu, pulang pun juga harus selalu kau yang menjemputku. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali aku bersama-sama dengan Ran Rin dan Neora!”

Jong Hyun diam. Dalam hati dia tidak menyangkal  kata-kata Tae Rin tadi. Dari sudut matanya dia melirik ke arah Tae Rin. Lihatlah, gadis itu terlalu cantik untuk diabaikan, untuk dibiarkan begitu saja tanpa kawalan. Wajah Tae Rin yang lembut terkadang nampak begitu rapuh. Jong Hyun hanya ingin selalu menjaga Tae Rin, selalu berada di sisinya. Dengan satu alasan: Cinta.

Adakah alasan yang lebih tepat selain itu?

Tae Rin berkali-kali menarik nafas dan menghembuskannya.  Denyutan yang terasa di pelipisnya terasa semakin mendera.  Putaran waktu selama hampir dua tahun yang dia lewati bersama Jong Hyun terasa terlalu panjang. Terlalu panjang bagi Tae Rin  untuk terus berada dalam genggaman Jong Hyun yang begitu kuat. 

Atau mungkinkah hanya karena waktu yang mereka lewati itu terlalu singkat bagi Tae Rin untuk bisa betul-betul memahami bentuk cinta yang ditawarkan Jong Hyun padanya? Ah, tapi bukankah cinta tak berarti cengkeraman yang mematahkan sayap kebebasan?

Lelah. Tae Rin hanya merasa lelah dengan semua ini. Terlalu lelah. Bahkan amarah pun bukanlah gambaran atas yang dirasakan Tae Rin ketika dia merasa nafasnya pun nyaris tak punya ruang untuknya sendiri.

Tae Rin menutup mata, menggenapkan keputusan.

“Berhenti sebentar Jong Hyun-ah…”

Jong Hyun mengernyitkan kening, menoleh  ke arah Tae Rin. “Apa?”

“Aku ingin mengatakan sesuatu. Menepilah sebentar.”

Jong Hyun diam, tapi menuruti kata-kata Tae Rin. Dia meminggirkan mobil yang dikemudikannya. Setelah mobil itu berhenti sempurna, kembali hanya terasa keheningan yang mengisi kehampaan di antara mereka berdua. Bunyi roda kendaraan lain beradu dengan aspal jalanan, terkadang diselingi suara klakson masih terdengar, tapi terasa seakan begitu jauh.

Tae Rin mematikan AC, lalu menurunkan kaca mobil hingga setengahnya. Dihirupnya udara sepuas mungkin, berharap hembusan angin yang mempermainkan anak rambutnya dapat ikut meniup pergi kegalauan yang menguasai hatinya.

Jong Hyun menggerakkan tangannya untuk mengecilkan volume tape di mobil itu. "Bicaralah…”

Tae Rin menarik nafas untuk mengumpulkan kekuatan.

“Sepertinya… Kita… Lebih baik kita break saja dulu…”

Jong Hyun tersentak.

“Tae Rin-ah, kau… tidak serius kan?”

Tae Rin menggigit bibir. Berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa inilah keputusan yang paling tepat.

“Aku… lelah Jong Hyun-ah. I need to have some space for me, for my life..”

“But your life is MY life!”

“Not anymore…” kata Tae Rin sekali ini dengan nada lebih tegas. Tidak ada gunanya menangisi sesuatu yang hanya akan menjadi beban.

“Tae Rin-ah, please…” Jong Hyun melekatkan pandangannya pada Tae Rin. Hanya satu harapan di benaknya yang  terpancar dari tatapannya. Jangan sampai Tae Rin pergi. Meninggalkan ruang kosong yang menganga dalam kehampaan di hidupnya.

Tae Rin menggeleng, meskipun menghindar dari tatapan Jong Hyun. Dia melepaskan seat belt, menegakkan punggungnya. Dia menarik nafas, lalu mengangkat wajahnya untuk menatap Jong Hyun.

“Selamat tinggal Jong Hyun-ah…”

Jong Hyun terkesiap. Otaknya beku, dengan kaki yang terasa lemas. Semua ini terlalu tiba-tiba, tak pernah terbayangkan oleh Jong Hyun. Dalam mimpinya yang paling buruk sekalipun.  Semua pikirannya tentang Tae Rin adalah tentang bagaimana dia harus tetap bersama gadis itu selamanya. Tae Rin adalah milik Jong Hyun, sebagaimana Jong Hyun pun telah meletakkan hidupnya di tangan Tae Rin.

Tae Rin menahan titikan air matanya melihat wajah tampan di hadapannya. Ekspresi Jong Hyun nampak kosong, seakan masih tidak mampu menterjemahkan yang baru saja terjadi. Seakan itu bisa mengurangi rasa bersalahnya, Tae Rin membelai lembut pipi Jong Hyun dengan telunjuknya.

“Your life will go on Jong Hyun-ah. With or without me…”

Jong Hyun masih terdiam. Sentuhan Tae Rin tadi adalah satu-satunya hal yang terasa nyata baginya.

Tae Rin berusaha tersenyum. Lekukan cantik penghias wajahnya yang terasa pahit.

“Aku turun disini saja. Biar aku pulang naik taksi…” katanya perlahan.

Jong Hyun mendengar kata-kata Tae Rin tadi, mengejutkannya seperti suara dentang bel yang menyadarkan dirinya dari alam mimpi.

Tangan Tae Rin sudah bergerak untuk membuka pintu mobil, tapi Jong Hyun bergerak lebih cepat. Disambarnya tangan Tae Rin dengan kedua tangannya untuk menghentikan gerakan gadis itu.

“Jong Hyun-ah..”

“Tidak Tae Rin-ah. Tidak. Kau tidak boleh meninggalkanku! Kau tidak akan, dan tidak boleh meninggalkanku!” rentetan kata seakan berlomba untuk keluar dari bibir Jong Hyun.

“Jong Hyun-ah…”

“Aku bisa gila kalau kau sampai pergi. Aku bisa gila kalau aku harus kehilanganmu!” Jong Hyun terus meracau, masih menggenggam erat-erat tangan Tae Rin dengan sebelah tangan. Tangan kanannya dia gunakan untuk menjalankan kembali mobilnya.

“Jong Hyun-ah, lepas…” Tae Rin mulai ketakutan, melihat raut wajah Jong Hyun yang terlihat seakan hilang kesadaran, merasakan betapa kuatnya genggaman pemuda itu di tangannya.

“Kau milikku Tae Rin-ah, milikku yang paling berharga. Dan karena itu aku akan terus menjagamu, selamanya Rin-ah. Selamanya!” kali ini Jong Hyun sudah nyaris berteriak. Pandangannya masih lurus ke depan, tapi cengkeramannya di tangan Tae Rin seakan menegaskan kata-katanya tadi.

“Jong Hyun-ah! STOP IT! You’re hurting me…” Tae Rin sedikit meronta, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan Jong Hyun.

Jong Hyun tersentak. Dia melepaskan tangannya, lalu menoleh sekilas.

“Did I? Did I hurt you?”

Tae Rin melipat kedua tangannya di depan dadanya, mengatur kembali nafasnya yang sedikit tersengal.

“Tolong Tae Rin-ah, jangan tinggalkan aku… Aku akan melakukan apa saja asal kau tetap menjadi milikku…” lirih suara Jong Hyun terdengar gemetar.

Tae Rin menggeleng kecil sambil menunduk.

“Aniya. Aku sudah terlalu lelah dengan semua ini. Sudahlah Jong Hyun-ah… Jangan diperpanjang lagi. Hanya akan membuat kita berdua semakin sakit, semakin terbebani..”

“Aku tidak pernah terbebani Tae Rin-ah.. Aku melakukan semua untukmu, karena aku menyayangimu sayang, aku menyayangimu!!!”

“Sudahlah Jong Hyun-ah.. Cukup. Tidak ada gunanya lagi…” ada sedikit isakan yang mulai terdengar dalam jawaban Tae Rin. Dia membuang wajah, memandangi kilasan lampu jalan yang lewat begitu cepat seiring dengan laju mobil yang dipacu semakin kencang oleh Jong Hyun.

 Jemarinya kini mencengkeram tepian jok kulit kursi yang didudukinya.

Jong Hyun memandang sekilas  ke arah Tae Rin. Rambut Tae Rin yang dibiarkannya tergerai dipermainkan oleh angin. Kilatan lampu jalan seakan menari di wajah Tae Rin yang terukir sempurna, meskipun dengan sisa air mata di pipinya. Dengan pantulan lampu jalan yang samar jatuh di wajahnya, profil Tae Rin nampak bagai siluet cantik yang nyaris semu. Lihatlah, betapa gadis itu nampak begitu rapuh. Kerapuhan yang begitu cantik, yang seakan bisa berai hanya dengan kibasan lembut tiupan angin. Jong Hyun sudah bersumpah bahwa dialah yang akan menjaga Tae Rin untuk selamanya. Dengan cara apapun. Dan Jong Hyun tidak akan pernah membiarkan siapapun mengambil tempatnya di sisi Tae Rin.

“Chagi… Tolong jangan bilang bahwa ini semua sudah berakhir.” Jong Hyun berusaha sekali lagi. Terus berharap bahwa ini semua adalah mimpi buruk. Terus berdoa agar tiba-tiba saja Tae Rin tertawa, lalu berkata bahwa dia hanya bercanda.

Tae Rin menoleh kembali, “It’s over when it’s over. And it’s over Jong Hyun-ah. It’s over. The end.”

Jong Hyun menguatkan genggamannya pada setir mobilnya. Menarik nafas perlahan. Dia lalu menutup matanya sekilas. Untuk sepersekian detik, sebuah bayangan muncul di benaknya. Bayangan dia yang tengah menggendong Tae Rin di hamparan padang rumput, dengan Tae Rin yang melingkarkan lengannya di lehernya.

Jong Hyun menoleh lagi ke arah Tae Rin. Sebuah bayangan muncul kembali di benaknya. Tae Rin yang tengah duduk di sebuah kursi, tersenyum lembut sambil menjulurkan tangannya untuk menyambut Jong Hyun yang datang sambil membawa seikat bunga.

Jong Hyun menggelengkan kepala. Tidak mungkin bayangan itu tinggal sekedar mimpi. Dengan kalut Jong Hyun menyambar kembali lengan Tae Rin, seakan meyakinkan diri bahwa gadis itu masih ada. Begitu merasakan lengan Tae Rin dalam genggaman tangan kirinya, Jong Hyun semakin yakin.

Dia tidak akan membiarkan bayangan tadi hanya menjadi sekedar mimpi. Dengan tatapan lurus ke depan Jong Hyun menggeretakkan bibirnya. Dia akan melakukan apapun untuk menjadi satu-satunya lelaki yang tetap berdiri di sisi Tae Rin untuk menjaganya. Meskipun mungkin yang ada di benaknya saat ini adalah satu-satuya cara.

Perlahan Tae Rin melepaskan cengkeraman Jong Hyun dari lengannya. Meskipun sedikit heran, Tae Rin bersyukur Jong Hyun tidak terus memaksa menggenggam lengannya. Bahkan Jong Hyun kini dengan konsentrasi penuh mengemudi setir dengan kedua tangannya. Tae Rin melirik untuk memperhatikan Jong Hyun. Tiba-tiba Tae Rin merasa ketakutan.

Ekspresi Jong Hyun yang memusatkan perhatian pada jalanan di depannya tampak begitu dingin. Hembusan angin dari jendela yang masih setengah terbuka semakin kencang, menandakan laju mobil mereka yang terus bertambah.

“Jong Hyun-ah…” Tae Rin memanggil Jong Hyun kembali, kali ini gemetar oleh rasa takut yang tiba-tiba menyergap. Entah kenapa, Tae Rin bisa merasakan bulu kuduk yang meremang di bahunya. Rasa dingin menjalar dengan cepat di kakinya yang terasa lemas. Firasat burukkah? Diamnya Jong Hyun justru terasa semakin mencekam.

Jong Hyun bisa mendengar panggilan Tae Rin, tapi tidak menoleh. Dia malah mempererat gengggamannya di kemudi. Sampai akhirnya dia melihat yang dia cari. Sebuah tikungan tajam ke kiri menanti, hanya beberapa ratus meter di depan mereka.

Jong Hyun kembali menggeretakkan gigi. Tikungan itu semakin dekat, diiringi kilatan lampu jalan yang menari semakin cepat. Gemeretak aspal yang terlindas ban mobil seolah terdengar semakin nyaring. Bayangan Tae Rin yang tengah berada dalam gendongannya tiba-tiba mewujud kembali di benak Jong Hyun, semakin jelas, semakin nyata.

Beberapa detik lagi, tikungan itu akan menyambut mereka.

Jong Hyun tersenyum, lalu menoleh ke arah Tae Rin.

“Mianhae….” bisiknya. Diinjaknya pedal gas semakin dalam, lalu Jong Hyun membanting setir ke kiri, dan melepaskan genggamannya dari kemudi.

Tae Rin tidak sempat mendengar kata-kata Jong Hyun, yang dia rasakan adalah mobil yang ia naiki terasa seperti melayang.

“JONG HYUN-AH!” teriak Tae Rin saat mobil itu kehilangan kendali.

Teriakan Tae Rin diiringi gemuruh mobil yang terbanting….


Disusul nyaring pecahan kaca…


Suara klakson dari belakang…


Teriakan histeris lainnya…


Lalu keheningan mengisi gelap yang dirasakan Tae Rin.


I thought if I could hurt her, then she couldn't leave
She'd need someone to nurse her
Someone could be me
Together hell for leather shooting up the midnight motorway
I drove the car that took my love away
  
I glimpsed her hair, blown by the wind
And passing headlights dance across her perfect skin

 I saw the road
Its curves ahead
Then I saw me with flowers at her hospital bed

I saw the corner nearing and looked to the sky
I let go of the steering wheel and closed my eyes

And though it never crossed my mind she might not live to see the day
I drove the car that took my love away
.
***

Jong Hyun membuka tirai jendela, membiarkan sinar matahari jatuh dalam petak-petak cahaya lewat kaca jendela. Dia lalu melangkah menuju meja kecil di sudut kamar rumah sakit itu, lalu menata kesembilan kuntum bunga mawar merah yang dibawanya tadi ke dalam vas tinggi berwarna putih biru di atas meja itu. Mawar merah, perlambang universal akan cinta abadi. Dan sembilan kuntum, yang bermakna saling mencintai selamanya.

Perlahan, Jong Hyun lalu mendekati tempat tidur yang ditempati Tae Rin. Tae Rin membuka mata, sedikit mengerjap akibat sinar matahari yang sedikit menyilaukan. Jong Hyun duduk di tepi tempat tidur di sisi Tae Rin, lalu perlahan membelai rambut gadisnya.

“Jong Hyun-ah…” Tae Rin mencari tangan Jong Hyun, lalu menggenggamnya. Jong Hyun balas merengkuh jari-jari yang tetap terasa halus itu.

Tae Rin tersenyum tipis. “Perban di kepalamu belum dilepas?”

Dengan tangan kiri, Jong Hyun menyentuh perlahan kepalanya yang masih dibebat. “Belum, tadi pagi baru saja diganti…”

Tae Rin tersenyum kecil, lalu melepaskan genggamannya dari tangan Jong Hyun untuk membelai lembut wajah pemuda itu. “Tak apa... Meskipun ada perban di kepalamu, kau… tetap tampan...”

“Dan kau tetap cantik. Selalu.”

Tae Rin mendesah, menarik tangannya. Tiba-tiba sesak mengisi rongga dadanya. Mengisi kebisuan yang tiba-tiba tercipta.

“Kemarin dokter sudah memberitahu hasilnya…” bisik Tae Rin lirih.

Jong Hyun mengangguk. Tadi malam orang tua Tae Rin sudah memberi tahu dirinya tentang vonis dokter itu. Jong Hyun meraih kembali tangan Tae Rin dan menggenggamnya erat-erat.

“Jong Hyun-ah… Aku, aku tidak akan pernah sama lagi…” suara Tae Rin semakin lirih, seiring dengan butiran air mata yang mulai terbit di sudut matanya.

Jong Hyun menarik tangan Tae Rin yang masih berada dalam rengkuhannya ke dadanya.

“Aniya. Kau akan tetap-selalu-menjadi yang paling indah bagiku. Dan cintaku tidak pernah setitikpun akan berkurang…”

Tae Rin menggigit bibirnya kuat-kuat. Dia mengangkat wajahnya yang masih terlihat pucat untuk menatap Jong Hyun. Sebuah pertanyaan terkilas di bening mata Tae Rin.

“Kau.. kau.. masih menyayangiku? Kau tidak akan meninggalkan aku kan?”

Jong Hyun mengangguk dengan pasti.

“Aku selalu menyayangimu. Bagaimana dan seperti apapun kondisimu, meskipun sekarang kau lumpuh akibat kecelakaan itu, tidak akan jadi alasan bagiku untuk meninggalkanmu. Bahkan itu semakin menjadi alasan bagiku untuk menjagamu selama-lamanya. Kau mungkin kehilangan kakimu. Tapi kau.. tidak akan pernah kehilangan aku. Karena aku juga tak akan pernah membiarkanmu meninggalkanku Tae Rin-ah…”

Tae Rin tidak dapat menahan isakannya. Aliran bening yang meninggalkan sudut matanya semakin deras menyusuri pipinya. Jong Hyun membawa jemari Tae Rin dalam genggamannya dan mengecupnya perlahan.

“I once in love with you. I am still in love with you. And I will always be in love with you. Only you…” Bisik Jong Hyun perlahan.

Dia lalu merengkuh Tae Rin, membiarkan bahunya basah oleh derai air mata Tae Rin.

Jong Hyun tahu. Dialah yang pantas untuk selalu menjaga Tae Rin. Selamanya. Hanya dia dan Tae Rin. Apapun caranya, Jong Hyun tahu, dia akan menjadikan Tae Rin satu-satunya yang ada di sisinya.


Together hell for leather shooting up the midnight motorway
I drove the car that took my love away

______THE END_______

***


Back song: The Car that Took My Love Away – Rialto.
Taken from their 2nd album (released in 2000)
Thanks to nae sarang Eomma untuk rekomendasi lagunya hehehe XD
Jong Hyun nya psikopaaaaaaaaaaaaaat >.<

Tidak ada komentar:

Posting Komentar