Halaman

Selasa, 18 September 2012

DETIK (tuk Dikenang)






ROMANTIC (SHINee)

Yeah, my girl
Aku bodoh
Kau adalah cinta yang tak terlupakan
Ini air mata terakhir
Yang telah merobek dan meruntuhkan jantungku secara keseluruhan
Sehingga berhenti berdetak
(Maaf) Aku benar-benar minta maaf...

Aku berjalan di sepanjang jalan ini
Entah kemana hatiku membawa
Aku mencari siapa saja yang menyerupaimu
Aku masih berdiri di tempat yang sama

Itu terlihat seperti dirimu, menyentuh bahuku dengan lembut
Dan kemudian bersembunyi dari hadapanku
Kenapa kau tidak di sini? Aku tidak dapat melihatmu...
Apakah mataku melihat jauh ke depan?

Aku percaya bahwa aku bisa mencintai lagi
Tapi kau masih berdiam diri dan melekat di hatiku
Apa yang harus aku lakukan?

***

Seoul, Rain Café , Desember 2009

Dengan gelisah, Han Yoon Hee kembali melirik jam tangannya. Dia tahu, dia datang terlalu awal. Masih sepuluh menit sebelum jam 3 sore. Yoon Hee memencet-mencet ponselnya, membuka lagi pesan pendek yang diterimanya kemarin. Dibacanya lagi barisan kata-kata itu, meskipun dia sudah hafal setiap kata yang menyusun kalimat dalam SMS itu


Hi there, orange girl :) . I’m in Seoul for my summer holiday. Care to meet? Our café, tomorrow, 3PM.


Nomor ponsel yang tidak tersimpan dalam memori ponselnya. Tapi pilihan kata yang tersusun dalam pesan itu sudah menjadi petunjuk, siapa yang mengirim pesan itu. Hanya satu orang yang pernah memanggil Yoon Hee dengan sebutan dari judul novel Joostein Gaarder itu.


Dan ‘our café’ hanya berarti satu tempat. Rain Café.


Bunyi lonceng dari arah pintu yang mengayun membuka itu membuat Yoon Hee mengangkat wajah. Pemandangan yang dilihatnya membuatnya merasa mengalami déjà vu, pada kejadian di tempat yang sama, lebih dari dua tahun yang lalu. Sama seperti waktu itu, laki-laki itu masuk dengan membawa sisa kilauan matahari sore yang jatuh di sela rambutnya. Hanya saja rambut itu sekarang sedikit lebih panjang dari yang diingat Yoon Hee saat mereka terakhir kali bertemu, dua tahun yang lalu.


Dengan langkah panjang yang ringan, laki-laki tadi bergerak dengan sigap ke meja yang ditempati Yoon Hee. Dengan gerakan ringan, dia lalu menarik kursi di depan Yoon Hee, dan duduk di sana.


“Hei…”


Yoon Hee sedikit tercekat. Dia tidak pernah melupakan wajah tampan itu, meskipun semua foto yang pernah menyisakan wajahnya telah dimasukkan Yoon Hee dalam sebuah kotak, dan dilemparkannya ke bak sampah di depan rumahnya. Tapi dia tidak pernah menyangka bahwa melihat wajah itu secara langsung akan membuatnya terpana kembali. Sudah dua tahun lewat, tapi efek yang dirasakan oleh Yoon Hee saat melihat wajah tampan itu, dengan senyuman khas itu, masih tetap sama.  Membuat desiran halus yang terasa semakin kencang mengisi aliran darah Yoon Hee, membuat jantungnya tiba-tiba menolak untuk berdegup secara teratur.


Yoon Hee tersenyum, berusaha menyembunyikan degupan tak beraturan yang terus berkejaran di dadanya.


“Hei…” sahut Yoon Hee. “Bagaimana Melbourne?”


Di hadapannya, namja tampan bernama Lee Jin Ki itu tertawa kecil. “Masih seperti biasa. A city with four season in one day. Tapi sekarang sedang masuk spring sih, jadi sudah lumayan hangat. Rata-rata 20-23 derajat…”


Yoon Hee mengangkat alis. “Segitu dibilang hangat?”


Jin Ki kembali tertawa, tapi tidak menyahut. Puas tertawa, dia malah bertanya.


“Sudah pesan?”


Yoon Hee menggeleng. Jin Ki lalu melambaikan tangan untuk memanggil pelayan. Begitu pelayan tadi berada di sebelah mereka, dengan cepat Jin Ki menyebutkan pesanannya.


“Café latte-nya satu, lalu… lemon tea panas, ya kan?” kata Jin Ki sambil menoleh ke arah Yoon Hee, seakan meminta persetujuan.


Ah, dia masih ingat… selintas rasa tersanjung tanpa bisa dicegah membuat pipi Yoon Hee merona saat dia mengangguk.


Setelah mencatat dan menyebutkan kembali pesanan mereka,  si pelayan meninggalkan meja itu. Jin Ki menopangkan kedua sikunya di atas meja itu, tersenyum menatap Yoon Hee. Yoon Hee berdoa setengah mati agar detakan jantungnya yang terasa berpacu, berkejaran dengan rintikan gerimis yang mulai jatuh tidak sampai tergambar di wajahnya.


“So… How’s life treating you?”


Yoon Hee tersenyum kecil mendengar pertanyaan Jin Ki tadi. “Not bad. Kau sendiri… bagaimana kabarmu?”


“Baik… As you can see, at least I’m alive. Dengan setumpuk tugas, project dan reading materials itu, at least aku masih bisa bernafas…” sahut Jin Ki, lalu tertawa lepas di ujung kalimatnya.


Tawa itu. Tawa yang sesungguhnya terus menerus dikubur Yoon Hee dari ingatannya. Tawa yang dengan keras kepala terkadang muncul kembali dalam ingatan Yoon Hee tanpa pernah bisa dia cegah.


Yoon Hee balas tertawa kecil. “Susah ya?”


Jin Ki mengangkat bahu. “Tidak juga, sih. Hanya saja, ya.. seperti itulah… dinikmati saja…”


“Kau sering merindukan Seoul?”


Jin Ki mengangguk. “Tentu saja, itu sudah pasti… Walaupun sebenarnya banyak sekali yang khas Korea masih bisa ditemukan di Melbourne.”


“Oh ya?”


Jin Ki kembali mengangguk. “Iya,  Kimchi saja ada di Melbourne kok… Bahkan orang Korea juga banyak yang ada di sana… Kalau di jurusan ku memang jarang. Sedikit sekali orang Korea yang ngambil Engineering, apalagi Environmental Engineering sepertiku. Tapi kalau Buseco, barulah banyak orang asianya…”


“Buseco?” Yoon Hee mengerutkan kening.


“Buseco, singkatan dari Bussiness and Economics, Fakultas Ekonomi…”.


Yoon Hee membulatkan bibirnya, membentuk huruf O tanpa suara. 


Kedatangan pelayan yang membawakan pesanan mereka untuk sementara menghentikan percakapan mereka. Setelah meletakkan secangkir lemon tea panas di depan Yoon Hee, dan secangkir café latte yang masih menguarkan uap di depan Jin Ki, pelayan tersebut mengangguk kecil. Pelayan tersebut meninggalkan mereka, setelah Jin Ki mengucapkan terima kasih.


“Memangnya yang paling kau rindukan dari Korea apa saja?”


Jin Ki mengangkat cangkirnya dengan kedua tangan, tapi tidak langsung menyesap isinya. Untuk beberapa saat cangkir tersebut berhenti di depan hidungnya. Jin Ki membiarkan dirinya menikmati aroma yang begitu familiar itu. Tapi sekali ini, aroma kopi itu tidak hanya familiar, tapi terasa membawa nostalgia. Karena di hadapannya ada gadis itu. Gadis yang masih terlihat sama dengan yang selalu diingat Jin Ki selama ini. Gadis dengan pancaran mata yang selalu dikenangnya setiap kali Jin Ki berjalan pulang dari Hargrave Andrew Library sambil menatap taburan bintang di langit malam. Gadis yang diam-diam dia inginkan untuk berada di sampingnya saat menatap Melbourne yang bertaburan cahaya dari ketinggian berpuluh meter di Eureka Sky Deck.


Ah…bahkan jarak Melbourne—Korea sama sekali tidak berarti apa-apa. Karena setiap kenangan, setiap gerak halus yang menjadi pembeda gadis itu dari gadis lainnya, tak mengenal batasan bernama jarak untuk selalu hadir dalam kenangan yang disimpan Jin Ki dengan rapi dalam salah satu sudut tersembunyi di hatinya.


“Yang dirindukan? Banyak…” jawab Jin Ki akhirnya, setelah menyesap kopinya. Dia lalu meletakkan cangkir itu di tatakannya kembali, menimbulkan suara denting perlahan. Dengan santai, Jin Ki menumpukan dagunya pada punggung tangan kirinya.


“But if I have to be honest… the thing that I really miss about Korea, is you…”


Yoon Hee terpana sesaat, menikmati desiran rasa senang dan tersanjung yang perlahan menyeruak, seiiring dengan rasa hangat yang mulai terasa menjalari wajahnya.  Tapi Yoon Hee berhasil menguasai dirinya, dan tersenyum.


“Do you know what? I kinda missing you too…” kata Yoon Hee.


Dan itu sudah cukup. Karena lewat tatapan mata, mereka berdua telah mencapai kesepakatan, bahwa rindu itu ada. Meskipun harus menjadi rahasia, paling tidak pancaran mata mereka sudah saling bercerita, tentang rindu itu.


***


Ini tidak bisa jika bukan dirimu
Sekarang aku sudah menyadari hal ini
Aku sangat sedih
Gambar-gambar ini...
Membuatnya terlihat seperti aku masih mencintaimu

Panas tubuhmu dan wajahmu
Aku masih merasakannya di dalam hatiku
Aku masih memiliki rasa romantis ini di hatiku
Aku ingin kembali ...

Begitu banyaknya hari yang ku punya
Segala sesuatunya dari dirimu
Sekarang mengapa ?

(Beritahu aku mengapa)
Bahwa aku tidak dapat menemukanmu?
Aku sangat takut bahwa
Di tempat kenangan kita
Kau akan bertemu orang yang sempurna, dan aku akan melihatmu

Aku lelah.
Aku mengembara sendiri, mencari cinta di tempatmu yang dulu kosong
Lihat aku.
Lihatlah sesuatu yang sangat mirip denganmu
Situasi ini benar-benar sulit bagiku
Ini jauh lebih buruk daripada hanya menunggu
Aku menjadi begitu mirip denganmu, bahkan aku meniru kebiasaanmu
Aku lebih tahu dirimu daripada diriku sendiri


Yoon Hee menghabiskan sisa-sisa terakhir lemon teanya. Aroma lemon semakin samar tercium dari cangkir itu, yang sudah semakin dingin. Sudah hampir satu jam semenjak dia dan Jin Ki saling bercerita. Tentang apa saja. Tentang bagaimana mereka masing-masing mengisi selang waktu selama lewat dua tahun semenjak mereka terakhir bertemu. Dan semuanya nyaris sama seperti dulu. Nyaris sama. Yang berbeda hanya satu, kini ada garis pemisah di antara mereka. Yang nyata, walaupun mereka berdua tak ingin menyinggung tentang itu.


“Boleh aku bertanya sesuatu?” ucap Yoon Hee tiba-tiba.


“Sepertinya hal serius ya?  Biasanya saat ingin bertanya kau akan langsung bicara, …” kata Jin Ki, sedikit geli dengan kelakuan Yoon Hee yang menurutnya sedikit aneh.


“It is. It is quite serious…”


Jin Ki mengangkat alis, lalu beranjak dari posisinya yang semula bersandar, ditopangkannya dagunya pada kedua tangannya yang terjalin rapi.


“Sure. Just ask…” kata Jin Ki dengan ekspresi ingin tahu.


“Kau… pernah menyesali semua ini? Semua tentang kita?”


Awalnya Jin Ki tidak menjawab, tapi tidak sedikit pun mengalihkan pandangannya dari Yoon Hee. Sementara di hadapannya Yoon Hee balas menatap Jin Ki, dengan pandangan yang menyuarakan begitu banyak tanda tanya yang disimpannya selama ini.


“Apa yang harus disesali dari kita?” akhirnya Jin Ki balik bertanya.


Yoon Hee mendesah panjang, lalu mengangkat bahu. “Entahlah… Mengapa kita harus bertemu mungkin? Atau kenapa semua harus berakhir seperti ini? Atau kenapa .. Ah… sudahlah… Lupakan saja…” kata Yoon Hee akhirnya. Dalam hati Yoon Hee tiba-tiba merasa kesal sendiri, merasa betapa bodohnya pertanyaanya tadi.


Jin Ki malah tertawa melihat Yoon Hee yang nampak salah tingkah dengan pertanyaannya sendiri.


“Apa yang harus aku sesali dari bertemu dengan Han Yoon Hee? Tidak ada. Tidak ada yang harus aku sesali dari pertemuanku denganmu. Dari waktu yang pernah aku habiskan bersamamu. You’re one in a million, Yoon Hee-ya. You’re such a special lady, and obviously there’s nothing that has to be regretted in seeing such a wonderful lady like you..”


“Walaupun akhirnya harus seperti ini?”


Jin Ki diam, mengalihkan pandangannya pada cangkir di hadapannya. Dia kembali bersandar, lalu menelusuri tepian tatakan cangkir di depannya dengan telunjuk kanannya, tapi Yoon Hee bisa melihat masih ada senyum kecil di bibir itu. Senyum misterius yang selalu membuat Jin Ki terlihat berbeda dari orang lain. Seakan dia mengetahui suatu rahasia yang disimpannya sendiri untuk menyenangkan hatinya.


Jin Ki mengangkat wajah, menatap Yoon Hee.


“Untuk apa disesali? Toh, semua sudah terjadi. Untuk dikenang.” Jin Ki berhenti sejenak untuk menarik nafas panjang.


“Terkadang memang ada saat dimana aku juga berpikir, kenapa harus seperti ini? But hey, life often works in such a mysterious way. Kalau memang ini adalah yang terbaik untuk banyak orang, maka memang inilah yang harus terjadi…” lanjut Jin Ki lagi, dengan senyum yang terlihat ironis di bibirnya.


“Walaupun ini bukan yang terbaik untuk kita berdua? Bukan yang diinginkan oleh kita berdua?” tanya Yoon Hee lagi.


Jin Ki mengalihkan pandangan dari Yoon Hee, menatap jendela café yang kini tersaput titik-titik yang dibagi oleh rinai hujan di luar sana. Setelah beberapa lama, dia kembali menoleh ke arah gadis itu.


“Tidak hanya kepentingan kita berdua yang harus dipikirkan Yoon Hee-ya. Masih ada banyak hal yang harus dipikirkan. Hidup tidak sesederhana alur cerita novel…” kata Jin Ki, dengan sedikit nada pahit dalam kata-katanya.


Yoon Hee menunduk. Matanya menatap permukaan halus meja di depannya. Gerimis kini semakin deras di luar sana, melantunkan irama derap tetesan hujan.


Hujan... Bukankah hujan sering kali menghadirkan kembali berbagai kenangan yang entah kenapa enggan untuk dilepaskan begitu saja?


Dari sudut matanya, Yoon Hee bisa melihat profil wajah Jin Ki, yang kini tengah tercenung menatap hujan di luar sana. Dalam benaknya Yoon Hee terus bertanya-tanya, apakah Jin Ki juga sama sepertinya saat ini? Mengingat kembali saat dimana mereka bertemu untuk terakhir kalinya di café ini, lebih dari dua tahun yang telah lewat?


***


Ini air mata terakhir
Yang telah merobek dan meruntuhkan jantungku secara keseluruhan
Meninggalkan luka yang tidak akan pernah sembuh
Meninggalkan yang kubenci
Aku benar-benar menyedihkan, apa yang harus aku lakukan?
Benar-benar - apa yang harus aku lakukan sekarang?

Panas tubuh dan wajahmu
Aku masih merasakannya di dalam hatiku
Aku masih memiliki rasa romantis ini di hatiku
Aku ingin kembali ..

2 Years Ago…
Seoul, Rain Café, Juni 2007


Sambil menunduk, Yoon Hee mengaduk-aduk  teh yang menguarkan wangi aroma lemon dalam cangkir di hadapannya. Sudah tidak banyak asap yang mengepul dari cangkir itu. Meskipun cairan coklat kemerahan yang ada di dalamnya masih tersisa, mengisi sekitar dua pertiga cangkir tersebut.


Suara gemerincing lonceng yang digantung tepat di atas pintu masuk café mengiringi suara pintu tersebut yang mengayun membuka. Membuat Yoon Hee mengangkat kepala untuk kesekian kalinya. Gerakan yang sama yang dilakukannya setiap kali dia mendengar bunyi itu semenjak dia duduk di café ini dua puluh menit yang lalu.


Kali ini orang yang masuk memang adalah yang dinantikannya. Dengan langkah panjang, Jin Ki melangkah melewati pintu, melewati beberapa meja untuk menuju meja yang ditempati gadis-nya.


Yoon Hee tersenyum tipis melihat Jin Ki, yang kini tengah menggeser kursi di hadapan Yoon Hee untuk duduk di sana. Sekilas cahaya matahari sore yang melewati bening kaca jendela di sisi mereka menimbulkan efek berkilau saat jatuh di helaian rambut coklat Lee Jin Ki.


 “Mianhae, aku sedikit terlambat…” Jin Ki meminta maaf, dengan seulas senyuman di wajah tampannya.


Yoon Hee hanya menggerakkan kepalanya sedikit sambil menjawab, “Gwaenchana…”. Dia kembali memusatkan pandangannya pada isi cangkir di depannya. Meskipun pikirannya terpusat pada hal yang harus disampailkannya pada Jin Ki.


“Chagi-ya?”


Yoon Hee mengangkat wajah dan mendapati Jin Ki yang tengah menatapnya sambil mengerutkan kening. Yoon Hee kembali mengulaskan senyum tipisnya.


“Anything on your mind?” tanya Jin Ki, mengangkat sebelah alis dengan tatapan bertanya.


Oh, dear… pikir Yoon Hee. Ekspresi itu… yang begitu khas, yang akan selalu diingat Yoon Hee. Di saat dia harus mulai belajar melupakannya.


“Mau pesan dulu?” Yoon Hee berusaha mengalihkan pembicaraan. Dia merasa masih memerlukan beberapa menit lagi untuk menata kata. Beberapa tarikan nafas untuk menenangkan diri.


Jin Ki mendesah, tapi lalu tersenyum dan mengangguk. Dia menoleh dan melambaikan tangan untuk memanggil pelayan di café langganan mereka tersebut. Café dimana mereka selama enam bulan terakhir seringkali duduk berdua. Terkadang hanya duduk diam memandangi hujan sambil menikmati minuman masing-masing. Terkadang hanya membahas film-film yang menurut mereka monumental, klasik dan tak pernah lekang dimakan zaman.


Yoon Hee sudah tak bisa menghitung berapa kali mereka membahas Life is Beautiful sebagai salah satu master piece di bidang film . Terkadang mereka akan larut dalam obrolan mengenai hipotesis mereka, mengapa Summer dari Four Seasons karya salah satu novelis Korea justru terkesan lebih suram daripada Winter.


Di sela suara-suara dari jalanan yang lamat-lamat terdengar  menembus kaca jendela, Yoon Hee bisa mendengar suara langkah kaki sang pelayan yang mendekati Jin Ki. Tanpa mengangkat wajahnya pun Yoon Hee sudah bisa menebak apa yang akan dipesan Jin Ki. Secangkir café latte.


Tanpa mengangkat wajahnya pun Yoon Hee sudah bisa membayangkan raut wajah dan senyuman Jin Ki saat dia menyebutkan pesanannya. Dan Jin Ki pasti akan sedikit menganggukkan kepala sambil mengucapkan terima kasih ketika sang pelayan selesai mencatat pesanannya. Yoon Hee sudah hafal semua itu. Segala hal tentang Jin Ki terasa terlalu akrab di benaknya. Di saat dia harus menarik kakinya untuk melangkah mundur dan menjalani setapak yang berbeda.


“Katakan saja…”


Yoon Hee tersentak, sedikit kaget saat mendengar kalimat pendek dari Jin Ki. Di hadapannya, Jin Ki menatapnya lekat-lekat. Dengan tatapan yang sudah begitu diakrabi oleh Yoon Hee. Tatapan yang selalu membuat Yoon Hee membiarkan dirinya tersesat dalam pesona kedua bola mata itu.


Yoon Hee menarik nafas panjang, dan menghembuskannya perlahan.


“Aku… ingin mengatakan…”


Jin Ki masih menatap Yoon Hee, tapi tidak mengatakan apapun. Dia hanya mengangguk kecil, seakan mempersilahkan Yoon Hee melanjutkan kata-katanya.


“Kemarin… Joon… datang…”


Kemudian hening. Hanya samar-samar suara decitan ban kendaraan yang beradu dengan jalanan di luar sana. Hanya suara obrolan halus dari beberapa pengunjung lain yang juga ada di café itu, lamat-lamat terdengar sampai di meja mereka berdua.


Meja mereka berdua.


Meja yang selalu mereka tempati bersama. Untuk berbicara mengenai apa saja. Membicarakan berbagai analogi yang digunakan oleh Gaarder dalam novel favorit mereka berdua, Misteri Soliter. Membicarakan hal-hal tidak penting, seperti mengapa cinta harus selalu dianalogikan dengan bunga mawar. Atau mengapa pemain-pemain sepak bola favorit mereka memilih suatu klub tertentu. Dari ribuan topik acak yang pernah mereka perbincangkan, perdebatkan dan tertawakan, semua memiliki satu benang merah. Semua pembicaraan itu selalu membuat mereka merasa lebih dekat. Membuat mereka menyadari bahwa mereka sering kali berbeda, dan justru saling melengkapi.


Yoon Hee menggigit bibir, dan mengalihkan pandangannya ke jendela. Tiba-tiba saja rangkaian kata, alasan dan penjelasan yang sudah disusunnya hilang, seakan ikut terbawa angin sore itu, yang menghembus di luar, membuat daun-daun di pagar tanaman yang ada di luar café tersebut nampak bergoyang. Goyah, gamang.


Di hadapannya Jin Ki menatap Yoon Hee, lalu mendesah panjang. Kedua siku ditumpukannya di meja itu, kedua jemarinya yang saling terjalin menopang dagu kokohnya. Pandangannya menyusuri motif abstrak yang tercetak halus di permukaan meja.


Dia selalu tahu bahwa saat ini akhirnya akan datang. Bahkan setiap malam, selintas pikiran selalu mengganggu benaknya. Bahwa setiap ujung hari akan membawanya semakin dekat ke saat ini.


Langkah kaki sang pelayan yang mendekat membuat mereka berdua menoleh. Pelayan itu lalu meletakkan secangkir café latte yang masih mengepul di hadapan Jin Ki, lalu menganggukkan kepala yang disahut Jin Ki dengan ucapan terima kasih. Yoon Hee masih sempat melirik ke arah lelaki itu, menemukan bahwa setiap lekukan di wajah tampan itu persis sama dengan wajah yang terlukis di ingatannya selama ini.


Pelayan tadi melangkah pergi meninggalkan mereka berdua, kembali berada dalam keheningan. Keheningan yang kini terasa menyesakkan, dengan selapis es tipis yang terasa beku dan memisahkan mereka berdua. Jin Ki meraih satu sachet gula dari wadah keramik di atas meja itu. Di depannya, Yoon Hee kembali mengaduk tehnya. Aroma lemon masih samar tercium, tapi Yoon Hee sudah tak lagi berselera menghabiskan cairan kecoklatan itu.


Dengan gerakannya yang luwes seperti biasa, Jin Ki merobek sachet tadi, dan menuangkan isinya ke dalam cangkirnya. Sendok yang beradu dengan cangkir saat Jin Ki mengaduk kopinya menimbulkan suara denting halus. Dalam hati Yoon Hee tahu, bahwa sebentar lagi Jin Ki akan mendekatkan cangkir itu ke bibirnya dan menyesap isi di dalamnya, meskipun asap yang terus menguar menunjukkan bahwa kopi itu masih begitu panas. Tapi itulah Lee Jin Ki. Yang selalu yakin bahwa kopi selalu lebih sempurna saat tersaji dalam kondisi yang masih panas. Dan Jin Ki hanya akan menambahkan satu takaran gula ke dalam kopinya. Karena menurutnya, terlalu banyak gula akan menutupi cita rasa asli dari kopi yang dinikmati.


Ah, mengapa harus begitu banyak hal tentang Lee Jin Ki yang melekat di ingatan Yoon Hee? Bahkan cara Jin Ki meletakkan sendoknya di tepi tatakan cangkir itu terekam begitu lekat dalam ingatan Yoon Hee.


“Jadi… Lee Joon akhirnya datang?” Jin Ki memecah kesunyian itu. Diletakkannya cangkir kopi itu kembali ke tatakannya. Kali ini memberanikan diri untuk menatapi setiap sudut wajah Han Yoon Hee. Menikmati betapa rambut yang halus itu jatuh di kedua sisi wajahnya, membingkai wajah manis Yoon Hee dengan sempurna. Jin Ki tahu, dia hanya perlu menatap Yoon Hee untuk beberapa detik saja, dan bayangan wajah itu akan terus lekat di benaknya, entah sampai kapan.


Yoon Hee mengangguk. Dengan sorotan mata yang dikenal Jin Ki. Kedua bola mata yang diteduhi bulu mata lentik itu menatap Jin Ki dengan tatapan sedikit sayu. Jin Ki tahu, betapa kedua bola mata itu seringkali lebih banyak berbicara lewat tatapan, meskipun terkadang bibir tipis itu tidak mengucapkan apa-apa.


“Dia diterima di Seoul Univ, Fakultas Hukum. Lewat jalur prestasi…” sahut Yoon Hee, dengan suara lembutnya. Jin Ki begitu mengenal suara itu. Suara lembut yang terkadang melantunkan nada-nada indah saat jemari lentik itu menari di atas piano kesayangannya.


Jin Ki mengangguk kecil, mengangkat kembali cangkirnya untuk meneguk isinya. Dalam hati dia tidak merasa terkejut dengan kabar itu. Anak sulung dari klan keluarga Lee itu memang terkenal cerdas. Bahkan ayah Jin Ki sendiri seringkali menyebut-nyebut, bahwa semua hanya tinggal menunggu waktu sampai kekuasaan atas sejumlah perusahaan besar milik keluarga Lee itu akan menjadi milik Joon. Dari balik tepian cangkirnya, Jin Ki bisa melihat Yoon Hee mendesah panjang. Keresahan nampak jelas terpancar dari balik bening matanya.


Setelah tegukan ketiganya, Jin Ki meletakkan cangkirnya. Dengan dagu tertopang pada tangan kanan yang ditumpukannya di meja itu, dia kembali memandang Yoon Hee.


Yoon Hee menarik nafas panjang, dan kembali menghembuskannya perlahan. “Dan, tadi malam, kata Appa dan Eomma… akan lebih baik jika aku dan Joon-ie… mulai memikirkan arah yang lebih serius dari hubungan kami.”


Jin Ki tersenyum miris mendengar kata-kata Yoon Hee tadi. Kata-kata yang hanya menjadi penegasan atas skenario yang sepertinya telah tersusun semenjak dulu. Bahwa keluarga Han dan keluarga Lee Joon kelak akan menjalin hubungan yang lebih dari sekedar partnership dalam berbagai bidang usaha.


“So.. this is it, huh? Time to say good bye?”


Jin Ki tertawa pahit dalam hati. Menyadari betapa ironisnya bahwa dia mampu mengucapkan kalimat tersebut dengan ringan, di saat dia merasa betapa setiap kata tersebut terasa begitu membebani tarikan nafasnya.


Yoon Hee memandangi Jin Ki dengan tatapan putus asa. “Jin Ki-ya… Aku… tidak tahu harus melakukan apa… aku tidak tahu harus bicara apa… I’m sorry. I really am…” setengah terbata Yoon Hee mengucapkan kata-katanya, dengan pancaran mata yang seakan sekuat tenaga membendung tangis.


Jin Ki menggeleng pelan. “Bukan salahmu Yoon Hee-ya. Bukan salah siapa-siapa.” Kata Jin Ki sambil menelusuri bibir cangkir di hadapannya dengan jari telunjuk. Masih ada sisa sedikit rasa hangat di permukaan cangkir putih itu.


“Lagipula, ada banyak hal yang harus dipikirkan…” katanya lagi, sambil mengangkat wajah untuk menatap Yoon Hee. “Bayangkan saja, betapa besarnya keuntungan yang bisa diperoleh keluargamu dan keluarganya Joon jika klan Han dan Lee bisa bergabung…” Jin Ki mengangkat bahu di ujung kalimatnya. Dia lalu menunduk, mengangkat kembali cangkirnya dan tersenyum ke arah Yoon Hee saat membawa cangkir itu mendekati bibirnya dengan kedua tangannya.


“Sementara aku? Aku tidak punya apa-apa untuk ditawarkan…”


Jin Ki menyesap kembali kopinya, lalu meletakkan cangkir putih bermotif biru itu di tatakannya. Dia menoleh dan melambaikan tangan ke arah pelayan, memberi isyarat agar pelayan tersebut membawakan tagihan.


“Jin Ki-ya….”


Jin Ki tertawa kecil. Berusaha menyembunyikan kegundahan dalam hatinya. “Yoon Hee-ya, sudahlah… Kau dan aku, kita berdua sudah tahu kan bahwa ini kelak akan terjadi?”


Yoon Hee kembali menggigit bibirnya, lalu membuang pandangannya ke arah jendela. Cahaya sore semakin jingga di luar sana.


“Dear… Don’t take me wrong. Just… do it. Toh ini untuk kebaikan semua orang. Apalagi orang tuamu sendiri yang mengiginkannya kan…”


Yoon Hee menoleh untuk kembali menatap Jin Ki. Dengan tatapan penuh permohonan.


Jin Ki mendesah. “Kita baru saling mengenal selama berapa lama sih? Tujuh bulan? Delapan mungkin? Sementara Ayah dan Ibumu mengenalmu seumur hidupmu. Mereka hanya menginginkan yang terbaik untukmu kan?”


Yoon Hee memainkan telunjuknya di atas permukaan meja. Mencerna setiap kata-kata Jin Ki. Dengan segan mengakui bahwa mungkin Jin Ki benar. Bahkan cara Ayah dan Ibunya membicarakan hal itu tadi malam pun begitu lembut, tanpa ada sedikit pun nada paksaan. Tapi justru dengan cara seperti itu Yoon Hee merasa semakin terjebak, tak kuasa untuk menolak.


Kedatangan pelayan yang membawakan bill pesanan mereka  membuat percakapan mereka yang kaku tersendat kembali. Setelah Jin Ki membayar pesanan mereka, dia kembali tertunduk. Hanya menggeser-geser cangkir itu di atas tatakannya. Yoon Hee pun tidak mengatakan apa-apa. Terlalu sibuk menata hati, dalam usahanya menguasai diri untuk tidak mengalirkan tangis.


“Aku harus pergi…” kata Jin Ki akhirnya, mengangkat wajah, dengan ekspresi tak terbaca. Meskipun ada senyum di wajahnya.


“Jin Ki-ya…”


Jin Ki tidak menyahut, malah berdiri dari kursinya.


“Jin Ki-ya.. aku, tidak tahu harus berkata apa… tentang semua ini…”


“Then don’t say anything…” Jin Ki menghela nafas panjang. “Semakin sedikit yang kau ucapkan, semakin baik, karena berarti semakin sedikit kenangan yang harus aku lupakan tentang dirimu, Yoon-ie…”


Yoon Hee menggenggam erat-erat serbet yang ada di atas meja itu. Setiap detik yang berlalu, terasa semakin sulit baginya untuk menahan buliran ini menetes dari sudut matanya.


Jin Ki sedikit menunduk, sedikit mengangkat dagu Yoon Hee dengan telunjuknya. Ditatapnya dalam-dalam Yoon Hee tepat pada kedua matanya, lalu Jin Ki tersenyum tipis.


“Dear, jangan menganggap kau betul-betul kehilangan aku. Aku pergi darimu, bukan berarti kau kehilangan aku. Hanya saja, aku tidak lagi menjadi bagian dari hari-harimu. Itu saja.”


Jin Ki lalu menegakkan tubuhnya kembali. Masih dengan seulas senyum tipis yang terlukis di wajahnya, dia berbalik dan melangkah menuju pintu café. Setiap langkahnya yang terdengar berdetak di lantai berlapis kayu café itu menggema, dan semakin menjauh. Jin Ki membuka pintu café, lalu keluar, dan membiarkan pintu itu mengayun menutup di belakangnya.


Jin Ki tidak menoleh ke belakang. Tidak sekalipun menoleh. Sementara Yoon Hee terus duduk terdiam tanpa bergerak dari kursinya. Berharap bahwa Jin Ki tidak akan pernah menoleh…..


…….karena Yoon Hee tidak ingin Jin Ki melihat aliran bening yang mulai meninggalkan jejak di pipinya.


***


Aku masih memiliki rasa romantis ini di hatiku
Aku ingin kembali ...


Seoul, Rain Café , Desember 2009, 16.32


“Sudahlah Yoon Hee-ya…” kata-kata Jin Ki membuat Yoon Hee sedikit tersentak. Membawanya kembali ke saat ini dari kilas balik yang berputar di benaknya tentang saat perpisahan itu.


“Aku tidak mau pertemuan kita saat ini hanya membuat kita sama-sama terluka kembali…” kata Jin Ki, menumpukan tubuhnya pada meja, menggeser wajahnya lebih dekat ke arah Yoon Hee.


Dengan telunjuk, diangkatnya dagu Yoon Hee, sehingga mau tidak mau Yoon Hee harus menatap mata bulan sabit yang selalu mempesonnya itu.


“Apa yang sudah terjadi di masa lalu, biarkan menjadi sesuatu yang selalu bisa kita kenang. But let’s just make it that way….”


Yoon Hee tidak menyahut, hanya menatap kedua mata Jin Ki yang tengah memandangnya dengan lembut. Mendengarkan kata-kata Jin Ki selanjutnya.


“So what happened in the past, stay in the past…” kata Jin Ki, lalu melepaskan telunjuknya dari Yoon Hee untuk kembali duduk bersandar. Meskipun tatapan matanya masih lekat menembus mata Yoon Hee.


Yoon Hee tersenyum tipis dan mengangguk kecil. Dengan halus dia menyahut, “Let it stay in the past, as memories…”.


Di depannya, Jin Ki tersenyum. Mengangguk. Lalu meraih cangkirnya untuk menyesap sisa terakhir kopinya. Dia lalu melambaikan tangannya pada pelayan untuk meminta bill. Entah kenapa, setiap gerakan Jin Ki saat melakukan itu, setiap detail, bahkan dari yang paling sederhana sekalipun, masih begitu lekat di benak Yoon Hee. Meskipun hanya untuk diberi label sebagai kenangan, yang akan tersimpan sebagai bagian dari masa lalu. Itu saja.


Jin Ki melirik bill yang disodorkan pelayan pada sebuah baki kecil, lalu merogoh dompetnya untuk mengeluarkan beberapa lembar uang kertas.


“Ambil saja kembalinya…” kata Jin Ki sambil tersenyum kecil. Pelayan tadi mengangguk sambil menggumamkan terima kasih, lalu berlalu dari hadapan mereka.


“So, for what reason?” tiba-tiba Yoon Hee bertanya ketika si pelayan tadi baru beranjak tiga langkah dari meja mereka.


Mendengar pertanyaan Yoon Hee tadi, Jin Ki mengerutkan kening sambil memasukkan kembali dompet kulitnya ke dalam saku celana.


“Alasan apa?”


“The reason of you, asking to meet me?”


Jin Ki tertawa kecil mendengar pertanyaan tadi. Tapi lalu terdiam begitu melihat keseriusan yang terpancar jelas di wajah Yoon Hee, dari tatapan matanya yang tegas. Jin Ki mendesah, lalu tersenyum dan kembali menyandarkan tubuhnya. Dengan santai dia lalu menjawab.


“Because I miss you. And that should be enough for a reason to meet, right?”


Yoon Hee masih tidak melepaskan tatapannya dari Jin Ki. Sementara lelaki tampan di hadapannya itu menarik tubuhnya hingga sedikit bertumpu pada meja di depannya.


“Jadi ya sudahlah. Biarkan pertemuan kita hari ini menambah satu lagi hal yang bisa dikenang tentang kita…” kata Jin Ki lagi, dengan senyum tipisnya itu.


Yoon Hee mengangguk kecil, balas tersenyum saat menyahut. “Jadi biarkanlah waktu ini terlewati sebagai detik untuk dikenang…”


Jin Ki ikut mengangguk, lalu menegakkan tubuhnya kembali. Di hadapannya, Yoon Hee melirik jam tangan di pergelangan tangan kirinya. Melihat gerakan Yoon Hee tadi, Jin Ki bertanya.


“Mau pulang sekarang?”


Yoon Hee mengangguk sambil menjawab. “Aku akan dijemput Joon jam 5… masih setengah jam lagi, tapi, ya…” Yoon Hee mengangkat bahu di ujung kalimatnya tadi, membiarkannya menggantung meskipun mereka berdua sudah tahu jawabannya.


“Dijemput di sini?”


Yoon Hee menggeleng. Entah kenapa dia tidak ingin Joon berada di café ini. Café dimana ia dan Jin Ki menghabiskan begitu banyak waktu berdua. Ada banyak kenangan yang diam-diam masih ingin disimpan Yoon Hee dengan rapi dalam kotak memori hatinya. Dan café ini, ingin tetap dikenang oleh Yoon Hee sebagai café mereka berdua, dia dan Jin Ki. Tentu saja.


“Aku minta dijemput di toko buku di mall di sana…” jelas Yoon Hee, sedikit menggerakkan dagunya ke arah jendela. Memberi isyarat bahwa café yang dia maksud adalah mall yang terletak sekitar 500 meter dari café tempat mereka berada.


“Oh, begitu... Kajja…” Jin Ki berdiri. Yoon Hee ikut berdiri dan melangkah keluar dari kursinya. Bersisian, mereka berdua berjalan menuju pintu café. Jin Ki mendorong pintu itu membuka, membuat lonceng yang digantung di atas pintu café itu bergemerincing. Yoon Hee berjalan keluar, sementara Jin Ki menahan pintu itu dengan tangannya saat Yoon Hee berjalan melaluinya.


Di luar hujan masih menari, dengan deraian yang menyanyikan irama rintikan pada saat hujan itu jatuh membasahi permukaan yang bisa dicapai tetesannya.


“Kuantar kau sampai mall sana…” kata Jin Ki lagi. Dia memutar tubuhnya ke kanan, lalu mulai berjalan menyusuri trotoar. Dengan sedikit tergesa, Yoon Hee mempercepat ayunan kakinya untuk bisa mensejajarkan langkah dengan Jin Ki. Dari sudut matanya, Yoon Hee melirik ke arah Jin Ki. Wajah tampan itu terlihat datar, menatap lurus ke depan. Tidak sedikit pun menoleh.


Mereka berjalan berdua. Bersisian. Dengan langkah yang terkadang memercikkan sisa limpahan air hujan yang tergenang di trotoar.  Hujan mengiringi langkah mereka.


Belum sampai lima puluh meter mereka melangkah, Yoon Hee merasa tangan Jin Ki  mencari tangannya, dan menggenggamnya erat-erat. Yoon Hee kembali melirik sembunyi-sembunyi ke arah Jin Ki. Tapi yang dilihatnya tetap pemandangan yang sama. Jin Ki yang terus berjalan, dengan tatapan lurus ke depan. Tidak sekalipun melirik, apalagi menoleh, ke arah Yoon Hee. Meskipun demikian, Jin Ki tetap erat menggenggam jemari Yoon Hee, seakan ingin terus menggenggam setiap detik yang mereka lewati bersama untuk tetap bisa disimpan dalam ingatan.


Sebagai detik untuk dikenang.


Mengikuti Jin Ki, Yoon Hee pun mengalihkan pandangannya. Menatap lurus ke depan. Terus menyamakan langkahnya dengan Jin Ki, menyusuri trotoar. Mereka berdua terus bergandengan, sepasang tangan yang saling menggenggam jemari satu sama lain dengan erat. Meskipun mereka tak saling menatap, namun perasaan rindu terus mengalir lewat jemari yang saling membungkus dengan hangat.


Diiringi rinai hujan yang terus menarikan tetesannya, mereka berdua terus berjalan. Melangkah, saling bergandengan. Tanpa saling menatap. Hanya membiarkan rasa itu mengalir lewat genggaman tangan. Dan membiarkan kata-kata yang tak terucapkan menggantung di langit yang memayungi hujan di hari itu.


Sampai di mall yang mereka tuju, akhirnya Jin Ki melepaskan genggamannya dari tangan Yoon Hee. Dengan sedikit enggan, Yoon Hee menarik tangannya yang kini sendirian, mengalihkannya untuk menggenggam tali tas di pundaknya.


“Sampai sini saja ya…” kata Jin Ki. Yoon Hee mengangkat wajah. Di hadapannya, Jin Ki tersenyum tipis. Yoon Hee mengangguk kecil. Menerima kenyataan bahwa sekali lagi mereka harus berpisah. Jin Ki lalu merogoh saku celananya, dan mengeluarkan sebuah bungkusan kecil. Disodorkannya bingkisan yang berlapis kertas berwarna jingga cerah itu ke arah Yoon Hee.


“Untukmu…” katanya pendek. Yoon Hee menerima bungkusan itu. Dia ragu sejenak, lalu memasukkan bingkisan itu ke dalam tasnya.


“Gomawo..” katanya sambil tersenyum kecil. Jin Ki hanya mengangguk. Untuk beberapa detik, mereka berdua tidak mengatakan apa-apa, hanya saling menatap. Saling memahami bahwa kata-kata apapun tidakperlu lagi diucapkan. Karena yang  ingin mereka bagi dalam rasa ini adalah perasaan yang terlalu rapuh untuk dinyatakan dalam kata.


Akhirnya, Jin Ki berdehem kecil untuk memecah keheningan.

“So, I guess, this is another good bye?”


Yoon Hee tidak menyahut. Hanya menatap Jin Ki lekat-lekat. Memandangi wajah tampan itu, dengan butiran sisa hujan yang nampak sedikit berkilau di sela-sela rambut Jin Ki.


Jin Ki membiarkan dirinya sendiri menikmati setiap detil lekukan di wajah cantik yang ada di hadapannya. Sepasang mata yang sedikit sayu, dinaungi bulu mata yang panjang, dengan hidung lancip yang nampak sempurna di wajah tirus itu. Rambut Yoon Hee yang tergerai halus nampak jatuh dikedua sisinya, menciptakan bingkai cantik bagi wajahnya.


Ah, Jin Ki bahkan bisa melihat, rambut itu tampak lebih panjang dibandingkan saat terakhir kali mereka bertemu. Akan tetapi wangi aroma apel yang tercium samar-samar dari rambut halus itu masih sama seperti dulu. Tiupan angin perlahan mempermainkan beberapa helai rambut Yoon Hee.


Jin Ki berusaha menahan dirinya untuk tidak menyentuh wajah itu, untuk tidak membelai rambut itu. Dia kembali berdehem, menegakkan tubuhnya sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jeans hitamnya.


“Here’s the deal. What happened in the past, stay in the past…” Jin Ki mengulangi kembali kata-katanya di café tadi.


“And let them stay as memories, to be remembered…” sahut Yoon Hee.


Jin Ki mengangguk kecil. Dengan luwes, dia berbalik. Sedetik kemudian dia sudah menyusuri trotoar itu, dengan langkah ringan yang terlihat santai, ikut berbaur dengan orang-orang lain yang juga berjalan disana. Yoon Hee menatap punggung Jin Ki menjauh, lalu berbalik. Dengan cepat dia memasuki mall itu, menuju toko buku tempat dimana dia akan dijemput oleh Lee Joon.


Yoon Hee tidak lagi menoleh ke belakang, untuk melihat pemandangan terakhir yang mungkin masih tersisa dari sosok Jin Ki yang terus berjalan menjauh. Beberapa puluh meter dari tempat Yoon Hee terakhir kali berdiri, Jin Ki terus berjalan. Dengan kepala tegak, kedua tangan terselip di saku celana. Dia terus melangkah dengan ringan, tanpa sedikit pun menoleh kembali ke belakang, mencari sisa bayangan gadis yang raut wajahnya masih tersimpan rapi di salah satu sudut kenangannya.


***


Seoul, Han’s Residence, 20.08

Yoon Hee masih duduk di bingkai jendela kamarnya yang dibiarkan terbuka. Tirai putih halus di sisi jendela terkadang nampak melambai ringan, seiiring dengan terpaan angin yang masih membawa sisa dingin hujan sore tadi. Hujan telah tak bersisa. Bahkan awan pun tak lagi tertinggal di langit sana. Pandangan Yoon Hee menerawang, memandangi hamparan langit dengan kerlipan bintang yang terserak di sana-sini.


Yoon Hee mendesah. Dia bangkit dan berjalan ke tempat tidurnya. Diraihnya tasnya dari atas tempat tidur. Yoon Hee merogoh-rogoh ke dalam tas itu, dan tanpa memerlukan waktu yang lama berhasil menemukan bungkusan kecil yang tadi sore disodorkan Jin Ki padanya.


Sambil memandangi bingkisan itu, Yoon Hee berjalan ke arah meja riasnya, lalu duduk di kursi di depannya. Dibukanya selotip yang menempel untuk menyatukan ujung-ujung kertas pembungkusnya. Beberapa detik kemudian, di tangan Yoon Hee sudah ada liontin perak kecil berbentuk sebuah bintang. Ada segulung kecil kertas yang ikut terselip dalam bingkisan itu.


Detak jantung Yoon Hee terasa sedikit lebih cepat saat jemarinya bergerak untuk membuka gulungan kertas itu. Sebaris tulisan tangan terbaca.


You’re still the light that never fades out somewhere deep in my heart.


Jin Ki membaca kalimat itu sekali lagi. Dan sekali lagi. Dia lalu menutup matanya, membiarkan sore tadi berulang kembali. Berputar seperti film dengan benaknya sebagai proyektor. Akhirnya Yoon Hee menghela nafas panjang sambil membuka matanya. Untuk beberapa lama, dia menimang liontin dan kertas itu di tangannya.


Setelah beberapa saat, dia menarik nafas panjang. Ditariknya laci meja riasnya. Dari sana, dia mengeluarkan sebuah kotak kecil. Tak banyak barang yang ada di dalam kotak itu. Hanya beberapa barang kecil yang terkesan remeh bagi orang lain. Tapi bagi Yoon Hee, setiap barang yang disimpannya di sana membawa sebuah cerita. Cerita tentang suatu waktu yang pernah berlalu namun tetap bertahan dalam ingatan. Cerita tentang detik yang berharga untuk dikenang.


Perlahan diletakkannya liontin dan kertas tadi dalam kotak itu. Lalu dengan cepat ditutupnya kotak tadi, dan dikembalikannya ke tempatnya semula di dalam laci.


Setelah berpikir sejenak, Yoon Hee meraih ponselnya, dan menekan tombol untuk menghubungi sebuah nomer yang disimpannya pada salah satu speed dial. Seperti biasa, tak perlu lebih dari tiga kali nada sambung, sebuah suara yang dikenalnya sudah menyahut.


“Yes, Dear?” sebuah suara lembut terdengar menyapanya.


“Joon-ah? Besok jadi menemaniku mengambil baju di Shin Ahjumma untuk pertunangan kita Sabtu ini?”




_____ END  _____



And that's it! Heuu... Maaf, kalo (selalu) jelek. Cerita ini muncul mendadak setelah seharian dengerin ROMANTIC-nya SHINee :*
Lirik lagu itulah yang jadi pengantar di setiap bagian. Enggak nyambung ya ama FFnya? Biarin deh wkwkkwk :D


Tidak ada komentar:

Posting Komentar