Izinkan aku bercerita. Tentang perasaan ini. Ah, tapi bagaimana
mungkin? Betapa sukarnya menguraikan rasa ini lewat kata-kata.
Aku menggigit-gigit ujung pulpenku. Kesal
sendiri, kenapa rumus-rumus Fisika ini seperti menolak untuk berbaik hati
padaku? Sedikit gugup, aku melirik lingkaran mungil di pergelangan tanganku,
dan merasakan degupan jantungku semakin kencang. Sialan. Lima belas menit lagi,
bel akan berbunyi. Dan paling lambat, lima menit setelah deringan bel, Soo Man seonsaengnim pasti akan sudah muncul.
Dengan dingin menunjuk kami satu persatu untuk mengerjakan soal-soal yang
seperti teroris itu.
Putus asa, aku menoleh ke bangku di sebelahku
yang masih kosong. Kenapa Yoon Hee tidak muncul-muncul sih? Teman sebangkuku itu memang paling bisa
diandalkan kalau masalah PR, tapi dia sangat tidak bisa diandalkan untuk datang
tepat waktu. Pandanganku beralih ke pojokan kelas. Meja Jin Ki sudah dipenuhi oleh siswa lain
yang juga terburu-buru menyalin jawaban dari anak itu. Jin Ki sendiri tidak kelihatan, entah
dimana.
Aku menghela nafas, dan berdiri. Semoga aku masih
bisa ikut berdesak-desakan di sana.
Plak!
Belum sempat aku melangkah, sebuah buku tulis
bersampul Christiano Ronaldo terhempas di mejaku.
“Ini. Pasti kau belum mengerjakan PR dari Soo Man seonsangnim kan?” tanyamu, sedikit menuduh.
Aku menyeringai, lalu duduk kembali. Dengan
tergesa membuka-buka lembaran bergaris di buku itu, hingga menemukan halaman
yang kucari. Sementara di depanku, kau sudah duduk di bangkumu. Dengan wajah
tidak peduli, kembali sibuk dengan tabloid olahraga kesukaanmu.
“Gomawo Min Ho-yaaa…” seruku. Kau hanya menoleh sekilas, lalu
melengos.
“Kau ini kebiasaan sekali, menyalin PR dariku…” ujarmu dingin, dengan mata masih menyusuri
baris-baris berita di tabloid itu.
“Lha, yang membiasakan aku seperti itu kan kau sendiriiii…” sahutku, mulai menyalin jawabanmu ke buku
tulisku.
“Tsk… “ decakmu, seperti kesal. “Apa susahnya sih
mengerjakan soal seperti itu?”
“Sombooong….” seruku, meraih penggarisku untuk
memukulkannya ke pundakmu. “Aku tidak sempat tahuuu…. Tadi malam aku menonton DVD sampai larut malam. Seru sekali ceritanya!” ujarku lagi,
kembali tenggelam dengan deretan rumus itu.
“Sampai jam berapa?” tanyamu lagi.
“Jam berapa ya? Sekitar jam satuanlah…” sahutku pendek.
“Jangan kebiasaan begadang Hyun Ji-ya. Kau bisa sakit, kau lupa pernah sakit typus, huh?” ujarmu, kali ini nada suaramu serius. Aku
mengangkat alis, mengangkat wajah dari buku tulisku. Begitu menatap wajahmu,
debaran di dadaku berkejaran secara tiba-tiba. Kenapa tatapan matamu nampak
begitu lembut?
Sekali lagi, perasaan hangat tanpa nama ini
menyelimuti hatiku.
“Ecieee.. tumben seorang Choi Min Ho perhatian padaku…” ujarku sambil melambai-lambaikan pulpen di genggamanku.
Tidak, tidak… Jangan salah sangka. Bukannya aku
tidak suka dengan perhatian sederhanamu itu. Justru sebaliknya, banyak
hal kecil darimu yang terasa berharga bagiku. Hanya saja, aku tidak terbiasa
untuk mengungkapkan semua perasaan itu. Bagaimana caranya, sementara aku
sendiri tidak mengerti, apakah maksud dari getaran-getaran halus di dada
ini?
Kau hanya mengangkat alis mendengar kata-kataku
tadi, lalu kembali memusatkan perhatianmu pada tabloid di tanganmu.
“Yah, marah ya?” tanyaku, sedikit gugup. Kau
hanya menggeleng, membalik halaman tabloid itu.
“Aniya...” sahutmu santai. Raut wajahmu tetap seperti biasa, tanpa
ekspresi. Kecuali jika raut datar itu bisa dikategorikan sebagai suatu ekpresi
wajah.
Aku membuka mulut, berusaha membuka kembali
percakapan. Tapi belum sempat aku mengucapkan apapun, wajahmu sudah terangkat,
karena mendengar panggilan Jin Ki dari pintu kelas.
“Min Ho-ya!” seru Jin Ki yang berdiri di pintu kelas. Sepertinya dia baru datang dari kantin,
lihat saja, dia tengah memegang teh kotakan.
“Ada yang mencarimu…” seru Jin Ki lagi.
Aku tahu, yang dicari bukan aku. Tapi tetap saja
aku ikut menoleh untuk mencari tahu siapa yang mencarimu itu. Begitu melihat
bahwa yang ada di sebelah Jin Ki adalah Yoon Ra, tanpa sadar aku menghela nafas kesal. Kenapa gadis itu harus begitu
sering mencari alasan untuk bertemu denganmu?
Dadaku terasa lebih terganjal ketika melihatmu
berdiri, dan dengan santai mendatangi gadis itu. Aku melengos, memilih untuk kembali
menekuni si PR-Fisika-dari-neraka ini.
Dalam hati, aku berusaha menenangkan diri
sendiri. Apa hakku untuk merasa kesal semacam itu? Toh, kau bukan siapa-siapa
bagiku. Seperti aku yang hanya sekedar teman sekelasmu semenjak kelas 1 SMA.
Itu saja. kita hanya sekedar dua orang yang berteman dan telah sekelas selama
hampir tiga tahun.
Sesederhana itu kan?
Tapi mengapa degupan di dada ini tidak
sesederhana itu untuk ditafsirkan?
***
Biarkan aku mengenang kembali hari itu. Ketika akhirnya aku sadar, ada
satu sudut tersembunyi di hatiku, yang hanya mengukirkan satu nama. Kamu.
Aku menimang-nimang novel itu di tanganku.
Menimbang-nimbang. Yang ini…atau..
“Ehem!” sebuah suara yang sangat familiar menegurku, diiringi tepukan di
bahu. Aku menoleh, dan mengangkat alis, agak terkejut mendapati dirimu disini.
“Min Ho-ya? Sedang apa
kau di sini?”
“Memancing…” jawabmu pendek. “Ya tentu saja mencari buku lah. Apa lagi memang yang dilakukan seseorang di toko buku?”
“Umm… Dagang kain, mungkin?”
“Ji-ya…” ujarmu dengan nada khasmu. Sementara aku hanya bisa menyeringai,
sedikit salah tingkah. Seandainya kau tahu, aku bukannya ingin bercanda. Tapi
setiap kali berdiri berhadap-hadapan denganmu, sedekat ini, selalu membuat
otakku tak bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Hingga tentu saja, aku
kehilangan kata-kata, dan hanya bisa mengucapkan hal-hal bodoh.
“Buku apa?” tanyamu, mengalihkan perhatian pada
novel yang ada di tanganku.
Aku menunjukkan buku tebal itu. Matamu sedikit
memicing saat kau mengeja perlahan judul buku itu.
“Wizards of EarthSea? Hmmm.. Good choice.
Ceritanya bagus…” katamu sambil menegakkan punggung dan memasukkan kedua
tanganmu ke dalam saku jeansmu. Entah kenapa, aku selalu merasa gestur
sederhana semacam itu membuatmu terlihat semakin tinggi.
“Oh ya? Ya sudah. Kalau begitu yang ini saja deh…”
“Aku baru tahu kalau kau suka membaca buku fantasi seperti itu…” ujarmu lagi. Aku mengalihkan pandangan darimu,
berlagak melihat-lihat buku lain yang dipajang di rak itu. Bukan apa-apa, semakin
lama aku bertatapan denganmu, sepertinya akan semakin banyak hal-hal bodoh yang
aku lakukan akibat kegugupanku.
“Iya, aku suka yang fantasi atau science-fiction semacam itu… Tapi… buku ini bukan untukku.”
Dari sudut mataku, aku bisa melihat perubahan
ekspresi wajahmu menjadi sedikit heran.
“Untuk Yoon Hee. Dia ulang tahun hari Selasa nanti..” jelasku.
“Oh ya? Aku tidak menyangka Yoon Hee suka membaca buku seperti itu…”
“Memang tidak.. hehehe…” aku terkekeh. “Dia
lebih menyukai yang bergenre sweet romance. Favoritnya saja Autumn in Paris kok..”
“Mwo? Jadi buat apa kau memilih buku ini untuk diberikan
padanya?”
“Kan supaya nanti aku bisa meminjamnya…” sahutku polos, menjelaskan
alasanku.
Kau mendecak kesal, lalu merebut buku itu dari
tanganku.
“Dasar bodoh. Kau ini, jika
memang berniat tulus memberi sesuatu pada orang lain, kau harus memberikan apa
yang disukai orang itu, bukannya yang kau sukaiii...” katamu dengan nada kesal.
Kau lalu menarik tanganku untuk mengikutimu,
menuju rak lain di toko buku itu.
Aku menurut, meskipun kakiku terasa lemas. Toh,
tentu saja kau tidak tahu. Bahwa lingkaran jemarimu di pergelangan tanganku ini
membuat aliran darahku terasa tidak biasa.
“Kalau memang yang disukai Yoon Hee adalah romance, pilih yang seperti ini…” ujarmu di hadapan sebuah rak
yang memajang buku-buku dari salah satu penerbit terkenal.
Aku membaca sekilas judul-judul yang ada, lalu
menoleh ke arahmu dengan putus asa. “Tidak tahu mau pilih yang mana...”
Kau memutar bola matamu, tapi mengambil salah
satu novel dan menyerahkannya padaku. “Nih, yang ini saja. Katanya bagus.”
“Rain Affair…” aku membaca judul yang tercetak di
sampul buku tadi. “Bagus ya? Pernah baca?”
Kau menggeleng. “Ani. Aku juga belum pernah membacanya.”
“Mwo? Terus? Kenapa memilih yang ini?”
“Sampulnya bagus.” jawabmu ringkas.
Aku membelalakkan mata, memandangi lagi sampul
buku itu. Warna biru lembut yang mendominasi sampul buku itu memang terlihat
cantik, berpadu serasi dengan gambar sederhana sebuah payung berwarna merah
muda lembut.
Lalu entah kenapa, aku tertawa. Aku sendiri tidak
tahu. Mungkin karena jawabanmu yang tidak disangka-sangka. Atau mungkin, hanya
karena aku ingin tertawa. Bukankah tertawa merupakan salah satu bentuk
pengungkapan rasa bahagia?
Dan aku bahagia. Karena aku sedang
bersamamu. Walaupun aku tahu, kau mungkin merasa biasa saja.
“Aigooo. Kenapa malah tertawa...” katamu sambil menggelengkan kepala. “Cepat. Bayar sana…” kau menggerakkan
kepala ke arah kasir. Aku menurut, berjalan ke sana.
Dan hei, kau mengiringiku! Salahkah aku jika ada
rasa melambung muncul di dada ini?
Oh, oke. Mungkin aku saja yang terlalu
berlebihan. Karena ternyata, setelah aku membayar buku yang kau pilihkan tadi,
kau juga membayar tiga buah buku yang ada di tanganmu. Kupikir kau tadi ingin
menemaniku. Tapi ternyata hanya sekedar kebetulan,bahwa kau juga akan membayar
buku yang kau beli tadi.
Aku berjalan sambil memasukkan plastik berlogo toko
buku tadi ke dalam tasku. Kau mengiringi di sisiku.
“Setelah ini mau kemana?” tanyamu begitu kita berdua sudah keluar dari toko
buku itu.
“Pulang..” sahutku, berusaha tidak terlalu
berharap.
“Oh, dengan siapa?” pertanyaanmu terdengar lagi. Nada suaramu begitu wajar. Datar
seperti biasanya. Tapi tak urung, aku tak bisa mencegah suatu harapan lagi
muncul di benakku.
“Sendiri, tadi kesini juga naik bus.” jawabku lagi. Mulai menyusun percakapan
khayalan sendiri. Kalau kau ternyata menawariku untuk pulang bersamamu, aku
harus menjawab seperti apa?
“Oh.” Komentarmu pendek. Seperti biasanya. “Ya sudah, aku duluan ya. Aku ada janji dengan Taemin untuk bermain basket bersama jam tiga nanti…” katamu sambil memandang jam digital di tangan
kirimu.
Saat itu juga, aku merasa menjadi orang paling
bodoh di dunia. Kenapa sempat-sempatnya aku berharap yang macam-macam?
“Oh, baiklah. Salam ya untuk Taemin…” kataku, dalam hati bertanya-tanya apakah kekecewaanku terbersit
dalam nada suaraku. Semoga saja tidak.
“Salam? Untuk Taemin? Kau yakin?”
Aku mengangkat wajah untuk menatapmu. Hei, kenapa
ada kilatan aneh macam itu di matamu?
“Hah?”
“Salam apa? Untuk Taemin?”
Aku tertawa. Betapa konyolnya pertanyaanmu itu.
“Salam apa saja boleeehhh…”
“Oh. Geurae. Aku duluan, ne…” katamu. Aku mengangguk. Kau nampak ragu
sesaat, tapi kau lalu merogoh plastik berisi buku yang kau beli tadi. Kau
mengeluarkan novel A Wizards of EarthSea
tadi dan menyodorkannya ke arahku.
Hei, aku baru saja sadar. Kau ternyata tidak
meletakkan buku itu kembali ke rak setelah kau merebutnya dari tanganku.
“Untukmu…”
Aku ternganga.
“Ya, Hyun Ji-ya… aku terlihat konyol sekali berdiri sambil menyodor-nyodorkan buku ini padamu. Cepat ambil ini…”
“Eh? Oh iya…” kataku, masih agak kaget. Aku meraih buku itu dari tanganmu,
memeganginya dengan kedua tangan dan menatapmu dengan penuh tanda tanya.
“Ini benar-benar untukku?”
Kau hanya mengangguk. “Iya. Untukmu. Ya sudah ya, aku.. duluan…”, lalu kau berbalik begitu saja, dan melangkah pergi. Tas
ransel di bahu kananmu tampak ikut berguncang bersama gerakanmu.
Aku masih termangu. Mendekap buku itu di dadaku.
Dan saat itulah aku sadar. Ada sekuntum cinta
tumbuh di sudut hati ini, karenamu. Untukmu.
***
Bolehkah aku jujur? Aku masih tidak mengerti. Mungkin hatiku terlalu
naif dan sederhana untuk memahami. Tapi kenapa liku sikapmu begitu meletihkan
untuk diselami?
Dering bel itu seperti biasa disambut dengan
sorakan bahagia, termasuk olehku. Sedikit serampangan, aku meraup alat-alat
tulisku dari atas meja untuk kujejalkan ke dalam kotak pensil.
“Cintakuuuu… Gula-gulakuuu… Pulang bersama kekasih hatimu ini kan?”
Aku bergidik, mendelik geli ke arah Jin Ki yang sudah berdiri dengan
cengiran lebarnya di sebelah meja Yoon Hee.
“Kalian itu.. mengerikan.” Celaku tanpa ampun.
“Dia saja kan Hyun
Ji-ya…. Aku kan tidak…” kata Yoon Hee sambil berdiri dan
menyelempangkan tas di bahunya.
“Lagipula, kenapa kau
bisa tahan sekali sih
pacaran dengan alien itu Yoon Hee-ya…”
“Kau itu kenapa protes saja hah? Berisik… Hus… hus… Sana sana, cari namjachingu sana…” Jin Ki menggerak-gerakkan tangannya, berlagak mengusirku.
“Mwoooya! Enak saja. kau bisanya hanya mencelaku saja… Siapa tahu sebentar lagi aku akan menjadi pacar seseorang, sama siapaaaaa gitu…”
“Yah, ku doakanlah. Semoga saja sebentar lagi kau akan mendapat seorang namjacingu. Daripada kau selalu sirik melihatku dan kekasih hatiku nan
cantik dan baik hati ini?” Jin Ki terkekeh sendiri mendengar kata-katanya.
“Aku duluan ya Hyun Ji-ya…” kata Yoon Hee sambil tersenyum. Sedetik kemudian, dia sudah berjalan bersisian
dengan Jin Ki.
“Han Hyun Ji…”
Aku mengangkat kepala mendengar panggilanmu. Baru
saja aku sadar, dari tadi kau belum beranjak dari kursimu.
“Ne?”
Aku mengamati wajahmu, dan mengerutkan kening.
Kenapa wajahmu sedatar itu? Ya, aku tahu bahwa kau memang tidak pernah royal
dalam ekspresi. Tapi kali ini, bahkan sorot matamu terlihat… dingin.
“Kau…” kata-katamu terhenti sesaat. Lalu kau menghela nafas panjang. “Taemin tadi menitip kan pesan padaku. Kau ditunggunya. Di belakang perpustakaan.”
Aku mengangkat alis dengan heran. “Jigeum (sekarang)?”
“Iya.” Sahutmu singkat. Lalu kau berdiri, dan
menyampirkan ranselmu di pundak. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, kau melangkah
pergi. Sementara aku masih duduk dengan keheranan. Di pintu kelas, kau
berhenti, lalu bersandar di birai pintu itu.
“Ji-ya. Ppalliwa. Ditunggu.” Katamu lagi sambil
menatapku.
Tanda tanya itu semakin menggaung di pikiranku.
Tapi aku hanya mengangkat bahu, lalu berdiri. Baiklah, apapun urusannya sampai Taemin ingin bertemu denganku, lebih
baik kuselesaikan sekarang. Aku berjalan, agak jengah, karena aku bisa
merasakan tatapanmu yang mengiringi setiap gerakanku. Kenapa kau harus tetap
berdiri di pintu itu?
Aku melangkah melewatimu.
“Chukkaeyo…”
Langkahku sontak terhenti mendengar kata itu
meluncur dari mulutmu. “Mwo?”
“Ani. Eobsseo. Cepat sana…” katamu. Lalu seakan ingin
menegaskan bahwa tidak ada apa-apa, kau pun melangkah pergi. Langkah panjangmu agak tergesa. Sekali
lagi, aku hanya bisa mengangkat bahu sambil memandangi punggungmu yang bergerak
semakin jauh di koridor. Aku berbalik, berjalan menuju tempat yang kau sebutkan
tadi.
***
Taemin berdiri di depanku, nampak
salah tingkah. Wajahnya nampak memerah. Bahkan ada sebutir keringat yang nampak
berkilau di pelipisnya.
“Hyun Ji-ya, aku tahu semua ini, mungkin mendadak sekali…”
Aku bukan gadis bodoh. Aku bisa menebak ke arah
mana percakapan ini akan berlanjut. Dalam hati, entah kenapa, aku terus menerus
berharap, aku tidak usah ada disini.
“Tapi dua bulan lagi kita lulus SMA Hyun Ji-ya. Dan aku takut, kalau aku tidak
bicara sekarang,
aku tak
akan punya kesempatan
lagi untuk
mengungkapkannya padamu…”
Taemin nampak menarik nafas panjang,
lalu menghembuskannya kuat-kuat.
“Hyun Ji-ya.. Aku... nan naega jeongmal choahae.”
Aku tidak tahu harus menanggapi apa. Maka aku
hanya tersenyum.
“Kau.. mau menjadi...
kekasihku?”
Aku diam. Memandangi wajah putih Lee Taemin. Dia tampan, dan aku yakin aku
bukanlah satu-satunya yang berpikiran seperti itu. Kali ini, wajah tampan itu
nampak menyimpan harapan. Kedua matanya nampak tulus.
Aku menggigit bibir, lalu mengalihkan pandangan
ke sudut bangunan perpustakaan. Ada bayangan hitam yang jatuh memanjang dari
balik bangunan itu.
Itu kamu kan? Aku tahu, itu kamu. Yang tengah
berdiri, tersembunyi di balik bangunan itu. Jangan tanya bagaimana aku bisa
tahu. Aku tahu. Begitu saja.
“Hyun Ji-ya…” suara Taemin terdengar lagi.
Min Ho-ya, tolong aku. Tolong, keluarlah
dari tempat persembuyianmu sekarang. Lalu katakan apa saja. Apa saja. Katakan
apa saja untuk mencegahku melakukan hal bodoh.
“Han Hyun Ji…” Taemin kembali memanggilku. Bahkan
kali ini dia meraih kedua tanganku untuk menggenggamnya.
Aku menunduk. Sekuat tenaga berusaha mencegah air
mata yang tiba-tiba berlomba untuk terbit di sudut mataku.
“Ji-ya, aku.. menyayangimu. Kau hanya perlu menjawab,
dan semuanya akan menjadi jelas untukku,” ujar Taemin. “Ya, atau tidak...” kali ini suara Taemin tidak lagi terdengar begitu
gemetar.
Aku mengangkat wajah. Kembali mendapati dua buah
bola mata yang begitu dalam dan menawarkan ketulusan.
Aku menarik nafas. Lalu mengangguk. Dua kali.
“Ne…”
Aku tahu, itu suaraku, namun bukan milik hatiku.
Suara hati dan kata yang terucap, kadang tidak
seirama.
Salahkah? Mungkin. Tapi sebelum kau
menyalahkanku, tolong jawab aku. Apakah lelikuan sikapmu memang pertanda isi
hatimu?
***
Waktu tidak pernah mau mengerti. Dia terus berdetik pergi, dan entah
kenapa, semakin menjauhkan aku darimu. Semenjak hari itu, saat aku memulai suatu
kisah baru, kamu tidak pernah sama lagi. Jauh ternyata tak hanya berarti jarak,
tapi juga kebekuan yang tiba-tiba menyeruak,
muncul begitu saja di antara kita. Hingga
akhirnya, aku mendapat kabar itu: kau akan pergi.
Senja sudah lama jatuh. Garis-garis jingga sudah
tidak lagi terlihat di langit. Udara malam terasa lebih sejuk, apalagi ada sisa
gerimis yang masih menarikan rintikannya perlahan.
Kau masih membisu di sebelahku. Aku pun tak tahu,
harus mengatakan apa.
Detikan waktu menuju perpisahan seringkali
terlalu menyiksa.
“Kau benar-benar kesini sendirian? Tidak mengatakan apapun pada
Taemin?”
tanyamu akhirnya.
Aku menggeleng. “Aniya. Tidak
sempat.
Begitu Jin Ki memberitahuku kalau pesawatmu berangkat malam ini, aku... tak sempat berpikir apa-apa lagi.”
“Dasar bodoh.” katamu. Tapi dari sudut mataku,
aku bisa melihat, ada senyum tipis di bibirmu.
“Kau... kenapa tidak pernah mengatakan padaku bahwa kau akan kuliah di
Jepang hah?”
protesku. Kau mungkin menganggap ini konyol Min Ho-ya, tapi aku bisa mengingat semua hal yang pernah kita perbincangkan. Terlalu banyak hal
yang aku ingat tentang kamu.
Kau hanya mengangkat bahu. “Penting ya?”
Kali ini aku yang berdecak kesal dengan reaksimu.
“Kau itu parah. Kenapa sepertinya kau susah
sekali untuk memberitahukan apapun padaku?”
Aku tidak tahu, apa yang salah dengan kalimatku
tadi. Tapi begitu kata-kata tadi terlontar keluar, senyum tipismu, jadi
berbeda. Kau masih tersenyum, tapi kali ini, terasa getir.
“Benar juga ya? Kenapa
sepertinya aku susah sekali untuk memberitahukan tentang hal-hal yang sebenarnya
penting…”
“Kau baru sadar? Hal sepenting ini saja, kau
tidak mengatakannya padaku..”
Kau menatapku, dan tiba-tiba aku seperti tersihir
melihat matamu. Kenapa kedua bola hitam itu bisa membuatku tersesat begitu jauh
dalam pesonamu?
“Banyak Hyun Ji-ya. Banyak sekali hal yang entah mengapa sulit sekali aku katakan padamu...”
Aku terpana. Apa maksudmu? “Misalnya?”
Kau menghela nafas panjang. “Banyak. Kau mungkin tak akan cukup sabar untuk mendengarkan semuanya.”
“Try me…”
Kau menunduk, pundakmu bergerak naik turun. Aku
tidak lagi mengatakan apa-apa, hanya sekedar menunggu kamu bicara. Desau angin membuat
daun-daun itu saling bergesekan dengan ranting lainnya. Irama alam yang
sebenarnya juga menenangkan selain hujan. Akhirnya, setelah beberapa saat dalam hening yang
membekukan, kau
mengangkat wajah.
“Harus ku mulai dari mana?”
“Terserah…”
Kau menengadah, seperti menimbang-nimbang.
Setelah beberapa lama, kau menoleh untuk menatapku. “Aku akan ke Jepang, untuk melanjutkan kuliah.”
Aku mengangguk. Menunggumu melanjutkan.
“Semenjak dulu sekali, aku sudah tahu kalau aku akan
melanjutkan kuliah
di sana. Orang tuaku sudah merencanakan ini semua, dan ku pikir juga, tidak ada salahnya. Maka dari itu, aku dari dulu selalu sadar, bahwa aku... akan pergi dari sini. Dari Seoul.”
Hening sesaat. Sayap-sayap kepedihan itu mulai mencari celah
dan menyusup dalam hatiku. Entah mengapa.
“Dan karena kesadaran itulah, lantas aku bertindak bodoh…”
Tunggu. Kenapa kau selalu membuatku
bingung dengan berbagai ucapan anehmu?
“Min Ho-ya, I’m not stupid, tapi jujur, aku sama sekali tidak mengerti maksud kata-katamu
tadi...” aku
menggelengkan kepalaku, masih tidak memahami maksudmu.
“Hyun Ji-ya, aku yang bodoh di sini.. Karena berpikir bahwa toh pada akhirnya aku harus pergi dari sini, harus meninggalkanmu, aku lalu dengan bodohnya tak mau mengakui pada diriku sendiri bahwa... aku sudah jatuh hati padamu. Menyukaimu, tanpa kau
ketahui.”
Aku ternganga. Tidak pernah menyangka bahwa kau
akan mengatakan hal semacam itu.
“Min Ho-ya? Bicara apa
kau….”
Senyummu kembali nampak pahit. Tanganmu bergerak,
menyentuh anak rambut di pelipisku dan bergerak menyusurinya. Menelusupkannya di balik
telingaku dengan perlahan.
“Hyun Ji-ya… Kau… Kau itu ajaib. Satu-satunya yeoja yang selalu membuatku takjub dengan tingkah mu. Satu-satunya yeoja yang ku pikir tak ada persamaanya dengan yeoja manapun…”
Aku tidak sanggup mengatakan apapun. Masih
terpana. Ini, bukan sekedar mimpi kan?
“Hyun Ji-ya… Nan naega
jeongmal saranghanda.”
Kata-kata itu... Tuhan,
kenapa terdengar amat tulus sekali?
“Apa? Ta… tapi..”
Ada kabut membayang di wajahmu. Kau tertunduk.
Jemarimu kini mencengkeram erat pinggiran bangku panjang yang kita duduki ini.
“Aku tahu, Hyun Ji-ya. Aku tahu, pasti kau akan bertanya, kenapa aku tak pernah sekali-pun membicarakan tentang
perasaan ini..”
Aku hanya bisa mengangguk. Menunggu kau
menjelaskan.
“Seperti yang ku katakan tadi. Aku tahu, bahwa aku tak akan pernah bisa menjanjikan apapun
padamu, menjanjikan bahwa aku akan selalu bisa menjagamu.. Karena pasti... akan sampai suatu hari dimana aku harus pergi.” Tuturmu. “Bahkan sebelum aku sempat memilikimu.
Sebelum sempat waktu mengijinkanku merengkuhmu. Kita.”
Kali ini kau menatapku, masih dengan senyuman
tipis itu. “Dan Hyun Ji-ya, kau sudah memiliki Taemin. Aku tahu, dia sangat menyayangimu. Sama sepertiku, yang juga
menyayangimu. Tapi Taemin, dia pemenangnya Hyun Ji-ya. Dia yang lebih berani untuk
mengalahkan semua ketakutannya, dan lebih memilih untuk berani mengungkapkan
apa yang dia rasakan padamu.”
“Tapi yang aku sayangi itu bukan Taemin, Min Ho-ya! Yang aku sayangi itu KAU!” aku tidak dapat menahan
diri. Kata-kata itu meluncur begitu saja.
Senyummu seperti tergores kepedihan. Kau meraih
tanganku, dan membungkus jemariku dengan hangatnya genggamanmu.
“Gomawo. Sudah cukup bagiku untuk tahu, bahwa perasaan ini terbalaskan, bahwa kau juga
menyayangiku. Gomawo..”
“Min Ho-ya…”
Ada jutaan kata di dunia kan? Tapi kenapa tidak
ada satu kata pun yang cukup bisa untuk sekedar melukiskan perasaanku saat ini?
Genggamanmu di tanganku makin erat. Seakan
berusaha menyamakan selaksa rasa yang mengalir deras.
“Hyun Ji-ya, aku… aku lebih senang lagi karena aku tahu, ada yang benar-benar sayang dan menjagamu disini… Ada yang bersedia melakukan apapun untuk membuatmu senang
setiap waktu…
Walaupun seseorang itu bukan aku.”
Bukan Choi Min Ho.
“Min Ho-ya, tapi yang aku inginkan, orang itu haruslah dirimu….” ujarku lirih.
“Hyun Ji-ya, dengarkan aku baik-baik sekali ini saja. Aku menyayangimu, tapi aku terlalu pengecut untuk bisa mengakui itu. Aku menunda sekian lama, karena kebodohanku sendiri. Dan kau.. kau layak mendapatkan seseorang yang LEBIH daripada seorang pengecut sepertiku. Dan seseorang itu adalah Taemin…”
Kau menggerakkan telunjukmu untuk mengusap aliran
hangat yang mulai meninggalkan jejak di pipiku.
“Aku… harus pergi Hyun Ji-ya…”
Aku menggigit bibirku kuat-kuat. Semua terasa
kabur, berbayang. Bahkan genggaman tanganmu pun perlahan kau lepaskan.
“Han Hyun Ji, chaljinhae
(take care)….” bisikmu perlahan, dengan kedua tangan
memegangi pundakku. Seperti mimpi bagiku, ketika dengan perlahan, wajahmu
mendekat hingga bau parfummu sangat terasa. Dan dengan lembut, mencium dahiku,
cukup lama. Kau
lalu menegakkan tubuh, lantas mengacak puncak kepalaku.
Ada seulas senyuman yang masih tersisa di
wajahmu. Lalu kau berbalik, dan mendorong troli berisi barang-barangmu menjauh.
Pergi.
“Aniya, Min Ho-ya…” bisikku perlahan.
Aku tahu, seharusnya aku berdiri, lalu berlari
dan mengejarmu. Memelukmu erat dari belakang, menangis sekaligus
menahanmu.
Tapi aku merasa lumpuh sekarang. Aku hanya bisa terduduk,
tanpa sanggup untuk sedikit pun mengalihkan pandangan darimu. Kamu yang kini
mulai ikut berdesakan dengan para calon penumpang lainnya, semakin menjauh.
Hingga akhirnya kau menghilang di balik pintu kaca itu. Seperti bayangan senja
yang menghilang ketika malam menyapa bumi.
Aku tidak tahu, berapa lama aku terduduk disitu.
Entahlah, waktu tiba-tiba saja menjadi suatu hal yang semu bagiku. Aku baru
tersadar ketika merasakan getaran ponselku.
Sambil mengusap sisa air mata, aku tersenyum
pahit melihat bahwa kau baru saja mengirimkan sebuah pesan.
“Hyun Ji-ya, I love you. Even though we’re far apart, your eyes will always be the stars in
my darkest night. Saranghae. Jeongmal.”
***
___ END ___
So, this is another one-shot-story :). Well,
secara saya lagi merasa agak-agak terlalu banyak beban hidup *astaga,ngomong apa deh gueee*, so I wrote
this. You know, some kind of a stress reliever. Apologize if it's not as you've
expected. Anyway, would really very apprecite it if you leave any comments or
trace that you read this one.
Thanks for reading!
Regards,
—YOON—
Tidak ada komentar:
Posting Komentar