ROMANTIC (SHINee)
Yeah, my girl
Aku bodoh
Kau adalah cinta yang tak terlupakan
Ini air mata terakhir
Yang telah merobek dan meruntuhkan
jantungku secara keseluruhan
Sehingga berhenti berdetak
(Maaf) Aku benar-benar minta maaf...
Aku berjalan di sepanjang jalan ini
Entah kemana hatiku membawa
Aku mencari siapa saja yang
menyerupaimu
Aku masih berdiri di tempat yang
sama
Itu terlihat seperti dirimu,
menyentuh bahuku dengan lembut
Dan kemudian bersembunyi dari
hadapanku
Kenapa kau tidak di sini? Aku tidak
dapat melihatmu...
Apakah mataku melihat jauh ke depan?
Aku percaya bahwa aku bisa mencintai
lagi
Tapi kau masih berdiam diri dan
melekat di hatiku
Apa yang harus aku lakukan?
***
Seoul, Rain Café , Desember 2009
Dengan gelisah, Han Yoon Hee kembali
melirik jam tangannya. Dia tahu, dia datang terlalu awal. Masih sepuluh menit
sebelum jam 3 sore. Yoon Hee memencet-mencet ponselnya, membuka lagi pesan
pendek yang diterimanya kemarin. Dibacanya lagi barisan kata-kata itu, meskipun
dia sudah hafal setiap kata yang menyusun kalimat dalam SMS itu
Hi there, orange girl :) . I’m in Seoul
for my summer holiday. Care to meet? Our café, tomorrow, 3PM.
Nomor ponsel yang tidak tersimpan dalam
memori ponselnya. Tapi pilihan kata yang tersusun dalam pesan itu sudah menjadi
petunjuk, siapa yang mengirim pesan itu. Hanya satu orang yang pernah memanggil
Yoon Hee dengan sebutan dari judul novel Joostein Gaarder itu.
Dan ‘our café’ hanya berarti satu
tempat. Rain Café.
Bunyi lonceng dari arah pintu yang
mengayun membuka itu membuat Yoon Hee mengangkat wajah. Pemandangan yang
dilihatnya membuatnya merasa mengalami déjà vu, pada kejadian di tempat yang
sama, lebih dari dua tahun yang lalu. Sama seperti waktu itu, laki-laki itu
masuk dengan membawa sisa kilauan matahari sore yang jatuh di sela rambutnya.
Hanya saja rambut itu sekarang sedikit lebih panjang dari yang diingat Yoon Hee
saat mereka terakhir kali bertemu, dua tahun yang lalu.
Dengan langkah panjang yang ringan,
laki-laki tadi bergerak dengan sigap ke meja yang ditempati Yoon Hee. Dengan
gerakan ringan, dia lalu menarik kursi di depan Yoon Hee, dan duduk di sana.
“Hei…”
Yoon Hee sedikit tercekat. Dia tidak
pernah melupakan wajah tampan itu, meskipun semua foto yang pernah menyisakan
wajahnya telah dimasukkan Yoon Hee dalam sebuah kotak, dan dilemparkannya ke
bak sampah di depan rumahnya. Tapi dia tidak pernah menyangka bahwa melihat
wajah itu secara langsung akan membuatnya terpana kembali. Sudah dua tahun
lewat, tapi efek yang dirasakan oleh Yoon Hee saat melihat wajah tampan itu,
dengan senyuman khas itu, masih tetap sama. Membuat desiran halus yang
terasa semakin kencang mengisi aliran darah Yoon Hee, membuat jantungnya
tiba-tiba menolak untuk berdegup secara teratur.
Yoon Hee tersenyum, berusaha
menyembunyikan degupan tak beraturan yang terus berkejaran di dadanya.
“Hei…” sahut Yoon Hee. “Bagaimana
Melbourne?”
Di hadapannya, namja tampan bernama
Lee Jin Ki itu tertawa kecil. “Masih seperti biasa. A city with four season in
one day. Tapi sekarang sedang masuk spring sih, jadi sudah lumayan hangat.
Rata-rata 20-23 derajat…”
Yoon Hee mengangkat alis. “Segitu
dibilang hangat?”
Jin Ki kembali tertawa, tapi tidak
menyahut. Puas tertawa, dia malah bertanya.
“Sudah pesan?”
Yoon Hee menggeleng. Jin Ki lalu
melambaikan tangan untuk memanggil pelayan. Begitu pelayan tadi berada di
sebelah mereka, dengan cepat Jin Ki menyebutkan pesanannya.
“Café latte-nya satu, lalu… lemon
tea panas, ya kan?” kata Jin Ki sambil menoleh ke arah Yoon Hee, seakan meminta
persetujuan.
Ah, dia masih ingat… selintas rasa tersanjung tanpa bisa dicegah membuat pipi Yoon
Hee merona saat dia mengangguk.
Setelah mencatat dan menyebutkan
kembali pesanan mereka, si pelayan meninggalkan meja itu. Jin Ki
menopangkan kedua sikunya di atas meja itu, tersenyum menatap Yoon Hee. Yoon
Hee berdoa setengah mati agar detakan jantungnya yang terasa berpacu,
berkejaran dengan rintikan gerimis yang mulai jatuh tidak sampai tergambar di
wajahnya.
“So… How’s life treating you?”
Yoon Hee tersenyum kecil mendengar
pertanyaan Jin Ki tadi. “Not bad. Kau sendiri… bagaimana kabarmu?”
“Baik… As you can see, at least I’m
alive. Dengan setumpuk tugas, project dan reading materials itu, at least aku
masih bisa bernafas…” sahut Jin Ki, lalu tertawa lepas di ujung kalimatnya.
Tawa itu. Tawa yang sesungguhnya
terus menerus dikubur Yoon Hee dari ingatannya. Tawa yang dengan keras kepala
terkadang muncul kembali dalam ingatan Yoon Hee tanpa pernah bisa dia cegah.
Yoon Hee balas tertawa kecil. “Susah
ya?”
Jin Ki mengangkat bahu. “Tidak juga,
sih. Hanya saja, ya.. seperti itulah… dinikmati saja…”
“Kau sering merindukan Seoul?”
Jin Ki mengangguk. “Tentu saja, itu
sudah pasti… Walaupun sebenarnya banyak sekali yang khas Korea masih bisa
ditemukan di Melbourne.”
“Oh ya?”
Jin Ki kembali mengangguk. “Iya,
Kimchi saja ada di Melbourne kok… Bahkan orang Korea juga banyak yang ada
di sana… Kalau di jurusan ku memang jarang. Sedikit sekali orang Korea yang
ngambil Engineering, apalagi Environmental Engineering sepertiku. Tapi kalau
Buseco, barulah banyak orang asianya…”
“Buseco?” Yoon Hee mengerutkan
kening.
“Buseco, singkatan dari Bussiness
and Economics, Fakultas Ekonomi…”.
Yoon Hee membulatkan bibirnya,
membentuk huruf O tanpa suara.
Kedatangan pelayan yang membawakan
pesanan mereka untuk sementara menghentikan percakapan mereka. Setelah
meletakkan secangkir lemon tea panas di depan Yoon Hee, dan secangkir café
latte yang masih menguarkan uap di depan Jin Ki, pelayan tersebut mengangguk
kecil. Pelayan tersebut meninggalkan mereka, setelah Jin Ki mengucapkan terima
kasih.
“Memangnya yang paling kau rindukan
dari Korea apa saja?”
Jin Ki mengangkat cangkirnya dengan
kedua tangan, tapi tidak langsung menyesap isinya. Untuk beberapa saat cangkir
tersebut berhenti di depan hidungnya. Jin Ki membiarkan dirinya menikmati aroma
yang begitu familiar itu. Tapi sekali ini, aroma kopi itu tidak hanya familiar,
tapi terasa membawa nostalgia. Karena di hadapannya ada gadis itu. Gadis yang
masih terlihat sama dengan yang selalu diingat Jin Ki selama ini. Gadis dengan
pancaran mata yang selalu dikenangnya setiap kali Jin Ki berjalan pulang dari
Hargrave Andrew Library sambil menatap taburan bintang di langit malam. Gadis
yang diam-diam dia inginkan untuk berada di sampingnya saat menatap Melbourne
yang bertaburan cahaya dari ketinggian berpuluh meter di Eureka Sky Deck.
Ah…bahkan jarak Melbourne—Korea sama
sekali tidak berarti apa-apa. Karena setiap kenangan, setiap gerak halus yang
menjadi pembeda gadis itu dari gadis lainnya, tak mengenal batasan bernama
jarak untuk selalu hadir dalam kenangan yang disimpan Jin Ki dengan rapi dalam
salah satu sudut tersembunyi di hatinya.
“Yang dirindukan? Banyak…” jawab Jin
Ki akhirnya, setelah menyesap kopinya. Dia lalu meletakkan cangkir itu di
tatakannya kembali, menimbulkan suara denting perlahan. Dengan santai, Jin Ki
menumpukan dagunya pada punggung tangan kirinya.
“But if I have to be honest… the
thing that I really miss about Korea, is you…”
Yoon Hee terpana sesaat, menikmati
desiran rasa senang dan tersanjung yang perlahan menyeruak, seiiring dengan
rasa hangat yang mulai terasa menjalari wajahnya. Tapi Yoon Hee berhasil
menguasai dirinya, dan tersenyum.
“Do you know what? I kinda missing
you too…” kata Yoon Hee.
Dan itu sudah cukup. Karena lewat
tatapan mata, mereka berdua telah mencapai kesepakatan, bahwa rindu itu ada.
Meskipun harus menjadi rahasia, paling tidak pancaran mata mereka sudah saling
bercerita, tentang rindu itu.
***
Ini tidak bisa jika bukan dirimu
Sekarang aku sudah menyadari hal ini
Aku sangat sedih
Gambar-gambar ini...
Membuatnya terlihat seperti aku
masih mencintaimu
Panas tubuhmu dan wajahmu
Aku masih merasakannya di dalam
hatiku
Aku masih memiliki rasa romantis ini
di hatiku
Aku ingin kembali ...
Begitu banyaknya hari yang ku punya
Segala sesuatunya dari dirimu
Sekarang mengapa ?
(Beritahu aku mengapa)
Bahwa aku tidak dapat menemukanmu?
Aku sangat takut bahwa
Di tempat kenangan kita
Kau akan bertemu orang yang
sempurna, dan aku akan melihatmu
Aku lelah.
Aku mengembara sendiri, mencari
cinta di tempatmu yang dulu kosong
Lihat aku.
Lihatlah sesuatu yang sangat mirip
denganmu
Situasi ini benar-benar sulit bagiku
Ini jauh lebih buruk daripada hanya
menunggu
Aku menjadi begitu mirip denganmu,
bahkan aku meniru kebiasaanmu
Aku lebih tahu dirimu daripada
diriku sendiri
Yoon Hee menghabiskan sisa-sisa
terakhir lemon teanya. Aroma lemon semakin samar tercium dari cangkir itu, yang
sudah semakin dingin. Sudah hampir satu jam semenjak dia dan Jin Ki saling
bercerita. Tentang apa saja. Tentang bagaimana mereka masing-masing mengisi
selang waktu selama lewat dua tahun semenjak mereka terakhir bertemu. Dan
semuanya nyaris sama seperti dulu. Nyaris sama. Yang berbeda hanya satu, kini
ada garis pemisah di antara mereka. Yang nyata, walaupun mereka berdua tak
ingin menyinggung tentang itu.
“Boleh aku bertanya sesuatu?” ucap Yoon
Hee tiba-tiba.
“Sepertinya hal serius ya? Biasanya saat ingin bertanya kau akan langsung
bicara, …” kata Jin Ki, sedikit geli dengan kelakuan Yoon Hee yang menurutnya
sedikit aneh.
“It is. It is quite serious…”
Jin Ki mengangkat alis, lalu
beranjak dari posisinya yang semula bersandar, ditopangkannya dagunya pada
kedua tangannya yang terjalin rapi.
“Sure. Just ask…” kata Jin Ki dengan
ekspresi ingin tahu.
“Kau… pernah menyesali semua ini?
Semua tentang kita?”
Awalnya Jin Ki tidak menjawab, tapi
tidak sedikit pun mengalihkan pandangannya dari Yoon Hee. Sementara di
hadapannya Yoon Hee balas menatap Jin Ki, dengan pandangan yang menyuarakan
begitu banyak tanda tanya yang disimpannya selama ini.
“Apa yang harus disesali dari kita?”
akhirnya Jin Ki balik bertanya.
Yoon Hee mendesah panjang, lalu
mengangkat bahu. “Entahlah… Mengapa kita harus bertemu mungkin? Atau kenapa
semua harus berakhir seperti ini? Atau kenapa .. Ah… sudahlah… Lupakan saja…” kata
Yoon Hee akhirnya. Dalam hati Yoon Hee tiba-tiba merasa kesal sendiri, merasa
betapa bodohnya pertanyaanya tadi.
Jin Ki malah tertawa melihat Yoon
Hee yang nampak salah tingkah dengan pertanyaannya sendiri.
“Apa yang harus aku sesali dari
bertemu dengan Han Yoon Hee? Tidak ada. Tidak ada yang harus aku sesali dari
pertemuanku denganmu. Dari waktu yang pernah aku habiskan bersamamu. You’re one
in a million, Yoon Hee-ya. You’re such a special lady, and obviously there’s
nothing that has to be regretted in seeing such a wonderful lady like you..”
“Walaupun akhirnya harus seperti
ini?”
Jin Ki diam, mengalihkan
pandangannya pada cangkir di hadapannya. Dia kembali bersandar, lalu menelusuri
tepian tatakan cangkir di depannya dengan telunjuk kanannya, tapi Yoon Hee bisa
melihat masih ada senyum kecil di bibir itu. Senyum misterius yang selalu
membuat Jin Ki terlihat berbeda dari orang lain. Seakan dia mengetahui suatu
rahasia yang disimpannya sendiri untuk menyenangkan hatinya.
Jin Ki mengangkat wajah, menatap Yoon
Hee.
“Untuk apa disesali? Toh, semua
sudah terjadi. Untuk dikenang.” Jin Ki berhenti sejenak untuk menarik nafas
panjang.
“Terkadang memang ada saat dimana
aku juga berpikir, kenapa harus seperti ini? But hey, life often works in such
a mysterious way. Kalau memang ini adalah yang terbaik untuk banyak orang, maka
memang inilah yang harus terjadi…” lanjut Jin Ki lagi, dengan senyum yang
terlihat ironis di bibirnya.
“Walaupun ini bukan yang terbaik
untuk kita berdua? Bukan yang diinginkan oleh kita berdua?” tanya Yoon Hee
lagi.
Jin Ki mengalihkan pandangan dari Yoon
Hee, menatap jendela café yang kini tersaput titik-titik yang dibagi oleh rinai
hujan di luar sana. Setelah beberapa lama, dia kembali menoleh ke arah gadis
itu.
“Tidak hanya kepentingan kita berdua
yang harus dipikirkan Yoon Hee-ya. Masih ada banyak hal yang harus dipikirkan.
Hidup tidak sesederhana alur cerita novel…” kata Jin Ki, dengan sedikit nada
pahit dalam kata-katanya.
Yoon Hee menunduk. Matanya menatap
permukaan halus meja di depannya. Gerimis kini semakin deras di luar sana,
melantunkan irama derap tetesan hujan.
Hujan... Bukankah hujan sering kali
menghadirkan kembali berbagai kenangan yang entah kenapa enggan untuk
dilepaskan begitu saja?
Dari sudut matanya, Yoon Hee bisa
melihat profil wajah Jin Ki, yang kini tengah tercenung menatap hujan di luar
sana. Dalam benaknya Yoon Hee terus bertanya-tanya, apakah Jin Ki juga sama
sepertinya saat ini? Mengingat kembali saat dimana mereka bertemu untuk
terakhir kalinya di café ini, lebih dari dua tahun yang telah lewat?
***
Ini air mata terakhir
Yang telah merobek dan meruntuhkan
jantungku secara keseluruhan
Meninggalkan luka yang tidak akan
pernah sembuh
Meninggalkan yang kubenci
Aku benar-benar menyedihkan, apa yang
harus aku lakukan?
Benar-benar - apa yang harus aku
lakukan sekarang?
Panas tubuh dan wajahmu
Aku masih merasakannya di dalam
hatiku
Aku masih memiliki rasa romantis ini
di hatiku
Aku ingin kembali ..
2 Years Ago…
Seoul, Rain Café, Juni 2007
Sambil menunduk, Yoon Hee
mengaduk-aduk teh yang menguarkan wangi aroma lemon dalam cangkir di
hadapannya. Sudah tidak banyak asap yang mengepul dari cangkir itu. Meskipun
cairan coklat kemerahan yang ada di dalamnya masih tersisa, mengisi sekitar dua
pertiga cangkir tersebut.
Suara gemerincing lonceng yang
digantung tepat di atas pintu masuk café mengiringi suara pintu tersebut yang
mengayun membuka. Membuat Yoon Hee mengangkat kepala untuk kesekian kalinya.
Gerakan yang sama yang dilakukannya setiap kali dia mendengar bunyi itu
semenjak dia duduk di café ini dua puluh menit yang lalu.
Kali ini orang yang masuk memang
adalah yang dinantikannya. Dengan langkah panjang, Jin Ki melangkah melewati
pintu, melewati beberapa meja untuk menuju meja yang ditempati gadis-nya.
Yoon Hee tersenyum tipis melihat Jin
Ki, yang kini tengah menggeser kursi di hadapan Yoon Hee untuk duduk di sana.
Sekilas cahaya matahari sore yang melewati bening kaca jendela di sisi mereka
menimbulkan efek berkilau saat jatuh di helaian rambut coklat Lee Jin Ki.
“Mianhae, aku sedikit
terlambat…” Jin Ki meminta maaf, dengan seulas senyuman di wajah tampannya.
Yoon Hee hanya menggerakkan
kepalanya sedikit sambil menjawab, “Gwaenchana…”. Dia kembali memusatkan
pandangannya pada isi cangkir di depannya. Meskipun pikirannya terpusat pada
hal yang harus disampailkannya pada Jin Ki.
“Chagi-ya?”
Yoon Hee mengangkat wajah dan
mendapati Jin Ki yang tengah menatapnya sambil mengerutkan kening. Yoon Hee
kembali mengulaskan senyum tipisnya.
“Anything on your mind?” tanya Jin
Ki, mengangkat sebelah alis dengan tatapan bertanya.
Oh, dear… pikir Yoon Hee. Ekspresi itu… yang begitu khas, yang akan
selalu diingat Yoon Hee. Di saat dia harus mulai belajar melupakannya.
“Mau pesan dulu?” Yoon Hee berusaha
mengalihkan pembicaraan. Dia merasa masih memerlukan beberapa menit lagi untuk
menata kata. Beberapa tarikan nafas untuk menenangkan diri.
Jin Ki mendesah, tapi lalu tersenyum
dan mengangguk. Dia menoleh dan melambaikan tangan untuk memanggil pelayan di
café langganan mereka tersebut. Café dimana mereka selama enam bulan terakhir
seringkali duduk berdua. Terkadang hanya duduk diam memandangi hujan sambil
menikmati minuman masing-masing. Terkadang hanya membahas film-film yang
menurut mereka monumental, klasik dan tak pernah lekang dimakan zaman.
Yoon Hee sudah tak bisa menghitung
berapa kali mereka membahas Life is
Beautiful sebagai salah satu master piece di bidang film . Terkadang mereka
akan larut dalam obrolan mengenai hipotesis mereka, mengapa Summer dari Four Seasons karya salah satu novelis Korea justru terkesan lebih
suram daripada Winter.
Di sela suara-suara dari jalanan
yang lamat-lamat terdengar menembus kaca jendela, Yoon Hee bisa mendengar
suara langkah kaki sang pelayan yang mendekati Jin Ki. Tanpa mengangkat
wajahnya pun Yoon Hee sudah bisa menebak apa yang akan dipesan Jin Ki.
Secangkir café latte.
Tanpa mengangkat wajahnya pun Yoon
Hee sudah bisa membayangkan raut wajah dan senyuman Jin Ki saat dia menyebutkan
pesanannya. Dan Jin Ki pasti akan sedikit menganggukkan kepala sambil
mengucapkan terima kasih ketika sang pelayan selesai mencatat pesanannya. Yoon
Hee sudah hafal semua itu. Segala hal tentang Jin Ki terasa terlalu akrab di
benaknya. Di saat dia harus menarik kakinya untuk melangkah mundur dan
menjalani setapak yang berbeda.
“Katakan saja…”
Yoon Hee tersentak, sedikit kaget
saat mendengar kalimat pendek dari Jin Ki. Di hadapannya, Jin Ki menatapnya
lekat-lekat. Dengan tatapan yang sudah begitu diakrabi oleh Yoon Hee. Tatapan
yang selalu membuat Yoon Hee membiarkan dirinya tersesat dalam pesona kedua
bola mata itu.
Yoon Hee menarik nafas panjang, dan
menghembuskannya perlahan.
“Aku… ingin mengatakan…”
Jin Ki masih menatap Yoon Hee, tapi
tidak mengatakan apapun. Dia hanya mengangguk kecil, seakan mempersilahkan Yoon
Hee melanjutkan kata-katanya.
“Kemarin… Joon… datang…”
Kemudian hening. Hanya samar-samar
suara decitan ban kendaraan yang beradu dengan jalanan di luar sana. Hanya
suara obrolan halus dari beberapa pengunjung lain yang juga ada di café itu,
lamat-lamat terdengar sampai di meja mereka berdua.
Meja mereka berdua.
Meja yang selalu mereka tempati
bersama. Untuk berbicara mengenai apa saja. Membicarakan berbagai analogi yang
digunakan oleh Gaarder dalam novel
favorit mereka berdua, Misteri Soliter.
Membicarakan hal-hal tidak penting, seperti mengapa cinta harus selalu
dianalogikan dengan bunga mawar. Atau mengapa pemain-pemain sepak bola favorit
mereka memilih suatu klub tertentu. Dari ribuan topik acak yang pernah mereka
perbincangkan, perdebatkan dan tertawakan, semua memiliki satu benang merah.
Semua pembicaraan itu selalu membuat mereka merasa lebih dekat. Membuat mereka
menyadari bahwa mereka sering kali berbeda, dan justru saling melengkapi.
Yoon Hee menggigit bibir, dan
mengalihkan pandangannya ke jendela. Tiba-tiba saja rangkaian kata, alasan dan
penjelasan yang sudah disusunnya hilang, seakan ikut terbawa angin sore itu,
yang menghembus di luar, membuat daun-daun di pagar tanaman yang ada di luar
café tersebut nampak bergoyang. Goyah, gamang.
Di hadapannya Jin Ki menatap Yoon
Hee, lalu mendesah panjang. Kedua siku ditumpukannya di meja itu, kedua
jemarinya yang saling terjalin menopang dagu kokohnya. Pandangannya menyusuri
motif abstrak yang tercetak halus di permukaan meja.
Dia selalu tahu bahwa saat ini
akhirnya akan datang. Bahkan setiap malam, selintas pikiran selalu mengganggu
benaknya. Bahwa setiap ujung hari akan membawanya semakin dekat ke saat ini.
Langkah kaki sang pelayan yang
mendekat membuat mereka berdua menoleh. Pelayan itu lalu meletakkan secangkir
café latte yang masih mengepul di hadapan Jin Ki, lalu menganggukkan kepala
yang disahut Jin Ki dengan ucapan terima kasih. Yoon Hee masih sempat melirik
ke arah lelaki itu, menemukan bahwa setiap lekukan di wajah tampan itu persis
sama dengan wajah yang terlukis di ingatannya selama ini.
Pelayan tadi melangkah pergi
meninggalkan mereka berdua, kembali berada dalam keheningan. Keheningan yang
kini terasa menyesakkan, dengan selapis es tipis yang terasa beku dan
memisahkan mereka berdua. Jin Ki meraih satu sachet gula dari wadah keramik di
atas meja itu. Di depannya, Yoon Hee kembali mengaduk tehnya. Aroma lemon masih
samar tercium, tapi Yoon Hee sudah tak lagi berselera menghabiskan cairan
kecoklatan itu.
Dengan gerakannya yang luwes seperti
biasa, Jin Ki merobek sachet tadi, dan menuangkan isinya ke dalam cangkirnya.
Sendok yang beradu dengan cangkir saat Jin Ki mengaduk kopinya menimbulkan
suara denting halus. Dalam hati Yoon Hee tahu, bahwa sebentar lagi Jin Ki akan
mendekatkan cangkir itu ke bibirnya dan menyesap isi di dalamnya, meskipun asap
yang terus menguar menunjukkan bahwa kopi itu masih begitu panas. Tapi itulah Lee
Jin Ki. Yang selalu yakin bahwa kopi selalu lebih sempurna saat tersaji dalam
kondisi yang masih panas. Dan Jin Ki hanya akan menambahkan satu takaran gula
ke dalam kopinya. Karena menurutnya, terlalu banyak gula akan menutupi cita
rasa asli dari kopi yang dinikmati.
Ah, mengapa harus begitu banyak hal
tentang Lee Jin Ki yang melekat di ingatan Yoon Hee? Bahkan cara Jin Ki
meletakkan sendoknya di tepi tatakan cangkir itu terekam begitu lekat dalam
ingatan Yoon Hee.
“Jadi… Lee Joon akhirnya datang?” Jin
Ki memecah kesunyian itu. Diletakkannya cangkir kopi itu kembali ke tatakannya.
Kali ini memberanikan diri untuk menatapi setiap sudut wajah Han Yoon Hee.
Menikmati betapa rambut yang halus itu jatuh di kedua sisi wajahnya, membingkai
wajah manis Yoon Hee dengan sempurna. Jin Ki tahu, dia hanya perlu menatap Yoon
Hee untuk beberapa detik saja, dan bayangan wajah itu akan terus lekat di
benaknya, entah sampai kapan.
Yoon Hee mengangguk. Dengan sorotan
mata yang dikenal Jin Ki. Kedua bola mata yang diteduhi bulu mata lentik itu
menatap Jin Ki dengan tatapan sedikit sayu. Jin Ki tahu, betapa kedua bola mata
itu seringkali lebih banyak berbicara lewat tatapan, meskipun terkadang bibir
tipis itu tidak mengucapkan apa-apa.
“Dia diterima di Seoul Univ,
Fakultas Hukum. Lewat jalur prestasi…” sahut Yoon Hee, dengan suara lembutnya. Jin
Ki begitu mengenal suara itu. Suara lembut yang terkadang melantunkan nada-nada
indah saat jemari lentik itu menari di atas piano kesayangannya.
Jin Ki mengangguk kecil, mengangkat
kembali cangkirnya untuk meneguk isinya. Dalam hati dia tidak merasa terkejut
dengan kabar itu. Anak sulung dari klan keluarga Lee itu memang terkenal
cerdas. Bahkan ayah Jin Ki sendiri seringkali menyebut-nyebut, bahwa semua hanya
tinggal menunggu waktu sampai kekuasaan atas sejumlah perusahaan besar milik
keluarga Lee itu akan menjadi milik Joon. Dari balik tepian cangkirnya, Jin Ki bisa
melihat Yoon Hee mendesah panjang. Keresahan nampak jelas terpancar dari balik
bening matanya.
Setelah tegukan ketiganya, Jin Ki
meletakkan cangkirnya. Dengan dagu tertopang pada tangan kanan yang
ditumpukannya di meja itu, dia kembali memandang Yoon Hee.
Yoon Hee menarik nafas panjang, dan
kembali menghembuskannya perlahan. “Dan, tadi malam, kata Appa dan Eomma… akan
lebih baik jika aku dan Joon-ie… mulai
memikirkan arah yang lebih serius dari hubungan kami.”
Jin Ki tersenyum miris mendengar
kata-kata Yoon Hee tadi. Kata-kata yang hanya menjadi penegasan atas skenario
yang sepertinya telah tersusun semenjak dulu. Bahwa keluarga Han dan keluarga Lee
Joon kelak akan menjalin hubungan yang lebih dari sekedar partnership dalam
berbagai bidang usaha.
“So.. this is it, huh? Time to say
good bye?”
Jin Ki tertawa pahit dalam hati.
Menyadari betapa ironisnya bahwa dia mampu mengucapkan kalimat tersebut dengan
ringan, di saat dia merasa betapa setiap kata tersebut terasa begitu membebani
tarikan nafasnya.
Yoon Hee memandangi Jin Ki dengan
tatapan putus asa. “Jin Ki-ya… Aku… tidak tahu harus melakukan apa… aku tidak
tahu harus bicara apa… I’m sorry. I really am…” setengah terbata Yoon Hee
mengucapkan kata-katanya, dengan pancaran mata yang seakan sekuat tenaga
membendung tangis.
Jin Ki menggeleng pelan. “Bukan
salahmu Yoon Hee-ya. Bukan salah siapa-siapa.” Kata Jin Ki sambil menelusuri
bibir cangkir di hadapannya dengan jari telunjuk. Masih ada sisa sedikit rasa
hangat di permukaan cangkir putih itu.
“Lagipula, ada banyak hal yang harus
dipikirkan…” katanya lagi, sambil mengangkat wajah untuk menatap Yoon Hee.
“Bayangkan saja, betapa besarnya keuntungan yang bisa diperoleh keluargamu dan
keluarganya Joon jika klan Han dan Lee bisa bergabung…” Jin Ki mengangkat bahu
di ujung kalimatnya. Dia lalu menunduk, mengangkat kembali cangkirnya dan
tersenyum ke arah Yoon Hee saat membawa cangkir itu mendekati bibirnya dengan
kedua tangannya.
“Sementara aku? Aku tidak punya
apa-apa untuk ditawarkan…”
Jin Ki menyesap kembali kopinya,
lalu meletakkan cangkir putih bermotif biru itu di tatakannya. Dia menoleh dan
melambaikan tangan ke arah pelayan, memberi isyarat agar pelayan tersebut
membawakan tagihan.
“Jin Ki-ya….”
Jin Ki tertawa kecil. Berusaha
menyembunyikan kegundahan dalam hatinya. “Yoon Hee-ya, sudahlah… Kau dan aku,
kita berdua sudah tahu kan bahwa ini kelak akan terjadi?”
Yoon Hee kembali menggigit bibirnya,
lalu membuang pandangannya ke arah jendela. Cahaya sore semakin jingga di luar
sana.
“Dear… Don’t take me wrong. Just… do
it. Toh ini untuk kebaikan semua orang. Apalagi orang tuamu sendiri yang mengiginkannya
kan…”
Yoon Hee menoleh untuk kembali
menatap Jin Ki. Dengan tatapan penuh permohonan.
Jin Ki mendesah. “Kita baru saling
mengenal selama berapa lama sih? Tujuh bulan? Delapan mungkin? Sementara Ayah
dan Ibumu mengenalmu seumur hidupmu. Mereka hanya menginginkan yang terbaik
untukmu kan?”
Yoon Hee memainkan telunjuknya di
atas permukaan meja. Mencerna setiap kata-kata Jin Ki. Dengan segan mengakui
bahwa mungkin Jin Ki benar. Bahkan cara Ayah dan Ibunya membicarakan hal itu
tadi malam pun begitu lembut, tanpa ada sedikit pun nada paksaan. Tapi justru
dengan cara seperti itu Yoon Hee merasa semakin terjebak, tak kuasa untuk
menolak.
Kedatangan pelayan yang membawakan
bill pesanan mereka membuat percakapan mereka yang kaku tersendat
kembali. Setelah Jin Ki membayar pesanan mereka, dia kembali tertunduk. Hanya
menggeser-geser cangkir itu di atas tatakannya. Yoon Hee pun tidak mengatakan
apa-apa. Terlalu sibuk menata hati, dalam usahanya menguasai diri untuk tidak
mengalirkan tangis.
“Aku harus pergi…” kata Jin Ki
akhirnya, mengangkat wajah, dengan ekspresi tak terbaca. Meskipun ada senyum di
wajahnya.
“Jin Ki-ya…”
Jin Ki tidak menyahut, malah berdiri
dari kursinya.
“Jin Ki-ya.. aku, tidak tahu harus
berkata apa… tentang semua ini…”
“Then don’t say anything…” Jin Ki
menghela nafas panjang. “Semakin sedikit yang kau ucapkan, semakin baik, karena
berarti semakin sedikit kenangan yang harus aku lupakan tentang dirimu, Yoon-ie…”
Yoon Hee menggenggam erat-erat
serbet yang ada di atas meja itu. Setiap detik yang berlalu, terasa semakin
sulit baginya untuk menahan buliran ini menetes dari sudut matanya.
Jin Ki sedikit menunduk, sedikit
mengangkat dagu Yoon Hee dengan telunjuknya. Ditatapnya dalam-dalam Yoon Hee
tepat pada kedua matanya, lalu Jin Ki tersenyum tipis.
“Dear, jangan menganggap kau
betul-betul kehilangan aku. Aku pergi darimu, bukan berarti kau kehilangan aku.
Hanya saja, aku tidak lagi menjadi bagian dari hari-harimu. Itu saja.”
Jin Ki lalu menegakkan tubuhnya kembali.
Masih dengan seulas senyum tipis yang terlukis di wajahnya, dia berbalik dan
melangkah menuju pintu café. Setiap langkahnya yang terdengar berdetak di
lantai berlapis kayu café itu menggema, dan semakin menjauh. Jin Ki membuka
pintu café, lalu keluar, dan membiarkan pintu itu mengayun menutup di
belakangnya.
Jin Ki tidak menoleh ke belakang.
Tidak sekalipun menoleh. Sementara Yoon Hee terus duduk terdiam tanpa bergerak
dari kursinya. Berharap bahwa Jin Ki tidak akan pernah menoleh…..
…….karena Yoon Hee tidak ingin Jin
Ki melihat aliran bening yang mulai meninggalkan jejak di pipinya.
***
Aku masih memiliki rasa romantis ini
di hatiku
Aku ingin kembali ...
Seoul, Rain Café , Desember 2009,
16.32
“Sudahlah Yoon Hee-ya…” kata-kata Jin
Ki membuat Yoon Hee sedikit tersentak. Membawanya kembali ke saat ini dari
kilas balik yang berputar di benaknya tentang saat perpisahan itu.
“Aku tidak mau pertemuan kita saat
ini hanya membuat kita sama-sama terluka kembali…” kata Jin Ki, menumpukan
tubuhnya pada meja, menggeser wajahnya lebih dekat ke arah Yoon Hee.
Dengan telunjuk, diangkatnya dagu Yoon
Hee, sehingga mau tidak mau Yoon Hee harus menatap mata bulan sabit yang selalu
mempesonnya itu.
“Apa yang sudah terjadi di masa
lalu, biarkan menjadi sesuatu yang selalu bisa kita kenang. But let’s just make
it that way….”
Yoon Hee tidak menyahut, hanya
menatap kedua mata Jin Ki yang tengah memandangnya dengan lembut. Mendengarkan
kata-kata Jin Ki selanjutnya.
“So what happened in the past, stay
in the past…” kata Jin Ki, lalu melepaskan telunjuknya dari Yoon Hee untuk
kembali duduk bersandar. Meskipun tatapan matanya masih lekat menembus mata Yoon
Hee.
Yoon Hee tersenyum tipis dan
mengangguk kecil. Dengan halus dia menyahut, “Let it stay in the past, as
memories…”.
Di depannya, Jin Ki tersenyum.
Mengangguk. Lalu meraih cangkirnya untuk menyesap sisa terakhir kopinya. Dia
lalu melambaikan tangannya pada pelayan untuk meminta bill. Entah kenapa,
setiap gerakan Jin Ki saat melakukan itu, setiap detail, bahkan dari yang
paling sederhana sekalipun, masih begitu lekat di benak Yoon Hee. Meskipun
hanya untuk diberi label sebagai kenangan, yang akan tersimpan sebagai bagian
dari masa lalu. Itu saja.
Jin Ki melirik bill yang disodorkan
pelayan pada sebuah baki kecil, lalu merogoh dompetnya untuk mengeluarkan
beberapa lembar uang kertas.
“Ambil saja kembalinya…” kata Jin Ki
sambil tersenyum kecil. Pelayan tadi mengangguk sambil menggumamkan terima
kasih, lalu berlalu dari hadapan mereka.
“So, for what reason?” tiba-tiba Yoon
Hee bertanya ketika si pelayan tadi baru beranjak tiga langkah dari meja
mereka.
Mendengar pertanyaan Yoon Hee tadi, Jin
Ki mengerutkan kening sambil memasukkan kembali dompet kulitnya ke dalam
saku celana.
“Alasan apa?”
“The reason of you, asking to meet
me?”
Jin Ki tertawa kecil mendengar
pertanyaan tadi. Tapi lalu terdiam begitu melihat keseriusan yang terpancar
jelas di wajah Yoon Hee, dari tatapan matanya yang tegas. Jin Ki mendesah, lalu
tersenyum dan kembali menyandarkan tubuhnya. Dengan santai dia lalu menjawab.
“Because I miss you. And that should
be enough for a reason to meet, right?”
Yoon Hee masih tidak melepaskan
tatapannya dari Jin Ki. Sementara lelaki tampan di hadapannya itu menarik
tubuhnya hingga sedikit bertumpu pada meja di depannya.
“Jadi ya sudahlah. Biarkan pertemuan
kita hari ini menambah satu lagi hal yang bisa dikenang tentang kita…” kata Jin
Ki lagi, dengan senyum tipisnya itu.
Yoon Hee mengangguk kecil, balas
tersenyum saat menyahut. “Jadi biarkanlah waktu ini terlewati sebagai detik
untuk dikenang…”
Jin Ki ikut mengangguk, lalu
menegakkan tubuhnya kembali. Di hadapannya, Yoon Hee melirik jam tangan di
pergelangan tangan kirinya. Melihat gerakan Yoon Hee tadi, Jin Ki bertanya.
“Mau pulang sekarang?”
Yoon Hee mengangguk sambil menjawab.
“Aku akan dijemput Joon jam 5… masih setengah jam lagi, tapi, ya…” Yoon Hee
mengangkat bahu di ujung kalimatnya tadi, membiarkannya menggantung meskipun
mereka berdua sudah tahu jawabannya.
“Dijemput di sini?”
Yoon Hee menggeleng. Entah kenapa
dia tidak ingin Joon berada di café ini. Café dimana ia dan Jin Ki menghabiskan
begitu banyak waktu berdua. Ada banyak kenangan yang diam-diam masih ingin
disimpan Yoon Hee dengan rapi dalam kotak memori hatinya. Dan café ini, ingin
tetap dikenang oleh Yoon Hee sebagai café mereka berdua, dia dan Jin Ki. Tentu
saja.
“Aku minta dijemput di toko buku di
mall di sana…” jelas Yoon Hee, sedikit menggerakkan dagunya ke arah jendela.
Memberi isyarat bahwa café yang dia maksud adalah mall yang terletak sekitar
500 meter dari café tempat mereka berada.
“Oh, begitu... Kajja…” Jin Ki berdiri.
Yoon Hee ikut berdiri dan melangkah keluar dari kursinya. Bersisian, mereka
berdua berjalan menuju pintu café. Jin Ki mendorong pintu itu membuka, membuat
lonceng yang digantung di atas pintu café itu bergemerincing. Yoon Hee berjalan
keluar, sementara Jin Ki menahan pintu itu dengan tangannya saat Yoon Hee
berjalan melaluinya.
Di luar hujan masih menari, dengan
deraian yang menyanyikan irama rintikan pada saat hujan itu jatuh membasahi
permukaan yang bisa dicapai tetesannya.
“Kuantar kau sampai mall sana…” kata
Jin Ki lagi. Dia memutar tubuhnya ke kanan, lalu mulai berjalan menyusuri
trotoar. Dengan sedikit tergesa, Yoon Hee mempercepat ayunan kakinya untuk bisa
mensejajarkan langkah dengan Jin Ki. Dari sudut matanya, Yoon Hee melirik ke
arah Jin Ki. Wajah tampan itu terlihat datar, menatap lurus ke depan. Tidak
sedikit pun menoleh.
Mereka berjalan berdua. Bersisian.
Dengan langkah yang terkadang memercikkan sisa limpahan air hujan yang
tergenang di trotoar. Hujan mengiringi langkah mereka.
Belum sampai lima puluh meter mereka
melangkah, Yoon Hee merasa tangan Jin Ki mencari tangannya, dan
menggenggamnya erat-erat. Yoon Hee kembali melirik sembunyi-sembunyi ke arah Jin
Ki. Tapi yang dilihatnya tetap pemandangan yang sama. Jin Ki yang terus berjalan,
dengan tatapan lurus ke depan. Tidak sekalipun melirik, apalagi menoleh, ke
arah Yoon Hee. Meskipun demikian, Jin Ki tetap erat menggenggam jemari Yoon Hee,
seakan ingin terus menggenggam setiap detik yang mereka lewati bersama untuk
tetap bisa disimpan dalam ingatan.
Sebagai detik untuk dikenang.
Mengikuti Jin Ki, Yoon Hee pun
mengalihkan pandangannya. Menatap lurus ke depan. Terus menyamakan langkahnya
dengan Jin Ki, menyusuri trotoar. Mereka berdua terus bergandengan, sepasang
tangan yang saling menggenggam jemari satu sama lain dengan erat. Meskipun
mereka tak saling menatap, namun perasaan rindu terus mengalir lewat jemari
yang saling membungkus dengan hangat.
Diiringi rinai hujan yang terus
menarikan tetesannya, mereka berdua terus berjalan. Melangkah, saling
bergandengan. Tanpa saling menatap. Hanya membiarkan rasa itu mengalir lewat
genggaman tangan. Dan membiarkan kata-kata yang tak terucapkan menggantung di
langit yang memayungi hujan di hari itu.
Sampai di mall yang mereka tuju,
akhirnya Jin Ki melepaskan genggamannya dari tangan Yoon Hee. Dengan sedikit
enggan, Yoon Hee menarik tangannya yang kini sendirian, mengalihkannya untuk
menggenggam tali tas di pundaknya.
“Sampai sini saja ya…” kata Jin Ki. Yoon
Hee mengangkat wajah. Di hadapannya, Jin Ki tersenyum tipis. Yoon Hee
mengangguk kecil. Menerima kenyataan bahwa sekali lagi mereka harus berpisah. Jin
Ki lalu merogoh saku celananya, dan mengeluarkan sebuah bungkusan kecil.
Disodorkannya bingkisan yang berlapis kertas berwarna jingga cerah itu ke arah Yoon
Hee.
“Untukmu…” katanya pendek. Yoon Hee
menerima bungkusan itu. Dia ragu sejenak, lalu memasukkan bingkisan itu ke
dalam tasnya.
“Gomawo..” katanya sambil tersenyum
kecil. Jin Ki hanya mengangguk. Untuk beberapa detik, mereka berdua tidak
mengatakan apa-apa, hanya saling menatap. Saling memahami bahwa kata-kata
apapun tidakperlu lagi diucapkan. Karena yang ingin mereka bagi dalam
rasa ini adalah perasaan yang terlalu rapuh untuk dinyatakan dalam kata.
Akhirnya, Jin Ki berdehem kecil
untuk memecah keheningan.
“So, I guess, this is another good
bye?”
Yoon Hee tidak menyahut. Hanya
menatap Jin Ki lekat-lekat. Memandangi wajah tampan itu, dengan butiran sisa
hujan yang nampak sedikit berkilau di sela-sela rambut Jin Ki.
Jin Ki membiarkan dirinya sendiri
menikmati setiap detil lekukan di wajah cantik yang ada di hadapannya. Sepasang
mata yang sedikit sayu, dinaungi bulu mata yang panjang, dengan hidung lancip
yang nampak sempurna di wajah tirus itu. Rambut Yoon Hee yang tergerai halus
nampak jatuh dikedua sisinya, menciptakan bingkai cantik bagi wajahnya.
Ah, Jin Ki bahkan bisa melihat,
rambut itu tampak lebih panjang dibandingkan saat terakhir kali mereka bertemu.
Akan tetapi wangi aroma apel yang tercium samar-samar dari rambut halus itu
masih sama seperti dulu. Tiupan angin perlahan mempermainkan beberapa helai
rambut Yoon Hee.
Jin Ki berusaha menahan dirinya
untuk tidak menyentuh wajah itu, untuk tidak membelai rambut itu. Dia kembali
berdehem, menegakkan tubuhnya sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku
jeans hitamnya.
“Here’s the deal. What happened in
the past, stay in the past…” Jin Ki mengulangi kembali kata-katanya di café
tadi.
“And let them stay as memories, to
be remembered…” sahut Yoon Hee.
Jin Ki mengangguk kecil. Dengan
luwes, dia berbalik. Sedetik kemudian dia sudah menyusuri trotoar itu, dengan
langkah ringan yang terlihat santai, ikut berbaur dengan orang-orang lain yang
juga berjalan disana. Yoon Hee menatap punggung Jin Ki menjauh, lalu berbalik.
Dengan cepat dia memasuki mall itu, menuju toko buku tempat dimana dia akan
dijemput oleh Lee Joon.
Yoon Hee tidak lagi menoleh ke
belakang, untuk melihat pemandangan terakhir yang mungkin masih tersisa dari
sosok Jin Ki yang terus berjalan menjauh. Beberapa puluh meter dari tempat Yoon
Hee terakhir kali berdiri, Jin Ki terus berjalan. Dengan kepala tegak, kedua
tangan terselip di saku celana. Dia terus melangkah dengan ringan, tanpa
sedikit pun menoleh kembali ke belakang, mencari sisa bayangan gadis yang raut
wajahnya masih tersimpan rapi di salah satu sudut kenangannya.
***
Seoul, Han’s Residence, 20.08
Yoon Hee masih duduk di bingkai
jendela kamarnya yang dibiarkan terbuka. Tirai putih halus di sisi jendela
terkadang nampak melambai ringan, seiiring dengan terpaan angin yang masih
membawa sisa dingin hujan sore tadi. Hujan telah tak bersisa. Bahkan awan pun
tak lagi tertinggal di langit sana. Pandangan Yoon Hee menerawang, memandangi
hamparan langit dengan kerlipan bintang yang terserak di sana-sini.
Yoon Hee mendesah. Dia bangkit dan
berjalan ke tempat tidurnya. Diraihnya tasnya dari atas tempat tidur. Yoon Hee
merogoh-rogoh ke dalam tas itu, dan tanpa memerlukan waktu yang lama berhasil
menemukan bungkusan kecil yang tadi sore disodorkan Jin Ki padanya.
Sambil memandangi bingkisan itu, Yoon
Hee berjalan ke arah meja riasnya, lalu duduk di kursi di depannya. Dibukanya
selotip yang menempel untuk menyatukan ujung-ujung kertas pembungkusnya.
Beberapa detik kemudian, di tangan Yoon Hee sudah ada liontin perak kecil
berbentuk sebuah bintang. Ada segulung kecil kertas yang ikut terselip dalam
bingkisan itu.
Detak jantung Yoon Hee terasa
sedikit lebih cepat saat jemarinya bergerak untuk membuka gulungan kertas itu.
Sebaris tulisan tangan terbaca.
“You’re still the light that never fades out somewhere deep in my heart.”
Jin Ki membaca kalimat itu sekali
lagi. Dan sekali lagi. Dia lalu menutup matanya, membiarkan sore tadi berulang
kembali. Berputar seperti film dengan benaknya sebagai proyektor. Akhirnya Yoon
Hee menghela nafas panjang sambil membuka matanya. Untuk beberapa lama, dia
menimang liontin dan kertas itu di tangannya.
Setelah beberapa saat, dia menarik
nafas panjang. Ditariknya laci meja riasnya. Dari sana, dia mengeluarkan sebuah
kotak kecil. Tak banyak barang yang ada di dalam kotak itu. Hanya beberapa
barang kecil yang terkesan remeh bagi orang lain. Tapi bagi Yoon Hee, setiap
barang yang disimpannya di sana membawa sebuah cerita. Cerita tentang suatu
waktu yang pernah berlalu namun tetap bertahan dalam ingatan. Cerita tentang
detik yang berharga untuk dikenang.
Perlahan diletakkannya liontin dan
kertas tadi dalam kotak itu. Lalu dengan cepat ditutupnya kotak tadi, dan
dikembalikannya ke tempatnya semula di dalam laci.
Setelah berpikir sejenak, Yoon Hee
meraih ponselnya, dan menekan tombol untuk menghubungi sebuah nomer yang
disimpannya pada salah satu speed dial. Seperti biasa, tak perlu lebih dari
tiga kali nada sambung, sebuah suara yang dikenalnya sudah menyahut.
“Yes, Dear?” sebuah suara lembut
terdengar menyapanya.
“Joon-ah? Besok jadi menemaniku mengambil
baju di Shin Ahjumma untuk pertunangan kita Sabtu ini?”
_____ END _____
And that's it! Heuu... Maaf, kalo
(selalu) jelek. Cerita ini muncul mendadak setelah seharian dengerin
ROMANTIC-nya SHINee :*
Lirik lagu itulah yang jadi
pengantar di setiap bagian. Enggak nyambung ya ama FFnya? Biarin deh wkwkkwk :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar